KRITIK, PENAFSIRAN, DAN PENDEKATAN DALAM SASTRA
A. Kritik dalam Ilmu
Sastra
1. New Criticism dan Strukturalisme
Sebagaimana
yang diungkapkan Darma bahwa begitu banyak dan beragam pemikiran yang telah
mendorong lahirnya strukturalisme, dan semua pemikiran itu saling terkait dan
saling mendukung. Seandainya pemikiran-pemikiran itu tidak ada, mungkin
strukturalisme tidak akan pernah ada, atau muncul dalam bentuk lain. Namun, di
antara sekian banyak pemikiran, faktor langsung yang mendorong lahirnya
strukturalisme adalah New Criticism.
Cleanth Brooks,
seorang figur sentral dalam gerakan kritik baru. Buku-bukunya seperti Understanding
Poetry (1938), Understanding Fiction (1943), Understanding Drama (1945), dan
The Well-Wrought Urn (1947) telah membantu menjadikan pendekatan New Criticism menjadi pendekatan 'resmi'
dan paling dasar dalam ilmu sastra. Ini terbukti dengan wajibnya pengajaran
pendekatan ini (walau tanpa embel-embel 'New Criticism') dalam tiap kelas
perkenalan sastra.
Walau New Criticism (kritik baru)
adalah pendekatan paling dasar dalam setiap pengajaran ilmu sastra, tidak
banyak yang mengenal fondasi teoritisnya. Namun ada banyak konsep yang dapat menjelaskan
prinsip utama kritik baru. Sebut saja Objective Correlative milik T.S
Eliot, Intentional Fallacy-nya Wimsatt dan Bradsley atau Organic
Unity-nya Coleridge. Dan untuk alasan praktis, kita bisa mengambil benang
merah dari berbagai konsep tersebut dengan meringkas doktrin inti
pendekatan ini cukup dalam satu frase: "unity of form and content”,
atau dalam bahasa Cleanth Brooks: "form is meaning". Untuk
memahami ungkapan pendek tersebut kita perlu mengatahui apa itu form (bentuk),
apa itu content (isi) dan apa maksud mereka adalah satu kesatuan.
'Isi' adalah ide atau makna dari sebuah karya. Ia adalah apa yang
ingin disampaikan lewat karya. Dalam konteks sastra ini dikenal dengan tema.
Sedangkan 'bentuk' adalah bagaimana ide tersebut disampaikan. Ini
merujuk pada majas, simbol, alur, sudut pandang, ironi dan unsur-unsur sastra
lainnya yang merupakan unsur pembentuk dari tema atau ide yang disampaikan.
Fakta bahwa 'bentuk dan isi tidak bisa dipisahkan' atau merupakan satu kesatuan sudah
tersirat. Isi yang abstrak hanya bisa disampaikan lewat bentuk yang konkret.
Dan bentuk pun hanya bisa dikembangkan dari isi tersebut.
Cara kerja New Criticism tanpaknya tidak lain merupakan
pertanggungjawaban atas kebenaran kajian mereka. Di satu pihak menurut Books,
puisi adalah aktivitas alamiah, yang tidak lain merupakan salah satu aktivitas
fundamental manusia, yang karena itu bukan merupakan aktivitas yang esoterik
(hanya diketahui dan dipahami orang-orang tertentu), karena itu, menurut
Brooks, pandangan bahwa puisi dapat dikaji dengan common sense (akal sehat) memang benar, tapi hanya sampai pada
tahap-tahap tertentu saja. Apabila kajian terhadap puisi diperdalam ke hakikat puisi yang esensial, common sense tidak dapat dipergunakan
lagi.
Pada
awalnya sementara itu, baik formalism Rusia (termasuk strukturalisme Rusia),
maupun strukturalisme menganggap bahwa karya sastra adalah otonom. Namun
pengertian otonom ini cenderung meluas. Otonomi dalam New Criticism, misalnya terbatas pada sebuah puisi yang
dijadikan objek kajian. Puisi dengan demikian tidak ada kaitannya dengan dunia luar sama sekali termasuk biografi
penyairnya. Formalism Rusia, sementara itu mempunyai pandangan yang lebih luas
mengenai otonomi. Karena karya sastra adalah karya seni, maka otonomi sebuah
karya sastra pasti tidak bebas dari kaitannya dengan karya-karya seni lain.
Otonomi yang lebih luas ini terjadi karena objek Formalisme Rusia adalah
narasi, dan karena itu tidak terbatas pada puisi. Sebuah narasi dengan
demikian, mungkin berhubungan dengan musik, karena narasi dan musik adalah sama-sama karya seni. Sementara
itu, strukturalisme menganggap bahwa sastra bukan hanya sebuah seni, tapi juga
merupakan satu bagian humaniora, sebagaimana misalnya linguistik, antropologi,
sejarah, dan lain-lain.
Karena
, sastra menurut New Criticism, merupakan sesuatu yang dibentuk dengan
baik sehingga tak ada satu pun bagiannya yang dapat dihilangkan atau diganti.
Ia merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus
dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan
kebahasaan dan kesastraan. Dalam menghadapi karya sastra yang tersedia bagi New
Criticism hanya meaning, makna karya itu, dan hanya itulah yang
dapat dipahami dan dikupasnya, tanpa jalan lain untuk mengikutsertakan niat
atau maksud pengarang (intentional fallacy) karena pengetahuan mengenai
riwayat hidup atau pendirian penulis, juga dalam penciptaan karyanya, tersebut
tidak membantu untuk memahami karya itu dengan lebih baik, bahkan sering
mengelirukan.
New
Criticism berpendapat bahwa dalam melakukan
pendekatan atau analisis terhadap karya sastra yang diperlukan ialah pendekatan
intrinsik yang menekankan struktur karya sastra sendiri. Berdasarkan paradigma
ini, maka New Criticism pun menolak emosi atau afeksi, sikap keterharuan
pembaca sebagai kriteria atau jalan untuk memahami karya dengan lebih tepat.
Menurut mereka, jurang antara emosi pembaca dan makna karya tidak dapat
dijembati oleh pengkritik sastra dengan alat yang diberikan kepadanya, yaitu
teks karya itu sendiri. Yang ada dan yang tinggal bagi pengkritik sastra hanya
kata-kata karya. Jadi, kesan pembaca (affective
fallacy) terhadap satu teks sastra pun ditolak karena dianggap dapat
menyebabkan kesesatan dalam melakukan analisis.
Dengan begitu, New
Criticism menyarankan bahwa dalam mendekati atau menganalisis karya sastra
yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara
mikroskopik terhadap karya sastra. Metode pembacaan ini dikenal dengan istilah close
reading. Close reading merupakan metode pembacaan terhadap karya
sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini
bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati
terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa
pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.
Pembacaan secara
close reading membuat karya sastra
menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain
itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada
kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap
teks dan bukan hal-hal di luar teks. Oleh sebab itu, New Criticism juga
mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya
atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra. Oleh karena itu, menurut New Criticism,
metode pembacaan secara close reading ini bertujuan untuk
menemukan atau menggali struktur karya sastra yang terdiri dari ambiguitas,
paradoks, dan ironi. Karena struktur karya sastra adalah struktur dalam
tatarannya yang individual. Ia bukanlah 'bentuk' dalam pengertian konvensional
di mana bentuk diartikan sebagai amplop yang memuat 'isi'. Ia jelas berada di
mana-mana dan terkondisi oleh sifat materi yang ada dalam puisi. Sifat materi
menentukan masalah yang perlu dipecahkan, dan pemecahannya ialah penyusunan
materi itu.
Struktur, dalam pandangan New Criticism,
adalah struktur makna, evaluasi, dan penafsiran; dan prinsip kesatuan yang
menjelaskan kelihatan merupakan prinsip menyeimbangkan dan mengharmoniskan
konotasi, sikap, dan makna. Dan ia menyatukan hal-hal yang sama dengan hal-hal
yang berbeda. Namun, ia tidak menyatukannya dengan suatu proses sederhana yang
memungkinkan satu konotasi menghapuskan konotasi lainnya; demikian pula ia
tidak mengurangi sikap-sikap yang bertentangan menjadi harmoni melalui proses
pengurangan. Struktur tersebut merupakan kesatuan yang positif, tidak negatif;
ia tidak merupakan sisa, melainkan suatu harmoni yang dapat diperoleh. Konsep
inilah yang menggabungkan kesatuan dan keberagaman yang mengantar New Criticism
pada penggunaan yang terbiasa dalam mengkritik istilah-istilah seperti
'ambiguitas', 'paradoks', 'kompleksitas sikap', dan khususnya 'ironi'. Menurut New
Criticism, makna karya sastra bukanlah makna denotasi tapi makna konotasi,
karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sains atau bahasa pada umumnya.
Bahasa sastra tidak menunjuk langsung, tapi mengandaikan. Pengandaian ini
membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Oleh karena itu,
makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Kecenderungan adanya ambiguitas
makna ini membuat karya sastra berada pada ketegangan-ketegangan.
Ketegangan-ketegangan ini menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. sikap
dari karya sastra, juga melahirkan ironi. Secara umum, paradoks dapat dipahami
sebagai gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta
yang ada. Paradoks ini menghadirkan gambaran kompleksitas
Dalam ironi, segala sesuatunya
bermakna berlawanan dengan makna sesungguhnya. Ironi ini banyak bentuknya, ada
ironi verbal yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan
apa yang dimaksud sesungguhnya. Ada ironi dramatik yang merupakan lawan atau
kebalikan dari apa yang diketahui tokoh dalam satu karya sastra dan apa yang
diketahui oleh pembaca. Dan yang terakhir ada ironi situasi yang merupakan
lawan atau kebalikan antara harapan atau prasangka dan hasil dari harapan atau
prasangka tersebut. Untuk menciptakan ambiguitas, paradoks, ironi dan
kompleksitas sikap tersebut, karya sastra, menurut New Criticism,
senantiasa menggunakan bahasa kiasan, baik apakah itu berupa metafora, yang
merupakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya tanpa penggunaan
kata pembanding, ataupun simile, yang merupakan pembadingan antara objek satu
dengan lainnya dengan menggunakan kata-kata pembanding. Keberadaan bahasa
kiasan ini pula yang membuat makna dari satu karya sastra senantiasa bersifat
konotasi bukan denotasi.
Melihat kerja dari New Criticism
tersebut, maka tidak mengherankan apabila New Criticism menganggap bahwa
dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat.
Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna.
Karena itu, bagi New Criticism, adalah penting untuk mencari makna dari
satu karya sastra sebab dengan menemukan makna dari satu karya sastra, bentuk
dari satu karya sastra tersebut juga dapat dikenali (Darma, 2004; Bertens,
Jausz, 1977; Brooks, Caller, 1975).
Berdasarkan uraian di atas,
diperjelas oleh Darma (2004) mengenai cara kerja New Criticism, karena banyaknya pemikir dan praktisi New
Criticism dan di antara mereka pasti ada silang pendapat, pada hakikatnya
cara kerja mereka sama, yaitu
1. Close reading,
yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail, kalau perlu baris
demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai ke akar-kara katanya. Tanpa close reading, bagian-bagian kecil puisi
mungkin akan terlepas dari pengamatan, padahal semua bagian sekecil apa pun,
akan merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari sebuah puisi. Begitu
sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan tidak mempunyai fungsi,
maka mutu estetika puisi ini tidak
mungkin dijamin.
2. Empiris, yakni
pendekatan analisis pada observasi bukan pada teori. Tokoh-tokoh New Criticism tidak pernah menyatakan bahwa New Criticism
adalah sebuah teori sastra, namun karena New Criticism mempunyai cara
kerja sistematis sebagaimana halnya
teori-teori sastra lain, maka New Criticism mau tidak mau diakui sebagai
sebuah teori sastra. Dalam sejarah teori dan kritik sastra, New Criticism
selalu menempati urutan pertama.
3. Otonomi, karya
sastra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak tergantung pada
unsur-unsur lain termasuk kepada penyair/penulisnya sendiri. Kajian sastra
adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak bergantung pada
kajian-kajian lain, seperti sejarah, filsafat, biografi, psikologi, dan
sebagainya.
4. Concreteness, apabila
karya sastra dibaca, maka karya sastra menjadi concrete atau hidup.
5. Bentuk (form). Titik berat kajian New Criticism adalah bentuk karya sastra, yaitu
keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata), imagery (metaphor,
simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks, ironi, dan sebagainya. Bagi New
Criticism bentuk karya sastra menentukan isi karya sastra.
Karena bentuk memegang peran penting, maka
titik berat perhatian New Criticism adalah konotasi, bukan denotasi.
Maka denotasi kursi misalnya, adalah kursi, sedang makna konotatifnya
mungkin kedudukan atau kekuasaan.
Kata-kata rebutan kursi, misalnya, mungkin mempunyai makna rebutan
kedudukan atau kekuasaan, dan sama sekali bukan rebutan tempat
duduk.
Konotasi, dengan
demikian, memberi ruang kepada metapor, simbol, dan lain-lain di luar makna
harfiah sebuah kata, rangkaian kata, atau kalimat. Kata glut, dengan makna denotatif rakus, dapat mempunyai makna lain
sesuai dengan konteksnya. Puisi, memang tidak lain adalah sebuah dunia
metafora.
6.
Diksi
(pilihan kata), wafat, mangkat, meninggal, mati, pada hakikatnya mempunyai makna
sama, namun mana kata yang akan dipilih oleh penyair/penulis tergantung dari
penyair atau penulisnya sendiri.
7.
Tone
(nada), yakni
sikap penyair, penulis, narrator, atau lirik terhadap (a) diri sendiri, (b)
diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c) diri sendiri
terhadap lawan bicaranya.
Kalimat
apakah benar ayah Saudara kemarin
meninggal? menunjukkan bahwa pembicaranya tidak menganggap dirinya lebih
tinggi daripada yang diajak bicara, dan ayah yang diajak bicara. Kalau kalimat
ini diganti menjadi apa betul ayahmu
kemarin mampus? akan tanpak bahwa pembicara merasa lebih tinggi
kedudukannya dibanding yang diajak berbicara dan ayah yang diajak bicara.
Makna
harfiah dua kalimat ini sebetulnya sama, namun karena diksi atau pilihan
katanya berbeda, maka nadanya juga berbeda. Dari diksi tampak bahwa konotasi
lebih penting daripada denotasi. Dengan adanya
pilihan kata yang berbeda, cara berbicaranya pun tentu berbeda.
8. Metafor,
yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa penggunaan kata-kata
penggunaan kata-kata seperti, bagaikan, dan
semacamnya. Hamidah adalah bunga mawar
(Hamidah bukan bunga mawar, namun cantik dan anggun bagaikan bunga mawar).
9. Simile, yakni
perbandingan objek atau dengan objek
lain dengan penggunaan kata-kata seperti,
bagaiman, dan hal yang semacamnya. (Hamidah cantik bagaikan bunga mawar).
10. Onomatopea atau peniruan bunyi (Terdengar ketepak-ketepak langkah
kaki kuda).
11. Paradoks,
lawan atau kebalikan Sesautu, antara lain dapat dipergunakan untuk menyindir.
Kalau seseorang naik taksi dan taksinya terlalu cepat si penumpang dapat
berkata kepada sopir: Alangkah baiknya
apabila lebih cepat lagi, dengan maksud kurangi
laju taksi. Di sini juga tampak bahwa konotasi lebih penting daripada
denotasi.
Namun
paradok tidak selamanya untuk menyindir, sebagaimana yang tampak pada kata-kata
Juliet dalam drama tragedi William Shakespeare, Romeo and Juliet, ketika ia berjumpa dengan Romeo untuk pertama
kali:
Karena para santo punya
tangan yang para peziarah menyentuhnya
Dan
telapak tangan terhadap telapak tangan adalah ciuman sakral telapak-telapan
tangan.
Kehadiran
paradoks ini tidak terasa langsung tetapi menjadi jelas manakala konteks
kata-kata itu disimak. Juliet bertemu dengan Romeo untuk pertama kali dalam
suatu masquerade (pesta dansa
topeng). Semua hadirin menggunakan pakaian yang serba tertutup, sementar
wajahnya menggunakan topeng sehingga satu sama lain tidak saling mengenal.
Sentuhan pertama antara Juliet dan Romeo adalah sentuhan antara telapak tangan
dan telapak tangan.
Dalam
pertemuan itu mereka belum saling mengenal dan belum saling tahu wajah
masing-masing, Juliet menganalogikakan sentuhan telapak tangan dengan para
peziarah suci dalam perjalanan mereka ke Tanah Suci. Ada nuansa samar-samar
bahwa sentuhan-sentuhan telapak tangan mereka yang sebenarnya suci pada
hakikatnya mengotori kesucian. Antara suci
dengan mengotori kesucian itulah
letak paradox, yang kemudian akan berlanjut pada pertumpahan darah dan balas
dendam.
Dua
abad setelah William Shakespeare menulis kata-kata yang diucapkan Juliet,
suasana paradoks pada kata-kata itu menjadi lebih jelas ketika seorang
pengarang Aldous Huxley, menulis novel The
Brave New World (Dunia baru yang berani). Dengan cerdik Huxley
menggambarkan sentuhan telapak tangan Juliet dan Romeo bagaikan sentuhan
binatang dalam novelnya, dengan diam-diam
berkeringat, telapak tangan ke telapak tangan. Baik dalam novel ini maupun
dalam hubungan antara Juliet dan Romeo sebagai salah satu sumber inspirasi
novel ini, terasa bahwa sentuhan-sentuhan Juliet dan Romeo yang sebetulnya suci
bagaikan para santo di Tanah Suci, ternyata lebih dicemari dengan nafsu
kebinatangan.
Paradoks
yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya menimbulkan gema pada
pikiran penyair atau pengarang lain. Ada paradoks William Shakespere yang dua
abad kemudian masuk dengan versi berbeda dalam puisi Caleridge, penyair
Romantik pada abad ke-19:
Maka mereka mencintai
sebagaimana halnya saudara kembar
Punya patisari namun
tak lain hanyalah atu
Dua berbeda, pembagian
tak ada
Angka-angka di sana
dibunuh dengan cinta.
Paradoks terletak pada makna cinta
dan kebencian, cinta yang berakhir pada nafsu saling berbunuhan. Sebagaimana
halnya dengan kata-kata Juliet di atas,
paradoks dalam sajak Coleridge juga amat samar. Maka paradoks ini tidak lepas
dari kisah-kisah Kitab Suci mengenai Abel dan Kain, dua saudara kandung yang,
kendati tidak kembar, seharusnya saling mencintai, namun ternyata terlibat
dalam pembunuhan.
Kadang-kadang paradoks juga tampak
seperti moto, kendati maknanya mungkin bukan moto, sebagaimana yang tampak
dalam puisi John Donne “Kanonisasi”: dia
yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu, dan
yang terakhir akan menjadi yang pertama.
12.
Ironi
segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna yang berlawanan dengan makna
sesungguhnya atau makna denotasi. Ironi terdiri atas ironi verbal, ironi
dramatik, dan ironi situasi.
(a) Ironi verbal,
lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan
sesungguhnya. Kalimat wah, kamu cantik
sekali sebetulnya merupakan alat untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya,
yaitu kamu buruk rupa. Ironi ini
dinamakan ironi verbal karena pembicara hanya mempergunakan kata-kata tertentu
untuk menyampaikan maksud yang sesungguhnya. Dengan sendiriya ironi verbal ini,
ada hubungannya dengan diksi, yaitu pilihan kata dari buruk rupa digati dengan cantik.
Diksi tertentu menunjukkan pula tone
atau nada, yaitu sikap pembicara terhadap yang diajak berbicara. Dengan adanya
nada tertentu, nada berbicara pembicara juga terpengaruh.
(b)
Ironi
dramatic: lawan atau kebalikan apa yang tidak
diketahui tokoh dalam sebuah karya sastra, drama, atau film dan apa yang
diketahui oleh pembaca atau penonton. Dengan kata lain, pembaca atau penonton
tahu, namun tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu. Sebagai misal,
penjahat dalam film menuju ke utara dengan membawa senapan karena dia yakin
polisi ada di utara sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi ada di
selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia.
Dalam
prosa, contoh klasik dramatik ironi tampak jelas dalam novel Jane Austen, Emma . Kegemaran Emma seorang gadis yang
sudah hampir terlambat menikah, tidak lain adalah menjodoh-jodohkan orang lain.
Orang-orang yang sudah tua pun, yang sebetulnya tampak sudah tidak layak untuk
menikah, dia menjodoh-jodohkan pula dengan semangat.
Bukan
hanya itu. Dia juga sangat bersemangat dalam mengatur upacara-upacara pengantin
seolah-olah tidak ada orang lain selain dia yang sanggup mengerjakannya.
Demikianlah, dia selalu berlagak sebagai orang yang paling tahu mengenai
pengantin dan orang yang paling memunyai hak untuk menentukan masa depan
kehidupan orang lain melalui pernikahan.
Pembaca
akhirnya tahu, sementara dia sendiri tidak tahu, bahwa dengan jalan
menjodoh-jodohkan orang lain pada hakikatnya dia sendiri ingin mendapatka jodoh
mengapa dia menjodoh-jodohkan orang-orang tua, tidak lain karena dia sendiri
akhirnya jatuh cinta pada seorang laki-laki yang jauh lebih tua daripada
dirinya. Lagi, dia tidak tahu, namun pembaca tahu.
(c)
Ironi situasi:
lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan
atau perasangka itu. Seorang mahasiswa misalnya, merasa sangat senang karena
dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia
mempunyai keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus
tidak lain merupakan harapan. Namun ketika pegumuman hasil ujian keluar,
ternyata dia tidak lulus, kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan
harapannya.
Kritik baru, dengan demikian, mulai
diperkenalkan pada tahun 1930-an dan menjadi berpengaruh kuat di Eropa Barat
dan Amerika Serikat hingga tahun 1950-an. Semula New Criticism merupakan gerakan kritik yang melawan pendekatan
sastra historik biografik serta kritik impresionistik. Para penganut new criticism menganggap ilmu dan
teknologi menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dari masyarakat dan
menjadikanya berat sebelah, ilmu sains tidak memadai dalam hal mencerminkan
kehidupan manusia. Sastra mengungkapakan situasi kehidupan manusia yang lebih
sempurna. Sebab, sastra merupakan pengetahuann yang berdasar pada pengalaman.
Tugas kritik adalah “mengetahui dan memerlihatkan serta memelihara kekhasan,
keunikan, dan kelengkapan karya sastra”.
New Criticism menganalisi karya sastra dari segi susunan dan organisasi sebuah
karya sastra yang dapat memerlihatkan makna sesungguhanya. Karya sastra
merupakan suatu kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetik yang pada
saat penyelesaianya meninggalkan syarat-syarat subjektif (maksud pengarang).New criticism menentukan ciri-ciri
sastra yang baik dengan adanya paradoks dan ironi .
2. Kritik Merlyn
Merlyn (nama majalah di Belanda
1962-1966 dan nama itu sebenarnya nama seorang resi dari legenda Raja Athur)
menjadi terkenal karena menafsirkan puisi dan novel-novel Belanda seara ergosenrtrik.Pendekatan
yang dilakukan Merlyn mewakili pendekatan yang memusatkan perhatian hanya pada
karya sastra itu sendiri dalam menafsirkan suatu karya sastra. Kelompok ini
tidak banyak menaruh perhatian secara sistematis bagi komunikasi sastra, dan penafsiran
terhadap karya sastra pertama-tama harus didasarkan atas data yang terdapat di dalam karya itu
sendiri. Yang mereka tuntut ialah
otonomi karya sastra dan yang dituntut ialah situasi membaca bukan
situasi menulis.
Merlyn memerhatikan ciri-ciri yang khas bagi
sastra. Yang menjadi sasaran kritikus ialah analisa kesastraan lalu dengan
bertumpu pada analisa itu, kemudian memberikan penilaian, dan yang menjadi
kreteria dalam penilaian itu ialah kesatuan karya, sejauh mana kerangka
fiksinal dipertahankan secara konsekuen, serta konsistensi dalam komposisi,
gaya, dan psikologi.
Untuk menilai konsistensi psikologi,
maka yang menjadi persoalan bukanlah apakah sesuatu secara psikologi masuk
akal, melainkan apakah perwatakan yang lebih dipilih ada konsistensi.
Bagi kelompok Merlyn sebuah karya sastra didekati dengan tepat apabila kita
memergunakan analisis struktural. Menurut definisi mereka, struktural ialah
cara yang unik segala aspek bentuk dan isi kait mengait. Kebertautan yang unik
itu dapat kita temukan dengan mengadakan close
reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat, “bahwa
setiap bagian teks menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga
kait-mengait secara logika.
Efek sebuah karya sastra ditentukan
oleh apa yang dapat diperbuat seorang pembaca dengan teks itu. Bagi seorang
pembaca sebuah karya sastra penting bila “ketegangannya sendiri, termasuk
masalah-masalah yang hidup dalam kesadarannya, ditampakkan dalam karya itu, di
dalam situasi yang buat situasi si pembaca, tetapi yang dapat dihayatinya”.
Berikut contoh analisis yang dilakukan dengan kritik
Merlyn. Pada puisi Balada Nabi Nuh”
karya Taufiq Ismail.
Balada
Nabi Nuh
Gemuruh
air jadi lautan
Gemuruh
dunia yang tenggelam
Gemuruh
air jadi lautan
Gemuruh
dunia yang tenggelam
Wahai
kaum yang nestapa
Wahai
anakku yang malang
Wahai
kaum yang nestapa
Wahai
anakku yang malang
Oooh
Nabi Nuh
(Taufiq
Ismail Balada Nabi-Nabi, Gema Nada Pertiwi)
Judul sajak di atas ’Balada Nabi
Nuh’ kata balada berarti sajak , cerita, kisah sederhana yang mengkisahkan
cerita rakyat, bersifat romantis, mengharukan dalam bentuk nyanyian. Tradisi
balada barat berpola rima a-b a-b. Nabi Nuh adalah nama nabi ketiga setelah
Adam dan Idris yang tercatat dalam kitab perjanjian lama dan Alquran.
”gemuruh air jadi lautan ” memeresentasikan keadaan datangnya banjir dahsyat yang membuat alam menderu.”gemuruh dunia yang tenggelam” karena besarnya air yang datang maka permukaan bumi tenggelam di iringi deru air, gaduh , hiruk-pikuk, jerit tangis manusia saat itu.”tenggelam” berati karam ’terbenam air tidak terlihat, hilang bentuk. Sebuah gambaran yang seram bahwa bumi dan manusia diliputi air. ”wahai kaum yang nestapa ” sang narator menyapa, berseru, kepada suku, kaum, umat Nabi Nuh. ”Wahai anakku yang malang” seruan ini untuk anak yang malang, anak yang tidak penurut anak yang membangkan ajakan orang tuanya hingga membuat dirinya celaka akibat perbuatanya sendiri yang tidak memercayai ajakan orang tuanaya. Hingga akhirnya iapun tenggelam bersama orang-orang yang tidak memercayai kata-kata sang Nabi. ”oooh Nabi Nuh ” kehadiran nabi Nuh dalam sajak ini memberikan presentasi yang mewakili Nabi-Nabi di antaranya ialah dirinya sendiri dalan sejarah kehancuran umat manusia karena ditenggelamkan dalam air yang begitu dahsyat.
”gemuruh air jadi lautan ” memeresentasikan keadaan datangnya banjir dahsyat yang membuat alam menderu.”gemuruh dunia yang tenggelam” karena besarnya air yang datang maka permukaan bumi tenggelam di iringi deru air, gaduh , hiruk-pikuk, jerit tangis manusia saat itu.”tenggelam” berati karam ’terbenam air tidak terlihat, hilang bentuk. Sebuah gambaran yang seram bahwa bumi dan manusia diliputi air. ”wahai kaum yang nestapa ” sang narator menyapa, berseru, kepada suku, kaum, umat Nabi Nuh. ”Wahai anakku yang malang” seruan ini untuk anak yang malang, anak yang tidak penurut anak yang membangkan ajakan orang tuanya hingga membuat dirinya celaka akibat perbuatanya sendiri yang tidak memercayai ajakan orang tuanaya. Hingga akhirnya iapun tenggelam bersama orang-orang yang tidak memercayai kata-kata sang Nabi. ”oooh Nabi Nuh ” kehadiran nabi Nuh dalam sajak ini memberikan presentasi yang mewakili Nabi-Nabi di antaranya ialah dirinya sendiri dalan sejarah kehancuran umat manusia karena ditenggelamkan dalam air yang begitu dahsyat.
3. Nouvelle Critique
Aliran Nouvelle Critique berkembang di perancis pada tahun 1960-an. Para
kritikus penganut aliran ini di ataranya adalah Roland Barthes. Aliran ini
memiliki perhatian terhadap struktur teks, kesanggupan memperjelas titik tolak
pada struktur teks dan memperluas pandangan dari luar teks sehingga dapat
melihat nilai kesejarahanya. Aliran ini beranggapan kritikus adalah subjek yang
menambah nilai-nilai sendiri sambil membaca karya sastra tertentu. Sebuah karya sastra mengandung sifat ambigu, terbuka
bagi penafsir untuk menafsirkan makna pertama dan kedua. Ketika kritikus menganalisis karya sastra secara
implisit mereka telah menentukan hasil analisisnya. Sikap subjektif itu tidak mengenyampingkan metode
kritis dan objektifnya karena mendasarkan pada struktur teks karya sastra. Atas
dasar itu, maka aliran ini menyebut dirinya kaum strukturalistik.
Kaum strukturalis akhirnya menyadari bahwa suatu teks tidak dapat ditafsirkan secara tuntas dalam arti yang sesungguhnya dapat diungkapkan. Ketaksaan bahasa yang menyebabkan dapat diinterpretasikan kembali teks itu dalam tulisan-tulisan baru atau disadur dalam karya-karya baru dari teks –teks yang pernah ada. Misal puisi”Pokok Kayu” dan ”Balada Nabi Nuh” yang ditulis kembali dari Al quran atau dapat juga dari kitab-kitab perjanjian lama.
Kaum strukturalis akhirnya menyadari bahwa suatu teks tidak dapat ditafsirkan secara tuntas dalam arti yang sesungguhnya dapat diungkapkan. Ketaksaan bahasa yang menyebabkan dapat diinterpretasikan kembali teks itu dalam tulisan-tulisan baru atau disadur dalam karya-karya baru dari teks –teks yang pernah ada. Misal puisi”Pokok Kayu” dan ”Balada Nabi Nuh” yang ditulis kembali dari Al quran atau dapat juga dari kitab-kitab perjanjian lama.
Oleh karena itu, para penganut Nouvelle Critique biarpun berbeda-beda
dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis selalu ingin menunjukkan struktur-struktur. Dalam sebuah struktur
kelihatan tata susunan serta keberkaitan intern. Bagian-bagian baru memperoleh
arti kalau dipandang dari keseluruhan, dan keseluruhan baru dapat dimengerti
kalau kita memperhatikan bagian-bagiannya. Bila kita membaca sebuah teks, maka
bagian-bagiannya kita tafsirkan secara lokal dan sementara saja; suatu
pengartian yang lebih lengkap baru terjadi bila kita menafsirkannya dalam
lingkara-lingkaran konteks yang makin luas. Ucapan seorang
tokoh dalam sebuah tragedi hendaknya ditempatkan dulu dalam konteks adegan,
kemudian dalam konteks babak, lalu dalam konteks seluruh tragedi; tragedi yang
tertentu itu kemudian kita tempatkan dalam konteks semua tragadi yang ditulis
oleh pengarang yang bersangkutan dan akhirnya dalam visi manusia yang
terus-menerus berkembang.
Nouvelle
Critique , menamakan diri strukturakistik.
Penjabaran kongkret megenai konsep struktur pada umumnya, bersangkut dengan
kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Menurut Barthes, kritik
menciptakan arti-arti sedangkan ilmu sastra melukiskan berdasarkan penalaran
mana arti-ari itu dihasilkan.
Struktur sebuah teks sudah
dipatrikan di atas kertas baru menjadi jelas dan baru dirasakan oleh
pertanyaa-pertanyaan yang diajukan oleh kritikus. Dengan membaca teks yang sama
dengan cara-cara yang berbeda-beda, kelihatan struktur yang berlainan pula.
Teks yang sama dapat didekati oleh seorang ahli sosiologi, seorang
psikoanalitikus, seorang linguis, dan seorang peneliti gaya bahasa dari hasil
penelitian mereka berbeda-beda. Setiap pendekatan menampilkan struktur-struktur
yang berbeda-beda, dan menafsirkan karya itu berbeda pula. Sebagai contoh,
ambillah misalnya penafsiran terhadap karya Racine, penarang tragedi Perancis
abad ke-17; Mauron, seorang ahli ilmu jiwa menemukan keberkaitan dan garis
perkembangan dalam tragedi-tregedi Racine dengan mengelompokkan tokoh-tokohnya
menurut kriterium agresivitas (nafsu untuk menyerag). Dengan demikian ia
menemukan dua rangkaian tokoh “para pemburu” yang bersenjata, serta mereka
“yang diburu” yang tidak bersenjata atau dengan sia-sia disenjatakan.
Dalam pendekatan Barth ditekankan
tiga kaitan; kaitan kekuasaan, persaingan, dan cinta. Bagi Goldman, seorang
marxis, arti pokok dalam karya Racine harus didekati secara sosiologik;
struktur karya Racine hendaknya dimengerti dari situasi religiusnya, sebagai
seorang penganut aliran-aliran Jansenis yang bertumpu pada hubungan-hubungan
ekonomis dan sosial tertentu.
Berthes membedakan karya yang dapat
dibaca dari karya yang dapat ditulis. Sebuah karya yang dapat dibaca, misalnya
sebuah novel realistik, pada umumnya akan kita baca dengan sebelah nafas dari
awal sampai akhir. Kita ingin tahu bagaimana tamatnya, pemecahannya. Berlawanan
dengan membaca sebuah teks”yang dapat dibaca” secara horizontal adalah membaca
sebuah teks “yang dapat ditulis” secara “vertikal”. Teks yang dapat ditulis
dengan sedemikian rupa, sehingga mengajak kita untuk menulisya kembali,
memeroduksinya kembali. Karena tidak jelas, maka terbukalah kesempatan, bahkan
keharusan untuk menganalisa teks itu kata demi kata dan kalimat demi kalimat.
Dengan begitu kita menghasilkan arti-arti baru.
Beberapa dalil dari kelompok Nouvelle Critique menimbulkan
masalah-masalah yang dapat dipertanyakan kebenarannya. Diskripsi mereka
mengenai proses interpretasi, cara bagian dan keseluruhan saling menentukan,
sebetulnya berbau filsafat dan tidak begitu saja dapat dibuktikan. Hal ini juga
berlaku bagi pendapat-pendapat yang serupa dari aliran-aliran hermeneutik
lainnya. Dalil bahwa segala sesuatu mempunyai arti dapat menghasilkan suatu
penafsiran yang dibuat-buat mengenai detil-detil di dalam modul penelitian yang
kita pilih. Kegemaran mereka bagi “teks-teks yang dapat ditulis” mengakibatkan
kita tidak lagi secara polos dapat menilai sebuah teks realistik. Tetapi Nouvelle Critique sangat berjasa karena
mereka telah membuka subjektivitas seorang kritikus, mereka memerlihatkan bahwa
sebuah penafsiran juga tergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
mengenai teks yang bersangkutan.
4.
Poststrukturalisme atau Dekonstruksi
Poststrukturalisme dikenal sejak 1960-an di
Amerika Serikat tokohnya adalah Paul de Man dan J Hillis Millier, secara tegas
menolak pandangan new criticism, mereka ingin mendekonstrusikan teks, lalu
merekonstruksi sebuah teks baru. Mereka berpendapat:
1.
Teks tidaklah mencerminkan kenyataan, tetapi teks membangun kenyataan. Bahasa tidak menghadirkan kenyataan (latar, peristiwa
atau kejadian, dan perbuatan tokoh), tetapi bentuk-bentuk bahasa menghadirkan
peristiwa, dan perbuatan tokoh hanya dalam angan-angan pengarang.
2. Sebuah teks merupakan tenunan yang
tersusun dari berbagai utas benang. Apabila kita hanya mengikuti satu utas
benang, kita mendapat kesimpulan yang keliru. Tetapi juga , apabila kita
mengikuti berbagai utas benang maka kita juga tidak dapat menentukan arti yang
definitif. Kritik menuju ke arah ”apora” tidak mengetahui arti secara pasti apa
jalan keluarnya akhirnya membingungkan pembaca. Sebagai contoh dari puisi
”pokok kayu”dapat ditemukan adanya kemampuan imajinasi pengarang dalam
menentukan kata-kata yang dipakai untuk memberi gambaran secara eksplisit
maupun implisit terhadap pembaca. Dari kata-kata yang dirangkai, pengarang
membayangkan adanya alam yang masih terpelihara, nyaman ditinggali, alami yang
belum banyak tersentuh tangan-tangan jahil manusia, kemudian ia membayangkan
lagi alam yang mulai tersentuh kekerasan pikiran manusia untuk memeroleh
manfaat darinya sehingga mereka menebang kayu-kayu secara liar, dengan
kapak-kapak yang memang menjadi alat penebang pepohonan pada jaman dahulu. Pengarang
kembali membayangkan hewan-hewan merasa susah dan marah akibat dari penebangan
yang dilakukan manusia mereka benar-benar terusik, ini juga sebagi singgungan
terhadap manusia lain yang sebenarnya tidak setuju terhadap perilaku manusia
pada alam, kemudian pengarang menghubungkan imajinasinya dengan keadaan Nabi Nuh
yang pada waktu itu sedang bertapa atau dalam keadaan sepi dan kondisi fisik
yang tua.
Dengan
begitu, yang menjadi sasaran dekonstruksi ialah memerhatikan sejauh mana
seorang pengarang mempergnakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi
bentuk kepada suatu versi tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertektualitas, mencari bekas
teks-teks lain. Seorang kritikus yang mengikuti paham dekonstruksi menguraikan
struktur-struktur retorika yang dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari
teks-teks yang dulu pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan
lalu berusaha agar teks yang sudah dibongkar itu disusun sebuah teks baru.
Tugas terpenting seorang dekonstruksionis ialah terus-menerus melacak kembali
bekas-bekas lama itu.
Sementara
itu, aliran dekonstruksionalisme mengatakan bahwa mereka didukung oleh suatu
filsafat tertentu serta sebuah pandangan mengenai bahasa. Di dalam praktek
kritik kaum dekonstruksionis cukup mengacaukan. Ada banyak peluang bagi
spekulasi subjektif dan dengan terus-menerus melacak bekas-bekas teks lama,
maka setiap bentuk asosiasi dapat mereka pergunakan. Lama kelamaan
bentuk kritik ini sangat terkait akan pengetahuan dan pribadi kritikus.
B.
Penafsiran dalam Ilmu Sastra
1. Resepsi dan Penafsiran
Luxemburg,
dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra
membedakan penerimaan (resepsi) sebuah teks sastra dari penafsiran
(interpretasi). Setiap reaksi dari pembaca terhadap sebuah teks, entah itu
reaksi langsung maupun yang tidak langsung merupakan penerimaan. Oleh pembaca
teks yang merupakan bahan bacaan, dijadikan teks yang kongkret selaras dengan pengertian dari pengalaman serta
penghayatannya. Laporan mengenai proses itu oleh Luxemburg menamai laporan penerimaan. Sebagai contoh
catatan yang kita buat dalam buku harian mengenai sebuah buku yang baru kita
baca atau resensi dalam surat kabar.
Adapun penafsiran adalah bentuk khusus mengenai laporan
penerimaan, sama seperti dalam proses penerimaan biasa, maka pembaca yang
menafsirkan mengartikan sebuah teks,
tetapi tafsiran-tafsiran selalu disusun secara sistematik. Selain itu, penafsir
berusaha untuk mengartikan teks itu secara tepat atau memadai. Perbedaan antara
sebuah penafsiran dan suatu laporan penerimaan biasanya bersifat nisbi. Yang
penting ialah kadar sistematikanya dan sejauh mana laporan pengartian yang
memadai itu kita anggap penting; tentu saja ini bersifat nisbi. Resensi sebuah
buku dalam surat kabar biasanya kita namakan
laporan penerimaan, sedangkan
sebuah resensi dalam sebuah majalah sastra bersifat penafsiran.
2.
Jenis-jenis Penafsiran
Dalam buku Pengantar
Ilmu Sastra, Luxemburg membedakan enam jenis pokok penafsiran, sebagaimana
berikut ini.
a. Penafsiran
yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks itu sendiri sudah jelas. Menurut
pandangan ini, maka syarat-syarat dan susunan teks membuka kesempatan bagi
seorang pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat.
b. Penafsiran
yang berusaha untuk menyusun kembali historic.
Dalam pendekatan ini si juru tafsir dapat berpedoman pada maksud- si pengarang
seperti nampak dari teks sendiri atau dari data di luar teks. Selain itu usaha
penafsiran dapat dilakukan dengan menyusun kembali “cakrawala harapan” para
pembaca pada waktu itu.
c. Penafsiran
hermeneutikan baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memeradukan
masa silam dan masa kini. Si juru tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah
suatu arus sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran; cara ia
mengartikan teks turut dihasilkan oleh tradisi. Selain itu, si juru tafsir
ditentukan pula oleh individualitasnya dan masyarakatnya. Penafsiran terjadi
sambil “meleburkan cakrawala masa silam dan masa kini”. Yang mejadi sasaran
terakhir ialah agar si juru tafsir memahami teksnya dan menerapkan teks “yang
baku dan lepas dari keterikatan waktu” pada situasinya sendiri.
d. Tafiran-tafsiran
yang dengan sadar disusun dengan bertitik
tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Ini sering dilakukan dengan
pretense bahwa kita dapat menunjukkan arti teks yang pokok.
e. Tafsiran-tafsiran
yang bertitik pangkal pada suatu problematik tertentu, misalnya permasalahan
psikologi atau sosiologi. Dengan demikian, terjadi penfsiran bagian: bukan
kebenaran yang ingin ditampilkan, melainkan sahnya suatu penafsiran pada suatu
bidang terbatas.
f. Tafsiran-tafsiran
yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sebuah teks diartikan,
melainkan hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam
teks, sehingga pembaca sendiri yang menafsirkannya. Pendekatan yang berakibat
pada pembaca disebut estetik resepsi.
Pengarang memergunakan sarana-sarana struktural, retorika, dan stelistik, tetapi
ada juga bidang-bidang yang dibiarkannya “kosong” mengaktifkan pembaca.
Tafisiarn estetik resepsi bertujuan menunjukkan di mana dan bagaimana teks
memaksa pembaca untuk bersikap aktif, agar teks itu dapat ditafsirkan sebagai
teks pembaca sendiri. Sementara itu pula, sering ditunjukkan di mana teks
membatasi kebebasan pembaca dalam menafsirkan.
3. Tahap-tahap dalam Penafsiran
Bila
kita ingin menafsirkan teks-teks kuno atau teks-teks dari suatu lingkungan
kebudayaan yang asing bagi kita, maka pertama-tama yang harus dilakukan
penafsiran filologik. Bila teks yang
bersangkutan tidak utuh lagi, atau bila ada versi-versi yang berbeda-beda, maka
penafsiran filologik ingin menyusun kembali teks yang asli. Selain itu seorang
filolog menerangkan juga unsur-unsur yang tidak jelas, akibat tahap
perkembangan bahasa, atau yang bersangkutan dengan latar belakang hisorik.
Tentu saja, kalau teks yang dihadapinya sangat tidak lengkap, maka pandangan
dan penafsiran subjektif sang penyunting turut berperan.
Menurut Lexemburg secara skematik ada empat tahap bila
juru tafsir ingin menyampaikan suatu ungkapan mengenai arti teks yang memadai
atau sah, yang dalam praktik sering
tumpang tindih: (1) menentukan arti langsung yang primer, (2) bila perlu
menjelaskan arti-arti implisit, (3) menentukan tema, (4) bila perlu memerjelas
arti-arti simbolik dalam teks.
Berbagai teks sastra menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
bila kita ingin menentukan arti primernya, sekalipun kita mengerti teks itu
kata demi kata. Banyak teks sastra bersifat ambigu (bermuka dua), dapat
diartikan dengan berbagai cara dan meminta dari pembaca keaktifan sendiri.
Teks-teks itu mengandung sejumlah unsur arti implisit yang oleh pembaca atau
juru tafsir dieksplisitkan. Bila kita berjumpa dengan sebuah metafora,
sintaksis yang menyimpang atau semantik yang lain, terjadilah keharusan untuk
memerjelas hal itu. Keharusan itu timbul pada bagian-bagian dari teks itu,
tetapi bila kita ingin menyusun kembali artinya yang menyeluruh. Arti yang
menyeluruh itu dapat kita lacak dengan memelajari ekuivalensi dalam sebuah teks
sastra.
Kesatuan semantik yang kita andaikan dalam sebuah teks
dinamakan tema yang meresepsi sebuah
karya. Dengan istilah tersebut kita maksudkan ide atau perbuatan yang dapat
dipakai sebagai ringkasan terpendek mengenai sebuah teks.
Selain arti implisit dan tematik kadang-kadang masih dapat
dijabarkan menjadi arti simbolik. Pencarian arti simbolik kita jumpai misalnya
dalam tafsir alegorik tentang Alkitab. Membaca sebuah teks secara alegorik
terjadi bila juru tafsir secara konsekuen membaca seluruh teks atau
bagian-bagian besar menurut arti kiasan. Di samping pengertian simbolik teks
tentu saja dapat diartikan secara harfiah. Seorang kritikus pernah menafsirkan Dua Wanita sebagai laporan mengenai
hubungan antara ayah dan anak perempuannya; seorang kritikus lain melihat dalam
novel itu pergulatan antara cinta dan rohani dan cinta duniawi. Penafsiran
simbolik dengan begitu, memerlihatkan perbedaan-perbedaan bagi masing-masing
pembaca atau kritikus. Penafsiran simbolik merupakan sesuatu yang sangat
pribadi sifatnya, lebih daripada proses-proses dalam tahap-tahap yang telah
dijelaskan.
C. Pendekatan Dilihat dari Praktik Kritiknya
Dilihat
dari bagimana kritikus melakukan kritikannya, menurut Abrams (1981) pendekatan
ini dapat digolongkan menjadi (1) kritik penghakiman dan (2) kritik
impresionistik. Untuk jelasnya kedua kritik tersebut dapat dilihat pada uraian
berikut ini.
1. Kritik Penghakiman
Kritik
penghakiman (judicial criticism)
ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan menerangkan
efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya,
serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar
umum tentang kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra. Contoh kritik
penghakiman dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Membaca baris permulaan roman singkat Hamidah barangkali orang akan
menyangka, inilah satu di antara pengarang sebelum perang yang menulis dengan
teknik lain. Tetapi ternyata setelah kita lanjutkan membaca beberapa kalimat,
teknik penulisannya seperti pada umumnya karya-karya masa itu: merupakan garis
lurus dari awal sampai akhir. Hanya pengarang menggunakan kalimat-kalimat yang
boleh menjadi kalimat akhir cerita sebagai pembuka cerita.
Plot lurus seperti ini, tanpak kecakapan pengarang akan mengundang
kelemahan-kelemahan, di antaranya faktor rasa ingin tahu pembaca kurang
terpusat karena datar dan kelurusan komposisi. Ditambah pula dengan
dimasukkannya hal-hal yang tidak perlu sehingga merusak kesatuan. Rupanya apa yang
dialami pengarang dijejalkan begitu saja tanpa mengingat nilai rasanya. Tanpa
adanya pendalaman apakah sesuatu perlu dimasukkan dalam komposisi, akan
menjadikan kesatuan rusak atau tidak wajar. Digresi atau penyimpangan serupa
itu memang sering kita temui pada karya-karya sezamannya.
Penyakit menceritakan hal-hal yang tak perlu semakin melenyap seirama
dengan menanjaknya halaman. Tetapi sekaligus telah pula menimbulkan bahaya
lain, karena tampaknya pengarang ingin cepat-cepat menyelesaikan cerita. Dalam
buku 72 halaman ini, 32 halaman bagian depan belum terisi apa-apa, baru setelah
menginjak bab III halaman 35 mulai dengan isi yang agak padat. Kemudian inti
buka hanya terletak pada bab IV, yaitu pada halaman 48 sampai tamat. Karenanya
tidak mengherankan kalau bab IV terlalu padat, seolah hanya garis besar, sebab
banyak hal yang masih harus diuraikan secara lebih luas. Bab IV ini menurut
hemat saya berisi empat bab sekaligus pada halaman 64 mestinya ganti bab, juga
halaman 66, demikian pula halaman 70.
Dengan gaya penceritaan yang kurang menarik, pengarang menyuguhkan kepada
kita peristiwa yang meloncat-loncat: menceritakan keluarganya, sekolahnya,
perjalanannya pulang setelah ia lulus dari sekolah Normal Putri, menanti
pengangkatan, bertemu Ridhan, datang pengangkatan, mendirikan perkumpulan,
pindah ke Palembang, kehilangan Ridhan. Kepulangannya ke Muntok membawa udara
baru: bertemu kasih dengan Idrus, kasih yang keabadiannya segera terancam karena
tiba-tiba ayahnya meninggal dunia dan ia mesti ikut saudaranya ke Jakarta.
Saudaranya yang tidak senang pada Idrus menahan surat Idrus yang dialamatkan
kepada Hamidah. Di sinilah peristiwa yang bersangkut-paut mulai bergerak untuk
mengubah nasib Hamidah, hendak melepaskan diri dari belitan yang dengan rapi
diatur saudaranya, ialah dengan menulis surat kepada Idrus. Dengan tidak adanya
balasan dari Idrus, keadaan mulai memuncak. Keadaaan itu tidak segera ditarik
pada klimaks. Klimaksnya baru tercapai setelah 10 tahun Hamidah hidup bersama
Rusli: perceraiannya dengan suaminya. Suami yang dengan susah payah berhasil ia
cintai itu telah berbahagia dengan anak dan istri mudanya. Hidup sendiri itulah
akhir cerita.
Kelainan Hamidah dari pengarang sezamannya adalah pemakaian gaya aku, namun
sayang tidak dikembangkan secara lebih jauh dalam teknik. Hal itu juga ternyata
menyeret penampilan perwatakan, terutama dalam menampilkan tokoh-tokoh lain
dalam cerita tidak hidup, sebab semuanya hanya diceritakan melalui tokoh utama.
Melihat kedataran dan kelurusan komposisi, kemungkinan besar pemakaian tersebut
disebabkan cerita itu merupakan pengalamannya sendiri. Tampaknya Hamidah
bercerita persis seperti apa adanya, tanpa imajinasi yang mampu mengangkat
karya itu.
Kegagalam teknik itu ternyata juga menyeret kegagalan setting yang tak mampu menciptakan ketegangan dan kerahasiaan
cerita. Lingkungan dan kenangan di asrama Sekolah Normal Putri di Padang
Panjang tidak diceritakan dengan alasan: tidak dapat kukatakan di sini. Karena
itu tiba-tiba cerita melompat setelah ada kabar lulus. Cerita perjalanan pulang
hanya sepintas tapi lengkap. Meskipun yang diceritakan itu seharusnya menarik,
tetapi karena kepolosan gayanya menjadi tak begitu menarik (Prihatmi, 1977).
Contoh di atas
memperjelas bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap novel Kehilangan Mestika, karya Hamidah
pengarang wanita pada masa Balai Pustaka. Prihatmi menggunakan pendekatan
penghakiman dalam praktik analisis strukturalnya, menerangkan bagaimana
organisasi novel tersebut, dengan mendasarkan pertimbangan individualnya atas
dasar standar-standar umum dalam karya sastra. Misalnya ” Dalam buku 72 halaman
ini, 32 halaman bagian depan belum terisi apa-apa, baru setelah menginjak bab
III halaman 35 mulai dengan isi yang agak padat. Kemudian inti buka hanya
terletak pada bab IV, yaitu pada halaman 48 sampai tamat”. Oleh karena itu,
Prihatmi kemudian menjatuhkan penilaian bab IV terlalu padat, hanya garis
besar, sehingga banyak hal yang belum diuraikan.
Prihatmi
juga menilai bagaimana gaya penceritaan Hamidah dalam novel itu. Tulisnya gaya
penceritaannya kurang menarik, peristiwanya meloncat-loncat. Juga menilai plot
berdasarkan standar sastra. Plot lurus yang dipergunakan menurut penilaiannya
lemah karena datar dan kelurusan komposisi plotnya. Penggunaan sudut pandang
akuan juga dikomentari karena tidak mengembangkan secara lebih jauh dalam
teknik. Kelemahan lain yang dilihatnya tampak juga dalam menampilkan
tokoh-tokoh lain yang terasa tidak hidup.
Prihatmi
dengan demikian, menilai bahwa novel Hamidah hanya memiliki bobot hampir cukup.
Sementara kelebihan novel tersebut adalah dalam hal penyelaman psikologis dan
mengharukan dari novel ini mampu menutup kelemahannya yang lain.
2. Kritik Impresionistik
Kritik
impresionistik ialah kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata
atau sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya
sastra, kemudian mengekspresikan tanggapan-tanggapannya (impresinya) yang
diakibatkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Dengan demikian, kritik
impresionistik adalah kritik sastra yang meninjau karya sastra berdasarkan
kesan-kesan pokok yang ditangkap oleh kritikus atas karya sastra yang
dikritiknya. Contoh kritik impresionistik`dapat dilihat berikut ini.
Membaca novel Pabrik bagaikan
menangkap bajing genit. Berjingkat-jingkat membikin mangkel, melejit, meluncur
deras dan mengejutkan, lalu lenggang kangkung sambil mengobral khayal. Kalau
konsentrasi tidak dipegang kencang bisa jadi buku itu ditutup sebelum rampung.
Namun bila kita telah terhanyut, semacam penyakit ingin segera tahu duduk
persoalannya, sungguh menyiksa jantung kita.
Hemat saya, salah satu kekuatan Putu Wijaya dalam setiap novel dan dramanya
adalah kebolehannya menyimpan misteri salah satu tokohnya. Orang Jawa bilang
”diincrit-incrit” sampai menggemaskan, baru disusul terungkapnya rahasia di
luar dugaan pembaca.
Tokoh Maret dalam novel ini, sejak awal kisah (hlm, 5) dipenuhi kabut
misteri. Ia seorang gadis cantik, ”mengandung, gila, dan sakit-sakitan”. Tirai
baru terkuat setelah pembaca menahan nafas sampai pada halaman 115 (lima
halaman menjelang kisah ini berakhir), lewat tokoh ”calon penyair yang gagal”
yang menjabat sebagai direktur muda bernama Joni Tirtoatmojo.
Pembaca juga dibuat penasaran dengan tokoh bernama Mat Jegug, si raksasa
berbadan gempal, dan berani memasukkan tangannya ke bawah selimut dan meraba ke
bagian perut Maret (hlm, 20), lalu berpelukan di tempat yang gelap. Tentu saja
membuat kalang-kabutnya tokoh Dargo yang telah mencintai Maret dalam sekali
pandang (hlm, 8). Lewat pengakuan Joni, ternyata Mat Jegug adalah pengasuh,
anak gelap sang direktur Tirtoatmojo.
Pendeknya dengan membaca novel ini, kita dapat membaca manusia dengan
karakter yang bermacam-macam, yang penuh dengan berbagai macam konflik dengan
latar belakang tunggal, sebuah pabrik yang dibangun di atas tanah milik
manusia-manusia kecil yang tidak berdaya akibat sedotan si cukong Tirtoatmojo.
Kita juga dapat mengetahui bagaimana Tirtoatmojo merangkul penguasa
bagaimana sikapnya terhadap bawahan, sampai antipatinya Tirtoatmojo terhadap
Joni anaknya sendiri calon tunggal pemilik pabrik.
Simpati pembaca bisa juga tertuju kepada Susi (simpanan gelap sang
direktur) yang sampai tua tidak kunjung memeroleh surat perkawinan sah yang
memungkinkannya memeroleh warisan.
Dalam novel ini, tidak satu pun tokoh yang dibiarkan tanpa mengalami
konflik batin dan memiliki masalah. Namun dengan rapihnya Putu Wijaya menjalin
dari sepuluh orang tokoh dalam novel ini sehingga menjadi sebuah kisah yang
menarik dan mengesankan (Rahmanto, 1998).
Demikianlah
contoh kritik impresionistik yang hanya bersifat tinjauan karya sastra secara
selintas berdasarkan kesan-kesan pokok yang ditangkap oleh penulisnya. Kritik
ini biasanya dimuat dalam surat kabar,
atau majalah-majalah, baik umum maupun khusus. Kritik semacam ini biasanya
disebut sebagai timbangan buku (resensi buku).
D. Pendekatan Dilihat dari Sifat dan Asalnya
Dilihat
dari sifat dan asal kritikusnya pendekatan ini dapat dikategorisasikan menjadi
(1) kritik akademik dan (2) kritik nonakademik. Untuk lebih jelasnya kedua
kritik tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini.
1. Kritik Akademik
Kritik
akademik sering disebut sebagai kritik ilmiah, dan dilakukan oleh para ahli
sastra yang pada umumnya sarjana sastra lulusan perguruan tinggi, dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah.
Menurut
Pradopo (1994) kritik akademik dan kritik non-akademik memiliki ciri-ciri
sehingga dapat dibedakan antara keduanya. Untuk lebih jelasnya ciri kritik
akademik dapat dilihat uraian berikut ini.
a. Kritikus
ilmiah (kritikus akademik) adalah para ahli sastra lulusan perguruan tinggi
yang biasanya bekerja sebagai dosen di fakultas sastra, para peneliti di LIPI,
para peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Balai Peneliti
Bahasa.
b. Kritik
ilmiah berupa skripsi, tesis, disertasi, makalah ilmiah, pidato ilmiah dan
penelitian ilmiah, yang semuanya itu berupa pembahasan karya sastra yang
konkret dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
c. Kritik akademik
menggunakan teknik penulisan ilmiah tertentu, dengan memergunakan buku petunjuk
tertentu dalam hal penomoran bab-bab, pembuatan catatan, penunjukan referensi,
sampai dengan penulisan buku, nama pengarang, dan pembuatan daftar pustaka.
d. Kritik
ilmiah memergunakan sistimatika ilmiah, misalnya dalam penyusunan urutan
bab,sub-bab, dan fasal-fasal secara berjenjang.
e. Dalam
kritik ilmiah, teori dan metode sastra yang menjadi analisis dinyatakan secara
tersurat, dan diuraikan dengan jelas.
f. Kritik
ilmiah memergunakan penunjukan referensi secara akurat mengenai: pengarang,
nama buku, tahun terbit, penerbitnya, sampai pada halamannya dinyatakan dengan
tepat.
g. Pada
umumnya kritik ilmiah berorientasi sastra secara objektif, memusatkan
perhatiannya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisis struktural
dalamnya. Apabila kritik ilmiah dengan menggunakan pendekatan mimetik,
pragmatik, atau ekspresif, maka syarat-syarat keilmiahannya pun harus dipenuhi.
h. Metode
kritik ilmiah adalah metode deduktif dan induktif.
i.
Kritik ilmiah memergunakan bahasa Indonesia yang
baku.
Langkah-langkah
yang dilakukan dalam rangka membuat kritik ilmiah terhadap suatu karya sastra,
juga memergunakan metode ilmiah seperti misalnya, (1) Pendahuluan yang berisi:
latar belakang, fokus penelitain, tujuan
penelitian, manfaat penelitian: manfaat teoritis dan manfaat praktis. (2) Kajian pustaka yang berisi: penelitian
sebelumnya dan teori-teori yang relevan dengan fokus penelitian. (3) Metode
penelitia yang berisi: pendekatan penelitian, objek penelitian (data dan sumber
data), teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemeriksaan
keabsahan data. (4) Simpulan dan saran (Azis, 2011).
2. Kritik Non-akademik
Kritik
non-akademik sering pula disebut kritik non-ilmiah, ditulis oleh sebagian besar
sastrawan atau wartawan dengan tidak menggunakan teori atau metode ilmiah.
Kritik ini sering dipandang sebagai kritik yang tidak ilmiah mirip dengan kritik impresionistik, ciri-ciri dan
sifat-sifatnya sebagian besar merupakan kebalikan dari kritik ilmiah. Adapun
ciri-ciri kritik non-akademik dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a. Kritik
non-akademik biasanya ditulis oleh wartawan, atau para pakar lain yang berminat
pada sastra tetapi tidak menggeluti bidang teori sastra secara suntuk.
b. Bentuk kritikannya
berupa resensi buku, artikel, esei-esei yang dimuat dalam surat kabar atau
majalah, buletin, dan tabloid. Ada pula yang berupa kumpulan esei kritik yang
pada umumnya telah disiarkan lewat surat kabar atau majalah.
c. Kritik ini
tidak menggunakan teknik penulisan ilmiah.
d. Menggunakan
sistematika, tetapi bukan yang ilmiah.
e. Kritik
jenis ini tidak secara tersurat menggunakan teori sastra tertentu, dan
tidak perlu menjabarkan segalanya
menjadi eksplisit.
f. Tidak
menunjukkan referensi secara akurat, cukup menunjukkan buku tanpa perlu
menyebukkan penerbit, tahun, dan halaman berapa.
g. Pada
umumnya kritik ini berorientasi ekspresif, pusat perhatiannya pada
sastrawannya: perasaannya, pikiran, dan riwat hidup yang tercermin dalam karya
sastra yang dikritik.
h. Pada umumnya
tujuannya bersifat impresionistik, hanya hal-hal pokok saja yang dikemukakan.
Tidak ada analisis secara mimetik.
i.
Tidak menggunakan daftar pustaka, dan bahasa yang
digunakannya tidak harus seluruhnya bahasa baku.
1 komentar:
Your Affiliate Money Printing Machine is waiting -
Plus, getting it running is as easy as 1--2--3!
Here are the steps to make it work...
STEP 1. Tell the system which affiliate products the system will advertise
STEP 2. Add PUSH BUTTON traffic (this LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. Watch the system explode your list and sell your affiliate products all by itself!
Are you ready???
Click here to check it out
Posting Komentar