Jumat, Oktober 10, 2014

Mengapa Disebut Puisi

Hakikat Puisi

Mengapa Disebut Puisi

Hakikat puisi bukan  terletak pada bentuk formalnya, meskipun itu penting, tetapi hakikat puisi yalah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Hakikat puisi menurut Pradopo (2005) terdiri atas (a) fungsi estetis, (b) kepadatan, dan (c) ekspresi tidak langsung. Berikut akan diuraikan masing-masing hakikat tersebut

  1. Fungsi Estetik

Puisi adalah karya seni sastra. Rene Wellek mengemukakan bahwa paling baik kita memandang keseusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetiknya dominan, tanpa fungsi itu karya tidak dapat disebut karya (seni) sastra. Unsur keindahan itu merupakan unsur kepuitisannya, misalnya persajakan, diksi, irama, dan gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan semua pengguna bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetiknya atau aspek kepuitisannya. Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu itu.

Contoh fungsi estetik


Terima Salamku


Terima salammu, o tuan, yang mengeluh
Di bawah beban penderitaan
Yang dirawan percintaan
Tidak ‘da badai yang tidak akhirnya teduh
Terima cintaku, o tuan, yang mencari
Bahagian dengan mengembara
Di dunia sebatang kara
Tidak ‘da malam yang tidak diganti hari
(Sanusi Pane).

Fungsi estetik sajak di atas adalah aspek gaya bunyinya, yaitu kombinasi aliterasi, asonansi, dan sajak akhir. Penggunaan  aspek gaya bunyi menimbulkan kemerduan dan irama, yang menyebabkan sajak liris, yaitu menimbulkan  ekspresivitas berupa cirahan perasaan.
Perhatikan bait pertama, baris kedua dan ketiga ada asonansi: a dikombinasi aliterasi n ( di bawah beban pendeeritaan/yang dirawan percintaan,) pola sajak akhirnya: a-b-b-a: mengeluh-penderitaan-percintaan-teduh dan c-d-d-c: mencari-mengembara- kara-hari
Perulangan kalimat, baris pertama dan keempat bait pertama yang merupakan paralelisme dengan baris pertama dan keempat bait kedua, dengan arti yang sama, bentuk bervariasi.


Terima salamku, o tuan, yang mengeluh
Tidak /da badai yang tidak akhirnya teduh

Terima cintaku o tuan, yang mencari
Tidak ‘da malam yang tidak diganti hari.

 

 


Rendez-Vous


Dalam sajak ditulis segala rindu
Dalam sajak bertatapan engkau dan aku
Dalam sajak kita bertemu
Dalam sajak kita adalah satu

Karena sajak melambaikan harapan-harapan baru
Karena sajak adalah kaki langit yang memanggil selalu
Karena sajak adalah dunia di mana kita bertemu
Karena sajak adalah kita punya rendez-vous

Sajak di atas tampak adalah ulangan-ulangan kalimat yang berupa paralelisme, yang merupakan aspek fungsi estetiknya. Rendez-Vous adalah tempat pertemuan yang disepakati. Aslinya istilah ketentaraan, tempat bertemu setelah penyerangan terhadap musuh.
Sajak tersebut merupakan pertemuan kemanusiaan yang saling mencintai sesama. Ulangan kalimat berupa paralelisme dan dikombinasikan dengan  ulangan bunyi berturut-turur berupa pola sajak  awal dan sajak akhir serta anaphora (ulangan kata utuh di awal baris) menyebabkan liris, mengintensifkan, perasaan saling mencintai antara sesama itu.

2.      Kepadatan


Dalam menulis puisi tidak semua perisiwa diceritakan. Yang dikemukakan hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti cerita. Karena  puisi itu mampat, padat, maka penyair memilih kata yang akurat. Untuk pemadatan, kadang-kadang kata hanya diambil inti dasarnya. Imbuhan, awalan, dan akhiran sering dihilangkan. Diperhatikan contoh berikut:

 

Selamat Tinggal


Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah ….!!

Segala menebal segala mengental
Segala tak kukenal….!!
Selamat tinggal….!! (Chairil Anwar).

Sajak tersebut hanya dikemukakan inti  masalahnya, hanya esensi masalahnya. Dengan demikian hubungan antar-kalimatnya bersifat implisit, tidak dinyatakan secara jelas dan merenik. Siapa punya? Kata mempunyai dihilangkang awalan dan akhirannya menjadi punya. Kata -kata yang tak perlu dihilangkan hanya secara sugesti saja dikemukakan. Misalnya kudengar seru menderu. Mestinya: kudengar suara seru menderu. Bahkan kalimat sering dihilangkan (aku berkaca ini muka penuh luka siapa punya?)
Si aku yang tidak pernah berkaca, bercermin, ketika berkaca terkejut melihat mukanya sendiri penuh luka. Hubungannya implisit dan ada kalimat yang dihilangkan. Kalau  puisi tersebut dieksplisitnya, akan tampak, Aku berkaca (sesudah itu aku terkejut dan bertanya) siapakah yang mempunyai  muka yang penuh luka ini? Dengan ekplisitnya itu menjadi jelas tetapi hilang kepuitisannya, hilang kepadatannya, hilang iramanya.
Berkaca  arti kiasannya berintrospeksi, melihat keadaan dirinya sendiri. Luka  adalah kiasan untuk cacat. Kalau dieksplisitkan, sajak itu dapat diparafrasekan akan tampak, aku berkaca (setelah itu aku terkejuit dan bertanya) siapakah yang mempunyai muka yang penuh luka ini? (Kemudian) aku mendengar (suara) yang seru menderu (apakah suara itu dari) dalam hatiku? Apakah hanya (suara) angin lalu (saja)? (Kemudian aku mendengar) lagu lain pula (yang) menggelepar (di) tengah malam buta (mendengar semua suara dan lagu itu, aku hanya bisa mengeluh) ah ….!! (kemudian) segala (suara itu) menebal, segala (lagu itu) mengental! Segala (nya) tak kukenal! (Oleh karena itu, aku hanya bisa mengucap) selamat tinggal…..!

3.       Eksperesi yang  tidak Langsung


Ekspresi yang tidak langsun ditandai oleh penggantian arti, penyimpangan atau pemencongan arti, dan penciptaan arti. Untuk lebih jelasnya uraian diperhatikan berikut ini 
  1. Penggantian arti

Penggantian arti,  disebabkan oleh metafora dan metonimi yang adalah salah satu bahasa kiasan. Akan tetapi, yang dimaksudkan metafora di sini adalah bahasa kiasan pada umumnya. Bahasa kiasan itu merupakan ucapan yang tidak langsung. Bahasa kiasan terdiri atas: perumpamaan, metafora, personifikasi, antonimi, sinekdoki, perumpamaan, alegori.
Perumpamaan mengiaskan sesuatu dengan kata pembanding, seperti sebagai, bak, seumpama. Bahasa kias dipergunakan untuk membuat gambaran menjadi jelas.
Contoh Perumpamaan

Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa
Rambutnya merah tergerai
Bagai berkas benang-benang rayon warna emas
Dan kakinya sempurna
Singsat dan licin
Bagaikan ikan salmon (Rendra, 1976).

            Metafora, adalah  bahasa kiasan yang menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding. Dengan demikian, yang dibandingkan dengan pembandingnya sudah menjadi satu seperti dalam sajak berikut.




Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang pengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau ditukarnya pula
Aku boneka engkau boneka
Penyenag dalang mengarah sajak (Amir Hamzah).

Boneka adalah betul-betul boneka untuk menghibur dalang, jadi mereka tidak dipersamakan atau dibandingkan saja. Yang dimaksud dalang adalah Tuhan yang mengatur hidup manusia. Aku boneka  disebut metafora eksplisit sedangkan dalang disebut implisit. Dalam metafora eskplisit pembanding dengan yang dibandingkan disebutkan. Metafora implisit hanya membandingkan saja yang disebutkan
Metonimi (kiasan pengganti nama) sebagaimana contoh puisi berikut ini.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada suara sayup
Hanya kata merangkai hati (Amir Hamzah)

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa di puncak tursina (Amir Hamzah).
Amir Hamzah menyebut Tuhan atau mengganti nama Tuhan dengan kekasih untuk merasakan kedekatannya dengan Tuhan yang disamakan dengan manusia (kekasih).

b. Penyimpangan Arti


Penyimpangan arti, biasa pula disebut  pemoncongan arti yang disebabkan oleh ambiguitas, paradoks, ironi, dan nonsense. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut ini.
Ambiguitas adalah ketaksaan, yaitu kata yang punya arti lebih dari satu atau dapat ditafsirkan artinya lebih dari satu atau banyak arti. Ambigu dapat berupa kata, frase, misalnya puisi berikut ini


Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing (Chairil Anwar).

Hilang bentuk ini taksa (ambigu) berati banyak: sangat sedih, menderita, hidupnya tanpa harapan, putus asa. Remuk hidup si aku hancur luluh, tidak tergambarkan lagi, penderitaanya sampai ke puncak. Aku mengembara ke negeri asing artinya bingung tidak tahu jalan.

            Paradoks, menyatakan sesuatu secara berlawanan, tampaknya tidak benar tetapi bila dipikirkan sungguh-sungguh apa yang dinyatakan itu benar. Misalnya awal dari akhir, akhir adalah awal .tampaknya mustahil bila dipikirkan memang demikian; awal kehidupan yang baru itu merupakan akhir kehidupan lama. Diperhatikan berikut ini.

 

Pusat


Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku tanpa bicara (Bactiar, 1962).

 

Hidup tetapi terbaring mati adalah paradoks. Tampaknya mustahil tetapi bila dipikirkan memang benar, yaitu hidup yang tanpa ada kemajuan,  penuh pendereritaan penuh kekurangan, tanpa kemajuan, tanpa kebahagiaan dari dahulu hingga sekarang itu adalah hidup yang terbaring mati. Paradoks gunanya untuk membuat pembaca berpikir, supaya memikirirkan hidup yang berlawanan.

  Ironi, adalah menyatakan sesuatu secara berbalikan artinya, gunanya untuk menyindir, mengejek. Keadaan yang berbalikan itu juga ironi. contoh

Sebuah Kamar


Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
aku salah satu”!

Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang terselip di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu bapakku, karena mereka berada di luar hitungan: kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa! (Chairil Anwar).

Sajak itu mnggambarkan keadaan yang ironis, yaitu keluarga si aku yang hidup menderita, hidup dalam kamar sempit 3 x 4 m, hal ini menandakan kemiskinan si aku. Kamar sempit dihuni oleh tujuh orang: ayah, ibu dan lima anak (bait 1). Akan tetapi, dalam keadaan menderita itu si aku minta adik lagi karena mereka tidak memerhitungkan kamar itu. Itulah keadaan ironis di Indonesia, penduduknya sudah padat, tetapi penduduknya makin bertambah tanpa KB (ditulis tahun 47 KB baru ada di Indonesia 70).
Kamar si aku dikiaskan sebagai penjara yang ramai banyak penghuninya, tetapi sepi selalu karena tidak ada apa-apanya sebab terlalu miskinnya keluarga si aku. Ayah si aku hanya bisa merenung nasibnya, tidak bisa berbuat apa-apa, seperti orang yang terselip di batu.

            Nonsense, adalah kata-lata yang tidak memiliki arti dalam kamus, tetapi  ada makna dalam puisi. Gunanya untuk menciptakan suasana yang magis, untuk memengaruhi dunia gaib atau tujuan lain misalnya untuk humor.

Berikut penggalan sajak amuk nonsense dimaksudkan untuk mendekatkan diri atau menyatakan diri dengan Tuhan.
pot    pot     pot
                         pot  pot   pot
kalu pot tak mau pot
                                                biar pot semua pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
                                kau dengar kucing memanggilMu
                                izukalizu
mapakazaba                        itasatali
                                tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukusangga   zegezegeze    zukusang
ga zegezegeze zukusangga zegezegeze zu
kusangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu (Bachri, 1981).

        c. Penciptaan Arti


Penciptaan arti, adalah pengorganisasin ruang teks untuk menciptakan arti. Secara linguitik itu tidak ada artinya, seperti: sajak akhir, enyambemen, tifografi homologue. Penciptaan arti  dalam puisi menimbulkan arti atau makna, seperti: keindahan, penyangatan,  pernyataan, atau makna yang lain.
Enyambemen itu perloncatan baris, baris kalimat yang belum selesai diputus, gunanya untuk memberi perhatian atau ketegangan kata akhir dalam baris itu atau kata pertama dalam baris berikutnya.
Tipografi, tata huruf dibuat berliku-liku, kelok-kelok jalan yang berbahaya, seperti puisi Sutardji berikut ini
Tragedi Winka & Sihka

                kawin
                         kawin
                                      kawin
                                                   kawin
                                                                kawin
                                                                ka
                                                                       win
                                                                ka
                                   win
                       ka
      win
ka
   winka, . .  . dst

            Puisi di atas, pada dasarnya tidak memiliki makna, namun disugestikan oleh tifografinya, Pradopo (2005), misalnya menafsirkan makna puisi tersebut sebagai gambaran sebuah kehidupan perkawinan (rumah tangga) yang mengalami liku-liku, dan pada akhirnya berakhir tragis pada perpisahan.
            Sajak tersebut hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’ yang dipotong-potong menjadi suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Pada awalnya kata kawin masih penuh. Kawin memberi konotasi begitu indahnya perkawinan. Orang yang hendak kawin pasti berangan-angan  yang indah bahwa sesudah kawin akan hidup bahagia, ada suami atau ada istri, dan kemudian akan ada anak, hidup akan bahagia dengan kasih sayang, anak, istri, suami. Tetapi, melalui perjalanan waktu kata kawin terpotong menjadi ka  dan win, artinya tidak penuh lagi.
            Dalam perkawinan harus ada nafkah, ada kewajiban, ada anak yang harus dibiayai, bahkan sering terjadi pertengkaran suami-istri, harus membiayai makan, pakaian, dan sekolah  anak- anak. Ternyata perkawinan itu tidak seperti yang diharapkan penuh dengan kebahagiaan, segala berjalan lancar, tetapi penuh kesukaran. Terbalik artinya, kawin jadi winka, kasih pun terpotong-potong menjadi  ka dan sih, yang kehilangan artinya menjadi ; sih- sih- sih- sih- sih saja, bahkan mungkin istri atau suami menyeleweng, terjadilah tragedi winka & sihka, pembalikan dari angan-angan kawin dan kasih, yang pada mulanya diangankan akan penuh kebahagiaan.
Homologue , adakah persajakan baris-baris, mengisyaratkan arti yang sejajar.


Contoh

berakit-rakit ke hulu

berenang-renang ke tepian

bersakit-sakit dahulu


 
bersenang-senang ke tepian

Baris pertama berhomologue dengan baris ketiga  baris kedua berhomologue dengan baris keempat. Sampiran tersebut (1-2) menyatakan makna isinya (3-4).



Tidak ada komentar: