Hakikat Puisi
Mengapa Disebut Puisi
Hakikat puisi bukan terletak pada bentuk formalnya, meskipun itu
penting, tetapi hakikat puisi yalah apa yang menyebabkan puisi itu disebut
puisi. Hakikat puisi menurut Pradopo (2005) terdiri atas (a) fungsi estetis,
(b) kepadatan, dan (c) ekspresi tidak langsung. Berikut akan diuraikan masing-masing hakikat
tersebut
- Fungsi Estetik
Puisi adalah karya seni sastra. Rene Wellek
mengemukakan bahwa paling baik kita memandang keseusastraan sebagai karya yang
di dalamnya fungsi estetiknya dominan, tanpa fungsi itu karya tidak dapat
disebut karya (seni) sastra. Unsur keindahan itu merupakan unsur kepuitisannya,
misalnya persajakan, diksi, irama, dan gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan semua pengguna bahasa secara
khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetiknya atau aspek
kepuitisannya. Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek bahasa, yaitu
bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipergunakan secara khusus untuk
mendapatkan efek tertentu itu.
Contoh fungsi estetik
Terima Salamku
Terima salammu, o tuan, yang mengeluh
Di bawah beban penderitaan
Yang dirawan percintaan
Tidak ‘da badai yang tidak akhirnya teduh
Terima cintaku, o tuan, yang mencari
Bahagian dengan mengembara
Di dunia sebatang kara
Tidak ‘da malam yang tidak diganti hari
(Sanusi
Pane).
Fungsi estetik sajak di atas
adalah aspek gaya bunyinya, yaitu kombinasi aliterasi, asonansi, dan sajak
akhir. Penggunaan aspek gaya bunyi
menimbulkan kemerduan dan irama, yang menyebabkan sajak liris, yaitu
menimbulkan ekspresivitas berupa cirahan
perasaan.
Perhatikan bait pertama, baris
kedua dan ketiga ada asonansi: a dikombinasi aliterasi n ( di
bawah beban pendeeritaan/yang dirawan percintaan,) pola sajak akhirnya:
a-b-b-a: mengeluh-penderitaan-percintaan-teduh dan c-d-d-c: mencari-mengembara-
kara-hari
Perulangan kalimat, baris
pertama dan keempat bait pertama yang merupakan paralelisme dengan baris
pertama dan keempat bait kedua, dengan arti yang sama, bentuk bervariasi.
Terima salamku, o tuan, yang mengeluh
Tidak /da badai yang tidak
akhirnya teduh
Terima cintaku o tuan, yang
mencari
Tidak ‘da malam yang tidak
diganti hari.
Rendez-Vous
Dalam sajak ditulis segala rindu
Dalam sajak bertatapan engkau dan aku
Dalam sajak kita bertemu
Dalam sajak kita adalah satu
Karena sajak melambaikan harapan-harapan baru
Karena sajak adalah kaki langit yang memanggil
selalu
Karena sajak adalah dunia di mana kita bertemu
Karena sajak adalah kita punya rendez-vous
Sajak di atas tampak adalah
ulangan-ulangan kalimat yang berupa paralelisme, yang merupakan aspek fungsi
estetiknya. Rendez-Vous adalah tempat
pertemuan yang disepakati. Aslinya istilah ketentaraan, tempat bertemu setelah
penyerangan terhadap musuh.
Sajak tersebut merupakan
pertemuan kemanusiaan yang saling mencintai sesama. Ulangan kalimat berupa
paralelisme dan dikombinasikan dengan
ulangan bunyi berturut-turur berupa pola sajak awal dan sajak akhir serta anaphora (ulangan
kata utuh di awal baris) menyebabkan liris, mengintensifkan, perasaan saling
mencintai antara sesama itu.
2. Kepadatan
Dalam menulis puisi tidak semua perisiwa
diceritakan. Yang dikemukakan hanyalah inti masalah, peristiwa, atau inti
cerita. Karena puisi itu mampat, padat,
maka penyair memilih kata yang akurat. Untuk pemadatan, kadang-kadang kata hanya diambil inti dasarnya. Imbuhan,
awalan, dan akhiran sering dihilangkan. Diperhatikan contoh berikut:
Selamat Tinggal
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah ….!!
Segala menebal segala mengental
Segala tak kukenal….!!
Selamat tinggal….!! (Chairil Anwar).
Sajak tersebut hanya
dikemukakan inti masalahnya, hanya
esensi masalahnya. Dengan demikian hubungan antar-kalimatnya bersifat implisit,
tidak dinyatakan secara jelas dan merenik. Siapa punya? Kata mempunyai
dihilangkang awalan dan akhirannya menjadi punya. Kata -kata yang
tak perlu dihilangkan hanya secara sugesti saja dikemukakan. Misalnya kudengar
seru menderu. Mestinya: kudengar suara seru menderu. Bahkan kalimat
sering dihilangkan (aku berkaca ini muka penuh luka siapa punya?)
Si aku yang tidak pernah berkaca, bercermin,
ketika berkaca terkejut melihat mukanya sendiri penuh luka. Hubungannya
implisit dan ada kalimat yang dihilangkan. Kalau puisi tersebut dieksplisitnya, akan tampak, Aku berkaca (sesudah itu aku terkejut dan
bertanya) siapakah yang mempunyai muka
yang penuh luka ini? Dengan ekplisitnya itu menjadi jelas tetapi hilang
kepuitisannya, hilang kepadatannya, hilang iramanya.
Berkaca arti kiasannya berintrospeksi, melihat keadaan
dirinya sendiri. Luka adalah kiasan
untuk cacat. Kalau dieksplisitkan,
sajak itu dapat diparafrasekan akan tampak, aku berkaca (setelah itu aku terkejuit
dan bertanya) siapakah yang mempunyai muka yang penuh luka ini? (Kemudian) aku mendengar (suara) yang seru menderu (apakah suara itu
dari) dalam hatiku? Apakah hanya (suara) angin lalu (saja)? (Kemudian aku
mendengar) lagu lain pula (yang) menggelepar (di) tengah malam buta (mendengar semua suara dan lagu itu, aku hanya
bisa mengeluh) ah ….!! (kemudian) segala (suara itu) menebal, segala (lagu itu) mengental!
Segala (nya) tak kukenal! (Oleh
karena itu, aku hanya bisa mengucap) selamat
tinggal…..!
3. Eksperesi yang tidak Langsung
Ekspresi yang tidak langsun
ditandai oleh penggantian arti,
penyimpangan atau pemencongan arti, dan
penciptaan arti. Untuk lebih jelasnya uraian diperhatikan berikut ini
- Penggantian arti
Penggantian arti, disebabkan oleh metafora dan metonimi yang
adalah salah satu bahasa kiasan. Akan tetapi, yang dimaksudkan metafora di sini
adalah bahasa kiasan pada umumnya. Bahasa kiasan itu merupakan ucapan yang
tidak langsung. Bahasa kiasan terdiri atas: perumpamaan, metafora,
personifikasi, antonimi, sinekdoki, perumpamaan, alegori.
Perumpamaan mengiaskan sesuatu dengan kata pembanding,
seperti sebagai, bak, seumpama. Bahasa kias dipergunakan untuk membuat
gambaran menjadi jelas.
Contoh
Perumpamaan
Betsyku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa
Rambutnya merah tergerai
Bagai berkas
benang-benang rayon warna emas
Dan kakinya sempurna
Singsat dan licin
Bagaikan ikan salmon (Rendra, 1976).
Metafora, adalah bahasa kiasan yang menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding. Dengan demikian, yang dibandingkan dengan pembandingnya sudah menjadi satu seperti dalam sajak berikut.
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang pengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau ditukarnya pula
Aku boneka engkau boneka
Penyenag dalang mengarah sajak (Amir Hamzah).
Boneka adalah betul-betul boneka untuk menghibur dalang,
jadi mereka tidak dipersamakan atau dibandingkan saja. Yang dimaksud dalang
adalah Tuhan yang mengatur hidup manusia. Aku boneka disebut metafora eksplisit sedangkan dalang disebut implisit. Dalam
metafora eskplisit pembanding dengan yang dibandingkan disebutkan. Metafora implisit
hanya membandingkan saja yang disebutkan
Metonimi (kiasan
pengganti nama) sebagaimana contoh puisi berikut ini.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada suara sayup
Hanya kata merangkai hati (Amir Hamzah)
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa di
puncak tursina (Amir Hamzah).
Amir Hamzah menyebut Tuhan
atau mengganti nama Tuhan dengan kekasih untuk merasakan kedekatannya
dengan Tuhan yang disamakan dengan manusia (kekasih).
b. Penyimpangan Arti
Penyimpangan arti, biasa pula disebut pemoncongan arti yang disebabkan oleh ambiguitas, paradoks, ironi, dan nonsense. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat uraian berikut ini.
Ambiguitas adalah
ketaksaan, yaitu kata yang punya arti lebih dari satu atau dapat ditafsirkan
artinya lebih dari satu atau banyak arti. Ambigu dapat berupa kata, frase,
misalnya puisi berikut ini
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing (Chairil Anwar).
Hilang bentuk ini taksa (ambigu) berati banyak: sangat
sedih, menderita, hidupnya tanpa harapan, putus asa. Remuk hidup si aku
hancur luluh, tidak tergambarkan lagi, penderitaanya sampai ke puncak. Aku
mengembara ke negeri asing artinya bingung tidak tahu jalan.
Paradoks, menyatakan sesuatu secara berlawanan, tampaknya tidak benar tetapi bila dipikirkan sungguh-sungguh apa yang dinyatakan itu benar. Misalnya awal dari akhir, akhir adalah awal .tampaknya mustahil bila dipikirkan memang demikian; awal kehidupan yang baru itu merupakan akhir kehidupan lama. Diperhatikan berikut ini.
Pusat
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku tanpa bicara (Bactiar, 1962).
Hidup tetapi terbaring mati
adalah paradoks. Tampaknya mustahil tetapi bila dipikirkan memang benar, yaitu
hidup yang tanpa ada kemajuan, penuh
pendereritaan penuh kekurangan, tanpa kemajuan, tanpa kebahagiaan dari dahulu
hingga sekarang itu adalah hidup yang terbaring mati. Paradoks gunanya
untuk membuat pembaca berpikir, supaya memikirirkan hidup yang berlawanan.
Ironi, adalah menyatakan sesuatu secara berbalikan artinya, gunanya untuk menyindir, mengejek. Keadaan yang berbalikan itu juga ironi. contoh
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
aku salah satu”!
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang terselip di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu bapakku, karena mereka berada di luar
hitungan: kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
(Chairil Anwar).
Sajak itu mnggambarkan keadaan
yang ironis, yaitu keluarga si aku yang hidup menderita, hidup dalam kamar
sempit 3 x 4 m, hal ini menandakan kemiskinan si aku. Kamar sempit dihuni oleh
tujuh orang: ayah, ibu dan lima anak (bait 1). Akan tetapi, dalam keadaan
menderita itu si aku minta adik lagi karena mereka tidak memerhitungkan kamar
itu. Itulah keadaan ironis di Indonesia, penduduknya sudah padat, tetapi
penduduknya makin bertambah tanpa KB (ditulis tahun 47 KB baru ada di Indonesia
70).
Kamar si aku dikiaskan sebagai
penjara yang ramai banyak penghuninya, tetapi sepi selalu karena tidak ada
apa-apanya sebab terlalu miskinnya keluarga si aku. Ayah si aku hanya bisa
merenung nasibnya, tidak bisa berbuat apa-apa, seperti orang yang terselip di
batu.
Nonsense, adalah kata-lata yang tidak memiliki arti dalam kamus, tetapi ada makna dalam puisi. Gunanya untuk menciptakan suasana yang magis, untuk memengaruhi dunia gaib atau tujuan lain misalnya untuk humor.
Berikut penggalan sajak amuk nonsense
dimaksudkan untuk mendekatkan diri atau menyatakan diri dengan Tuhan.
pot
pot pot
pot pot
pot
kalu pot tak mau pot
biar
pot semua pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
kau
dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukusangga
zegezegeze zukusang
ga zegezegeze zukusangga zegezegeze zu
kusangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu (Bachri, 1981).
c. Penciptaan Arti
Penciptaan arti, adalah pengorganisasin ruang teks untuk menciptakan
arti. Secara linguitik itu tidak ada artinya, seperti: sajak akhir, enyambemen,
tifografi homologue. Penciptaan arti
dalam puisi menimbulkan arti atau makna, seperti: keindahan,
penyangatan, pernyataan, atau makna yang
lain.
Enyambemen itu perloncatan baris, baris kalimat yang belum selesai diputus,
gunanya untuk memberi perhatian atau ketegangan kata akhir dalam baris itu atau
kata pertama dalam baris berikutnya.
Tipografi, tata huruf dibuat berliku-liku, kelok-kelok
jalan yang berbahaya, seperti puisi Sutardji berikut ini
Tragedi
Winka & Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka, .
. . dst
Puisi di atas, pada
dasarnya tidak memiliki makna, namun disugestikan oleh tifografinya, Pradopo
(2005), misalnya menafsirkan makna puisi tersebut sebagai gambaran sebuah
kehidupan perkawinan (rumah tangga) yang mengalami liku-liku, dan pada akhirnya
berakhir tragis pada perpisahan.
Sajak tersebut
hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’ yang dipotong-potong menjadi
suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Pada awalnya
kata kawin masih penuh. Kawin memberi konotasi begitu indahnya perkawinan.
Orang yang hendak kawin pasti berangan-angan
yang indah bahwa sesudah kawin akan hidup bahagia, ada suami atau ada
istri, dan kemudian akan ada anak, hidup akan bahagia dengan kasih sayang,
anak, istri, suami. Tetapi, melalui perjalanan waktu kata kawin terpotong
menjadi ka dan win,
artinya tidak penuh lagi.
Dalam perkawinan
harus ada nafkah, ada kewajiban, ada anak yang harus dibiayai, bahkan sering
terjadi pertengkaran suami-istri, harus membiayai makan, pakaian, dan
sekolah anak- anak. Ternyata perkawinan
itu tidak seperti yang diharapkan penuh dengan kebahagiaan, segala berjalan
lancar, tetapi penuh kesukaran. Terbalik artinya, kawin jadi winka, kasih pun
terpotong-potong menjadi ka dan sih, yang kehilangan artinya menjadi ; sih- sih- sih- sih- sih
saja, bahkan mungkin istri atau suami menyeleweng, terjadilah tragedi winka
& sihka, pembalikan dari angan-angan kawin dan kasih, yang pada mulanya
diangankan akan penuh kebahagiaan.
Homologue , adakah persajakan baris-baris,
mengisyaratkan arti yang sejajar.
Contoh
berakit-rakit ke hulu
bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang ke tepian
Baris pertama berhomologue dengan baris ketiga baris kedua berhomologue dengan baris
keempat. Sampiran tersebut (1-2) menyatakan makna isinya (3-4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar