Jumat, Oktober 10, 2014

Puisi: Irama? Menelusuri Romantisme Puisi dalam Irama


Puisi: Irama?
Menelusuri Romantisme Puisi dalam Irama

Irama dalam puisi hampir sama dengan irama dalam musik, karena keduanya ditentukan oleh ukuran waktu atau tempo. Perbedaannya pada musik betul-betul bisa mandiri, dalam puisi ukuran tempo tergantung dari banyaknya bunyi suku kata, baik pada kata, frase, maupun kalimat dalam setiap baris.
            Irama masih erat berhubungan dengan pembicaraan bunyi. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus, gerak yang teratur itulah yang disebut irama (Pradopo, 2005).
            Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur. Irama ini tidak terbatas hanya pada kesusastraan saja, melainkan juga dalam seni rupa; lukis, patung, bangunan, dan sebagainya, lebih-lebih dalam seni musik (nyanyian). Bahkan semua yang teratur itu disebut irama atau berirama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), irama diartikan sebagai alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi. Pengertian  tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa dalam irama memiliki (1) perulangan bunyi, (2) pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek, (3) memiliki keteraturan. Ketiga  ciri tersebut membentuk bunyi merdu, indah, enak didengar dan dapat menimbulkan suasana tertentu.
Menurut Pradopo (2005) ada dua macam bentuk irama yakni retme dan metrum. Ritme ialah pengulangan bunyi baik pada kata, frase, maupun kalimat yang teratur, terus-menerus dan tidak putus-putus. Ritme  dibentuk dengan cara memertentangkan atau mengganti bunyi, tinggi-rendah, panjang-pendek, keras- lemah yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.
Tiap angkatan, penyair menurut Waluyo, masing-masing memiliki perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang membentuk irama itu. Pantun misalnya, pergantian bunyinya terasa jelas dan mengalir dengan teratur, seperti berikut ini.


Piring putih piring bersabun
disabun anak orang Cina
memutih bunga di dalam kebun
setangkai saja yang menggila

Pantun  di atas, pengulangan bunyi secara teratur terlihat secara jelas pada setiap dua kata di setiap baris, sehingga baris-baris sajak tampak terpotong menjadi dua. Sama halnya dengan syair, rima terlihat jelas pada setiap baris yang berupa pengulangan bunyi yang teratur, yaitu setiap dua kata dalam setiap baris dengan diberi selang satu baris. Contoh syair berikut ini.

Si Burung Pungguk

pungguk bangsawan hendak menitir
tidak diberi kakanda satir
Adinda jangan tuan bersyair
Jikalau tuan guruh dan petir.

Inilah taman orang bahari
Pungguk, wahai jangan tuan kemari
Bukannya tidak kakanda beri
Jikalau tuan digoda peri.

Warna senada masih terlihat pada puisi Pujangga Baru, berikut ini sajak Rustam Efendi

bukan beta bijak berperi
pandai mengubah madahan syair
bukan beta budak negeri
musti menurut undangan mair

saraf-saraf saya mungkiri
untai rangkaian seloka lama
beta buang beta singkiri
sebab laguku menurut sukma

susah sungguh saya sampaikan
degup-degupan di dalam kalbu
lemah lama lagu dengungan
matanya digamat rasain waktu.

Sering saya susah sesaat
Sebab mudahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan memang

Bukan beta bijak berperi
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alam.

Bait pertama, kedua, dan ketiga penentuan satuan bunyi yang diulang mirip dengan pantun dan syair, yaitu berupa dua kata pada setiap baris. Angkatan 45, dan priode berikutnya, ritme diciptakan secara kreatif oleh penyairnya. Caranya  dengan  meletakkan kata-kata yang akan diulang  dalam satu unit tertentu, dalam hal ini adalah baris, sehingga tidak terkesan memotong baris seperti yang ada dalam pantun atau syair.
     Dalam sajak Chairil, perulangan bunyi tersebut diekspresikan dalam bentuk baris dan pergantian pengulangan yang dibentuk dalam baris panjang dan pendek. Seperti berikut ini.

 Doa

Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu


Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di malam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Puisi-puisi Rendra terlihat seperti itu, yaitu meletakkan bentuk pengulangan baris, sebab baris puisi mereka ternyata memiliki kepadatan arti. Contoh berikut ini.

alang-alang dan rerumputan
bulan mabuk di atasnya
alang-alang dan rumputan
angin membawa bau rambutmu

megah putih
selalu berubah rupa
membayangkan rupa
yang datang derita

ketika hujan datang
malamnya sudah tua
angin sangat garang
dinginnya tak terkira
aku bangkit dari tidurku
dan menatap langit kelabu
wahai, jangan angin itu
menyingkap selimut kekasihku.

Metrum mengandung arti irama, artinya pergantian sudah tetap menurut pola tertentu. Bentuk-bentuk tekanan keras dilambangkan dengan tanda (/), dan tidak betekanan dilambangkan dengan (V) sudah terpola secara jelas.
Metrum dalam puisi Indonesia membantu pembaca untuk mendeklamasikan puisi. Metrum bersifat bebas dalam arti sangat tergantung dengan kreativitas penyair dalam memanfaatkan bentuk penekanan dan pengulangan. Pada umumnya pusi Eropa memergunakan dasar metrum . Menurut (Altenbernd, 1970) metrum itu banyak macamnya antara lain sebagai berikut.
a. Metrum jambis, yaitu metrum tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan (v -), Misalnya yang berikut ini
/  v       -       / v    -     / v    -   /    v    -    /
 My  heart      is  like    a  sing-ing  bird
/       v     -   /    v    -   /  v     -   /   v    -   /
    Whose nest is    in     a  watered  shoot

b. Ritme anapest, yaitu metrum yang tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan diikuti suku kata yang tak bertekanan, kemudian diikuti suku kata yang bertekanan ( vv - ). Misalnya berikut ini.

 v   v   -    /       v  v   -    /        v   v  -   /    v   v   -
For the   moon never  beams  without  bringing  me  dreams
v     v   -    /     v    v     -    /      v   v     -
of  the   beauty- ful     An- na -     bel  Le
v      v   -   /    v     v     -    /       v v      -      /    v     v      -
And the  stars     never    rise    but   I  feel     the   bright   eyes
v   v    -   /     v    v    -     /     v   v    -
Of  the beau- ti-ful   An- na -    bel   Lee

c. Metrum trochee  atau trocheus, yaitu metrum yang tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan diikuti suku kata yang tidak bertekanan. Misalnya contoh berikut ini.
-         v    /      -     v   /    -      v  /     -     v    /     -           v
There   they    are   my    fit    ty      men and    wo   -  men
-         v    /      -     v   /    -      v  /     -     v    /     -      v
Na – ming     me   the     fit-  ty     poems       finished

Dalam puisi timbulnya  irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras-lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, juga disebabkan oleh kelompok-kelompok sintaksis; gatra atau kelompok kata.
            Ritme, adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi-rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah  suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya. Ritme ini disadari oleh penyair, misalnya dengan memertentangkan bunyi, membuat perulangan, juga untuk membuat irama itu penyair menyingkat kata (Effendi, 1953). Misalnya sajak Sutardji berikut ini.

Mari
mari  pecahkan botol-botol
ambil lukanya
                                jadikan bunga
mari pecahkan tik-tok jam
ambil jarumnya
                                jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
                                jadikan terang
mari patahkan roda
kembalikan asalnya
                                jadikan jalan
mari kembalikan
                                pada Adam
                                sepi pertama
                                dan duduk memandang
                                                                diri kita
                                                                      yang telah kita punahkan
                                                                                                ada dan tiada
                                                                      yang disediakan Adam
                                                                                                         pada kita
                                                                                ( O, Amuk, Kapak, 1981)

Subagio Sastrowardoyo

Keharuan

Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun

Keharuan menawan
ketika Bung Karno bersama rakyat
                                        teriak ”Merdeka 17 kali

Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Jokja
                                                sudah kita rebut kembali

Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
                                  Berkibar di makam pahlawan

Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung

Kita manusia perasa yang lekas terharu
                (Simphoni,)

            Dengan adanya irama itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyeabkan aliran perasaan ataupun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini menimbulkan pula adanya pesona atau daya magis sehingga melihat para pembaca atau pendengar ke dalam keadaan extase (keadaan diri dengan objeknya) dan menyebabkan berkontemplasi hingga sajak itu dan apa yang dikemukakan meresap dalam hati, jiwa si pembaca atau pendengar.
            Puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius;  seolah-olah seperti nyanyian yang memunyai melodi, misalnya seperti sajak Hartoji Andangdjaja berikut ini

Nyanyian Kembang Lalang
Putih di padang-padang
putih kembang lalang
putih rindu yang memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang

kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung pandang
putih bermata sayang
wajah rawan tanah Minang
                                (Buku Puisi)

            Melodi adalah paduan susunan deret suara yang teratur dan berirama  Pradopo (2005). Melodi itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi-rendah bunyi yang berturut-turut. Makin kuat melodi nyanyian kian liris sajak itu. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tak seberapa banyaknya dan intervalnya (jarak nada itu juga terbatas).
            Irama, metrum, dan melodi itu bekerja sama dalam sajak hingga menghasilkan (merupakan) kesatuan yang indah padu.




Tidak ada komentar: