Puisi: Irama?
Menelusuri Romantisme Puisi dalam Irama
Irama dalam puisi hampir
sama dengan irama dalam musik, karena keduanya ditentukan oleh ukuran waktu
atau tempo. Perbedaannya pada musik betul-betul bisa mandiri, dalam puisi
ukuran tempo tergantung dari banyaknya bunyi suku kata, baik pada kata, frase,
maupun kalimat dalam setiap baris.
Irama masih erat
berhubungan dengan pembicaraan bunyi. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian
yang teratur dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup,
seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus, gerak yang teratur
itulah yang disebut irama (Pradopo, 2005).
Irama dalam bahasa
adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa
dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian
berturut-turut secara teratur. Irama ini tidak terbatas hanya pada kesusastraan saja, melainkan juga dalam
seni rupa; lukis, patung, bangunan, dan sebagainya, lebih-lebih dalam seni
musik (nyanyian). Bahkan semua yang teratur itu disebut irama atau berirama.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), irama diartikan sebagai alunan yang terjadi karena perulangan
dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi. Pengertian tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa
dalam irama memiliki (1) perulangan bunyi, (2) pergantian kesatuan bunyi dalam
arus panjang pendek, (3) memiliki keteraturan. Ketiga ciri tersebut membentuk bunyi merdu, indah,
enak didengar dan dapat menimbulkan suasana tertentu.
Menurut Pradopo (2005) ada dua
macam bentuk irama yakni retme dan metrum. Ritme ialah pengulangan bunyi
baik pada kata, frase, maupun kalimat yang teratur, terus-menerus dan tidak
putus-putus. Ritme dibentuk dengan cara
memertentangkan atau mengganti bunyi, tinggi-rendah, panjang-pendek, keras-
lemah yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan.
Tiap angkatan, penyair menurut
Waluyo, masing-masing memiliki perbedaan cara mengulang hal-hal yang dipandang
membentuk irama itu. Pantun misalnya, pergantian bunyinya terasa jelas dan
mengalir dengan teratur, seperti berikut ini.
Piring putih piring bersabun
disabun anak orang Cina
memutih bunga di dalam kebun
setangkai saja yang menggila
Pantun di atas, pengulangan bunyi secara teratur
terlihat secara jelas pada setiap dua kata di setiap baris, sehingga
baris-baris sajak tampak terpotong menjadi dua. Sama halnya dengan syair, rima
terlihat jelas pada setiap baris yang berupa pengulangan bunyi yang teratur, yaitu
setiap dua kata dalam setiap baris dengan diberi selang satu baris. Contoh syair
berikut ini.
Si Burung Pungguk
pungguk bangsawan hendak menitir
tidak diberi kakanda satir
Adinda jangan tuan bersyair
Jikalau tuan guruh dan petir.
Inilah taman orang bahari
Pungguk, wahai jangan tuan kemari
Bukannya tidak kakanda beri
Jikalau tuan digoda peri.
Warna senada masih terlihat
pada puisi Pujangga Baru, berikut ini sajak Rustam Efendi
bukan beta bijak berperi
pandai mengubah madahan syair
bukan beta budak negeri
musti menurut undangan mair
saraf-saraf saya mungkiri
untai rangkaian seloka lama
beta buang beta singkiri
sebab laguku menurut sukma
susah sungguh saya sampaikan
degup-degupan di dalam kalbu
lemah lama lagu dengungan
matanya digamat rasain waktu.
Sering saya susah sesaat
Sebab mudahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan memang
Bukan beta bijak berperi
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alam.
Bait pertama, kedua, dan
ketiga penentuan satuan bunyi yang diulang mirip dengan pantun dan syair, yaitu
berupa dua kata pada setiap baris. Angkatan 45, dan priode berikutnya, ritme diciptakan secara kreatif oleh
penyairnya. Caranya dengan meletakkan kata-kata yang akan diulang dalam satu unit tertentu, dalam hal ini
adalah baris, sehingga tidak terkesan memotong baris seperti yang ada dalam
pantun atau syair.
Dalam sajak Chairil, perulangan bunyi
tersebut diekspresikan dalam bentuk baris dan pergantian pengulangan yang
dibentuk dalam baris panjang dan pendek. Seperti berikut ini.
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di malam
sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Puisi-puisi Rendra terlihat seperti itu, yaitu
meletakkan bentuk pengulangan baris, sebab baris puisi mereka ternyata memiliki
kepadatan arti. Contoh berikut ini.
alang-alang dan rerumputan
bulan mabuk di atasnya
alang-alang dan rumputan
angin membawa bau rambutmu
megah putih
selalu berubah rupa
membayangkan rupa
yang datang derita
ketika hujan datang
malamnya sudah tua
angin sangat garang
dinginnya tak terkira
aku bangkit dari tidurku
dan menatap langit kelabu
wahai, jangan angin itu
menyingkap selimut kekasihku.
Metrum mengandung arti irama, artinya pergantian
sudah tetap menurut pola tertentu. Bentuk-bentuk tekanan keras dilambangkan
dengan tanda (/), dan tidak betekanan dilambangkan dengan (V) sudah terpola
secara jelas.
Metrum dalam puisi
Indonesia membantu pembaca untuk mendeklamasikan puisi. Metrum bersifat bebas
dalam arti sangat tergantung dengan kreativitas penyair dalam memanfaatkan
bentuk penekanan dan pengulangan. Pada umumnya pusi Eropa memergunakan dasar metrum . Menurut (Altenbernd, 1970) metrum itu banyak macamnya antara lain
sebagai berikut.
a. Metrum jambis, yaitu metrum tiap kaki sajaknya terdiri dari sebuah suku
kata tak bertekanan diikuti suku kata yang bertekanan (v -), Misalnya yang berikut
ini
/ v
- / v -
/ v - /
v - /
My
heart is like
a sing-ing bird
/ v
- / v
- / v
- / v
- /
Whose nest is in
a watered shoot
b. Ritme anapest, yaitu
metrum yang tiap kaki sajaknya terdiri dari tiga suku kata yang tak bertekanan
diikuti suku kata yang tak bertekanan, kemudian diikuti suku kata yang
bertekanan ( vv - ). Misalnya berikut ini.
v v
- / v
v - /
v v - / v
v -
For the moon never
beams without bringing
me dreams
v v
- / v
v - /
v v -
of the
beauty- ful An- na - bel
Le
v v
- / v
v - /
v v - /
v v -
And the stars
never rise but
I feel the
bright eyes
v v
- / v
v - /
v v -
Of the beau- ti-ful An- na -
bel Lee
c. Metrum trochee atau trocheus,
yaitu metrum yang tiap kaki sajaknya terdiri dari suku kata yang bertekanan
diikuti suku kata yang tidak bertekanan. Misalnya contoh berikut ini.
- v
/ - v
/ - v
/ - v
/ - v
There they
are my fit
ty men and wo
- men
- v
/ -
v / -
v / -
v / -
v
Na – ming me
the fit- ty
poems finished
Dalam puisi timbulnya
irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi,
misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya
paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga
disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras-lemah, disebabkan
oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata, juga disebabkan
oleh kelompok-kelompok sintaksis; gatra atau kelompok kata.
Ritme,
adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi
tinggi-rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi
gema dendang sukma penyairnya. Ritme ini disadari oleh penyair, misalnya dengan
memertentangkan bunyi, membuat perulangan, juga untuk membuat irama itu penyair
menyingkat kata (Effendi, 1953). Misalnya sajak Sutardji berikut ini.
Mari
mari
pecahkan botol-botol
ambil lukanya
jadikan
bunga
mari pecahkan tik-tok jam
ambil jarumnya
jadikan
diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan
terang
mari patahkan roda
kembalikan asalnya
jadikan
jalan
mari kembalikan
pada
Adam
sepi
pertama
dan
duduk memandang
diri
kita
yang telah kita punahkan
ada
dan tiada
yang disediakan Adam
pada kita
(
O, Amuk, Kapak, 1981)
Subagio Sastrowardoyo
Keharuan
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai
dengan ampun
Keharuan menawan
ketika Bung Karno bersama rakyat
teriak ”Merdeka 17 kali
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk
Jokja
sudah
kita rebut kembali
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
Berkibar di makam pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di
ujung
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai
berhubung
Kita manusia perasa yang lekas
terharu
(Simphoni,)
Dengan
adanya irama itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini
menyeabkan aliran perasaan ataupun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi
sehingga menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini
menimbulkan pula adanya pesona atau daya magis sehingga melihat para pembaca
atau pendengar ke dalam keadaan extase (keadaan
diri dengan objeknya) dan menyebabkan berkontemplasi hingga sajak itu dan apa
yang dikemukakan meresap dalam hati, jiwa si pembaca atau pendengar.
Puisi
yang merdu bunyinya dikatakan melodius; seolah-olah seperti nyanyian yang memunyai
melodi, misalnya seperti sajak Hartoji Andangdjaja berikut ini
Nyanyian Kembang Lalang
Putih di padang-padang
putih kembang lalang
putih rindu yang
memanggil-manggil dalam dendang
orang di dangau orang di ladang
putih jalan yang panjang
kabut di puncak Singgalang
sepi yang menyayup di ujung
pandang
putih bermata sayang
wajah rawan tanah Minang
(Buku Puisi)
Melodi
adalah paduan susunan deret suara yang teratur dan berirama Pradopo (2005). Melodi itu timbul karena
pergantian nada kata-katanya, tinggi-rendah bunyi yang berturut-turut. Makin
kuat melodi nyanyian kian liris sajak itu. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi
ialah terletak pada macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tak
seberapa banyaknya dan intervalnya (jarak nada itu juga terbatas).
Irama, metrum, dan melodi itu bekerja sama
dalam sajak hingga menghasilkan (merupakan) kesatuan yang indah padu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar