Kajian Sintaksis dalam Karya Sastra
Luxemburg (1989) menjelaskan bahwa dalam sebuah
sajak, kata-kata pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan
tidak kepada struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi
struktur-struktur sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa
sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata
dibalikkan demi rima atau metrum. Sama
halnya dengan aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai
fungsi semantik.
Pola-pola
sintaktik dapat dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan
(infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi
keteraturan tambahan (suprastrukturasi).
Inversi, mengubah urutan kata yang
lazim, termasuk pola pertama. Dalam Jante
Arkidan karangan Ajip Rosadi, kita menjumpai inversi, sebagaimana berikut ini
Tajam tangannya lelancip gobang
Berebahan
tubuh-tubuh lelang dia terbang
Dengan menempatkan kata „tajam“ dan
„berebahan“ di muka, maka efek semantik lebih menonjol. Dalam sajak yang sama,
kita juga menemukan contoh-contoh suprastrukturasi, pola-pola tertentu
diulang-ulang. Diperhatikan berikut ini.
Di penjudian di peralatan
Hanyalah
satu jagoan
Arkidam,
Jante Arkidam
Malam
berudara tuba
Jante
merajai kegelapan
Disibaknya
rujibesi pegadean
Malam
berudara lembut
Jante
merajai kalangan ronggeng
Ia
menari, ia tertawa
Pola-pola
gaya sintaktik hampir tak terbilang jumlahnya, disebut dan diuraikan terperinci
dalam buku-buku pedoman tentang retorika. Pola-pola sintaktik tersebut memiliki
efek semantik, yaitu kata-kata tertentu atau ungkapan-ungkapan tertentu lebih
menonjol. Menentukan dengan tepat efek macam apa diakibatkan hanya dapat
dilakukan berdasarkan konteks.
Sebagaimana telah disinggung
bahwa penyair membuat inversi yaitu
membalik susunan’subjek-predikat’ menjadi ‘predikat-subjek’ seperti halya
“Sajak Putih” oleh Chairil Anwar, sebagaimana berikut ini.
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mengalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak murka air kolam jiwa
Susunan biasa: Di hitam matamu mawar dan melati
(ber) kembang muka
Air kolam jiwa meriak
Selain hal tersebut, untuk
mendapatkan kepadatan dan ekspresivitas, Chairil Anwar, membuat kalimat tidak
biasa, entah karena penghilangan kata penghubung ataupun pembalikan susunan
biasa, seperti berikut ini.
Hidup dan hidupku pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari
luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah... (”Sajak Putih”, Chairil Anwar)
Susunan yang biasa seperti
berikut ini
Hidup dari hidupku (akan sebagai)
pintu terbuka
Selama matamu menengadah bagiku
Selama darahmu mengalir dari luka
Antara kita tidak membelah (sampai)
Kematian datang
Tentu saja bila disusun demikian itu, akan hilang
ekspresivitanya.
Sejalan dengan penjelasan Lexemburg,
Pradopo (2005) menjelaskan faktor ketatabahasaan, bahwa penggunaan bahasa
seseorang (parole) merupakan
penerapan sistem bahasa (langue) yang
ada (Culler, 1977), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi
puisi yang ada. Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa
maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Setiap
penulis melaksanakan ”tandatangan” nya sendiri yang khusus dalam cara
penggunaan bahasanya yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1969).
Dengan demikian, sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari
sistem norma bahasa yang umum.
Dalam
puisi penyimpangan dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan efek kepuitisan, untuk mendapatkan eksprevitas.
Begitu juga penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif tidak lain
hanya untuk mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk mendapatkan
irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang
lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan
dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa
penyingkatan atau pemendekan kata, penghilangan imbuhan, penyimpangan struktur
sintaksis.
Pemendekan
kata pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang
menyebabkan liris. Pemendekan kata pada umumnya mengenai kata-kata yang lazim
dipendekan seperti ’kan dari akan, ’ku dari kata aku. Diperhatikan berikut ini.
Kalau sampai waktuku
’Ku
mau tak seorang ’kan merayu (”Aku”, Chairil Anwar)
Sebelum
ajal mendekat dan menghianat
Mencengkam
dari belakang ’tika kita tidak melihat
...
Ajal
yang menarik kita, ’kan merasa angkasa sepi
(”Kepada
Kawan”, Chairil Anwar)
Kata ’tika dari ketika. Namun pemendekan
kata seperti itu hanya beberapa saja dan terbatas pada kata-kata tersebut.
Penghilangan
imbuhan, tidal ian untuk melancarkan ucapan untuk membuat berirama.
Diperhatikan sajak Chairil sering menghilangkan imbuhan lebih-lebih awalan
seperti berikut ini
Aku
tak bisa tidur
Orang
ngomong anjing nggonggong
....
Aku hendak bicara
(”Kesabaran”,
Chairil Anwar)
kalau
’ku habis-habis kata
(Kepada
Pelukis Affandi”, Chairil Anwar).
„Habis-habis” dari
”berhabis-habis”. Awalan dan akhiran dihilangkan, misalnya mendampar tanya: aku salah? („Isa“, Chairil Anwar)
Bentuk ’tanya’ dari ’pertanyaan’. Jadi, mestinya
secara normatif ‘mendampar pertanyaan: aku salah?”
Penghilangan
imbuhan di samping untuk mendapatkan irama juga dipergunakan untuk mendapatkan
tenaga eksprevitas dengan hanya mengucapkan yang inti saja. Kadang-kadang
penghilangan imbuhan itu disertai penyingkatan kata ulang. Diperhatikan berikut
ini.
Sesudah itu kita
sama-sama termangu
(”Sia-sia”, Chairil
Anwar)
Kami sama pejalan larut
(”Kawanku
dan Aku”, Chairil Anwar)
Bentuk sama-sama
disingkat menjadi sama. Peristiwa
bahasa seperti tersebut ada beberapa yang terdapat dalam sajak Chairil Anwar.
Peristiwa seperti itu adalah peristiwa pemadatan. Seringkali untuk pemadatan
itu Chairil Anwar membentuk analogi baru, seperti pejalan larut, sutra senja. Bahkan seringkali membuat bentuk aneh, menyalahi konvensi yang umum,
misalnya terdapat Kerikil Tajam.
Diperhatikan berikut ini
Terbaring
di rangkuman pagi
- hari baru jadi-
Ini
Mia mencari
hati
impi (“Ina Mia”, Chairil Anwar)
Gabungan
kata hati impi itu tidak biasa. Ini
bentukan pemadatan, hanya yang inti saja yang dikemukakan. Mungkin bentuk yang
biasa hati mimpi itu hati
yang bermimpi. Ada penghilangan imbuhan untuk langsung membentuk kata keadaan atau kata kerja. Diperhatikan
berikut ini.
Ini
menanti jadi mencekik
...
Ini
sepi terus ada (“Hampa”, Chairil
Anwar)
Sepi
menyanyi, malam mendoa tiba (“Sajak Putih”, Chairil Anwar)
Penyimpangan Struktur
Sintaksis. Untuk mendapatkan irama yang liris, kepadatan
dan ekspresivitas, para penyair sering membuat penyimpangan-penyimpangan dari
struktur sintaksis yang normatf. Sama halnya dengan Chairil Anwar, bahkan ia
pelopor dalam hal ini. Selain itu, penyimpangan dari struktur sintaksis
normatif ini sering membuat bahasa segar dan menarik karena kebaruannya.
Penyimpangan struktur sintaksis yang sering dilakukan oleh
Chairil Anwar dapat berupa susunan kelompok kata ataupun susunan kalimat
seluruhnya. Pada umumya susunan kelompok kata dalam bahasa mengikuti hukum DM,
yaitu kata yang berposisi di depan itu diterangkan oleh kata yang berposisi di
belakang. Misalnya, Rumah besar atau rumah ini, rumah itu. ”Rumah” diterangkan
oleh ’besar’, ’ini’, atau ’itu’. Diperhatikan berikut ini.
Udara
bertuba, setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan
menanti (”Hampa”, Chairil Anwar)
Susunan yang biasa: sepi ini, bukan ini sepi
Penghabisan
kali itu kau datang
membawa
karangan kembang (“Sia-sia”, Chairil Anwar)
Susunan yang biasa kali penghabisan, bukan penghabisan
kali
Biar
susah sungguh
Mengingat
kau penuh seluruh (“Doa:, Chairil Anwar)
Demi
untuk irama dan intensitas, disesuaikan dengan irama, tidak disusun seperti
susunan biasa. Diperhatikan berikut ini.
Biar susah sungguh
Mengingat
Kau seluruh(nya) penuh
Untuk
membentuk kepuitisan, susunan kalimat diubah. Diperhatikan berikut.
Aku berkaca
Ini
muka penuh luka
Siapa
punya? (“Selamat Tinggal”, Chairil Anwar).
Bila diucapkan menurut struktur tata
bahasa normatif akan seperti berikut.
Aku
berkaca
Siapakah
(yang) mempunyai
muka
(yang) penuh luka (ini)?
Tetapi, bila diucapkan seperti itu, maka sajak
tersebut kehilangan eskprevitas. Diperhatikan berikut ini.
Siapa mendekat
tiga
kali menyebut beta punya nama
Susunan yang biasa seperti berikut.
Siapa yang mendekat (harus) tiga kali
menyebut nama beta, atau ’siapa yang mendekat (harus) tiga kali menyebut nama
kepunyaan beta’. Bila demikian, susunan ini akan kehilangan sifat liris dan
ekspresivitasnya (Pradopo, 2005).
Penghapusan tanda baca, hal ini
dapat dilihat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoun Bachri, kelihatan bahwa tanda
baca hanya dipergunakan bila sangat perlu. Di samping itu, banyak penghapusan
tanda baca yang dilakukan dengan sengaja, yang efeknya memberikan kegandaan
tafsir ataupun efek steam connsciousness arus
pikiran yang mengalir tak terkendali dari bawa sadar. Sebuah kalimat yang
sangat panjang, yang terdiri dari ulangan-ulangan, berderet-deret tanpa koma,
baru pada akhir kalimat yang panjang itu ditutup dengan tanda seru atau tanda
tanya. Ulangan itu dapat berupa frase ataupun kalimat. Diperhatikan berikut
ini.
rasa yang dalam
rasa dari segala risau
sepi dari segala nabi tany
dari
segala nyata sebab dari segala abad sungsang
dari
segala sampai duri dari segala rindu luka dari
segala
laku igau dari segala risau kubu dari segala
buku
resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh
sia
dari segala saya duka dari segala daku Ina dari
segala
Anu puteri pesonaku
datang
kau padaku!
...
Di
samping hal seperti itu, banyak juga sajak yang sama sekali tidak memergunakan
tanda baca, atau hanya menggunakan satu tanda di akhir bait. Sajak yang tanpa
tanda baca ini di antaranya: Colonnes
Sans Fins, Pot, Biarkan, Tragedi Winka & Sihka, Sculpture, Hilang (ketemu)
dan Kakek-kakek & Bocah-bocah. Pada
umumnya sajak-sajak itu berupa ulangan yang berturut-turut sehingga membuat
pembaca berkontemplasi ataupun juga menarik perhatian atas ucapan yang
berturur-turur tersebut.
Penggabungan dua kata atau lebih. Yang dimaksud ialah penggabungan dua kata
atau lebih menjadi satu gabungan hingga seolah-olah sudah menjadi satu kata,
menjadi satu pengertian tak terpisahkan. Di samping itu, gabungan yang berupa
pengulangan kata menjadikan atau memberikan efek penyangatan atau
melebih-lebihkan. Penggabungan
kata seperti ini belum pernah dilakukan dalam perpuisian di Indonesia modern.
Sajak-sajak
yang dalamnya terdapat peristiwa bahasa semacam ini ialah Pot, O, dan Kakek-kakek & Bocah-bocah.
Penggabungan bukan kata ulang misalnya: lekukbungkalanlobangmu,
lukakitaku, potkaukah, potapa, potkaukah potaka.
Penghilangan
imbuhan, penghilangan ini ialah penghilangan imbuhan, baik awalan,
akhiran, ataupun awalan dan akhiran kata. Bahkan Sutardji banyak memergunakan
kata dasar tanpa bentuk dengan awalan atau akhiran. Di samping untuk
mendapatkan irama, untuk kelancaran membacanya, hal ini juga untuk mendapatkan
daya eskpresi yang penuh karena kepadatannya. Misalnya: ‘saling gigitan’ yang
mestinya ‘saling bergigitan’, ‘tiang tanpa topeng’, ‘langit tanpa cari’.
Dalam
“Ah” terdapat beberapa di antaranya: yang lengking
yang paling pijak, yang paling derai, yang mana gantung, yang mana gairah selain resah, yang mana tahu
selain yang mana tanah selain tunggu. Dalam
“Dapatkau?” antaranya: dapatkau nyebrangkan
sungai, dapatkau sampaikan sayap
lepas, dapatkau pulangkan resah,
siapa dapat kembalikan sia. Dalam “Herma” tersapat: tak bisa pijak di bumi, tak bisa malam di bulan, tak bisa teduh di tubuh, tak bisa tunggu di tanah, tak bisa pegang di tangan.
Pemutusan
kata. Dalam peristiwa ini kata-kata diputus-putus menjadi suku kata
atau dibalik suku katanya, dengan cara yang demikian itu, menjadi menarik
perhatian dan artinya berubah, ataupun hilang artinya, yang memberi sugesti
kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna. Di perhatikan berikut ini.
DAPATKAU
...
Siapa dapat kembalikan sia
pada
mula
sia
pa
da
pa
sia
tinggal?
Pemutusan
kata tersebut memberi sugesti arti bahwa tidak ada orang termasuk si aku, yang
dapat melakukannya apa yang disebutkan dalam bait-bait sebelumnya. Misalnya
bait pertama berbunyi: dapatkan nyebrangkan sungai.ke negeri asal/ tempat diam/
melahirkan jejak? Bait terakhir memberi sugesti
bahwa tak seorang pun dapat melakukannya, semuanya tinggal sia-sia saja.
Sama halnya dengan sajak Tragedi Winka
& Sihka merupakan sajak yang paling banyak mendapat tanggapan, yang
kebanyakan berpendapat bahwa sajak tersebut hanya ‘bermain-main’.
Pembentukan
jenis kata. Untuk eksprevisitas kata benda atau kata kerja langsung
menjadi kata keadaan atau kata sifat dengan mengawalinya kata yang atau paling
tanpa mengubah bentuk morfologinya. Misalnya, ‘apa yang seba?, ‘siapa tanah
yang paling pijak siapa burung yang paling sayap”. Diperhatikan yang berikut
ini.
SOLITUDE
yang
paling mawar
yang
paling duri
yang
paling sayap
yang
paling bumi
yang
paling pisau
yang
paling risau
yang
paling nancap
yang
paling dekap
samping
yang paling
Kau!
Mawar, duri, sayap, bumi, pisau, adalah
kata benda. Nancap dan dekap adalah jenis kata
kerja. Dengan diawali kata yang paling jenis kata kerja dan benda tersebut menjadi
kata sifat. Ucapan biasa akan betubah; yang paling bersifat mawar, yang paling
bersifat duri, yang paling bersifat sayap. Bila mengikuti tata bahasa normatif
seperti itu akan tidak padat dan kehilangan kebaruan atau kesegarannya, juga
akan kehilangan kegandaan artinya, dan akan kehilangan ekspresiviatasnya.
Kata benda langsung dibentuk dari kata
seru dan kata keadaan tanpa mengubah bentuk morfologinya. Kata seru dan kata
keadaan tersebut dalam kalimat fungsinya dijadikan objek penderita sehingga
menjadi kata benda, seperti berikut ini.
aku akan mengucup luka
aku
telah membelai aduhai
aku
telah tiarap harap
aku
telah mencium aum!
Aku
telah dipukau au!
...
bulan
di jendela kasikan remaja, daging ai atas paha
berikan
bosan!
Kata ’aduhai, au’ adalah kata seru. Kata ’bosan’ adalah kata sifat atau
keadaan. Juga yang berikut ini.
siapa dapat meneduh rusuh
...
siapa
dapat membalut luluh
...
siapa
dapat membalut lusuh
Rusuh,
luluh, dan lusuh adalah jenis kata keadaan, karena dijadikan objek maka menjadi
kata benda. Dengan ucapan seperti itu, semua menjadi baru, segar, dan
ekspresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar