Jumat, Oktober 10, 2014

Kajian Sintaksis dalam Karya Sastra


Kajian Sintaksis dalam Karya Sastra

            Luxemburg (1989) menjelaskan bahwa dalam sebuah sajak, kata-kata pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan tidak kepada struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata dibalikkan demi rima atau metrum. Sama  halnya dengan aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai fungsi semantik.
            Pola-pola sintaktik dapat dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan (infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan (suprastrukturasi).
            Inversi, mengubah urutan kata yang lazim, termasuk pola pertama. Dalam Jante Arkidan karangan Ajip Rosadi, kita menjumpai inversi, sebagaimana berikut ini

                Tajam tangannya lelancip gobang
                Berebahan tubuh-tubuh lelang dia terbang

            Dengan menempatkan kata „tajam“ dan „berebahan“ di muka, maka efek semantik lebih menonjol. Dalam sajak yang sama, kita juga menemukan contoh-contoh suprastrukturasi, pola-pola tertentu diulang-ulang. Diperhatikan berikut ini.

            Di penjudian di peralatan
                Hanyalah satu jagoan
                Arkidam, Jante Arkidam

                Malam berudara tuba
                Jante merajai kegelapan
                Disibaknya rujibesi pegadean

                Malam berudara lembut
                Jante merajai kalangan ronggeng
                Ia menari, ia tertawa

            Pola-pola gaya sintaktik hampir tak terbilang jumlahnya, disebut dan diuraikan terperinci dalam buku-buku pedoman tentang retorika. Pola-pola sintaktik tersebut memiliki efek semantik, yaitu kata-kata tertentu atau ungkapan-ungkapan tertentu lebih menonjol. Menentukan dengan tepat efek macam apa diakibatkan hanya dapat dilakukan berdasarkan konteks.
Sebagaimana telah disinggung bahwa penyair membuat inversi yaitu membalik susunan’subjek-predikat’ menjadi ‘predikat-subjek’ seperti halya “Sajak Putih” oleh Chairil Anwar, sebagaimana berikut ini.

Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak murka air kolam jiwa  

Susunan biasa: Di hitam matamu mawar dan melati (ber) kembang muka
                             Air kolam jiwa meriak

Selain hal tersebut, untuk mendapatkan kepadatan dan ekspresivitas, Chairil Anwar, membuat kalimat tidak biasa, entah karena penghilangan kata penghubung ataupun pembalikan susunan biasa, seperti berikut ini.

Hidup dan hidupku pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah... (”Sajak Putih”, Chairil Anwar)

Susunan yang biasa seperti berikut ini

Hidup dari hidupku (akan sebagai) pintu terbuka
Selama matamu menengadah bagiku

Selama darahmu mengalir dari luka
Antara kita tidak membelah (sampai) Kematian datang

Tentu saja bila disusun demikian itu, akan hilang ekspresivitanya.

            Sejalan dengan penjelasan Lexemburg, Pradopo (2005) menjelaskan faktor ketatabahasaan, bahwa penggunaan bahasa seseorang (parole) merupakan penerapan sistem bahasa (langue) yang ada (Culler, 1977), dan penggunaan bahasa penyair sekaligus penerapan konvensi puisi yang ada. Namun penerapan ini tidak selalu sesuai dengan sistem bahasa maupun konvensi puisi yang ada sebab hal ini dipengaruhi situasi penggunaan. Setiap penulis melaksanakan ”tandatangan” nya sendiri yang khusus dalam cara penggunaan bahasanya yang membedakannya dari karya penulis lain (Lodge, 1969). Dengan demikian, sering menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari sistem norma bahasa yang umum.
            Dalam puisi penyimpangan dari sistem tata bahasa normatif itu sering terjadi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan efek kepuitisan, untuk mendapatkan eksprevitas. Begitu juga penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif tidak lain hanya untuk mendapatkan kepuitisan atau efek puitis, yaitu untuk mendapatkan irama yang liris dan membuat kepadatan, kesegaran, serta ekspresivitas yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Chairil Anwar banyak membuat penyimpangan dari tata bahasa normatif dalam sajak-sajaknya. Penyimpangan itu berupa penyingkatan atau pemendekan kata, penghilangan imbuhan, penyimpangan struktur sintaksis.
            Pemendekan kata pada umumnya untuk kelancaran ucapan, untuk mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Pemendekan kata pada umumnya mengenai kata-kata yang lazim dipendekan seperti ’kan dari akan, ’ku dari kata aku. Diperhatikan berikut ini.
               
 Kalau sampai waktuku
                ’Ku mau tak seorang ’kan merayu (”Aku”, Chairil Anwar)

                Sebelum ajal mendekat dan menghianat
                Mencengkam dari belakang ’tika kita tidak melihat
                ...
                Ajal yang menarik kita, ’kan merasa angkasa sepi
                                                (”Kepada Kawan”, Chairil Anwar)

            Kata ’tika dari ketika. Namun pemendekan kata seperti itu hanya beberapa saja dan terbatas pada kata-kata tersebut.
            Penghilangan imbuhan, tidal ian untuk melancarkan ucapan untuk membuat berirama. Diperhatikan sajak Chairil sering menghilangkan imbuhan lebih-lebih awalan seperti berikut ini
                Aku tak bisa tidur
                Orang ngomong anjing nggonggong
                ....
Aku hendak bicara
                                (”Kesabaran”, Chairil Anwar)

            kalau ’ku habis-habis kata
                                (Kepada Pelukis Affandi”, Chairil Anwar).

„Habis-habis” dari  ”berhabis-habis”. Awalan dan akhiran dihilangkan, misalnya mendampar tanya: aku salah? („Isa“, Chairil Anwar)
            Bentuk ’tanya’ dari ’pertanyaan’. Jadi, mestinya secara normatif ‘mendampar pertanyaan: aku salah?”
            Penghilangan imbuhan di samping untuk mendapatkan irama juga dipergunakan untuk mendapatkan tenaga eksprevitas dengan hanya mengucapkan yang inti saja. Kadang-kadang penghilangan imbuhan itu disertai penyingkatan kata ulang. Diperhatikan berikut ini.

                Sesudah itu kita sama-sama termangu
                                (”Sia-sia”, Chairil Anwar)
                Kami sama pejalan larut
                                (”Kawanku dan Aku”, Chairil Anwar)

            Bentuk sama-sama disingkat menjadi sama. Peristiwa bahasa seperti tersebut ada beberapa yang terdapat dalam sajak Chairil Anwar. Peristiwa seperti itu adalah peristiwa pemadatan. Seringkali untuk pemadatan itu Chairil Anwar membentuk analogi baru, seperti pejalan larut, sutra senja. Bahkan seringkali membuat bentuk aneh, menyalahi konvensi yang umum, misalnya terdapat Kerikil Tajam. Diperhatikan berikut ini

                Terbaring di rangkuman pagi
                - hari baru jadi-
                Ini Mia mencari
                hati impi  (“Ina Mia”, Chairil Anwar)

            Gabungan kata hati impi itu tidak biasa. Ini bentukan pemadatan, hanya yang inti saja yang dikemukakan. Mungkin bentuk yang biasa hati mimpi  itu hati yang bermimpi. Ada penghilangan imbuhan untuk langsung membentuk  kata keadaan atau kata kerja. Diperhatikan berikut ini.

                Ini menanti jadi mencekik
                ...
                Ini sepi terus ada (“Hampa”, Chairil Anwar)

                Sepi menyanyi, malam mendoa tiba (“Sajak Putih”, Chairil Anwar)
           
Penyimpangan Struktur Sintaksis.  Untuk mendapatkan irama yang liris, kepadatan dan ekspresivitas, para penyair sering membuat penyimpangan-penyimpangan dari struktur sintaksis yang normatf. Sama halnya dengan Chairil Anwar, bahkan ia pelopor dalam hal ini. Selain itu, penyimpangan dari struktur sintaksis normatif ini sering membuat bahasa segar dan menarik karena kebaruannya.
            Penyimpangan  struktur sintaksis yang sering dilakukan oleh Chairil Anwar dapat berupa susunan kelompok kata ataupun susunan kalimat seluruhnya. Pada umumya susunan kelompok kata dalam bahasa mengikuti hukum DM, yaitu kata yang berposisi di depan itu diterangkan oleh kata yang berposisi di belakang. Misalnya, Rumah besar atau rumah ini, rumah itu. ”Rumah” diterangkan oleh ’besar’, ’ini’, atau ’itu’. Diperhatikan berikut ini.

                Udara bertuba, setan bertempik
                Ini sepi terus ada. Dan menanti (”Hampa”, Chairil Anwar)

            Susunan yang biasa: sepi ini, bukan ini sepi

                Penghabisan kali itu kau datang
                membawa karangan kembang (“Sia-sia”, Chairil Anwar)  

                Susunan yang biasa kali penghabisan, bukan penghabisan kali
                Biar susah sungguh
                Mengingat kau penuh seluruh (“Doa:, Chairil Anwar)

            Demi untuk irama dan intensitas, disesuaikan dengan irama, tidak disusun seperti susunan biasa. Diperhatikan berikut ini.

            Biar susah sungguh
                Mengingat Kau seluruh(nya) penuh

            Untuk membentuk kepuitisan, susunan kalimat diubah. Diperhatikan berikut.
            Aku berkaca

                Ini muka penuh luka
                Siapa punya? (“Selamat Tinggal”, Chairil Anwar).

            Bila diucapkan menurut struktur tata bahasa normatif akan seperti berikut.
                Aku berkaca

                Siapakah (yang) mempunyai
                muka (yang) penuh luka (ini)?
           
Tetapi, bila diucapkan seperti itu, maka sajak tersebut kehilangan eskprevitas. Diperhatikan berikut ini.

            Siapa mendekat
                tiga kali menyebut beta punya nama

            Susunan yang biasa seperti berikut.
            Siapa yang mendekat (harus) tiga kali menyebut nama beta, atau ’siapa yang mendekat (harus) tiga kali menyebut nama kepunyaan beta’. Bila demikian, susunan ini akan kehilangan sifat liris dan ekspresivitasnya (Pradopo, 2005).

              Penghapusan tanda baca, hal ini dapat dilihat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoun Bachri, kelihatan bahwa tanda baca hanya dipergunakan bila sangat perlu. Di samping itu, banyak penghapusan tanda baca yang dilakukan dengan sengaja, yang efeknya memberikan kegandaan tafsir ataupun efek steam connsciousness arus pikiran yang mengalir tak terkendali dari bawa sadar. Sebuah kalimat yang sangat panjang, yang terdiri dari ulangan-ulangan, berderet-deret tanpa koma, baru pada akhir kalimat yang panjang itu ditutup dengan tanda seru atau tanda tanya. Ulangan itu dapat berupa frase ataupun kalimat. Diperhatikan berikut ini.

                            rasa yang dalam
                rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tany
                dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang
                dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari
                segala laku igau dari segala risau kubu dari segala
                buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh
                sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari
                segala Anu puteri pesonaku
                datang kau padaku!
                ...

            Di samping hal seperti itu, banyak juga sajak yang sama sekali tidak memergunakan tanda baca, atau hanya menggunakan satu tanda di akhir bait. Sajak yang tanpa tanda baca ini di antaranya: Colonnes Sans Fins, Pot, Biarkan, Tragedi Winka & Sihka, Sculpture, Hilang (ketemu) dan Kakek-kakek & Bocah-bocah. Pada umumnya sajak-sajak itu berupa ulangan yang berturut-turut sehingga membuat pembaca berkontemplasi ataupun juga menarik perhatian atas ucapan yang berturur-turur tersebut.
            Penggabungan dua kata atau lebih. Yang dimaksud ialah penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu gabungan hingga seolah-olah sudah menjadi satu kata, menjadi satu pengertian tak terpisahkan. Di samping itu, gabungan yang berupa pengulangan kata menjadikan atau memberikan efek penyangatan atau melebih-lebihkan. Penggabungan kata seperti ini belum pernah dilakukan dalam perpuisian di Indonesia modern.
            Sajak-sajak yang dalamnya terdapat peristiwa bahasa semacam ini ialah Pot, O, dan   Kakek-kakek & Bocah-bocah. Penggabungan bukan kata ulang misalnya: lekukbungkalanlobangmu, lukakitaku, potkaukah, potapa, potkaukah potaka.
            Penghilangan imbuhan, penghilangan ini ialah penghilangan imbuhan, baik awalan, akhiran, ataupun awalan dan akhiran kata. Bahkan Sutardji banyak memergunakan kata dasar tanpa bentuk dengan awalan atau akhiran. Di samping untuk mendapatkan irama, untuk kelancaran membacanya, hal ini juga untuk mendapatkan daya eskpresi yang penuh karena kepadatannya. Misalnya: ‘saling gigitan’ yang mestinya ‘saling bergigitan’, ‘tiang tanpa topeng’, ‘langit tanpa cari’.
            Dalam “Ah” terdapat beberapa di antaranya: yang lengking yang paling pijak, yang paling derai, yang mana gantung, yang mana gairah selain resah, yang mana tahu selain yang mana tanah selain tunggu. Dalam “Dapatkau?” antaranya: dapatkau nyebrangkan sungai, dapatkau sampaikan sayap lepas, dapatkau pulangkan resah, siapa dapat kembalikan sia. Dalam “Herma” tersapat: tak bisa pijak di bumi, tak bisa malam di bulan, tak bisa teduh di tubuh, tak bisa tunggu di tanah, tak bisa pegang di tangan.
            Pemutusan kata. Dalam peristiwa ini kata-kata diputus-putus menjadi suku kata atau dibalik suku katanya, dengan cara yang demikian itu, menjadi menarik perhatian dan artinya berubah, ataupun hilang artinya, yang memberi sugesti kesia-siaan atau arti yang tidak sempurna. Di perhatikan berikut ini.
DAPATKAU
...
Siapa dapat kembalikan sia
                                                      pada
                                                                mula
                                                                     sia
                                                                       pa
                                                                          da
                                                                            pa
                                                                                   sia
                                                                                      tinggal?

            Pemutusan kata tersebut memberi sugesti arti bahwa tidak ada orang termasuk si aku, yang dapat melakukannya apa yang disebutkan dalam bait-bait sebelumnya. Misalnya bait pertama berbunyi: dapatkan nyebrangkan sungai.ke negeri asal/ tempat diam/ melahirkan jejak? Bait terakhir memberi sugesti  bahwa tak seorang pun dapat melakukannya, semuanya tinggal sia-sia saja. Sama halnya dengan sajak Tragedi Winka & Sihka merupakan sajak yang paling banyak mendapat tanggapan, yang kebanyakan berpendapat bahwa sajak tersebut hanya ‘bermain-main’.
             
            Pembentukan jenis kata. Untuk eksprevisitas kata benda atau kata kerja langsung menjadi kata keadaan atau kata sifat dengan mengawalinya kata yang  atau paling tanpa mengubah bentuk morfologinya. Misalnya, ‘apa yang seba?, ‘siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap”. Diperhatikan yang berikut ini.
           
SOLITUDE
                yang paling mawar                            
                yang paling duri
                yang paling sayap
                yang paling bumi
                yang paling pisau
                yang paling risau
                yang paling nancap
                yang paling dekap

                samping yang paling
                Kau!

            Mawar, duri, sayap, bumi, pisau, adalah kata benda. Nancap dan dekap adalah jenis kata kerja. Dengan diawali kata yang paling  jenis kata kerja dan benda tersebut menjadi kata sifat. Ucapan biasa akan betubah; yang paling bersifat mawar, yang paling bersifat duri, yang paling bersifat sayap. Bila mengikuti tata bahasa normatif seperti itu akan tidak padat dan kehilangan kebaruan atau kesegarannya, juga akan kehilangan kegandaan artinya, dan akan kehilangan ekspresiviatasnya.
            Kata benda langsung dibentuk dari kata seru dan kata keadaan tanpa mengubah bentuk morfologinya. Kata seru dan kata keadaan tersebut dalam kalimat fungsinya dijadikan objek penderita sehingga menjadi kata benda, seperti berikut ini.
           
aku akan mengucup luka
                aku telah membelai aduhai
                aku telah tiarap harap
                aku telah mencium aum!
                Aku telah dipukau au!

            ...
                bulan di jendela kasikan remaja, daging ai atas paha
                berikan bosan!

            Kata ’aduhai, au’ adalah kata seru. Kata ’bosan’ adalah kata sifat atau keadaan. Juga yang berikut ini.
               
siapa dapat meneduh rusuh
                ...
                siapa dapat membalut luluh
                ...
                siapa dapat membalut lusuh

            Rusuh, luluh, dan lusuh adalah jenis kata keadaan, karena dijadikan objek maka menjadi kata benda. Dengan ucapan seperti itu, semua menjadi baru, segar, dan ekspresif. 














































Tidak ada komentar: