Pengkajian Fiksi
Berdasarkan Pendekatan Sosiologi
Pendekatan
sosiologi adalah perkembangan dari jauh pendektan mimetik, atau pendekatan
ekstrinsik seperti yang diuraikan oleh Rene Wellek dan Austin Warren, meskipun
tidak persis seperti itu.
Pendekatan
sosiologi memanfaatkan hal-hal yang ditentang oleh golongan strukturalis. Bagi
pengikut pendekatan sosiologis, karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan
pengarang dan latar belakang sosial budayanya.
Menurut Ratna (2009) sosiologi
sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya
sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sementara itu, Damono membagi pendektan
sosiologis ke dalam dua kecenderungan besar. Pertama, pendekatan sosiologis yang berdasarkan pada anggapan bahwa
sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendektan ini bergerak
dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Dengan demikian,
sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu
sendiri. Kedua, mengutamakan teks
sastra sebagai bahan penelaahan untuk mengetahui strukturnya, kemudian
dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar
karya sastra.
Berdasarkan pada
analisis struktur cerpen Tumpeng,
berikut ini akan dipaparkan contoh analisis tersebut dengan menggunakan
pendekatan sosiologis tipe kedua, yakni menelaah teks sastra terlebih dahulu
secara objektif kemudian dipergunakan sebagai bahan untuk memahami lebih dalam
lagi gejala yang ada di luar karya sastra itu agar makna cerpen tersebut lebih
dipahami.
Untuk
menganalisis karya sastra dengan pendekatan sosiologi hal pertama harus
dilakukan adalah mencari permasalahan yang ada dalam cerpen tersebut. Agar
pembicaraan tidak salah arah permasalahan yang dilontarkan dengan pertanyaan
haruslah dibatasi persoalannya. Sementara itu, permasalahan dapat bermunculan
apabila diawali dengan pembacaan yang lebih suntuk, serta penganalisisan lewat
pendekatan struktur karya yang bersangkutan. Dalam hal ini cerpen tersebut,
setelah dilakukan analisis muncullah permasalahan, mengapa Midas sebagai
seorang putra bangsawan bertingkah laku seburuk itu. Seberapa jauh arus
globalisasi memengaruhinya? Mengapa Sawitri mahasiswa pascasarjana di luar
negeri, begitu sampai di depan Paman Kanjeng sepuh duduk bersimpuh, mengiyakan
segala macam pendapat dan perintah Paman Kanjeng? Latar belakang budaya apa
yang menyebabkan seperti itu? Bukankah ia seharusnya berubah, lebih rasional
sebagaimana yang selalu diajarkan dalam pendidikan barat?
Pertanyaan yang
menyangkut Sawitri inilah yang akan dicoba untuk dianalisis dengan pendekatan
sosiologi. Untuk itu diperlukan bacaan lain yang ada hubungannya dengan sikap
orang Jawa, yang juga sangat erat kaitannya dengan pribadi Paman Kanjeng Sepuh.
Bagi orang Jawa bersikap tenang merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan
sekaligus menunjukkan kekuatan batin. Sikap tenang itu disebut alus. Alus (halus) berarti lembut, luwes, sopan, beradab, peka, dsb
(Suseno, 1984).
Bagi yang tidak
tahu kehalusan kelemahan, tetapi dalam kenyataannya, orang yang halus berarti
orang yang dapat mengontrol dirinya secara sepurna, dan dengan demikian
memiliki kekuatan batin. Orang tidak harus bersuara keras agar didengar, tidak
harus memukul meja sambil marah-marah agar diperhatikan. Ia cukup memberikan perintah
secara tidak langsung, dalam bentuk sindiran, usul, anjuran; yang kesemuanya
itu sebenarnya sebagai perintah yang halus. Orang yang sungguh-sungguh
berwibawa, tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha
lahiriah.
Sebaliknya sifat
kasar, cepat marah, berteriak dan mengamuk; menunjukkan kekurangan kekuatan
batin. Oleh orang Jawa sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang
control diri, dan lemah batinnya. Dalam pada itu prinsip hormat mengatur pola
interaksi dalam masyarakat Jawa teratur secara hirarkis. Ketaraturan hirarkis
itu bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang wajib untuk
memertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya (Suseno, 1984).
Dari beberapa
kutipan di atas menjadi jelas mengapa Paman Kanjeng Sepuh memberi perintah
persetujuan tentang akan diadakannya upacara tumpengan yang tidak secara
langsung dikatakan kepada Midas, tetapi melalui Sawitri. Di sini sebenarnya
tersirat ketidaksetujuan Paman Kanjeng diadakan upacara tumpeng. Jika Midas masih
memiliki kepekaan sebagaimana anak-anak Jawa sejak kecil telah diajarkan
prinsip wedi, isin dan sungkan, dengan pesetujuan yang
diberikan oleh Paman Kanjeng secara tidak langsung, seharusnya Midas mundur.
Mengapa Midas justru senang, secara tersirat sebenarnya saat Sawitri menangis
tersedu-sedu di pangkuan Paman Kanjeng.
“. ..
Perempuan itu tak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru yang
mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana
ajaran-ajaran keutamaan yang dulu diberikan di kala mereka kanak-kanak oleh
sang ayah, adik Paman Kanjeng itu” (hlm, 55).
Dengan demikian,
Midas sebetulnya tidak memiliki rasa wedi,
isin, dan sungkan. Adapun rasa wedi, maksudnya bukan hanya takut
terhadap ancaman fisik, tetapi terlebih-lebih sebagai rasa takut kepada akibat
kurang enak karena suatu tindakan. Pertama-tama anak harus belajar untuk merasa
wedi terhadap orang yang harus
dihormati, misalnya orang yang lebih tua dan terhadap orang baru kita kenal.
Berikutnya, anak harus belajar untuk merasa isin,
merasa malu, juga dalam arti merasa bersalah. Belajar untuk merasa malu adalah
langkah pertama ke arah kematangan kepribadian Jawa. Orang jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan
sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.
Sementara itu,
makin bertambah umur, anak Jawa selalu merasa sungkan, yaitu suatu perasaan yang dekat dengan rasa isin. Sungkan adalah malu dalam arti
yang lebih positif, sungkan sebagai
rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal.
Dengan demikian,
tindakan-tindakan Midas sejak memarahi adiknya di depan Paman Kanjeng, meminta
secara paksa kepada Paman Kanjeng agar memberikan tongkat antik berkepala naga
yang terbuat dari emas untuk dikoleksi, tetapi ternyata dijual; dan memaksakan
kehendaknya untuk melakukan uparaca tumpengan. Kesemuanya itu jelas telah
melupakan ajaran orang tuanya yang
berbentuk wedi, isin, dan sungkan. Jika
meminjam pendapat Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang sering bertandan
ke rumah Paman Kanjeng, . . “ bahwa yang indah tinggal pakaian. Sebab hanya
pakaian yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi roso, ialah nilai-nilai kedalaman, sudah lama hilang.” (hlm, 55).
Lalu apa
hukumannya apabila ada seorang yang bertingkah seperti Midas. Lewat tuturan
Sawitri dijabarkan ke dalam surat kawat singkat,
“jangan kau
siksa Paman Kanjeng. Beliau baik sekali kepada kita, kamu bisa kualat, terkutuk (hlm, 54).
Diakhir
kisah, Midas memang kualat, terkutuk. Upacara tumpengan yang bakal
menghasilkan uang berbentuk dollar, musnah setelah tempayan yang dijinjingnya
hancur berkeping-keping.
Bagaimana dengan
tingkah laku Sawitri mahasiswa Amerika yang pulang riset di Yogya? Mengapa ia
masih mau tidur di lantai, memijit-mijit Paman Kanjeng, sementara budaya
Amerika telah menyatu dengannya. Bisa
jadi karena kecendekiawannyalah yang menyebabkan masih berpegang teguh akan
sikap hormat yang berbentuk wedi, isin,
dan sungkan itu. Di tengah-tengah
budaya Barat yang tidak mengenal ketiga sikap itu, justru Sawitri tanpil
sebagai istri Satyawan yang hampir mati, ditunggui oleh Sawitri yang setia
untuk siap tawar-menawar dengan Yamadipati, sang Dewa Maut, yang akan datang
menjemput nyawa Satyawan (hlm, 51).
Seperti yang dibayangkan oleh Paman Kanjeng Sepuh saat kakinya dipijit-pijit
oleh Sawitri.
Demikianlah
pendekatan sosiologis beberapa persoalan dapat dijawab dan dijernihkan dan ini
pasti tidak mungkin dijawab oleh pendekatan objektif yang tidak melibatkan pada
sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan cerpen yang berjudul Tumpeng. Betapapun karya sastra adalah
ciptaan seorang pengarang yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
pengarang, keyakinannya, dan latar belakang budaya pada saat karya sastra itu
dibuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar