Jumat, Oktober 10, 2014

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Sosiologi

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi adalah perkembangan dari jauh pendektan mimetik, atau pendekatan ekstrinsik seperti yang diuraikan oleh Rene Wellek dan Austin Warren, meskipun tidak persis seperti itu.
Pendekatan sosiologi memanfaatkan hal-hal yang ditentang oleh golongan strukturalis. Bagi pengikut pendekatan sosiologis, karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan pengarang dan latar belakang sosial budayanya.
Menurut Ratna (2009) sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sementara itu, Damono membagi pendektan sosiologis ke dalam dua kecenderungan besar. Pertama, pendekatan sosiologis yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendektan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Dengan demikian, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar karya sastra.
Berdasarkan pada analisis struktur cerpen Tumpeng, berikut ini akan dipaparkan contoh analisis tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologis tipe kedua, yakni menelaah teks sastra terlebih dahulu secara objektif kemudian dipergunakan sebagai bahan untuk memahami lebih dalam lagi gejala yang ada di luar karya sastra itu agar makna cerpen tersebut lebih dipahami.
Untuk menganalisis karya sastra dengan pendekatan sosiologi hal pertama harus dilakukan adalah mencari permasalahan yang ada dalam cerpen tersebut. Agar pembicaraan tidak salah arah permasalahan yang dilontarkan dengan pertanyaan haruslah dibatasi persoalannya. Sementara itu, permasalahan dapat bermunculan apabila diawali dengan pembacaan yang lebih suntuk, serta penganalisisan lewat pendekatan struktur karya yang bersangkutan. Dalam hal ini cerpen tersebut, setelah dilakukan analisis muncullah permasalahan, mengapa Midas sebagai seorang putra bangsawan bertingkah laku seburuk itu. Seberapa jauh arus globalisasi memengaruhinya? Mengapa Sawitri mahasiswa pascasarjana di luar negeri, begitu sampai di depan Paman Kanjeng sepuh duduk bersimpuh, mengiyakan segala macam pendapat dan perintah Paman Kanjeng? Latar belakang budaya apa yang menyebabkan seperti itu? Bukankah ia seharusnya berubah, lebih rasional sebagaimana yang selalu diajarkan dalam pendidikan barat?
Pertanyaan yang menyangkut Sawitri inilah yang akan dicoba untuk dianalisis dengan pendekatan sosiologi. Untuk itu diperlukan bacaan lain yang ada hubungannya dengan sikap orang Jawa, yang juga sangat erat kaitannya dengan pribadi Paman Kanjeng Sepuh. Bagi orang Jawa bersikap tenang merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukkan kekuatan batin. Sikap tenang itu disebut alus. Alus (halus) berarti lembut, luwes, sopan, beradab, peka, dsb (Suseno, 1984).
Bagi yang tidak tahu kehalusan kelemahan, tetapi dalam kenyataannya, orang yang halus berarti orang yang dapat mengontrol dirinya secara sepurna, dan dengan demikian memiliki kekuatan batin. Orang tidak harus bersuara keras agar didengar, tidak harus memukul meja sambil marah-marah agar diperhatikan. Ia cukup memberikan perintah secara tidak langsung, dalam bentuk sindiran, usul, anjuran; yang kesemuanya itu sebenarnya sebagai perintah yang halus. Orang yang sungguh-sungguh berwibawa, tidak perlu menggarisbawahi kewibawaannya dengan usaha-usaha lahiriah.
Sebaliknya sifat kasar, cepat marah, berteriak dan mengamuk; menunjukkan kekurangan kekuatan batin. Oleh orang Jawa sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang control diri, dan lemah batinnya. Dalam pada itu prinsip hormat mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa teratur secara hirarkis. Ketaraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang wajib untuk memertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya (Suseno, 1984).
Dari beberapa kutipan di atas menjadi jelas mengapa Paman Kanjeng Sepuh memberi perintah persetujuan tentang akan diadakannya upacara tumpengan yang tidak secara langsung dikatakan kepada Midas, tetapi melalui Sawitri. Di sini sebenarnya tersirat ketidaksetujuan Paman Kanjeng diadakan upacara tumpeng. Jika Midas masih memiliki kepekaan sebagaimana anak-anak Jawa sejak kecil telah diajarkan prinsip wedi, isin dan sungkan, dengan pesetujuan yang diberikan oleh Paman Kanjeng secara tidak langsung, seharusnya Midas mundur. Mengapa Midas justru senang, secara tersirat sebenarnya saat Sawitri menangis tersedu-sedu di pangkuan Paman Kanjeng.
“. .. Perempuan itu tak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu diberikan di kala mereka kanak-kanak oleh sang ayah, adik Paman Kanjeng itu” (hlm, 55).

Dengan demikian, Midas sebetulnya tidak memiliki rasa wedi, isin, dan sungkan. Adapun rasa wedi, maksudnya bukan hanya takut terhadap ancaman fisik, tetapi terlebih-lebih sebagai rasa takut kepada akibat kurang enak karena suatu tindakan. Pertama-tama anak harus belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati, misalnya orang yang lebih tua dan terhadap orang baru kita kenal. Berikutnya, anak harus belajar untuk merasa isin, merasa malu, juga dalam arti merasa bersalah. Belajar untuk merasa malu adalah langkah pertama ke arah kematangan kepribadian Jawa. Orang jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.
Sementara itu, makin bertambah umur, anak Jawa selalu merasa sungkan, yaitu suatu perasaan yang dekat dengan rasa isin. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif, sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal.
Dengan demikian, tindakan-tindakan Midas sejak memarahi adiknya di depan Paman Kanjeng, meminta secara paksa kepada Paman Kanjeng agar memberikan tongkat antik berkepala naga yang terbuat dari emas untuk dikoleksi, tetapi ternyata dijual; dan memaksakan kehendaknya untuk melakukan uparaca tumpengan. Kesemuanya itu jelas telah melupakan ajaran  orang tuanya yang berbentuk wedi, isin, dan sungkan. Jika meminjam pendapat Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang sering bertandan ke rumah Paman Kanjeng, . . “ bahwa yang indah tinggal pakaian. Sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi roso, ialah nilai-nilai kedalaman, sudah lama hilang.” (hlm, 55).
Lalu apa hukumannya apabila ada seorang yang bertingkah seperti Midas. Lewat tuturan Sawitri dijabarkan ke dalam surat kawat singkat,
“jangan kau siksa Paman Kanjeng. Beliau baik sekali kepada kita, kamu bisa kualat, terkutuk (hlm, 54).
 Diakhir  kisah, Midas memang kualat, terkutuk. Upacara tumpengan yang bakal menghasilkan uang berbentuk dollar, musnah setelah tempayan yang dijinjingnya hancur berkeping-keping.
Bagaimana dengan tingkah laku Sawitri mahasiswa Amerika yang pulang riset di Yogya? Mengapa ia masih mau tidur di lantai, memijit-mijit Paman Kanjeng, sementara budaya Amerika telah menyatu dengannya.  Bisa jadi karena kecendekiawannyalah yang menyebabkan masih berpegang teguh akan sikap hormat yang berbentuk wedi, isin, dan sungkan itu. Di tengah-tengah budaya Barat yang tidak mengenal ketiga sikap itu, justru Sawitri tanpil sebagai istri Satyawan yang hampir mati, ditunggui oleh Sawitri yang setia untuk siap tawar-menawar dengan Yamadipati, sang Dewa Maut, yang akan datang menjemput nyawa Satyawan      (hlm, 51). Seperti yang dibayangkan oleh Paman Kanjeng Sepuh saat kakinya dipijit-pijit oleh Sawitri.
Demikianlah pendekatan sosiologis beberapa persoalan dapat dijawab dan dijernihkan dan ini pasti tidak mungkin dijawab oleh pendekatan objektif yang tidak melibatkan pada sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan cerpen yang berjudul Tumpeng. Betapapun karya sastra adalah ciptaan seorang pengarang yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pengarang, keyakinannya, dan latar belakang budaya pada saat karya sastra itu dibuat.  


Tidak ada komentar: