Puisi: Karya Sejuta Pesona
Fungsi
Puisi
Fungsi yang dimaksud adalah fungsinya bagi kehidupan. Bukan
fungsi fraktis yang langsung dapat dipergunakan dalam kehidupan fisik
atau material meskipun puisi sebagai karya sastra dapat dijual (misalnya buku puisi dapat dijual, deklamasi
puisi dapat mendatangkan uang).
Puisi
merupakan karya sastra yang bermakna. Makna yang terdapa dalam puisi memiliki
nilai dalam kehidupan manusia. Nilai merupakan konstruk yang
disimpulkan atau sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi.
Menurut Berry (1999), nilai mengarah pada suatu konsep yang dikukuhkan individu
atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan,
dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif.
Lonner
dan Malpass (1994) mengemukakan bahwa nilai melibatkan keyakinan umum tentang
cara bertingkah laku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dan tujuan atau
keadaan akhir yang diinginkan atau yang tidak diinginkan
Nilai menduduki posisi di
tengah-tengah, di antara kebudayaan sebagai antenseden dan perilaku manusia
sebagai konsekuensi. Karena posisinya yang sentral, maka nilai dapat dilihat
sebagai variabel bebas dan variabel terikat (Hartono, 2006). Sebagai variabel
bebas terhadap perilaku manusia, nilai sama fungsi psikisnya seperti sikap,
kebutuhan-kebutuhan dan sebagainya yang memiliki dampak luas terhadap hampir
semua aspek perilaku manusia dalam konteks sosial. Sebagai variabel terikat
terhadap pengaruh-pengaruh sosial budaya dari masyarakat yang dihuni merupakan
hasil pembentukan dan faktor-faktor kebudayaan, pranata, dan pribadi-pribadi
dalam masyarakat tersebut selama hidupnya.
Tarigan
(1984) menguraikan bahwa karya sastra mengandung (1) nilai hedonik, yakni
sesuatu yang memberikan kesenagan secara langsung, (2) nilai artistik, yakni
suatu nilai keindahan sebagai manifestasi keterampilan sastra, (3) nilai etis,
moral-relegius, filosofis, yakni ajaran yang ada sangkut-pautnya dengan etika,
moral, agama, dan filsafat, dan (4) nilai praktis, yakni hal-hal praktis yang
dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai
berfungsi sebagai standar, yaitu standar yang menunjukkan tingkah laku dari
berbagai cara, yaitu (1) membawa individu untuk mengambil posisi khusus dalam
masalah sosial, (2) mempengaruhi individu dalam memilih idiologi politik atau
agama, (3) menunjukkan gambaran-gambaran self
terhadap orang lain, (4) menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan
atas diri sendiri atau orang lain, (5) merupakan pusat pengkajian tentang
proses-proses perbandingan untuk menentukan individu bermoral atau tidak, (6)
nilai digunakan untuk memengaruhi orang lain atau mengubahnya, (7) nilai
sebagai standar dalam proses rasionalisasi, yang dapat terjadi pada setiap
tindakan yang kurang dapat diterima oleh pribadi atau masyarakat dan
meningkatkan self-esteem (Dayakisni,
2004).
Kebudayaan
yang berupa nilai-nilai yang membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan
batin itu biasanya berupa pikiran dan budi manusia yang baik. Pikiran dan budi
manusia yang baik itu selanjutnya menjadi prinsip yang melandasi tindak hidup
manusia, sehingga manusia dewasa bersifat luhur. Nilai yang berharga yang
berkaitan dengan pikiran dan budi baik manusia menjadi prinsip dan melandasi
tindak hidup manusia sehingga menjadi manusia dewasa dan bersifat luhur.disebut
nilai kultur edukatif (Hartono, 2006).
Menurut
Amir (1986) keberagaman nilai yang ada dalam budaya atau kultur manusia
berdasarkan arah tujuan dan fungsi nilai bagi kehidupan manusia terdiri atas tiga
jenis nialai, Yaitu: (1) nilai hidup ketuhanan manusia, (2) nilai kehidupan
sosial manusia, dan (3) nilai kehidupan pribadi manusia. Sementara itu,
Sudaryono (2002) mengemukakan nilai-nilai budaya itu secara konseptual
dijadikan sebagai penggerak tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai
makhluk pribadi, sosial, dan hubungan dengan Tuhan.
Selain
memiliki nilai keindahan, sastra juga memiliki nilai ajaran yang bermanfaat
bagi pembacanya. Terdapatnya keindahan, dalam karya sastra sebagai kreasi seni
akan memberi kesenangan kepada pembaca. Sementara nilai kemanfaatan
merujuk pada pemahaman ajaran nilai-nilai kehidupan. Kualitas nilai kesenangan
dan ajaran tersebt ditentukan oleh terdapatnya harmoni dari unsur-unsur
pembentuk karya sastra itu sendiri.
Kekuatan
nilai ajaran dalam karya sastra ditentukan oleh (1) kedalaman gagasan yang
dikemukakan oleh penyairnya, (2) efeknya bagi pembaca dalam membangkitkan daya
inspirasi dan mendorong bangkitnya daya vitalitas, dan (3) kekuatan bahasa yang
digunakan sebagaimana tertampil lewat pilihan kata, ungkapan, maupun penggunaan
gaya bahasa pada umumnya. Sebagai karya kreatif, kehadiran karya sastra
akhirnya ditentukan bukan keterampilan teknis semata-mata tetapi juga oleh
terdapatnya pencerahan batin dan daya spiritual pengarangnya.
Wellek
dan Warren (1990) menguraikan bahwa nilai yang dibahas dalam sastra meliputi
(1) masalah keagamaan, berupa interpretasi tentang indah, dosa, dan
keselamatan; (2) masalah nasib manusia yang berhubungan dengan kebebasan, keterpaksaan,
dan semangat manusia; (3) masalah alam, mitos dan alam gaib; (4) masalah
manusia yang berupa konsep manusia, hubungan manusia dengan konsep kematian dan
cinta; dan (5) masalah masyarakat, keluarga, dan negara.
Lanjut, Wellek dan Waren (1990) mengemukakan
bahwa fungsi sastra termasuk puisi
manis dan berguna. Puisi itu menyenangkan karena pengekspresiannya yang indah
dan berguna karena isinya, apa yang diekspresikan itu berupa pikiran, ajaran,
ataupun gagasan yang bagus untuk kehidupan manusia. Sementara, Hutagalung
mengemukakan sastra merangsang hati kita terhadap kemanusiaan, kehidupan bahkan
terhadap alam sekeliling, merangsang kita untuk lebih memahami dan menghayati
kehidupan. Kemudian, Suwarjo mengemukakan bahwa di tengah gemuruhnya teknologi,
puisi berusaha mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis habis oleh
teknologi, puisi berusaha mengembalikan
stabilitas, mengembalikan keselarasan, dan keutuhan dalam diri manusia.
Keagamaan memerlihatkan nafas intensitas jiwa, yaitu
cita rasa yang merupakan kesatuan rasio dan rasa manusiawi ke dalam pribadi
manusia (Mangunwijaya, 1988; Atmosuwito, 1989). Berdasarkan hal tersebut, dapat
dipahami bahwa nilai keagamaan adalah nilai yang mendasari dan menuntun tindak hidup ke-Tuhanan manusia
dengan cara dan tujuan yang benar.
Kata
berelegi, berarti menyerahkan diri, tunduk, taat. Pengertian itu positif,
karena penyerahan diri atau ketaatan dikaitkan dengan kebahagiaan seseorang.
Kebahagian itu merupakan dunia baru
penuh kemuliaan yang dirasakan seseorang, sehingga perasaan seseorang
terhadap agamanya semakin baik. Perasaan keagamaan sendiri adalah segala
perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, misalnya perasaan dosa,
perasaan takut, kebesaran Tuhan dan sebagainya.
Menurut
Mangunwijaya (1988) relegius, realisasinya berupa kekuasaan, daya kekuatan,
sumber hidup dalam kesucian baik dalam realita hidup maupun dalam alam pikiran
manusia. Sedangkan agama lebih mengacu pada pengertian yang resmi, yuridis,
peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Cakupan pengertian agama biasanya
mencakup juga segi kemasyarakatan.
Menurut
Buseri (2004) istilah nilai relegius sama dengan istilah ’nilai ilahiah’.
Nilai-nilai ilahia dalam Islam ditawarkan secara terbuka dan bisa dicari
hikmahnya yang tertinggi melalui proses pemaknaan atau verstehen. Ada tiga
jenis nilai ilahiah, yaitu: (a) nilai imaniah, (b) nilai ubudiah, dan (c) nilai
muamalah. Sementara itu, kaum Romantik menganggap nilai relegius dalam sastra
sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam anggapan ini tercakup
juga pendirian bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan pemberontak
(Damono, 1984).
Manusia
sebagai makhluk Tuhan, baik secara sadar maupun tidak, merasakan adanya
getar-getar tertentu dalam qalbunya yang mengisyaratkan adanya keinsyafan bahwa
di luar diri manusia ada kekuatan dahsyat yang berpengaruh terhadap
kehidupannya. Kesadaran ini disebut kesadaran relegius (Hartono, 2006).
Ekspansi
getaran-getaran keagamaan, oleh Riyadi (1990) sejalan dengan pikiran
masyarakat. Kesadaran relegius ini mampu memberikan implikasi adanya perasaan
khas manusia yang mampu menggerakkan dan mengerahkan tingkah laku manusia. Puisi
yang mengandung nilai relegius dapat dilihat berikut ini.
Peraduan Menanti
Kubalut sepi ini
Kugenggam dengan tasbih
Kurajut dengan zikir
Kumunajab pada Illah ku
Kugenggam dengan tasbih
Kurajut dengan zikir
Kumunajab pada Illah ku
Perempatan malam menjemput
Perkutuk bertasbih
Dedaunan merunduk
Sahutan kokok ayam dengan tasbihnya
Ya Karimullah
Bayu semilir
Kubermunajab pada Illah ku
Takbir, tahmid, zikir enggang usai
Di perempatan malam kudendangkan
Asa ini setia menanti uluran
Karena ia kan ujud
Bagia...
Cinta…
Sayang...
Di peraduan . . . (Cici, 2010).
Perkutuk bertasbih
Dedaunan merunduk
Sahutan kokok ayam dengan tasbihnya
Ya Karimullah
Bayu semilir
Kubermunajab pada Illah ku
Takbir, tahmid, zikir enggang usai
Di perempatan malam kudendangkan
Asa ini setia menanti uluran
Karena ia kan ujud
Bagia...
Cinta…
Sayang...
Di peraduan . . . (Cici, 2010).
Gagasan yang ingin disampaikan penulis dalam puisi Peraduan Menanti, seseorang yang
bermunajab di pertengahan malam (shalat tahajut). Bagi si aku menuju keperaduan yang membuahkan
cinta, bahagia, dan sayang dilakukan dengan munajab di setiap perempatan malam.
sementara keheningan sepi, yang terdengar hanya kokok ayam, semilir angin
sepoi-sepoi, si aku melantunkan Subhanallah,
Alhamdulillah, Allahu Akbar. Yang seakan-akan berlanjut tiada hentinya.
Puisi dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan, Sang Pencipta, Yang Maharahman seperti sajak relegius berikut
ini.
Aku cukup dengan Engkau Saja
aku cukup dengan Engkau saja
dalam nikmat zikir dan sujud jiwa
aku cukup bersama-Mu saja
aku cukup dengan Engkau saja
walau orang-orang itu
mencari kesenangan di diskotik-diskotik
panti-panti pijat, hotel dan pelacuran
aku cukup di rumah-Mu saja
dalam nikmat zikir dan sujud jiwa
bukan lantaran takut aids dan raja singa
jika kujauhi pelacuran dan sauna
tetapi memang cukup bagiku
bahagia dalam cinta-Mu saja
aku cukup dengan Engkau saja
walau kursi dan mobil dinas menjauhiku
walau dasi dan gaji besar berpaling
dariku
walau ormas dan orpol mencibir padaku
aku cukup didekat-Mu saja, bahagia
dalam nikmat zikir dan sujud jiwa (Herfanda, 1996).
Sajak tersebut membawa pembaca
dekat kepada Tuhan. Untuk dekat kepada Tuhan si aku menjauhi perbuatan
maksiat yang dilarang oleh Tuhan. Si aku cukup berbahagia dalam cinta Tuhan
saja.
Puisi dapat pula berintrospeksi kepada diri
sendiri. Dengan introspeksi manusia dapat melihat kekurangan dirinya untuk memerbaiki
dan menyadari siapa diri sesungguhnya. Hal ini tampak dalam sajak M. Taslim apa
hakikat manusia sesungguhnya.
Aku dan Debu
Aku jelajah ini kota
Simpang siur jalannya
Tampak tangis darah dan daging
Mengeluh jatuh ke debu
Bertemu debu dan debu
Aku jelajah gunung dan lembah
Debu ngebul dari kakiku
Mulut bedil dan mortir
Rahang meriam, ngebulkan debu
Debu dan debu
Aku jelajah gelap dan caya
Aku debu
Seperti tangis
darah dan daging
Seperti debu,
keluh kakiku
Debu takdir,
bedil, dan mortir
Pada akhir jalanku
Kembali pada debu
Dari Gelap dan Caya
Di mana aku lupakan debu (Taslim
Ali, dalam Jassin).
Sajak tersebut si aku
merenungin dirinya, diri manusia, pada hakikatnya adalah debu atau tanah yang
pada akhirnya kembali ke debu, tanah. Juga semua yang di dunia akan kembali ke
debu, dan tanah. Oleh sebab itu sosok manusia harus menyadari dirinya
senantiasa menyerahkan diri kepada Tuhan, mengabdi kepada-Nya. Interokspeksi
atau renungan itu menyadari siapa manusia sesungguhnya yang tidak lain adalah
debu. Dan yang kuasa menciptakan debu adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Sajak juga dapat membangkitkan
cinta tanah air dan perjuangan untuk kemerdekaan. Dalam sajak Tanah Bahagia Sanusi Pane, si aku ingin
menuju ke tanah bahagia yaitu tanah Indonesia yang merdeka. Pada waktu itu
Indonesia masih dijajah oleh Belanda. Oleh karena itu si aku selalu bersedih
hati sengsara setiap hari. Si aku merindukan tanah bahagia yang bersinar emas
permata. Secara tidak langsung si aku mengiaskan bangsa Indonesia yang
menginginkan kemerdekaan seperti berikut ini.
Tanah Bahagia
Bawa aku ke negara sana tempat bah’gia
Ke tanah yang subur, dipanasi kasih cinta
Di langit biru yang suci, harapan cita
Dikelilingi pegunungan damai mulia
Bawa aku ke benua termenung berangan
Ke tanah tasik ke sucian memerak silau
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan
Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata
Hatiku dibelah sengsara setiap hari
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua
O, tanah bah’gia bersinar emas permata
Dalam duka-cita engkau mematahari
Pabila gerang tiba waktu bersua? (Sanusi Pane).
Puisi yang membangkitkan cinta
kepada manusia kepada orang-orang sebangsa yang menderita. Puisi mengajak mengentas kemiskinan orang-orang yang lemah. Sajak Buat
Saudara Kandung menyebut kaum sebangsa sebagai saudara kandung. Mereka
adalah rakyat kecil yang hidup menderita yang harus dientas dari penderitaan
dan kemiskinan. Meskipun sudah lama merdeka tetapi masih hidup dalam
penderitaan.
Buat Saudara Kandung
Ke manakah engkau
saudara
Orang-orang lemah dan ladang-ladang tidak berbunga
Dan anjing, yang menangis siang hari
Malam-malam menangis panjang sekali
Lenguh lembu dikejauhan
Menyebar kabar kemuraman
Sebuah dusun yang tenggelam
Kampung merana kekeringan
Cinta. Wajah-wajah menadah rawan;
Kami kehilangan
Dan kota mengepul debu
Di dadanya oto dan radio menderu
Seperti biasa
Ke sana kita, saudara
Sudah sekian ketika
Ladang-ladang tidak berbunga
Orang-orang lemah dan mereka
Hanya bisa berkata lewat caya mata
Ke manakah engkau, saudara
Jalan sudah begini jauhnya
(Andangdjaja, 1973).
Puisi merangsang untuk mencintai kebudayaan
sendiri. Sering kita lupa padahal bangsa asing sering dan ingin memelajarinya
dan memiliki barang kebudayaan. Ajip Rosadi berikut mengajak kita untuk
memelihara kehidupan dan kesenian kita seperti berikut ini.
Terkenang Topeng Cirebon
Di atas gunung batu manusia membangun tugu
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang baru perkasa
Dengan etalase kaca, lampu-lampu berwarna, jiwanya ragu
Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam udara hampa
Kulihat bangsa yang terumbang-ambing antara dua dunia
Bagaikan cermin diriku sendiri di sana
Mengejar-ngejar gairah bayangan esok
Memimpikan masa silam yang terasa kian lama kian elok!
Waktu menonton tari topeng di Istana Musimpanas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!
Dan waktu kusimak. Tang’ak tubuhku tersandar lemas
Betapa indah gamelan Bali dan degung Sunda
Bagaikan terdengar
Kian jauh aku pergi, kian banyak yang kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia
Tak
dirawat (Rosidi, 1993).
Sajak yang mengajak kita untuk
mencari dan mengejar kemajuan seperti seorang pencari kebenaran dan kemajuan
harus berani menghadapi kesukaran bukan berani menetang maut.
Menurut Teeuw (1980) karya
sasra lahir tidak dalam kekosongan budaya, tetapi sastra lahir dalam konteks
sejarah dan sosial budaya suatu bangsa, di dalamnya sastrawan merupakan salah
seorang anggota masyarakat bangsanya. Di samping itu, menurut Saryono (1997)
sastra merupakan interaksi yang menjadi fakta mentalis, fakta sosial dari
masyarakat yang menghasilkannya. Keberadaan ini membuat tidak pernah terlepas
atau tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks dan proses dialektika budaya.
Misalnya saja puisi-puisi Chairil pada masa revolusi menanamkan semangat
patriotisme kepada pembacanya, sementara Taufik Ismail dan kawan-kawan yang
tergabung dalam Angkatan 66 dengan puisi demonstrasinya membangkitkan semangat
untuk berjuang membela kebenaran.
Fungsi membaca karya sastra khususnya puisi adalah:
(a) memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai
kependidikan dalam kehidupan, (b) memerkaya pandangan atau wawasan kehidupan
sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun
peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri, (c) pembaca dapat
memeroleh dan memahami nilai-nilai budaya
dari setiap zaman yang melahirkan cipta sastra itu sendiri, (d) mengembangkan
sikap kritis pembaca dalam mengamati perkembanban zamannya (Wellk & Warren,
1990; Sumardjo dan Saini, 1991; Semi, 1988).
Sastrawan
menulis karyanya tidak asal menuangkan ide dan gagasannya. Lingkungan sekitar
sangat memengaruhi dan menjadi objek tuangan gagasan penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar