Puisi : Pemodernan atau Degredasi
C. Pengertian Puisi
Struktur dan ragam
puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus berubah. Hal ini nampak apabila
kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman tertentu yang ternyata berbeda dari
ke-khas-an puisi pada zaman yang
lain. Di masa
lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi ketentuan jumlah baris,
ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah sebabnya Wirjosoedarmo (1984)
mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat. Definisi tersebut tentu saja
tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena saat ini penyair sudah lebih bebas
dan tidak harus tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini
mengakibatkan pembaca tidak dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa
hanya dengan melihat bentuk visualnya. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan
cerpen Eddy D. Iskandar berikut ini :
Air Selokan
“Air yang di selokan itu
mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau
berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena
bau sengit itu.
Dulu di selokan
itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir :
campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi
sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
+
Senja ini
ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba
berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu
– alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang
berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
(Sapardi Djoko
Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)
NAH
Nah, karena
suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi
akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh
kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan
rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang
melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai
sesepuh.
(Nah, ternyata ucapan suka
lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka kepada uang kotor dan
perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).
[….]
(Eddy D.
Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)
Bentuk
visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi Djoko Damono memaksudkan
karyanya sebagai puisi, sedangkan Eddy D.Iskandar memaksudkan karangannya
sebagai cerita pendek (prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi berdasarkan
bentuk visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.
Karena
sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan Culler menyerahkan
pada penilaian pembaca. Menurut mereka pembacalah yang paling berhak menentukan
suatu karya termasuk prosa atau puisi (Teeuw, 1983 ; Culler, 1977). Pendapat
demikian meskipun nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk studi keilmuan
tentu sangat membingungkan karena tidak ada standar yang pasti.
Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak
ahli sastra dan sastrawan, khususnya penyair romantik Inggris, yang berusaha
memberikan definisi. Berikut ini adalah beberapa pendapat.
Altenbernd (1970),
mendefinisikan puisi sebagai the interpretive dramatization of experience in
metrical language (pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam
bahasa bermetrum). Meskipun mengandung kebenaran, namun definisi tersebut tak bisa
sepenuhnya diterapkan di Indonesia
karena pada umumnya puisi Indonesia
tidak memakai metrum sebagai dasar. Jika yang dimaksud metrical adalah
‘berirama’, maka definisi Altenbernd memang bisa diterima, tetapi memiliki kelemahan
karena prosa pun ada yang berirama. Sebut misalnya cerpen-cerpen Danarto yang
menggunakan kekuatan irama untuk menambah keindahan karyanya.
Samuel
Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan yang
terindah, sehingga tampak seimbang, simetris, dan memiliki hubungan yang erat
antara satu unsur dengan unsur lainnya. Carlyle mengemukakan bahwa puisi
adalah pemikiran yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa,
sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.
Wordsworth
memberi
pernyataan bahwa puisi adalah ungkapan perasaan yang imajinatif atau perasaan
yang diangankan. Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran
manusia secara konkret dan artistik (selaras, simetris, pilihan kata tepat),
bahasanya penuh perasaan dan berirama seperti musik (pergantian bunyi
kata-katanya berturut-turut secara teratur).
Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam
hidup manusia, misalnya hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan keharuan,
kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.
Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, disimpulkan
bahwa puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang
mengekspresikan secara padat pemikiran
dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa yang
paling berkesan.
Setelah kita definisikan apa
itu puisi, selanjutnya kita dapat mengungkapkan perbedaan antara puisi dan
prosa sebagai berikut :
|
PUISI
|
PROSA
|
1
2
3
|
Merupakan aktivitas jiwa yang menangkap kesan-kesan, kemudian kesan-kesan
tersebut dipadatkan (di-kondensasi-kan) dan dipusatkan.
Merupakan pencurahan jiwa yang bersifat liris (emosional) dan ekspresif.
Seringkali isi dan
kalimat-kalimatnya bermakna konotasi.
|
Merupakan aktivitas menyebarkan (men-dispersi-kan) ide/gagasan
dalam bentuk uraian, bahkan kadang-kadang sampai merenik.
Merupakan pengungkapan
gagasan yang bersifat epis atau naratif.
Pada umumnya bermakna denotasi, walaupun memang ada beberapa karya yang
isinya konotasi.
|
Di samping
pengertian puisi di atas, secara etimologi istilah puisi berasal dari bahasa
Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ’pembuatan’, dalam bahasa
Inggris disebut poem atau poerty.
Puisi diartikan ”membuat atau pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya
seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan
atau gambaran suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Wellek dan Warren,
1990; Tarigan, 1984; Aminuddin, 1987; Semi, 1988; Pradopo, 1990).
Sudjiman (1986),
mengemukakan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama,
matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Pradopo (1990) memadukan pendapat
tersebut, sehingga tercipta pengertian puisi yaitu emosi, imajinasi, pemikiran,
ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kias, kepadatan,
dan perasaan yang bercampur-baur.
Berdasarkan
pengertian tersebut, maka untuk menyampaikan gagasan penyair menggunakan bahasa
sebagai medium. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Preminger (1974) puisi
adalah sistem tanda tingkat kedua yang memergunakan sistem tanda tingkat
pertama yang berupa bahasa tertentu. Sistem tanda tingkat pertama itu,
diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberi arti-arti
dan efek-efek yang lain dari yang dimiliki prosa biasa. Menurut Jakobson, studi
terhadap seni dapat digambarkan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan tanda
dan informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar