Jumat, Oktober 10, 2014

Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Sintaksis


Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Sintaksis

            Sajak memerlukan kepadatan dan ekspresivitas, karena sajak itu hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman. Oleh karena itu, terjadi pemadatan, hanya yang perlu-perlu saja dinyatakan, maka hubungan kalimat-kalimatnya implisit, hanya tersirat saja. Hal ini tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat dalam bait pertama (dan bait-bait lainnya). Jadi, gaya kalimat demikian dapat disebut gaya implisit, seperti tampak dalam wujud baris ke-3 dan ke-4 dalam bait pertama. Di antaranya dapat disisipkan kata penghubung untuk memperjelas. Diperhatikan berikut ini.
               
Dan suara yang kucintai ’kan behenti membelai
                (Oleh karena itu), kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Begitu juga hubungan antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3 dan ke-4 dalam bait kedua dan ketiga, sebagaimana berikut ini

                Tidak tah Romeon & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
            (Karena) lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu

Begitu juga, hubungan implisit antara baris ke-2 dan ke-3 bait ketiga, dapat dijelaskan dengan sisipan ungkapan penghubung ”karena itu” atau ”kemudian”, sebagaimana berikut ini.
                Jadi bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu
(Karena itu atau kemudian), kita memburu arti atau diserahkan kepada
Anak lahir sempat

Dalam sajak ini tampak yang mendominasi adalah gaya bahasa kalimat untuk melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Gaya ini dikenal sebagai sarana retorika hiperbola, sebagaimana berikut ini.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut
(Batu nisan ”dipagut” ini berlebih-lebihan).
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang

Di sini tampak hiperbola: kita – anjing diburu – orang disamakan dengan anjing (dilebih-lebihkan kehinaannya). Di samping itu, ada gaya yang menyangatkan, tetapi dalam arti sangay dikecilkan, gaya itu adalah sarana retorika litotes, hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang“
               
„Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu“

Banyaknya orang yang mati dilebih-lebihkan sebagai „tenggelam beratus ribu“
                Kita memburu arti atau diserahkan anak lahir sempat“, ini hiperbola
            Karena  itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah“.

 Untuk menggambarkan orang harus bekerja keras ”mengerdip” pun tidak boleh, dan harus selalu ”mengasah pena” (bekerja keras). Jadi gaya ini adalah hiperbola.
            Baris ke-3, 4, 5 bait ketiga dapat juga dipandang sebagai sarana retorika klimaks, iaitu pernyataan yang mengera.

                ”Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat
            Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah
            Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!”

1.       Gaya Bahasa dalam Kata
            Untuk menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas, dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan. Bahasa kiasan ini menyatakan suatu hal secara tidak langsung. Ekspresi secara tidak langsung ini merupakan konvensi sastra, khususnya puisi seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978), bahwa ucapan tidak langsung itu disebabkan oleh tiga hal: pemindahan atau pergantian arti, penyimpangan atau pemoncongan arti, dan penciptaan arti.
            Pemindahan arti (displacing of meaning) berupa penggunaan metafora dan metinimi. Istilah metafora seringkali untuk menyebut arti kiasan pada umumnya meskipun, metafora itu sesungguhnya merupakan salah satu ragam bahasa kiasan. Penyimpangan atau pemoncongan arti (distoring of meaning) disebabkan oleh ambiguitas, kontadiksi, dan nonsense. Penciptaan arti disebabkan oleh penggunaan bentuk visual: pembaitan, enyambemen, persajakan, persejajaran bentuk (homologue), dan bentuk visual lainnya.
            Ungkapan tak langsung dalam sajak ini yang sangat penting terutama bahasa kiasan (penggantian arti: metafora dan metonimi dan ambiguitas). Demikian pula, untuk menghidupkan lukisan dalam sajak ini dipergunakan ucapan tak langsung dengan citraan (imagery).

Bait ke-1
            ”Ada tanganku” merupakan sinekdoki pars pro toto, ini untuk menunjukkan pusat aktivitas manusia yang terpenting itu terletak di tangan. Di sini tangan untuk keseluruhan manusia.
            Untuk memperjelas gambaran tua atau mati diberi citra: ”jemu terkulai” dan ”mainan cahaya di air” ”hilang bentu”, ”dalam kabut”. ”Suara yang dicintai” adalah sinekdoki pars pro toto untuk istri atau sanak saudara yang dicintai dan disayangi.
            ”Bat nisan” adalah metafora untuk karya yang agung, ”monumental” yang merupakan tanda bahwa orang pernah hadir di dunia dan perlu diingat karena kebesarannya atau karyanya yang hebat.

Bait ke-2
            ”Anjing diburu” merupakan metafora untuk menunjukkan ketergesa-gesaan atau ”orang yang hina” (untuk menyangatkan). ”Sandiwara” adalah metafora untuk peristiwa ataupun kehidupan ini, hal ini menyiratkan bahwa ”hidup di dunia” ini ”hanya” permainan saja yang dibuat oleh Tuhan.
            ”Romeo dan Juliet” ini untuk memberikan kiasan dua kekasih yang saling bercintaan: yang terjadi di dalam sandiwara kehidupan ini. ”Seorang besar” seorang tokoh yang hebat, misalnya Hitler, Churchil, charles de Gaule para ”aktor” dalam PD II. ”beratus ribu” ada;ah rakyat kecil yang beribu-ribu yang menderita.

Bait ke-3
            ”Sawan” ini merupakan ambiguitas berarti kekhawatiran atau takut, atau juga penyakit jiwa.
”Diburu” ambiguitas untuk dikejar-kejar, dihina, direndahkan martabatnya sebagai binatang buruan.
 ”Bedil” metafora atau sinekdoki untuk perang. Kalau ”bedil disimpan” artinya peranng sudah usai.
            ”Kenangan berdebu” adalah kenangan lama ataupun yang menyeramkan (kenagan kepada perang yang hebat).
”Memburu arti” ini ambiguitas untuk menyatakan: mencari arti hidup dengan sungguh-sungguh, memperjuangkan nasib sendiri, atau mencari martabat hidup.
”Anak lahir sempat” anak yang kebetulan  lahir yang tidak diketahui asal-usulnya ataupun kualitas kehebatannya.
”Jangan mengerdip” adalah ambiguitas untuk: jangan berhenti berusaha, jangan beristirahat, jangan santai-santai
”Pena” adalah alat tulis sebagai metafora untuk kehidupan yang (masih) kosong, belum dijalani.
”Tenggorokan” adalah sinikdoke pars pro toto untyk orang yang hidupna sengsara
”Sedikit mau basah” berarti sekedar bisa makan untuk kelangsungan atau mempertahankan hidup.

2.      Gaya Bahasa dalam Bunyi
            Bunyi berfungsi untuk mendukung atau memperkeras arti kata ataupun kalimat. Gaya bunyi untuk memperdalam makna kata dan kalimat. Dalam sajak ini tampak berikut ini
            Keseluruhan sajak merupakan  suasana”berat”, ”muram”, atau ”murung” dan ”gundah”. Suasana itu ditampilkan, di samping oleh arti kata-kata dan kalimatnya, juga oleh bunyinya yang berat dan dominan, yaitu asonansi a dikombinasikan u sajak akhir. Akan tetapi, efektivitasnya ditunjang oleh variasi dan kombinasi bunyi yang menyebabkan berirama dan liris.


Bait ke-1
            Kombinasi bunyi a – u yang kuat tampak pada baris ke-1,2,3. diperhatikan berikut ini
            Ada tanganku ... akan jemu...
            Mainan cahaya ... hilang bentuk dalam kabut, ...
            Kupahat batu nisan ... dan kupagut

Sajak akhir baris ke-3 dan ke-4: kabut – kupagut, bunyi u memberikan suasana sedih dikombinasi bunyi t yang tidak merdu memperkeras suasana yang tidak menyenangkan. Diperhatikan berikut ini.

Variasi bunyi l dan buni ai dalam baris ke-1, 2, dan 3 menyiratkan makna ketidakberdayaan: sekali... terkulai/Mainan cahya di air hilang... dalam/Kucintai... berhenti... membelai. Kombinasi bunyi sengau m, n, ng membuat berirama dan liris... tanganku... akan jemu.../Mainan ... hilang bentuk dalam .../Dan... yang kucintai’kan berhenti membelai./Batu nisan sendiri dan ...

Bait ke-2
            Asonansi a yang dominan yang dikombinasi bunyi u pada keempat barisnya memperkuat situasi dan suasana muram. Diperhatikan berikut.

Kita – anjing diburu – hanya melihat ... sandiwara sekarang ... berpeluk dikubur atau diranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Kedua harus... dapat tempat

Kombinasi bunyi sengau m, n, ng menyebabkan berirama dan membuat liris. Diperhatikan berikut.
... anjing ... sebagai.... sandiwara sekarang
... di ranjang/... seorang besar... dan tenggelam

Begitu juga, kombinasi bunyi r membuat liris: ... diburu... dari sandiwara sekarang/... dikubur... di ranjang/lahir seorang besar.... beratus ribu.

Bait ke-3
            Asonansi a dan sajak akhir u memperkuat suasana muram dan gundah divariasi dengan bunyi i membuat berirama liris. Pola bunyi vokal tersebut dapat dilihat berikut ini
Baris ke-1: a – ia – ai – iaa – ai – iuu
Baris ke-2: ia – i – ua – iia – ua – aa – u
Baris ke-3: ia – uu – ia – aau – iaa – aa- aa- ai- au – aa
Baris ke-4: aa – ia – aa – i – a – a – au – aa
Baris ke-5: ui – a – a- a- ooa – i – ii – au – aa
               
Lebih- lebih pada baris ke-4 dan ke- 5 bunyi e (pepet) tampak berulang-ulang menambah liris juga: Karena – mengerdip – tetap/karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit
            Sajak akhir: diburu – berdebu – sempat – asah – basah memperkeras makna muram atau murung. Dalam bait ini juga tampak bunyi sengau sebagai variasi membuat merdu dan liris:
dan ... nanti... sawan.../...dsimpan...Cuma kenagan
            memburu...diserahkan...sempat/...jangan mengerdip...
            /...karena kertas gersang. tenggorokan kering...

Pada baris terakhir bunyi r berturut-turut membuat liris:
                ... diburu/...berdebu/...memburu arti... diserahkan...lahir/...mengerdip.../
            karena ketas gersang, tenggorokan kering...
           
Dengan demikian, tampak pada keseluruhan sajak, kombinasi bunyinya membuat bunyi musik (orkestrasi) yang merdu menyebabkan sajak ini menjadi liris. Perasaan sedih, gundah, dan suasana murung dapat terjilma sesuai dengan tema atau masalah sajaknya. Sajak ini tampak gaya bunyi yang utama ialah asonansi a i dikombinasi bunyi u, sajak akhir pada tiap bait yang bersuasana berat, dan kombinasi bunyi sengau m, n, ng, bunyi l dan r . Kombinasi semuanya itu menyebabkan sajak berirama liris (Pradopo, 2005).     

3.       Analisis Struktural dan Semiotik
            Sebuah sajak merupakan kesatuan yang utuh. Dengan demikian, tidak cukupkah bilaunsur-unsurnya dibicarakan terpisah-pisah. Oleh karena itu analisis struktural dan semiotik dianalisis/dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Hal ini disebabkan norma-norma sajak itu saling berhubungan erat, saling menentukan maknanya.
            Dalam pengertian struktur (Piaget via Hawkes, 1978) melihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, iaitu kesatuan, dan ide pengaturan diri sendiri (elf-regulation).
            Ide kesatuan, maksudnya struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, iaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Ide kesatuan, maksudnya, struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dan melalui prosedur itu. Misalnya struktur Ia memetik bunga. Strukturnya: subjek, predikat, dan objek. Dari struktur itu dapat diproses: saya (Ali, Ahmad, Tini) memetik bunga dapat diproses dengan struktur: ia memetik buah (jambu, rambutan, jeruk), atau. Ia merangkai (memasang, memotong, menanam) bunga; dan seterusnya. Ide diri sendiri, maksudnya struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan/bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat: Saya memetik bunga, tidaklah diperlukan keterangan dari dunia nyata, melainkan ia diproses atas dasar aturan di dalamnya dan yang mencukupi dirinya sendiri. Maksudnya setiap unsur mempunyai fungsi tertentu berdasarkan letaknya dalam struktur itu.
            Menurut pikiran strukturalisme dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978).
            Dengan demikian, analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur (Pradopo, 2005).
            Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, iaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyia pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Kata-kata atau bahasa sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (konvensi) masyarakat. Bahasa merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan oleh konvensi masyarakat. . Sistem ketandaan itu disebut semiotika  atau semiologi.
            Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, iaitu penanda (signifier) atau yang menandai yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok, iaitu ikon, indeks, dan simbol.
            Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petanda bersifat bersamaan bentuk alamiah, misalnya gambar kuda menandai kuda yang nyata. Indeks, adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal ada hubungan sebab akibat. Misalnya asap menandai api. Simbol, adalah tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya, hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat.
            Memahami sajak (puisi) tidak lain dari memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha memahami makna sajak. Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, iaitu arti yang bukan hanya arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Menurut Preminger, 1974) mengemukakan bahwa kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan –satuan berfungsi itu misalnya; alur, latar, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, gaya bahasa, satuan visual seperti tipografi, enyambemen, satuan baris (bait), dan sebagainya. Di samping itu masih ada konvensi tambahan. Konvensi tambahan itu antara lain: perulangan, persajakan, , pembagian baris sajak, makna kiasan karena konteks dalam struktur, yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sasra. Dengan demikian, maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda kebahasaan kemudian dianalisis tanda-tanda tambahan yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.
            Selanjutnya kita perhatikan analisis sajak Amir Hamzah berdasarkan struktural dan semiotik berikut ini.


            Barangkali
Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-nipis
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit gunung
Buka mata mutiara-mu
Sentuh kecapi firdusi
Dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengan swara swarna


Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
                (Nyanyi Sunyi, 1959).

            Engkau yang terasa bertiduran dalam hati si aku adalah sesuatu yang indah, amat halus (aksara swarga: langit sorga, iaitu sesuatu yang luas; tipis nipis; sangat halus, sangat kecil). Sesuatu yang indah dan gaib itu kalau besar dapat menguasai dunia, bila kecil dapat bersembunyi di balik alis. Dalam hal ini berarti, bahwa yang gaib itu selalu terasa ada, meliputi segalanya: meliputi dunia si aku, namun tak terlihat karena dapat bersembunyi di balik alis.
            Yang gaib itu selalu dijunjung di atas kepala si aku: selalu dimuliakan, selalu dipuji-puji dengan kata-kata, selalu dinyanyikan, selalu dininabobokan dengan dendang sayang. Jadi yang gaib itu selalu dibawa kian kemari.
            Perasaan gaib yang terasa dalam hati si au diumpamakan gunung besarnya. Maksudnya sangat dimuliakan, dipuja-puja. Ia disuruh bangkit dan membuka matanya yang indah, disuruh memetik kecapi sorga (sangat merdu bunyinya) dengan jarinya yang sangat indah: panjang halus meruncing ke ujung.
            Dengan demikian, maka dewi nyanyi akan siuman dan menari dengan tubuhnya yang lurus lampai, ramping lemah gemulai seperti lidah api yang meliuk-liuk, baunya harum seperti asap setanggih yang keramat wangi memabukkan. Dewi-nyanyi kiasan rasa senang, rasa gembira si aku. Rasa gembira itu biasanya diekspresikan dengan nyanyian dan tarian. Jadi bila kekasih si aku memetik kecapi, maka rasa senang dan kegembiraan si aku akan sampai puncaknya
            Diajaknya gadis kekasihnya menari dan menyanyi supaya si aku mendengar suaranya yang merdu dan indah seperti emas. Dengan demekian, barangkai jika percintaan itu mati tidak berlangsung terus, maka dalam hati si aku akan tetap ada kenangan sebagai gelombang yang menghempas di pantai. Dalam arti, si aku akan selalu mempunyai kenangan indah terhadap kekasihnya.
            Bait ke- 3 dan ke-5 adalah citra seorang gadis yang cantik, yang sangat dimuliakan dan dicintai: Bangkit gunung buka mata mutiaram...// Mari menari dara asmara / biar terdengar swara swarna. Jadi si aku dalam bait ke-1 itu tidak lain citra gadis kekasih si aku, yang selalu menguasai diri si aku, dipuja-puji dan dimuliakan. Dimintanya untuk bangkit dan membukakan matanya yang berkilau seperti mutiara. Dimintanya untuk memetik kecapi yang indah dan merdu bunyinya dengan jarinya yang indah: panjang halus meruncing ke ujung.
            Ide percintaan tersebut secara semiotik sesuai dengan pilihan kata-kata yang menimbulkan suasana romantis. Secara semiotik yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan bahasa sebagai tanda mempunyai arti (Preminger, 1874). Kata-kata romantis antara lain: yang lena dalam hatiku, akasa,, swarga, nipis-tipis, hulu, kupangku, lengan lagu, kudaduhkan (kutidurkan), selendang dendang, mata-mutiara-mu, kecapi firdausi, menirus halus, dewi-nyanyi, gambuh asmara, lurus lampai, harum, dara-asmara, swarna-swarni, pantai hati, gelombang kenang.  Dengan pilihan kata-kata demikian, menurut Culler (1977) secara struktural terjadilah kekompakan, koherensi, dan integrasi kata-kata yang sesuai dengan arti serta suasana romantis yang ditimbulkannya.
            Begitu juga untuk menyatakan betapa cintanya si aku kepada gadisnya, dipergunakan sarana retorika ulangan (paralelisme) dipadukan dengan penjumlahan (enumerasi), sebagaimana berikut ini.
            Kujunjung di atas hulu
                Kupuji di pucuk lidah
                Kupangku di lengan lagu
                Kudaduhkan di selendang dendang

Lukisannya terasa dilebih-lebihkan,  dengan retorika hiperbola, berikut ini.
            Yang besar terangkum dunia
                Kecil terlindung alis

                Bangkit gunung
                Buka mata-mutiara-mu

Mari menari dara asmara
                Biar terdengar  swara swarna

Si engkau yang lena dalam hati si aku itu sesuatu yang gaib, maka citranya pun bersifat pemikiran: citraan intelektual yang tampak dalam bait ke-1 dan ke-2. diperhatikan berikut ini.
            Akasa swarga nipis-tipis
                Yang besar terangkum dunia
                Kecil terlindung alia

Kupangku di lengan lagu
                Kudaduhkan di selendang dendang

            Akasa swarga itu memberikan gambaran atau kiasan sesuatu yang besar dan halus. Hal ini sejajar dengan arti: yang besar terangkum dunia. Sedangkan yang nipis-tipis memberikan gambaran yang kecil dan lembut, ini sejajar dengan : kecil terlindung alis. Untuk membuat konkret tampak pada bait ke-3 dan ke-4 citraan visual, maka gadis kekasih itu kelihatan nyata, sebagaimana ungkapan berikut ini.
                Bangkit gunung
                Buka mata-mutiara-mu
                Sentuh kecapi firdausi
                Dengan jarimu meniru-halus
                ...
                Gambuh asmara lurus lampai
                Lemah ramping melidah api

Juga untuk mengkonkretkan tanggapan dalam sajak ini banyak dipergunakan metafora, sebagaimana berikut ini.
            Engkau yang lena dalam hatiku
                Akasa swarga nipis-tipis
                ....
                Kupangku di lengan lagu
                Kudaduhkan di selendang dendang

                Bangkit gunung
                Buka mata-mutiara-mu
                ...
                Mari mencari dara asmara
                Biar terdengar swara swarna
                ... di pantai hati
                Gelombang kenang membanting diri
               
Metafor dalam sajak ini, selain untuk membuat konkret tanggapan, juga dipergunakan untuk kesejajaran bunyi yang membuat ritmis, padat hingga menjadi ekspresif: aksara swarga; nipis tipis; di lengan lagu; selendang dendang; mata-mutiara-mu, dara asmara; swara swarna; pantai hati; gelombang kenang.
            Engkau yang lena dalam hatiku itu dikiaskan sebagai anak/kekasih tersayang yang dipangku di lengan lagu, diayun dengan lagu seolah-oleh lagu mempunyai tangan, dan ditidurkan di selendang dendang. Ibarat anak yang digendong di selendang dan didendangkan. Hal ini membuat gambaran jadi visual. Seolah segalanya tampak mata. Juga mata yang dikiaskan sebagai mutiara itu tampak indah. Dara asmara adalah gadis yang menimbulkan rasa cinta. Gelombang kenang mengiaskan kenangan yang begitu hebatnya yang terasa menghempas di pantai hati: di dasar hati, di sini ada persejajaran antara gelombang dan pantai.
            Sajak ini pun  sarana kepuitisanyang telah terurai dikombinasi dengan fungsi bunyi. Irama dan ulangan-ulangan bunyi yang dinyatakan dengan puji-pujian kepada gadisnya itu terekspresi dengan bunyi a dan  u yang dominan pada bait ke-2 dan ke-3 sebagaimana berikut ini.
                Kujunjung di atas hulu
                ...
                Kupangku di lengan lagu
                Kudaduhkan di selendang dendang

                Bangkit gunung
                Buka mata-mutiara-mu
                ...
                Dengan jarimu menirus halus

Kegembiraan itu memuncak dalam bait ke-4 dan ke-5, diekspresikan dengan bunyi ringan yang berturut-turut, iaitu bunyi vokal i, sebagaimana berikut ini
                Biar siuman dewi-nyanyi
                Gambuh asmara lurus lampai
                Lemah ramping melidah api
                ...
                Barangkali mati di pantai hati
                Gelombang kenang membanting diri

Bunyi-bunyi yang ekspresif, memperkuat, mempertegas arti yang terkandung dalam kata-katanya; akasa swarga... yang besar terangkum dunia, arti besar diperkuat oleh asonansi a  dan u ... nipis-tipis... kecil terlindung alis, arti kecil itu diperkuat oleh asonansi i.
            Kujunjung di atas hulu; kupangku di lengan lagu; bangkit gunung/buka mata mutiara-mu; biar terdengar swara swarna; gelombang kenang. Merupakan kombinasi bunyi a  dan u yang memperkuat arti besar, berat.

4. Analisis Struktural dan Semiotik Sajak Aku
            Proses analisis dan parafrase sajak Aku karya Chairil Anwar adalah seperti analisis dan parafrase sajak sebelumnya. Untuk lebih jelasnya diperhatikan berikut ini.
                Aku
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
                                                (DCD, 1959).



            Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih (merayu), bahkan juga kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada gunanya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya; ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan, bahkan meskipun ia ditembak; peluru menembus kulitnya, si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditangguhkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
            Si aku makin tidak akan perduli pada segala aturan dan ikatan, halangan serta penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi. Maksudnya, secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
            Secara struktural, dengan, melihat hubungan antarunsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: kumau tak seorang kan merayu (bersedih). Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalan suka maupun dalam duka, maka tak perlu sedu sedan itu.  Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan menghadapi segala rintangan: tembusan peluru, bisa dan luka dengan kebebasannya yang mutlak itu. Aku mau hidup seribu tahun lagi berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
            Dalam sajak ini kematangan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukkan ketegasan seperti kumau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan lebih tidak perduli, aku akan mau hidup seribu tahun lagi, juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat a  dan u yang dominan.
            Pernyataan sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya memuat orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya. Ia sendirilah yang menganggap dirinya binatang jalang, bukan tokoh lain.
            Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya itu memang disengaja oleh dirinya sebagai pertanggungjawaban pribadi: ku mau tak seorang ’kan merayu/ tidak juga kau.  Hal  ini, karena si aku adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain: Aku ini bintang jalang / dari kumpulannya terbuang.  Si aku menentukan nasibnya sendiri tak mau terikat oleh kekuasaan lain: Aku mau hiduo seribu tahun lagi.
            Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasibnya sendiri aku mau hiduo seribu tahun lagi adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap atau pandangan para penyair yang mendahuluinya.
            Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan tautologi, serta diperkuat oleh ulangan buni vokal a  dan u ulngan bunyi lain serta persajakan akhir. Hiperbola yang tampak dapat dilihat berikut ini
            Aku ini binatang jalang
            Dari kumpulannya terbuang

            Biar peluru menembus kulitku
            Aku tetap meradang menerjang

            ...
            Aku mau hidip seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai ulangan bunyi i- i yang telah menambah intensitas, sebagaimana berikut ini.
            Luka dan bisa kubawa berlari
            Berlari
            Hingga hilang pedih peri
            ... perduli
            ... lagi
Dengan hiperbola penonjolan pribadi tampak makin nyata.  
            Sajak Aku ini menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini disebabkan oleh ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsif ekuivalensi dan proses pemilihan ke poros kombinasi, karena yang dipergunakan penyimpangan arti (Riffaterre, 1978)
            ”Kalau sampai waktuku” dapat berarti ”kalau aku mati”; ”tak perlu sedu sedan itu” artinya tak ada gunanya kesedihan itu, ”tidak juga kau” artinya, tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku. Semua  ini menurut konteksnya. Dengan demikian, ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh penggantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, antara lain metafora penuh seperti: Aku ini binatang jalang .
            Peluru untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku tertembus peluru, ia tetap akan meradang, menerjang, melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenaran. Luka dan bisa untuk mengiaskan penderitaan yang menimpa. Pedih perih, mengiaskan kesakitan, kesedihan, ataupun penderitaan akibat tembusan peluru. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkret, berupa cita-cita yang dapat diindera, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak.
            Untuk menyatakan semangat yang menyala-nyala, untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan Aku mau hidup seribu tahun lagi. Jadi di sini kelihatan bahwa si aku penuh vitalitas maut mereguk hidup selama-lamanya.
            Penyimpangan arti dan penggantian arti menyebabkan si aku dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan sarana kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak selalu ”baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini, yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT

More than 160k women and men are losing weight with a easy and SECRET "liquid hack" to lose 1-2lbs each and every night in their sleep.

It is very easy and works on everybody.

Here's how to do it yourself:

1) Get a drinking glass and fill it half the way

2) Then learn this weight losing hack

you'll become 1-2lbs lighter in the morning!