Pengkajian Fiksi
Berdasarkan Pendekatan Struktural
Pendekatan
struktural memandang dan memahami karya
sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Menurut Teeuw (1984) pendekatan struktural memandang
karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari
pengarang, realitas, maupun pembaca.
Pendekatan
ini memahami karya sastra secara close
reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya,
hubungannya dengan realitas, maupun pembaca). Analisis difokuskan pada unsur-unsur
intrinsik karya sastra. Dalam hal ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya
dengan unsur-unsur lainnya.
Pendekatan
struktural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia (1915-1930).
Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk membebaskan ilmu
sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, dan
penelitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra dipahami dalam
hubungannya dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, serta faktor
intrinsik lainnya (Teeuw, 1984; Wiyatmi, 2004).
Teeuw
(1984) menguraikan, bahwa pendekatan struktural bertujuan membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh.
Berikut ini
adalah contoh penerapan pendekatan struktural yang dilakukan oleh Rahmanto dkk,
lewat cerita pendek Tumpeng karya
Bakdi Soemanto. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kutipan cerpen Tumpeng sebagai berikut.
1. Tumpeng
Paman Kanjeng Sepuh masih saja diam seperti kemarin dan lusa, hanya
sesekali batuk-batuk beruntun. Tubuhnya sudah tampak lemah, tetapi wajahnya
masih segar bahkan cerah. Nuaraina Sawitri, kemenakannya, yang dua minggu lalu
tiba di tanah air dalam rangka penelitian untuk masternya selama tiga bulan
memijat-mijat kaki Paman Kenjeng Sepuh penuh kasih sayang. Midas, kakak Sawitri
tampak tidak sabar lagi.
”Paman,” kata Midas pelan, ”saya tidak akan memaksakan kemauan saya, tetapi
ingin mengingatkan saja. Sudah lama sekali Paman tidak menyelenggarakan upacara
tumpengan itu. Sudah sejak dua puluh tahun lalu...” sambungnya mengulang-ulang
kata yang sama.
”Sudah, mas,” Sawitri memotong, ”kasihan Paman Kanjeng.”
”Ah, kamu, anak kemarin sore jangan ikut-ikut urusan ini. Tugas kamu kan
riset. Ya, sudah, riset saja. Cepat-cepat sana, lalu kembali ke Amerika.
Memertahankan skripsimu itu, terus cari orang bule. Kalau perlu enggak usah
pulang, jadi imigran!” Midas menukas.
”Mas!” Sawitri membelalakkan matanya, tampak bulat dan indah di balik kaca
matanya yang tebal. Walaupun selama beberapa hari kurang tidur, ia tampak tetap
cantik dan sehat. Di bawah lengannya terasa membasah. ”Kau pikir aku ini apa?”
sambung Sawitri. Ia marah. Lalu berdiri dan sedikit menjauh dari tempat tidur
Paman Kanjeng Sepuh. Terlentang dengan kepala di atas bantal bersusun tiga,
lelaki tua itu menatap perawan berhati lembut itu. Matanya sayu dan terkadang
terpejam, berkaca-kaca. Sawitri merasa iba tatkala mereka saling berpapasang pandang.
Kembali wanita muda itu duduk di sisi tempat tidur, di atas babut yang bergelar di lantai. Kembali
ia memijit-mijit kakinya.
Paman Kanjeng tampak bahagia sekali. Sebagai laki-laki yang selama hidupnya
bertahan hidup lajang, sentuhan tangan Sawitri menggetarkan sarafnya. Dan ini
semata-mata bukan karena gesekan fisik; ada sesuatu yang lebih dalam yang
dimiliki Sawitri, semacam nilai kesetiaan yang tidak dimiliki setipa orang.
Sesuatu yang membuatnya istimewa di mata Paman Kanjeng. Sesekali Paman Kanjeng
tersenyum, lalu mengusap matanya yang basah. Sawitri segera menyapunya dengan
sapu tangannya. Mungkin orang tua itu membayangkan dirinya sebagai Satyawana
yang hampir mati, ditunggui Sawitri yang setia untuk siap tawar-menawar dengan
Yamadiapti, sang Dewa Maut, yang akan datang menjemput nyawa Satyawan, seperti
yang diceritakan dalam dongeng percintaan yang indah itu.
”Sebenarnya, aku tidak suka kamu pulang. Riset untuk master kayak begitu
kan nggak usah harus di Yogya,” kata Midas lagi.
Sawitri sekali lagi, membelalakkan matanya yang indah. Ia merasa tidak
tahan lagi mendengar kata-kata keras tetapi diucapkan lirih demikian. Perempuan
itu bangkit cepat dan segera meninggalkan Paman Kanjeng. Tepat di depan pintu
kamar tidur, terdengar suara lemah orang tua itu, memanggilnya.
”Nur. . .” katanya. Sawitri berhenti, menengok ke belakang. Mata mereka
bertatapan lagi, tatapan dua generasi, tatapan dua jagat pikir, yang tiba-tiba
tanpa jarak. Rasa iba kembali meremas hatinya, dan Sawitri kembali mendekati
Paman Kanjeng, duduk di babut seperti tadi, kepalanya direbahkan di tempat
tidur. Sawitri tidak kuasa menahan sedu-sedanya, tatkala tangan Paman Kanjeng
yang gemetar membelai kepalanya.
”Uh!’ Midas memberikan reaksinya melihat adegan itu, ia dengan cepat
meninggalkan mereka, dengan langkah lasar. Paman Kajeng tersenyum. Tersenyum
getir. Dan kebencian sekilas sempat membersit di hati Sawitri. Kebencian yang
menggigit justru karena ia harus membenci kakaknya sendiri. Ah. . .!
Dua bulan yang lalu, tatkala Sawitri masih di Boston, kakaknya, Midas
menulis surat kepadanya. Dikatakannya dalam surat itu, bahwa Paman Kanjeng
mungkin dapat menerima gagasan penyelenggaraan upacara tumpengan,tradisi lama
yang khas dinasti Kanjeng Sepuh, yang sudah dua puluh tahun dihentikan.
Midas juga mengatakan bahwa ia menyanggupi pelaksanaan upacara itu. Bahkan,
oom Dinosauruz Onggokusumo, seorang pemilik supermarket, hotel, percetakan, dan
biro perjalanan, bersedia memberikan biaya yang diperkirakan bisa mencapai lima
sampai enam juta rupiah. Bahkan, sponsor itu bersedia mengeluarkan dukungan
biaya sampai sepuluh juta rupiah, kalau malam sebelum pelaksanaan upacara juga
diselenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan
dalang Ki Manteb yang ngetop itu.
Tapi, tentu saja, hukum bisnis harus berlaku, biro perjalana Oom Onggo akan
mendatangkan sejumlah wisman dari beberapa negeri Eropa dengan dua bus besar
untuk ikut dalam upacara itu. Mereka masing-masing yang diperkirakan akan
mencapai 80 sampai 100 kepala, harus membayar dua puluh dolar. Yues. . . dolar.
Tak hanya itu, jika perintisan ini sukses, setipa tahun, khususnya pada
bulan rajab, upacara itu akan diselenggarakan. Gagasan untuk merehab rumah tua
Paman Kanjeng pun mulai dipikirkan. Bahkan, beberapa kamar samping ukuran besar
itu dikatakan bisa diubah menjadi kamar kecil-kecil untuk wisman, jika mendapat
izin.
Sawitri terkejut membaca surat
kakaknya. Bagaimana mungkin Midas sampai hati mengomersialkan pamannya sendiri
yang sudah tua itu. Bukan saja melaksanakan gagasan itu dianggap mengusik
ketenteraman pribadi Paman Kanjeng, tetapi juga suatu ide tanpa pertimbangan
etis. Sebagai lelaki yang hidup lajang yang memiliki beberapa hektar sawah padi
dan tebu, Paman Kanjeng berpenghasilan
lebih dari cukup yang banyak diberikn kepada kemenakan-kemenakannya, termasuk
Midas. Bahkan, tatkala adik ipar Midas sakit keras Paman Kanjeng tidak tinggal
diam dengan merelakan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya perawatannya.
Juga, tatakala ibu mertua Midas meninggal Paman Kanjenglah yang menanggung biayanya.
Karena itu bagi Sawitri rencana Paman Kanjeng sudah tidak menghendakinya lagi.
Maka dua jam setelah surat diterima, Sawitri segera ke kantor telegram dan
mengirim surat kawat singat, ”jangan kau siksa Paman Kanjeng, beliau baik
sekali kepadakita. Kamu bisa kualat, terkutuk.”
Tapi Sawitri tau siapa kakaknya. Telegram itu pasti tidak ada gunanya.
Usulannya pasti tidak digubrisnya. Beberapa tahun yang lalu, sebulan menjelang
memulai program studinya di Amerika, Midas memaksa Paman Kanjeng memberikan
tongkat atik berkepala naga, terbuat dari emas, kepadanya. Sawitri sangat
sedih, tetapi Paman Kanjeng ikhlas, sebab menurutnya, Midas memintanya dengan
alasan untuk koleksi. Orang tua itu tidak pernah tahu, beberapa hari setelah
tongkat antik itu sudah di tangannya, segera dijualnya kepasa Oom Dinozauruz
Onggokusumo yang menerima pesanan dari seorang pejabat tinggi di Jakarta.
Menrut beberapa berita burung, denga tongkat itu, siapa pun yang memilikinya
akan terjaga kelanggengannya menjadi pejabat tinggi sekaligus direktur
perusahaan besar.
Sawitri menangis tersedu-sedu di pangkuan Kanjeng, begitu tahu semuanya.
Perempuan itu tidak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru
yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran
keutamaan yang dulu diberikan di kala mereka kanak-kanak oleh sang ayah, adik
Paman Kanjeng itu. Mungkinkah yang dikatakan oleh Den Mas Nogobondo, seorang
ahli keris yang sering bertandang ke rumah Paman Kanjeng, bahwa yang indah
tinggal pakaian. Sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi roso ialah nilai-nilai kedalaman, sudah
hilang.
”Bahkan sudah lama hilang!” kata Nogobondo waktu itu. Sawitri terkejut.
Kata-kata itu terngiang kembali, tatakala Romo Kanjeng minta diambilkan minum
air putih, seperti biasanya. Ia seperti diingatkan akan sesuatu yang hilang
itu: roso yang memang tidak bisa
diterjemahkan itu.
”Kalau Paman tidak mengizinkan, kami tidak akan memaksa,” kata Sawitri
lembut, sambil memberikan gelas air putih itu. Paman Kenjeng tersenyum, tetapi
lalu menggeleng.
”Si Midas sudah nekat. Lihatlah, besok orang-orang kampung akan datang ke
mari, mulai memasak memersiapkan upacara itu. . .” kata paman dengan suara
lemah’”Tapi . . .”Sawitri menukas. Hatinya gusar. Kebencian pada kakaknya
kembali membersit di hatinya.
”Janagan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan
mengendorkan niat kakakmu. Sebab, ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang
belum mengalami akan selalu bisa keliru.” Paman Kanjeng meneguk lagi air putih
itu. Dengan lembut Sawitri mengusap air di bibir Paman dengan sapu tangan.
”Kau cantik dan hatimu ayu. Karena itu, namamu Sawitri, wanita yang paling
setia kepada lelakinya. Karena itu namamu Nuraina, mata yang bercahaya, yang
paling bisa melihat,” Paman Kanjeng tersenyum, lalu membelai kepala Nur, si
cahaya.
”tapi . . .” kata Sawitri lagi.
”Sudahlah Nur. Lihatlah apa yang akan terjadi nanti.” Paman Kanjeng
memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ada
perasaan mendesir di hati Sawitri. Ia ingat tatkala ayahnya melakukan hal yang
sama menjelang meninggal. Tapi ia segera ingat pula Nogobondo yang ahli keris
itu suka menutup dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan
hingga saat ini masih segar-bugar. Ah alangkah susahnya memahami
isyarat-isyarat kehidupan.
Malam itu ia menolak ajakan kakaknya pulang. Ia ingin tidur di rumah Paman
Kanjeng. Bahkan kalau diperkenankan, tidur di babut di samping orang tua itu.
”Jangan Nur. Kamu nanti sakit. Kita akan punya kerja besar. Banyak orang
akan datang ke mari,” kata Paman Kanjeng.
”Saya ingin ti . . .”
”Boleh saja, kamu tidur di sini. Tapi di kamar sebelah itu. Suruh Jum
membersihkannya dahulu. Dan nanti, mintalah embah Atma menemani kamu, kata
Paman dengan nada lelah.
Sawitri mengangguk.
”Aku harap, lusa nanti.Wiranti sempat datang dari Semarang. Aku ingin
sekali ia melihat upacara tumpengan kita,” sambung Paman Lanjeng.
”Ya. Saya juga kangen sekali. Waktu kecil dulu, kami main petak umpet dan
lari-lari di rumah ini,” kata Sawitri mengenang sesuatu yang indah dan kini
hilang.
”Ya. Sekarang hidupnya bahagia sekali.” Paman Kanjeng menutup pembicaraan
dengan memberi isyarat bahwa ia sudah mengantuk dan ingin dibiarkan sendirian.
Tatakala Sawitri berdiri untuk mematikan lampu besar dan menyalakan lampu
kecil, di luar terengar derum mobil. Perempuan muda itu membayangkan, kakaknya
pasti sangat jengkel, dan meninggalkan halaman rumah Paman Kanjeng dengan
marah.
Malam itu Sawitri tidak bisa segera memicingkan matanya, teritama karena
tadi, tiba-tiba, menjelang ia masuk ke kamar sebelah, Paman Kanjeng
memanggilnya, lagi, tepet menjelang pukul dua belas malam.
”Katakan kepada Midas, aku memberi izin pelaksanaan tumpengan itu. Tapi,
jangan lupa tempayan dari tanah liat itu harus disertakan,” kata Paman Kanjeng.
Sawitri tertegun sejenak, tetapi segera mengangguk.
”Air kesuburan harus dimasukkan di dalam tempayan itu, semalam sebelumnya,
dan diletakkan di halaman dengan terbuka. Setelah upacara selesai, airnya
disiramkan di halaman rumah,” Paman berhenti lagi.
”Ya, Paman.”
”Hanya dengan tempayan itu, upacara khusu tumpengan sah! Hanya dengan
tempayan itu! Tidak bisa lain! Tidak bisa lain! Paman Kanjeng. Tiba-tiba
menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri
mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilkan di senthong
kamar khusus itu,” kata Paman lagi. ”Suruh dia mencucinya bersih-bersih. Dia
sendiri yang harus mencucinya.” Paman berhenti lagi. Lalu melanjutkan, ”ingat,
hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan direstui
para leluhur kita,” katanya menegaskan. Kemudian Paman memberi isyarat agar
Sawitri meninggalkannya sendirian. Tatakala wanita muda itu masuk ke dalam
kamar, ada sesuatu yang mendesir di hatinya. Lalu kecemasan lenyap. Tapi, ia
segera menumpasnya.
Udara dalam kamar itu terasa dingin, ingin yang aneh. Mbah Atmo yang
dimimta menemaninya sudah tertidur pulas. Sawitri mencoba berdoa, tetapi agak
sulit konsentrasi. Tepat pukul dua pagi, perempuan muda itu tertidur pulas. Ia
baru terbangun tatkala kakaknya tiba di rumah itu.
Midas sangat gembira mendengar cerita Sawitri bahwa Paman Kanjeng. Akhirnya
merstui rencana itu. Ini artinya, jika orang kampung nanti datang membantu
memasak, memasang tenda, mengumpulkan buah-buahan, memersiapkan tempat,
penyembelihan kambing, tidak akan takut kena damprat Paman Kanjeng. Tapi Midas
belum begitu puas kalau ia belum mendengar sendiri kata-kata Paman Kanjeng.
Untuk meyakinkan orang tua itu, atau setengahnya memojokkannya, Midas memutuskan
untuk mengambil tempayan ”pusaka” itu dan membersihkannya lebih dahulu, baru
kemudian menemui Paman Kanjeng.
Persis pukul sembilan pagi, orang-orang kampung mulai datang. Kampret dan
Gogom segera dipanggil Midas untuk untuk menemani memasuki kamar tempayan dan
mengangkatnya pelan-pelan. Hampir semua orang kampung ikut menyaksikan
pengambilan benda sederhana tetapi luar biasa itu. Sawitri duduk di babut
menunggu Paman yang masih tidur nyenyak.
”Hati-hati,’ kata Midas memberi perintah Kampret dan Gogom. Orang-orang
kampung menahan nafas.
”Aku sendiri akan menjinjing tempayan itu ke kamar, kalian mendampingi
aku,” kata Midas lagi. Mereka mengangguk. Lalu dengan sekali jinjing tempayan
sederhana itu terangkat. Semua yang
menyaksikan takjub. Midas tertawa terbahak-bahak. Tetapi tanpa diduganya,
tiba-tiba tempayan itu remuk di tangannya. Pecahan-pecahan itu terserak di
lanatai.
Midas terbelalak, demikian pula orang-orang kampung yang menyaksikannya.
Beberapa detik kemudian, orang-orang kampung itu menyerbu ke dalam kamar
berebut pecahan-pecahan tempayan itu. Mereka tidak mendengar bahwa Sawitri
menjerit keras-keras tatkala mendapati Paman Kanjeng. Sudah tidak bernafas lagi. Tangannya bersilang
di dada, seperti ditata rapi. Matanya terpejam bagaikan tertidur nyenyak.
Mulutnya seperti tersenyum, ikhlas meninggalkan yang harus ditinggalkan. Ikhlas
terhadap upacara yang sudah seharusnya dihentikan.
Sawitri tersedu-sedu di dada Paman Kanjeng yang sangat mencintainya.
Nuraena Sawitri telah mengantakannya ke alam damai. Si mata cahaya yang setia
telah membukakan jalan terang orang tua yang hampir terpojok perubahan zaman
yang tak seorang pun mampu menolaknya.
Sejalan
dengan prinsip pendekatan objektif, maka
penganalisisannya tidak memerhitungkan siapa pengarang, bagaimana latar
belakang budaya, dan kapan cerpen itu dibuat. Pendekatan struktural, yang
merupakan satu di antara penjebaran pendekatan objektif, menganalisis karya
sastra secara rinci menurut unsur-unsur pembangunnya dari dalam. Dengan
demikian akan diperoleh gambaran objektif tentang karya itu dari salah satu
sisinya. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa makna karya sastra ditentukan
oleh hubungannya antar-unsur yang terlibat di dalamnya. Maka, makna pertalian
unsurnya harus selalu diperhatikan dalam setiap analisis unsur.
Dalam
analisis struktural unsur-unsur cerita yang penting dan saling berkaitan adalah
unsur tokoh-penokohan, alur, dan latar. Hubungan ketiga unsur yang penting itu
sering disebut fakta cerita, dan dari analisis fakta cerita ini akan diketahui
apa temanya. Untuk lebih jelasnya analisis cerpen Tumpeng karya Bakdi Soemanto dapat dilihat berikut ini.
2. Kajian Analisis Struktural Cerpen Tumpeng Karya Bakdi Soemanto
a.
Tokoh dan
Penokohan dalam Cerpen Tumpeng
Seperti
kita ketahui tokoh adalah individu rakaan yang berlakuan atau mengalami
berbagai peristiwa dalam fiksi. Tokoh-tokoh yang berlakuan dalam cerpen
tersebut ialah: Paman Kanjeng, Nuraina Sawitri, Midas, Oom Dinosauruz
Onggokusumo, Den Mas Nogobondo, Embah Atma, dan orang-orang kampung antara lain
Kampret dan Gogom.
Di antara
tokoh-tokoh itu yang keterlibatannya dalam setiap peristiwa yang membangun
cerita secara keseluruhan cukup tinggi adalah tokoh Paman Kanjeng. Tokoh Paman
Kanjeng adalah tokoh yang palng banyak terlibat dengan tema cerita. Dengan
demikian tokoh paman-lah yang dapat dikategorisasikan sebagai tokoh utama
(tokoh sentralnya). Agar tokoh Paman Kanjeng menjadi sangat berperan, perlu
didukung oleh tokoh-tokoh lain seperti Sawitri, dan Midas. Tokoh-tokoh itulah yang
menjadi tokoh bawahannya. Sementara itu orang-orang kampung hanyalah berfungsi
sebagai tokoh tambahan saja.
Pelukisan
watak tokoh-tokoh itu, pengarang memergunakan teknik dengan membiarkan para
tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan
mereka sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh,
perbuatan, dan sikap tokoh.
Watak tokoh
Paman Kanjeng lewat pengaluran, atau peristiwa-peristiwa sejak awal sampai
akhir kisah yang membentuk makna kaitan dengan
latar kisah ini. Nama Paman Kanjeng Sepuh, rumah tua Paman Kanjeng,
tongkat antik berkepala naga yang terbuat dari emas, upacara tumpengan,
tempayan tanah liat di dalam senhong,
orang-orang kampung yang ingin mengikuti upacara, bahkan yang berebutan pecahan
tempayan yang terbuat dari tanah liat, membuktikan latar tempat yang khas,
lingkungan rumah-rumah pejabat kraton masa lalu berpangkat kanjeng (bupati muda
dalam keraton Jawa).
Watak Paman
Kanjeng, tampak dalam peristiwa saat Midas, kakak Sawitri memaksakan
kehendaknya untuk menyelenggarakan upacara tumpengan yang sudah dua puluh tahun
tidak lagi dilakukan, kemudian sempat bersitegang dengan Sawitri yang
menganggap permintaan Midas tidak tepat karena Paman Kanjeng sedang sakit.
Melihat adegan yang cukup seru ini Paman Kanjeng tidak berbuat apa-apa. Ia
hanya tersenyum getir sambil membelai kepala Sawitri (hlm 50-52).
Dengan
teknik flash-back (tolehan
kebelakang) pengarang menyuguhkan kembali bagaimana watak Paman Kanjeng yang tetap membujang sampai
usianya uzur itu, lewat penuturan berikut ini
Sebagai lelaki yang hidup lajang yang memiliki beberapa hektar sawah padi
dan tebu, Paman Kanjeng berpenghasilan
lebih dari cukup yang banyak diberikn kepada kemenakan-kemenakannya, termasuk
Midas. Bahkan, tatkala adik ipar Midas sakit keras Paman Kanjeng tidak tinggal
diam dengan merelakan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya perawatannya.
Juga, tatakala ibu mertua Midas meninggal Paman Kanjenglah yang menanggung
biayanya (hlm, 54).
Demikian
pula pada saat Midas meminta tongkat berkepala naga dengan alasan untuk
dikoleksi sebagai benda antik, Paman Kanjeng dengan rela memberikannya,
walaupun akhirnya tahu benda antik itu dijual kepada pengusaha Oom Dinosauruz
Onggokusumo yang katanya menerima
pesanan dari salah seorang pejabat tinggi di Jakarta agar tetap langgeng
menjabat sebagai pejabat tinggi sekaligus direktur perusahaan besar.
Watak Paman
Kanjeng kembali muncul pada saat Sawitri berkata ”Kalau Paman tidak
mengizinkan, kami tidak akan memaksa,” kata Sawitri lembut, sambil memberikan
gelas air putih itu. Paman Kanjeng tetap tersenyum, tetapi lalu menggeleng.
”Si Midas
sudah nekat. Lihatlah besok orang-orang kampung akan datang ke mari, mulai
memasak dan memersiapkan upacara itu. . . .” kata Paman dengan suara lemah.
”Tapi . .
.” Sawitri menukas. Hatinya gusar. Kebencian pada kakaknya kembali membersit di
hatinya.
”Jangan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan
mengendorkan niat kakakmu. Sebab, ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang
belum mengalami akan selalu bisa keliru. . . ” (hlm, 55).
Dari
beberapa kutipan di atas jelas terlihat watak Paman Kanjeng itu, bijaksana,
tidak gampang marah, pemurah, dan baik hati. Namun, lewat kutipan berikut
pengarang menggambarkan bahwa orang tua bijak itupun dapat marah karena
menghadapi peristiwa yang sudah keterlaluan, sebagaimana kutipan di bawah ini.
”Katakan kepada Midas, aku memberi izin pelaksanaan tumpengan itu. Tapi,
jangan lupa tempayan dari tanah liat itu harus disertakan,” kata Paman Kanjeng.
Sawitri tertegun sejenak, tetapi segera mengangguk.
”Air kesuburan harus dimasukkan di dalam tempayan itu, semalam sebelumnya,
dan diletakkan di halaman dengan terbuka. Setelah upacara selesai, airnya
disiramkan di halaman rumah,” Paman berhenti lagi.
”Ya, Paman.”
”Hanya dengan tempayan itu, upacara khusu tumpengan sah! Hanya dengan
tempayan itu! Tidak bisa lain! Tidak bisa lain! Paman Kanjeng. Tiba-tiba
menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri
mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilkan di senthong
kamar khusus itu,” kata Paman lagi. ”Suruh dia mencucinya bersih-bersih. Dia
sendiri yang harus mencucinya.” Paman berhenti lagi. Lalu melanjutkan, ”ingat,
hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan direstui
para leluhur kita,” katanya menegaskan. Kemudian Paman memberi isyarat agar
Sawitri meninggalkannya sendirian (hlm, 57)
Berdasarkan
kutipan tersebut, jelaslah gambaran watak Paman Kanjeng Sepuh, bijaksana,
pemurah, tetapi teguh memegang prinsip. Dari kutipan itu pula tampaklah betapa
pentingnya kehadiran tokoh bawahan yakni Sawitri dan Midas. Kedua tokoh itu
hadir memertegas keberadaan tokoh utamanya. Dalam pada itu tokoh utama sering
pula disebut tokoh protagonis, tokoh yang mewakili tokoh yang baik dan terpuji,
karena itu biasanya menarik perhatian pembaca. Di samping tokoh protagonis,
tokoh yang mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Dalam cerpen ini Midas
merupakan tokoh antagonis, sebagaimana pelukisan perwatakan dari kutipan
berikut ini.
”Paman,” kata Midas pelan, ”saya tidak akan memaksa kemauan saya, tetapi
ingin mengingatkan saja. Sudah lama sekali Paman tidak menyelenggarakan upacara
tumpengan itu. Sudah sejak dua puluh tahun lalu. . .” sambungnya
mengulang-ulang kata yang sama.
”Sudah Mas,” Sawitri memotong, ”kasihan Paman Kanjeng.”
”Ah, kamu, anak kemarin sore jangan ikut-ikutan urusan ini. Tugas kamu
riset. Ya sudah riset saja. Cepat-cepat sana, lalu kembali ke Amerika.
Memertahankan skripsimu itu, terus cari orang bule. Kalau perlu enggak usah
pulang, jadi imigran!” Midas menukas.
”Sebenarnya aku tidak suka kamu pulang. Riset untuk master kayak begitu kan
enggak usah harus ke Yogya (hal, 50-51).
Dari
kata-kata Midas tersebut, tokoh ini bukan hanya laki-laki berwatak culas,
egois, dan berlagak sok pintar, tetapi juga tega mengusir secara halus agar
adiknya tidak menghalangi tekadnya untuk menguasai seluruh harta benda
pamannya. Maka dia mengharapkan adiknya cepat lulus, dapat orang bule dan
menjadi imigran.
Kelicikan
Midas tampak pula sewaktu menyurati adiknya Sawitri, sebagaimana berikut ini.
. . . ”bahwa Paman Kanjeng mungkin dapat menerima gagasan penyelenggaraan
upacara tumpengan, tradisi lama yang khas dinasti Kanjeng Sepuh, yang sudah dua
puluh tahun dihentikan.
Midas juga mengatakan bahwa ia menyanggupi pelaksanaan upacara itu. Bahkan,
oom Dinosauruz Onggokusumo, seorang pemilik supermarket, hotel, percetakan, dan
biro perjalanan, bersedia memberikan biaya yang diperkirakan bisa mencapai lima
sampai enam juta rupiah. Bahkan, sponsor itu bersedia mengeluarkan dukungan
biaya sampai sepuluh juta rupiah, kalau malam sebelum pelaksanaan upacara juga
diselenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan
dalang Ki Manteb yang ngetop itu.
Tapi, tentu saja, hukum bisnis harus berlaku, biro perjalana Oom Onggo akan
mendatangkan sejumlah wisman dari beberapa negeri Eropa dengan dua bus besar
untuk ikut dalam upacara itu. Mereka masing-masing yang diperkirakan akan
mencapai 80 sampai 100 kepala, harus membayar dua puluh dolar. Yues. . . dolar.
Tak hanya itu, jika perintisan ini sukses, setipa tahun, khususnya pada
bulan rajab, upacara itu akan diselenggarakan. Gagasan untuk merehab rumah tua
Paman Kanjeng pun mulai dipikirkan. Bahkan, beberapa kamar samping ukuran besar
itu dikatakan bisa diubah menjadi kamar kecil-kecil untuk wisman, jika mendapat
izin.
Midas sudah
nekat, begitu penilaian Paman Kanjeng terhadap permintaannya untuk
menyelenggarakan upacara tumpengan itu. Meski Sawitri tidak sependapat dan
mengharapkan pamannya tidak menyetujui rencana kakaknya itu, Paman Kanjeng
hanya berucap, bahwa Midas ”dalam
keadaan tidak tahu”. Tidak mungkin untuk mengendorkan niat kakaknya. Dan orang
yang belum mengalami akan selalu bisa keliru, demikian kata bijak Paman
Kanjeng.
Watak culas
ternyata juga dilengkapi dengan ceroboh, dan sombong. Hal ini tampak pada saat
Midas berhasil menjinjing tempayan keluar kamar.
”. . . dengan sekali jinjing, tempayan sederhana itu terangkat. Semua yang
menyaksikan takjub. Midas tertawa terbahak-bahak. Tapi tanpa diduganya,
tiba-tiba, tempayan itu remuk di tangannya. . .” (hlm, 58).
Dengan
demikian tokoh dan penokohan protagonis dan antagonis dalam cerpen Tumpeng. Sementara itu, tokoh Sawitri,
secara tersirat tampak dari kutipan tersebut, yang sejalan dengan watak yang
dituturkan oleh pengarangnya lewat tokoh Paman Kanjeng seperti berikut ini.
”Kau cantik dan hatimu ayu. Karena itu namamu Sawitri, wanita yang paling
setia kepada lelakinya. Karena itu, namamu Nuraina, mata yang bercahaya, yang
bisa melihat.” (hlm, 55).
b.
Alur dan
Pengaluran dalam cerpen Tumpeng
Alur cerita
pendek ini pada dasarnya berbentuk alur maju dengan diselingi variasi flash-back. Sorot balik atau tolehan ke
belakang terjadi pada saat Sawitri kesal lantaran tingkah laku kakaknya yang
keterlaluan memarahinya mengapa harus pulang untuk melakukan riset di Yogya di
depan Pamannya yang sedang terbaring sakit. Sawitri tidak dapat berbuat lain
kecuali menangis dengan merebahkan kepalanya di tempat tidur pamannya. Ia benci
melihat tingkah laku kakaknya yang seperti itu. Pada saat itulah ingatannya
kembali pada dua bulan sebelumnya saat
ia menerima surat yang berisi rancangan Midas untuk menyelenggarakan upacara
tumpengan. Ia terkejut dan marah. Ia terheran-heran mengapa Midas sampai hati
mengomersialkan pamannya sendiri yang sudah tua. Bagi Sawitri melaksanakan
gagasan itu, tingkah laku Midas bukan hanya tidak etis, tetapi juga akan
mengusik ketenteraman hati pamannya, apalagi di saat itu pamannya sedang sakit.
Sorot balik
berikutnya terjadi dalam bayangan Sawitri yang mengingatkan kembali kebaikan
Paman Kanjeng pada saat adik Midas sakit, ibu mertua Midas meninggal, Paman
Kanjenglah yang membiayainya. Mengingat itu semua Sawitri menjadi makin sewot.
Kakaknya dianggap sangat keterlaluan dengan merencanakan untuk mengadakan
upacara tumpengan itu, apalagi Paman Kanjeng sudah tidak menghendaki lagi untuk
melakukan upacara tumpengan sesudah dua puluh tahun berlalu. Ia lalu menulis
telegram pada Midas singkat.
”Jangan kau siksa Paman Kanjeng. Beliau baik sekali
kepada kita. Kamu bisa kualat, terkutuk.” (hlm, 54)
Namun sampai Sawitri pulang yang terjadi
justru sebaliknya
Dalam
ketersedu-seduannya muncul kembali bayangan masa lalu tentang tingkah laku
kakaknya yang tega menipu pamannya sendiri dengan menjual tongkat antik
berkepala naga yang terbuat dari emas, kepada Oom Onggokusumo. Sawitri tidak
habis heran mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya
justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu selalu diberikan
oleh ayahnya, pada saat mereka masih kanak-kanak.
Ketegangan
terus menanjak. Sawitri mendesak pamannya, jika paman tidak menyetujuinya, ia
akan mendukungnya. Namun Paman Kanjeng tak ingin menghalangi tekad Midas yang
telah mengundang orang kampung untuk mulai memersiapkan upacara itu. Paman
Kanjeng merasa kewalahan menghadapi kenekatan Midas. Ia menghibur Sawitri
dengan berkata
”Jangan gusar anakku. Sebab ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang
yang belum mengalami akan selalu bisa
keliru. . . ” (hlm, 55).
Lewat
Sawitri Paman Kanjeng memberi izin Midas untuk melangsungkan upacara tumpeng
dengan aturan yang ditentukannya.
Tetapi
Midas bukanlah lelaki yang gampang percaya. Ia belum merasa puas jika tidak
mendengar sendiri persetujuan dari Paman Kanjeng. Dan Midas bukanlah Midas jika
tidak berbuat menuruti kehendaknya sendiri untuk memojokkan orang lain,
meskipun orang lain itu adalah pamannya sendiri. Ia memutuskan mengambil
tempayan ”pusaka” itu dan ingin membersihkannya terlebih dahulu, baru kemudian
menemui pamannya.
Pagi
harinya sekitar pukul sembilan, ketika Sawitri masih duduk menunggui pamannya
yang tidur nyenyak, dengan disaksikan oleh orang-orang kampung Midas menjinjing
tempayan itu dengan sekali angkat. Midas dengan mudah menjinjing tempayan itu.
Orang-orang kampung takjub menyaksikan peristiwa itu, dan ini membuat Midas
lupa diri, ia tertawa terbahak-bahak kesenangan. Klimaks cerita pun terjadi. Di
tengah-tengah meluapnya kegembiraan Midas, karena berhasil menjinjing, dan
bukan mengangkat, karera menjinjing
berarti membawa sesuatu dengan tangan terulur ke bawah dan tidak terlalu
erat memegangnya, tentu saja akibatnya menjadi fatal, karena tempayan yang
terbuat dari tanah liat itu umurnya sudah puluhan tahun, tidak pernah
dipindahkan selama dua puluh tahun, apalagi mengangkatnya hanya dijinjing,
tempayan itupun remuk berkeping-keping (hlm, 58).
Ternyata
pada saat yang sama, bukan hanya tempayan yang remuk, di tempat lain, di rumah
itu juga, tepatnya di kamar Paman Kanjeng, Sawitri menjerit keras-keras, Paman
Kanjeng telah tiada. Akhir kisah yang tragis.
Pengarang
cerpen ini ternyata belum mau membuat peleraiannya. Bagaimana Midas
selanjutnya, bagaimana sikap Sawiti, apakah Midas akan tetap ngotot melakukan
upacara tumpengan tanpa tempayan ”pusaka” setelah penguburan Paman Kanjeng.
Pembaca tidak diberi informasi selanjutnya. Akan tetapi dilihat dari sudut
pengaluran, yang begitu erat dengan tingkah laku tokoh-tokohnya, kesatuan
cerpen ini sungguh terjaga, nyaris tidak dijumpai peristiwa lanturan. Dilihat
dari sudut struktur begitu kokoh kesatuannya.
c.
Latar
Cerpen Tumpeng
Latar
menyangkut tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Tempat menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan geografis, waktu menyangkut masalah-masalah
historis, dan sosial menyangkut yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Dalam
cerpen ini, ketiga kategori itu ada. Tempatnya di kota Yogyakarta, tetapi tidak
jelas di mana. Yang jelas tertulis hanyalah rumah tua Paman Kanjeng yang
berkamar besar-besar, yang memungkinkan dapat dibuat penginapan dengan
mengubahnya menjadi kamar-kamar kecil untuk wisman (wisatawan mancanegara). Ada
tempayan yang terbuat dari tanah liat yang ditaruh di senthong (kamar khusus yang letaknya di belakang kamar utama), ada
pembantu bernama Jum dan embah Atma yang menemani Sawitri tidur di kamar
sebelah, ada orang-orang kampung yang dapat disuruh membantu melakukan suatu
upacara dan masak-masak; kesemuanya itu mengisyaratkan sebuah rumah tua tempat
tinggal pejabat kraton yang bernama Kanjeng Sepuh.
Sementara
yang menyangkut waktu, jelas masa sekarang. Indkatornya (sesuatu yang dapat
memberikan petunjuk) antara lain ialah: penelitain untuk master, riset,
memertahankan skrips, supermarket, biro perjalanan, dalang Ki Manteb, pejabat
tinggi sekaligus direktur perusahaan besar, dan derum mobil. Dari kata-kata,
dan frase itu dapat memberikan petunjuk bahwa cerita itu berlakuan pada masa
sekarang. Sedangkan yang berkaiatan dengan faktor sosial, dari nama Paman
Kanjeng Sepuh, upacara tumpengan, Mbah Atmo, senthong, Den Mas Nogobondo, reso,
babut, bulan Rajab, dan sebagainya, mengisyaratkan cerpen ini berlatar
belakang sosial budaya Jawa.
Dari latar
yang dipergunakan pengaran, pembaca ikut merasakan suasana yang dibangun oleh
pengarang, misalnya suasana kejawaan yang tampil seperti memijat-mijat kaki
Paman Kanjeng Sepuh yang memang sudah tua, bertubuh lemah, suka batuk-batuk,
duduk di sisi tempat tidur di atas babut yang tergelar di lantai, semuanya itu
menampilkan suasana ketentramam di rumah seoang bangsawan di malam hari dengan
penerangan lampu kecil. Namun suasana ketenteraman itu menjadi muram setelah
dibrondong dengan sorot balik yang berkali-kali yang bernada kurang baik dan
menekan. Apalagi setelah menjelang pukul dua belas tengah malam, pada saat
Sawitri ingin masuk kamar sebelah. Paman Kanjeng memanggilnya dan memberi
petunjuk agak keras agar disampaikan kepada Midas bagaimana upacara tumpengan
itu harus dilakukan.
Kutipan
berkut adalah lukisan latar yang mengakhirinya menunjukkan suasana kemuraman
yang mencekam.
”Hanya dengan tempayan itu, upacara tumpengan khusus itu
sah! Hanya dengan tempayan itu! Tidak bisa lain!”
Paman
Kanjeng tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak
mengerikan. Sawitri mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilnya senthong, kamar khusus itu,” ”suruh dia menyucinya bersih-bersih.
Dia sendiri harus menyucinya... ” ”ingat, hanya dengan tempayan itu upacara
yang diselenggarakan akan sah dan direstui para leluhur kita,”. . .,
Udara dalam
kamar itu itu terasa dingin, dingin yang aneh. Mbah Atmo yang diminta
menemaninya sudah tidur pulas. Sawitri mencoba berdoa, tetapi agak sulit
konsentrasi (hlm, 57).
Perintah
yang cukup keras, tanpa dapat disela kecuali jawaban kesanggupan di tengah
situasi tengah malam yang dingin, benar-benar memadukan latar, tokoh, dan alur
menjadi bermakna satu, yaitu suasanya kemuraman yang mendalam dan mencekam.
d.
Sudut
Pandang dalam Cerpen Tumpeng
Pemakaian
sudut pandang orang ketiga (dia) menyebabkan pencerita tidak terlalu banyak
terlibat di dalam cerita. Tentang tokoh Sawitri, pengarang serba mahatahu,
kedekatannya pada Paman Kanjeng, kemarahannya dengan Midas kakaknya yang tidak
tahu diri sejak di Boston, Amerika Serikat sampai di dalam kamar rumah Paman
Kanjeng, kebelalakan matanya yang indah, bahkan di bawah lengannya terasa
membasah pun (hlm, 51) diketahui oleh pengarang. Namun pada tokoh Paman
Kanjeng, dan Midas, pengarang ini menggunakan teknik dia terbatas. Ini
memungkinkan kejutan pada klimaks cerita yang tidak terduga..
Akibat
Midas kurang berhati-hati, atau lebih tepatnya menganggap tempayan sebagai
barang tidak berharga, ternyata hanya dijinjing tidak diangkat dengan sepenuh
hati, maka pecahlah tempayan itu. Dan pada saat yang sama pula, atau mungkin
Sawitri menganggap pamannya masih tidur nyenyak, meskipun ia sebenarnya
layaknya curiga karena sampai pukul sembilan pagi, Paman Kanjeng telah
meninggal dengan wajah tenang. Seandainya pengarang memergunakan sudut pandang
akuan tak sertaan, bisa jadi cerpen ini menjadi sangat emosional sehingga
menjadi sangat subjektif pula. Hal ini tampak kemahatahuan pengarang atas tokoh
Sawitri, betapa pun diusahakan untuk dihindarkan, tidak dapat tidak pengarang
ikut tidak bersimpatik dengan tokoh Midas, karena kelakuan-kelakuannya yang
dituturkan tokoh Sawitri.
e.
Unsur
Bahasa dalam Cerpen Tumpeng
Unsur
bahasa yang dimasud adalah bentuk verbal cerpen tersebut, yaitu bagaimana
pengarang memilih diksi, imaji, susunan kata dan kalimatnya. Artinya cara
pemakaian bahasa yang spesifik dari seorang pengarang, atau gaya yang
dipergunakannya. Bahasa yang dipakai pengarang erat kaitannya dengan nada
cerita. Lewat analisis latar telah kita ketahui nada dan suasana muram ceita
tersebut.
Pemilihan
nama dalam cerpen ini menarik perhatian dilihat dari unsur bahasanya. Pemilihan
kata Midas, terasa asing bagi telinga Jawa. Konotasi yang ingin dicapainya
senada dengan tokoh Dinosauruz Onggokusumo, Paman Kanjeng Sepuh, Kampret, dan
Mbah Atmo, serta Jum, sangat akrab dengan budaya Jawa. Kata Dinosauruz
konotasinya jelas seperti profesi yang digelutinya, yaitu: memiliki hotel, supermarket, percetakan, dan biro
perjalanan (semacam konglomerat) yang menguasai sejak hilir sampai hulu, yang
mau mensponsori suatu upacara, tetapi melihat unsur bisnis di belakangnya.
Begitu pula Nogobondo, yang berkonotasi pemilik harta yang seperti ular naga.
Sementara Midas adalah nama tokoh dalam legenda Yunani Purba yang sangat licik
dan rakus.
Selain
pemilihan nama-nama tokoh, untuk memberikan suasana Jawa lebih kental, banyak
dihadirkan kata-kata Jawa seperti: tumpeng, cepet-cepet, bule, enggak usah,
babut, kanjeng, tumpengan, ngetop, roso, ayu, senthong, Dengan kalimat pendek-pendek pengarang menjaga irama
kesuraman cerpen tersebut menjadi lebih terjaga dan menonjol.
f.
Tema dalam
Cerpen Tumpeng
Cara
mencari tema sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa mencari
tema cerita terlebih dahulu ditempuh dengan menjawab pertanyaan, mengapa
pengarang menulis cerpen seperti itu; atau bagi pembaca dapat melontarkan pertanyaan:
apa yang membuat cerpen itu tampak berharga.
Kedua
pertanyaan itu dapat terjawab jika terlebih dahulu kita telah menganalisis
cerpen itu dari segi tokoh dan penokohannya, alurnya, latarnya, dan sudut
pandang yang dipergunakannya dan bahasa yang dirakitnya. Dari ucapan-ucapan
tokoh utama Paman Kanjeng Sepuh dalam menghadapi kelicikan dan keculasan tokoh
Midas, sebenarnya tersurat tema cerpen tersebut. Hal ini terutama saat Paman
Kanjeng Sawitri agar tidak usah marah kepada kakaknya perihal akan diadakannya
upacara tumpengan.
”Jangan
gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan mengendorkan niat
kakakmu. Sebab ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang belum mengalami akan
selalu bisa keliru. . .” (hlm, 55).
Dari
perkataan Paman Kanjeng Sepuh, kemudaian dihubungkan dengan apa yang terjadi
pada saat Midas menjinjing tempayan, ketawa ngakaknya karena merasa bisa
mengangkat hanya dengan menjinjing, artinya tidak usah mengarahkan seluruh
tenaganya. Dari kedua peristiwa itu dapat ditarik semacam tema ketiaktahuan
yang didasari dengan kepongahan akan akibat fatal (kesalahan dan kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki lagi).
Jika kita
kembalikan kepada pertanyaan mengapa pengarang menulis cerita semacam itu,
jawabnya ”karena ketidktahuan yang dilandasi dengan kepongahan akan menimbulkan
kesalahan atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki kembali.” Dengan demikian
kita juga dapat menjawab pertanyaan ”apa yang membuat cerpen itu tampak
berharga?” jawabnya, ” pembaca akan menarik manfaat untuk tidak gegabah apabila
memang belum tahu selayaknya bertanya sehingga tidak akan mengalami musibah
yang mengerikan.
Demikian
analisis cerpen Tumpeng dengan
menggunakan pendekatan objektif atau pendekatan struktural. Dari analisis
tersebut, dibuktikan bahwa makna cerpen tersebut tidak terletak pada unsur
alur, tokoh, latar, sudut pandang atau bahasanya, tetapi maknanya terletak pada
relasi antar-unsurnya (Rahmanto, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar