Jumat, Oktober 10, 2014

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Struktural

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural memandang dan memahami karya  sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Menurut  Teeuw (1984) pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca.
Pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading (membaca karya secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, hubungannya dengan realitas, maupun pembaca). Analisis difokuskan pada unsur-unsur intrinsik karya sastra. Dalam hal ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur-unsur lainnya.
Pendekatan struktural pertama kali dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia (1915-1930). Latar belakang munculnya pendekatan tersebut adalah untuk membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah, dan penelitian kebudayaan. Hal ini karena sebelumnya karya sastra dipahami dalam hubungannya dengan psikologi, sejarah, kebudayaan, masyarakat, serta faktor intrinsik lainnya (Teeuw, 1984; Wiyatmi, 2004).
Teeuw (1984) menguraikan, bahwa pendekatan struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Berikut ini adalah contoh penerapan pendekatan struktural yang dilakukan oleh Rahmanto dkk, lewat cerita pendek Tumpeng karya Bakdi Soemanto. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kutipan cerpen Tumpeng sebagai berikut.





1.      Tumpeng

Paman Kanjeng Sepuh masih saja diam seperti kemarin dan lusa, hanya sesekali batuk-batuk beruntun. Tubuhnya sudah tampak lemah, tetapi wajahnya masih segar bahkan cerah. Nuaraina Sawitri, kemenakannya, yang dua minggu lalu tiba di tanah air dalam rangka penelitian untuk masternya selama tiga bulan memijat-mijat kaki Paman Kenjeng Sepuh penuh kasih sayang. Midas, kakak Sawitri tampak tidak sabar lagi.
”Paman,” kata Midas pelan, ”saya tidak akan memaksakan kemauan saya, tetapi ingin mengingatkan saja. Sudah lama sekali Paman tidak menyelenggarakan upacara tumpengan itu. Sudah sejak dua puluh tahun lalu...” sambungnya mengulang-ulang kata yang sama.
”Sudah, mas,” Sawitri memotong, ”kasihan Paman Kanjeng.”
”Ah, kamu, anak kemarin sore jangan ikut-ikut urusan ini. Tugas kamu kan riset. Ya, sudah, riset saja. Cepat-cepat sana, lalu kembali ke Amerika. Memertahankan skripsimu itu, terus cari orang bule. Kalau perlu enggak usah pulang, jadi imigran!” Midas menukas.
”Mas!” Sawitri membelalakkan matanya, tampak bulat dan indah di balik kaca matanya yang tebal. Walaupun selama beberapa hari kurang tidur, ia tampak tetap cantik dan sehat. Di bawah lengannya terasa membasah. ”Kau pikir aku ini apa?” sambung Sawitri. Ia marah. Lalu berdiri dan sedikit menjauh dari tempat tidur Paman Kanjeng Sepuh. Terlentang dengan kepala di atas bantal bersusun tiga, lelaki tua itu menatap perawan berhati lembut itu. Matanya sayu dan terkadang terpejam, berkaca-kaca. Sawitri merasa iba tatkala mereka saling berpapasang pandang. Kembali wanita muda itu duduk di sisi tempat tidur, di atas babut yang bergelar di lantai. Kembali ia memijit-mijit kakinya.
Paman Kanjeng tampak bahagia sekali. Sebagai laki-laki yang selama hidupnya bertahan hidup lajang, sentuhan tangan Sawitri menggetarkan sarafnya. Dan ini semata-mata bukan karena gesekan fisik; ada sesuatu yang lebih dalam yang dimiliki Sawitri, semacam nilai kesetiaan yang tidak dimiliki setipa orang. Sesuatu yang membuatnya istimewa di mata Paman Kanjeng. Sesekali Paman Kanjeng tersenyum, lalu mengusap matanya yang basah. Sawitri segera menyapunya dengan sapu tangannya. Mungkin orang tua itu membayangkan dirinya sebagai Satyawana yang hampir mati, ditunggui Sawitri yang setia untuk siap tawar-menawar dengan Yamadiapti, sang Dewa Maut, yang akan datang menjemput nyawa Satyawan, seperti yang diceritakan dalam dongeng percintaan yang indah itu.
”Sebenarnya, aku tidak suka kamu pulang. Riset untuk master kayak begitu kan nggak usah harus di Yogya,” kata Midas lagi.
Sawitri sekali lagi, membelalakkan matanya yang indah. Ia merasa tidak tahan lagi mendengar kata-kata keras tetapi diucapkan lirih demikian. Perempuan itu bangkit cepat dan segera meninggalkan Paman Kanjeng. Tepat di depan pintu kamar tidur, terdengar suara lemah orang tua itu, memanggilnya.
”Nur. . .” katanya. Sawitri berhenti, menengok ke belakang. Mata mereka bertatapan lagi, tatapan dua generasi, tatapan dua jagat pikir, yang tiba-tiba tanpa jarak. Rasa iba kembali meremas hatinya, dan Sawitri kembali mendekati Paman Kanjeng, duduk di babut seperti tadi, kepalanya direbahkan di tempat tidur. Sawitri tidak kuasa menahan sedu-sedanya, tatkala tangan Paman Kanjeng yang gemetar membelai kepalanya.
”Uh!’ Midas memberikan reaksinya melihat adegan itu, ia dengan cepat meninggalkan mereka, dengan langkah lasar. Paman Kajeng tersenyum. Tersenyum getir. Dan kebencian sekilas sempat membersit di hati Sawitri. Kebencian yang menggigit justru karena ia harus membenci kakaknya sendiri. Ah. . .!
Dua bulan yang lalu, tatkala Sawitri masih di Boston, kakaknya, Midas menulis surat kepadanya. Dikatakannya dalam surat itu, bahwa Paman Kanjeng mungkin dapat menerima gagasan penyelenggaraan upacara tumpengan,tradisi lama yang khas dinasti Kanjeng Sepuh, yang sudah dua puluh tahun dihentikan.
Midas juga mengatakan bahwa ia menyanggupi pelaksanaan upacara itu. Bahkan, oom Dinosauruz Onggokusumo, seorang pemilik supermarket, hotel, percetakan, dan biro perjalanan, bersedia memberikan biaya yang diperkirakan bisa mencapai lima sampai enam juta rupiah. Bahkan, sponsor itu bersedia mengeluarkan dukungan biaya sampai sepuluh juta rupiah, kalau malam sebelum pelaksanaan upacara juga diselenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan  dalang Ki Manteb yang ngetop itu.
Tapi, tentu saja, hukum bisnis harus berlaku, biro perjalana Oom Onggo akan mendatangkan sejumlah wisman dari beberapa negeri Eropa dengan dua bus besar untuk ikut dalam upacara itu. Mereka masing-masing yang diperkirakan akan mencapai 80 sampai 100 kepala, harus membayar dua puluh dolar. Yues. . . dolar.
Tak hanya itu, jika perintisan ini sukses, setipa tahun, khususnya pada bulan rajab, upacara itu akan diselenggarakan. Gagasan untuk merehab rumah tua Paman Kanjeng pun mulai dipikirkan. Bahkan, beberapa kamar samping ukuran besar itu dikatakan bisa diubah menjadi kamar kecil-kecil untuk wisman, jika mendapat izin.
Sawitri terkejut  membaca surat kakaknya. Bagaimana mungkin Midas sampai hati mengomersialkan pamannya sendiri yang sudah tua itu. Bukan saja melaksanakan gagasan itu dianggap mengusik ketenteraman pribadi Paman Kanjeng, tetapi juga suatu ide tanpa pertimbangan etis. Sebagai lelaki yang hidup lajang yang memiliki beberapa hektar sawah padi dan tebu, Paman Kanjeng  berpenghasilan lebih dari cukup yang banyak diberikn kepada kemenakan-kemenakannya, termasuk Midas. Bahkan, tatkala adik ipar Midas sakit keras Paman Kanjeng tidak tinggal diam dengan merelakan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya perawatannya. Juga, tatakala ibu mertua Midas meninggal Paman Kanjenglah yang menanggung biayanya. Karena itu bagi Sawitri rencana Paman Kanjeng sudah tidak menghendakinya lagi. Maka dua jam setelah surat diterima, Sawitri segera ke kantor telegram dan mengirim surat kawat singat, ”jangan kau siksa Paman Kanjeng, beliau baik sekali kepadakita. Kamu bisa kualat, terkutuk.”
Tapi Sawitri tau siapa kakaknya. Telegram itu pasti tidak ada gunanya. Usulannya pasti tidak digubrisnya. Beberapa tahun yang lalu, sebulan menjelang memulai program studinya di Amerika, Midas memaksa Paman Kanjeng memberikan tongkat atik berkepala naga, terbuat dari emas, kepadanya. Sawitri sangat sedih, tetapi Paman Kanjeng ikhlas, sebab menurutnya, Midas memintanya dengan alasan untuk koleksi. Orang tua itu tidak pernah tahu, beberapa hari setelah tongkat antik itu sudah di tangannya, segera dijualnya kepasa Oom Dinozauruz Onggokusumo yang menerima pesanan dari seorang pejabat tinggi di Jakarta. Menrut beberapa berita burung, denga tongkat itu, siapa pun yang memilikinya akan terjaga kelanggengannya menjadi pejabat tinggi sekaligus direktur perusahaan besar.
Sawitri menangis tersedu-sedu di pangkuan Kanjeng, begitu tahu semuanya. Perempuan itu tidak pernah bisa paham, hingga malam itu, mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu diberikan di kala mereka kanak-kanak oleh sang ayah, adik Paman Kanjeng itu. Mungkinkah yang dikatakan oleh Den Mas Nogobondo, seorang ahli keris yang sering bertandang ke rumah Paman Kanjeng, bahwa yang indah tinggal pakaian. Sebab hanya pakaian yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi roso ialah nilai-nilai kedalaman, sudah hilang.
”Bahkan sudah lama hilang!” kata Nogobondo waktu itu. Sawitri terkejut. Kata-kata itu terngiang kembali, tatakala Romo Kanjeng minta diambilkan minum air putih, seperti biasanya. Ia seperti diingatkan akan sesuatu yang hilang itu: roso yang memang tidak bisa diterjemahkan itu.
”Kalau Paman tidak mengizinkan, kami tidak akan memaksa,” kata Sawitri lembut, sambil memberikan gelas air putih itu. Paman Kenjeng tersenyum, tetapi lalu menggeleng.
”Si Midas sudah nekat. Lihatlah, besok orang-orang kampung akan datang ke mari, mulai memasak memersiapkan upacara itu. . .” kata paman dengan suara lemah’”Tapi . . .”Sawitri menukas. Hatinya gusar. Kebencian pada kakaknya kembali membersit di hatinya.
”Janagan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan mengendorkan niat kakakmu. Sebab, ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang belum mengalami akan selalu bisa keliru.” Paman Kanjeng meneguk lagi air putih itu. Dengan lembut Sawitri mengusap air di bibir Paman dengan sapu tangan.
”Kau cantik dan hatimu ayu. Karena itu, namamu Sawitri, wanita yang paling setia kepada lelakinya. Karena itu namamu Nuraina, mata yang bercahaya, yang paling bisa melihat,” Paman Kanjeng tersenyum, lalu membelai kepala Nur, si cahaya.
”tapi . . .” kata Sawitri lagi.
”Sudahlah Nur. Lihatlah apa yang akan terjadi nanti.” Paman Kanjeng memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ada perasaan mendesir di hati Sawitri. Ia ingat tatkala ayahnya melakukan hal yang sama menjelang meninggal. Tapi ia segera ingat pula Nogobondo yang ahli keris itu suka menutup dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan hingga saat ini masih segar-bugar. Ah alangkah susahnya memahami isyarat-isyarat kehidupan.
Malam itu ia menolak ajakan kakaknya pulang. Ia ingin tidur di rumah Paman Kanjeng. Bahkan kalau diperkenankan, tidur di babut di samping orang tua itu.
”Jangan Nur. Kamu nanti sakit. Kita akan punya kerja besar. Banyak orang akan datang ke mari,” kata Paman Kanjeng.
”Saya ingin ti . . .”
”Boleh saja, kamu tidur di sini. Tapi di kamar sebelah itu. Suruh Jum membersihkannya dahulu. Dan nanti, mintalah embah Atma menemani kamu, kata Paman dengan nada lelah.
Sawitri mengangguk.
”Aku harap, lusa nanti.Wiranti sempat datang dari Semarang. Aku ingin sekali ia melihat upacara tumpengan kita,” sambung Paman Lanjeng.
”Ya. Saya juga kangen sekali. Waktu kecil dulu, kami main petak umpet dan lari-lari di rumah ini,” kata Sawitri mengenang sesuatu yang indah dan kini hilang.
”Ya. Sekarang hidupnya bahagia sekali.” Paman Kanjeng menutup pembicaraan dengan memberi isyarat bahwa ia sudah mengantuk dan ingin dibiarkan sendirian. Tatakala Sawitri berdiri untuk mematikan lampu besar dan menyalakan lampu kecil, di luar terengar derum mobil. Perempuan muda itu membayangkan, kakaknya pasti sangat jengkel, dan meninggalkan halaman rumah Paman Kanjeng dengan marah.
Malam itu Sawitri tidak bisa segera memicingkan matanya, teritama karena tadi, tiba-tiba, menjelang ia masuk ke kamar sebelah, Paman Kanjeng memanggilnya, lagi, tepet menjelang pukul dua belas malam.
”Katakan kepada Midas, aku memberi izin pelaksanaan tumpengan itu. Tapi, jangan lupa tempayan dari tanah liat itu harus disertakan,” kata Paman Kanjeng. Sawitri tertegun sejenak, tetapi segera mengangguk.
”Air kesuburan harus dimasukkan di dalam tempayan itu, semalam sebelumnya, dan diletakkan di halaman dengan terbuka. Setelah upacara selesai, airnya disiramkan di halaman rumah,” Paman berhenti lagi.
”Ya, Paman.”
”Hanya dengan tempayan itu, upacara khusu tumpengan sah! Hanya dengan tempayan itu! Tidak bisa lain! Tidak bisa lain! Paman Kanjeng. Tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilkan di senthong kamar khusus itu,” kata Paman lagi. ”Suruh dia mencucinya bersih-bersih. Dia sendiri yang harus mencucinya.” Paman berhenti lagi. Lalu melanjutkan, ”ingat, hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan direstui para leluhur kita,” katanya menegaskan. Kemudian Paman memberi isyarat agar Sawitri meninggalkannya sendirian. Tatakala wanita muda itu masuk ke dalam kamar, ada sesuatu yang mendesir di hatinya. Lalu kecemasan lenyap. Tapi, ia segera menumpasnya.
Udara dalam kamar itu terasa dingin, ingin yang aneh. Mbah Atmo yang dimimta menemaninya sudah tertidur pulas. Sawitri mencoba berdoa, tetapi agak sulit konsentrasi. Tepat pukul dua pagi, perempuan muda itu tertidur pulas. Ia baru terbangun tatkala kakaknya tiba di rumah itu.
Midas sangat gembira mendengar cerita Sawitri bahwa Paman Kanjeng. Akhirnya merstui rencana itu. Ini artinya, jika orang kampung nanti datang membantu memasak, memasang tenda, mengumpulkan buah-buahan, memersiapkan tempat, penyembelihan kambing, tidak akan takut kena damprat Paman Kanjeng. Tapi Midas belum begitu puas kalau ia belum mendengar sendiri kata-kata Paman Kanjeng. Untuk meyakinkan orang tua itu, atau setengahnya memojokkannya, Midas memutuskan untuk mengambil tempayan ”pusaka” itu dan membersihkannya lebih dahulu, baru kemudian menemui Paman Kanjeng.
Persis pukul sembilan pagi, orang-orang kampung mulai datang. Kampret dan Gogom segera dipanggil Midas untuk untuk menemani memasuki kamar tempayan dan mengangkatnya pelan-pelan. Hampir semua orang kampung ikut menyaksikan pengambilan benda sederhana tetapi luar biasa itu. Sawitri duduk di babut menunggu Paman yang masih tidur nyenyak.
”Hati-hati,’ kata Midas memberi perintah Kampret dan Gogom. Orang-orang kampung menahan nafas.
”Aku sendiri akan menjinjing tempayan itu ke kamar, kalian mendampingi aku,” kata Midas lagi. Mereka mengangguk. Lalu dengan sekali jinjing tempayan sederhana itu terangkat. Semua  yang menyaksikan takjub. Midas tertawa terbahak-bahak. Tetapi tanpa diduganya, tiba-tiba tempayan itu remuk di tangannya. Pecahan-pecahan itu terserak di lanatai.
Midas terbelalak, demikian pula orang-orang kampung yang menyaksikannya. Beberapa detik kemudian, orang-orang kampung itu menyerbu ke dalam kamar berebut pecahan-pecahan tempayan itu. Mereka tidak mendengar bahwa Sawitri menjerit keras-keras tatkala mendapati Paman Kanjeng. Sudah     tidak bernafas lagi. Tangannya bersilang di dada, seperti ditata rapi. Matanya terpejam bagaikan tertidur nyenyak. Mulutnya seperti tersenyum, ikhlas meninggalkan yang harus ditinggalkan. Ikhlas terhadap upacara yang sudah seharusnya dihentikan.
Sawitri tersedu-sedu di dada Paman Kanjeng yang sangat mencintainya. Nuraena Sawitri telah mengantakannya ke alam damai. Si mata cahaya yang setia telah membukakan jalan terang orang tua yang hampir terpojok perubahan zaman yang tak seorang pun mampu menolaknya.

Sejalan dengan prinsip  pendekatan objektif, maka penganalisisannya tidak memerhitungkan siapa pengarang, bagaimana latar belakang budaya, dan kapan cerpen itu dibuat. Pendekatan struktural, yang merupakan satu di antara penjebaran pendekatan objektif, menganalisis karya sastra secara rinci menurut unsur-unsur pembangunnya dari dalam. Dengan demikian akan diperoleh gambaran objektif tentang karya itu dari salah satu sisinya. Di samping itu, perlu diingat pula bahwa makna karya sastra ditentukan oleh hubungannya antar-unsur yang terlibat di dalamnya. Maka, makna pertalian unsurnya harus selalu diperhatikan dalam setiap analisis unsur.
Dalam analisis struktural unsur-unsur cerita yang penting dan saling berkaitan adalah unsur tokoh-penokohan, alur, dan latar. Hubungan ketiga unsur yang penting itu sering disebut fakta cerita, dan dari analisis fakta cerita ini akan diketahui apa temanya. Untuk lebih jelasnya analisis cerpen Tumpeng karya Bakdi Soemanto dapat dilihat berikut ini.

2. Kajian Analisis Struktural Cerpen Tumpeng Karya Bakdi Soemanto

a.      Tokoh dan Penokohan dalam Cerpen Tumpeng
Seperti kita ketahui tokoh adalah individu rakaan yang berlakuan atau mengalami berbagai peristiwa dalam fiksi. Tokoh-tokoh yang berlakuan dalam cerpen tersebut ialah: Paman Kanjeng, Nuraina Sawitri, Midas, Oom Dinosauruz Onggokusumo, Den Mas Nogobondo, Embah Atma, dan orang-orang kampung antara lain Kampret dan Gogom.
Di antara tokoh-tokoh itu yang keterlibatannya dalam setiap peristiwa yang membangun cerita secara keseluruhan cukup tinggi adalah tokoh Paman Kanjeng. Tokoh Paman Kanjeng adalah tokoh yang palng banyak terlibat dengan tema cerita. Dengan demikian tokoh paman-lah yang dapat dikategorisasikan sebagai tokoh utama (tokoh sentralnya). Agar tokoh Paman Kanjeng menjadi sangat berperan, perlu didukung oleh tokoh-tokoh lain seperti Sawitri, dan Midas. Tokoh-tokoh itulah yang menjadi tokoh bawahannya. Sementara itu orang-orang kampung hanyalah berfungsi sebagai tokoh tambahan saja.
Pelukisan watak tokoh-tokoh itu, pengarang memergunakan teknik dengan membiarkan para tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh, perbuatan, dan sikap tokoh.
Watak tokoh Paman Kanjeng lewat pengaluran, atau peristiwa-peristiwa sejak awal sampai akhir kisah yang membentuk makna kaitan dengan  latar kisah ini. Nama Paman Kanjeng Sepuh, rumah tua Paman Kanjeng, tongkat antik berkepala naga yang terbuat dari emas, upacara tumpengan, tempayan tanah liat di dalam senhong, orang-orang kampung yang ingin mengikuti upacara, bahkan yang berebutan pecahan tempayan yang terbuat dari tanah liat, membuktikan latar tempat yang khas, lingkungan rumah-rumah pejabat kraton masa lalu berpangkat kanjeng (bupati muda dalam keraton Jawa).
Watak Paman Kanjeng, tampak dalam peristiwa saat Midas, kakak Sawitri memaksakan kehendaknya untuk menyelenggarakan upacara tumpengan yang sudah dua puluh tahun tidak lagi dilakukan, kemudian sempat bersitegang dengan Sawitri yang menganggap permintaan Midas tidak tepat karena Paman Kanjeng sedang sakit. Melihat adegan yang cukup seru ini Paman Kanjeng tidak berbuat apa-apa. Ia hanya tersenyum getir sambil membelai kepala Sawitri (hlm 50-52).
Dengan teknik flash-back (tolehan kebelakang) pengarang menyuguhkan kembali bagaimana watak   Paman Kanjeng yang tetap membujang sampai usianya uzur itu, lewat penuturan berikut ini
Sebagai lelaki yang hidup lajang yang memiliki beberapa hektar sawah padi dan tebu, Paman Kanjeng  berpenghasilan lebih dari cukup yang banyak diberikn kepada kemenakan-kemenakannya, termasuk Midas. Bahkan, tatkala adik ipar Midas sakit keras Paman Kanjeng tidak tinggal diam dengan merelakan beberapa ratus ribu rupiah untuk biaya perawatannya. Juga, tatakala ibu mertua Midas meninggal Paman Kanjenglah yang menanggung biayanya (hlm, 54).

Demikian pula pada saat Midas meminta tongkat berkepala naga dengan alasan untuk dikoleksi sebagai benda antik, Paman Kanjeng dengan rela memberikannya, walaupun akhirnya tahu benda antik itu dijual kepada pengusaha Oom Dinosauruz Onggokusumo yang katanya  menerima pesanan dari salah seorang pejabat tinggi di Jakarta agar tetap langgeng menjabat sebagai pejabat tinggi sekaligus direktur perusahaan besar.
Watak Paman Kanjeng kembali muncul pada saat Sawitri berkata ”Kalau Paman tidak mengizinkan, kami tidak akan memaksa,” kata Sawitri lembut, sambil memberikan gelas air putih itu. Paman Kanjeng tetap tersenyum, tetapi lalu menggeleng.
”Si Midas sudah nekat. Lihatlah besok orang-orang kampung akan datang ke mari, mulai memasak dan memersiapkan upacara itu. . . .” kata Paman dengan suara lemah.
”Tapi . . .” Sawitri menukas. Hatinya gusar. Kebencian pada kakaknya kembali membersit di hatinya.
”Jangan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan mengendorkan niat kakakmu. Sebab, ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang belum mengalami akan selalu bisa keliru. . . ” (hlm, 55).
Dari beberapa kutipan di atas jelas terlihat watak Paman Kanjeng itu, bijaksana, tidak gampang marah, pemurah, dan baik hati. Namun, lewat kutipan berikut pengarang menggambarkan bahwa orang tua bijak itupun dapat marah karena menghadapi peristiwa yang sudah keterlaluan, sebagaimana kutipan di bawah ini.
”Katakan kepada Midas, aku memberi izin pelaksanaan tumpengan itu. Tapi, jangan lupa tempayan dari tanah liat itu harus disertakan,” kata Paman Kanjeng. Sawitri tertegun sejenak, tetapi segera mengangguk.

”Air kesuburan harus dimasukkan di dalam tempayan itu, semalam sebelumnya, dan diletakkan di halaman dengan terbuka. Setelah upacara selesai, airnya disiramkan di halaman rumah,” Paman berhenti lagi.

”Ya, Paman.”

”Hanya dengan tempayan itu, upacara khusu tumpengan sah! Hanya dengan tempayan itu! Tidak bisa lain! Tidak bisa lain! Paman Kanjeng. Tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri mencoba menenangkannya.

”Suruh Midas mengambilkan di senthong kamar khusus itu,” kata Paman lagi. ”Suruh dia mencucinya bersih-bersih. Dia sendiri yang harus mencucinya.” Paman berhenti lagi. Lalu melanjutkan, ”ingat, hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan direstui para leluhur kita,” katanya menegaskan. Kemudian Paman memberi isyarat agar Sawitri meninggalkannya sendirian (hlm, 57)

Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah gambaran watak Paman Kanjeng Sepuh, bijaksana, pemurah, tetapi teguh memegang prinsip. Dari kutipan itu pula tampaklah betapa pentingnya kehadiran tokoh bawahan yakni Sawitri dan Midas. Kedua tokoh itu hadir memertegas keberadaan tokoh utamanya. Dalam pada itu tokoh utama sering pula disebut tokoh protagonis, tokoh yang mewakili tokoh yang baik dan terpuji, karena itu biasanya menarik perhatian pembaca. Di samping tokoh protagonis, tokoh yang mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Dalam cerpen ini Midas merupakan tokoh antagonis, sebagaimana pelukisan perwatakan dari kutipan berikut ini.
”Paman,” kata Midas pelan, ”saya tidak akan memaksa kemauan saya, tetapi ingin mengingatkan saja. Sudah lama sekali Paman tidak menyelenggarakan upacara tumpengan itu. Sudah sejak dua puluh tahun lalu. . .” sambungnya mengulang-ulang kata yang sama.

”Sudah Mas,” Sawitri memotong, ”kasihan Paman Kanjeng.”

”Ah, kamu, anak kemarin sore jangan ikut-ikutan urusan ini. Tugas kamu riset. Ya sudah riset saja. Cepat-cepat sana, lalu kembali ke Amerika. Memertahankan skripsimu itu, terus cari orang bule. Kalau perlu enggak usah pulang, jadi imigran!” Midas menukas.

”Sebenarnya aku tidak suka kamu pulang. Riset untuk master kayak begitu kan enggak usah harus ke Yogya (hal, 50-51).

Dari kata-kata Midas tersebut, tokoh ini bukan hanya laki-laki berwatak culas, egois, dan berlagak sok pintar, tetapi juga tega mengusir secara halus agar adiknya tidak menghalangi tekadnya untuk menguasai seluruh harta benda pamannya. Maka dia mengharapkan adiknya cepat lulus, dapat orang bule dan menjadi imigran.
Kelicikan Midas tampak pula sewaktu menyurati adiknya Sawitri, sebagaimana berikut ini.
. . . ”bahwa Paman Kanjeng mungkin dapat menerima gagasan penyelenggaraan upacara tumpengan, tradisi lama yang khas dinasti Kanjeng Sepuh, yang sudah dua puluh tahun dihentikan.

Midas juga mengatakan bahwa ia menyanggupi pelaksanaan upacara itu. Bahkan, oom Dinosauruz Onggokusumo, seorang pemilik supermarket, hotel, percetakan, dan biro perjalanan, bersedia memberikan biaya yang diperkirakan bisa mencapai lima sampai enam juta rupiah. Bahkan, sponsor itu bersedia mengeluarkan dukungan biaya sampai sepuluh juta rupiah, kalau malam sebelum pelaksanaan upacara juga diselenggarakan pertunjukan wayang kulit dengan  dalang Ki Manteb yang ngetop itu.

Tapi, tentu saja, hukum bisnis harus berlaku, biro perjalana Oom Onggo akan mendatangkan sejumlah wisman dari beberapa negeri Eropa dengan dua bus besar untuk ikut dalam upacara itu. Mereka masing-masing yang diperkirakan akan mencapai 80 sampai 100 kepala, harus membayar dua puluh dolar. Yues. . . dolar.

Tak hanya itu, jika perintisan ini sukses, setipa tahun, khususnya pada bulan rajab, upacara itu akan diselenggarakan. Gagasan untuk merehab rumah tua Paman Kanjeng pun mulai dipikirkan. Bahkan, beberapa kamar samping ukuran besar itu dikatakan bisa diubah menjadi kamar kecil-kecil untuk wisman, jika mendapat izin.

Midas sudah nekat, begitu penilaian Paman Kanjeng terhadap permintaannya untuk menyelenggarakan upacara tumpengan itu. Meski Sawitri tidak sependapat dan mengharapkan pamannya tidak menyetujui rencana kakaknya itu, Paman Kanjeng hanya  berucap, bahwa Midas ”dalam keadaan tidak tahu”. Tidak mungkin untuk mengendorkan niat kakaknya. Dan orang yang belum mengalami akan selalu bisa keliru, demikian kata bijak Paman Kanjeng.
Watak culas ternyata juga dilengkapi dengan ceroboh, dan sombong. Hal ini tampak pada saat Midas berhasil menjinjing tempayan keluar kamar.
”. . . dengan sekali jinjing, tempayan sederhana itu terangkat. Semua yang menyaksikan takjub. Midas tertawa terbahak-bahak. Tapi tanpa diduganya, tiba-tiba, tempayan itu remuk di tangannya. . .” (hlm, 58).

Dengan demikian tokoh dan penokohan protagonis dan antagonis dalam cerpen Tumpeng. Sementara itu, tokoh Sawitri, secara tersirat tampak dari kutipan tersebut, yang sejalan dengan watak yang dituturkan oleh pengarangnya lewat tokoh Paman Kanjeng seperti berikut ini.
”Kau cantik dan hatimu ayu. Karena itu namamu Sawitri, wanita yang paling setia kepada lelakinya. Karena itu, namamu Nuraina, mata yang bercahaya, yang bisa melihat.” (hlm, 55).

b.      Alur dan Pengaluran dalam cerpen Tumpeng
Alur cerita pendek ini pada dasarnya berbentuk alur maju dengan diselingi variasi flash-back. Sorot balik atau tolehan ke belakang terjadi pada saat Sawitri kesal lantaran tingkah laku kakaknya yang keterlaluan memarahinya mengapa harus pulang untuk melakukan riset di Yogya di depan Pamannya yang sedang terbaring sakit. Sawitri tidak dapat berbuat lain kecuali menangis dengan merebahkan kepalanya di tempat tidur pamannya. Ia benci melihat tingkah laku kakaknya yang seperti itu. Pada saat itulah ingatannya kembali pada dua bulan sebelumnya  saat ia menerima surat yang berisi rancangan Midas untuk menyelenggarakan upacara tumpengan. Ia terkejut dan marah. Ia terheran-heran mengapa Midas sampai hati mengomersialkan pamannya sendiri yang sudah tua. Bagi Sawitri melaksanakan gagasan itu, tingkah laku Midas bukan hanya tidak etis, tetapi juga akan mengusik ketenteraman hati pamannya, apalagi di saat itu pamannya sedang sakit.
Sorot balik berikutnya terjadi dalam bayangan Sawitri yang mengingatkan kembali kebaikan Paman Kanjeng pada saat adik Midas sakit, ibu mertua Midas meninggal, Paman Kanjenglah yang membiayainya. Mengingat itu semua Sawitri menjadi makin sewot. Kakaknya dianggap sangat keterlaluan dengan merencanakan untuk mengadakan upacara tumpengan itu, apalagi Paman Kanjeng sudah tidak menghendaki lagi untuk melakukan upacara tumpengan sesudah dua puluh tahun berlalu. Ia lalu menulis telegram pada Midas singkat.
”Jangan kau siksa Paman Kanjeng. Beliau baik sekali kepada kita. Kamu bisa kualat, terkutuk.” (hlm, 54)
 Namun sampai Sawitri pulang yang terjadi justru sebaliknya
Dalam ketersedu-seduannya muncul kembali bayangan masa lalu tentang tingkah laku kakaknya yang tega menipu pamannya sendiri dengan menjual tongkat antik berkepala naga yang terbuat dari emas, kepada Oom Onggokusumo. Sawitri tidak habis heran mengapa darah biru yang mengalir di urat-urat kakaknya membuatnya justru begitu rakus. Di mana ajaran-ajaran keutamaan yang dulu selalu diberikan oleh ayahnya, pada saat mereka masih kanak-kanak.
Ketegangan terus menanjak. Sawitri mendesak pamannya, jika paman tidak menyetujuinya, ia akan mendukungnya. Namun Paman Kanjeng tak ingin menghalangi tekad Midas yang telah mengundang orang kampung untuk mulai memersiapkan upacara itu. Paman Kanjeng merasa kewalahan menghadapi kenekatan Midas. Ia menghibur Sawitri dengan berkata
”Jangan gusar anakku. Sebab ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang    belum mengalami akan selalu bisa keliru. . . ” (hlm, 55).

Lewat Sawitri Paman Kanjeng memberi izin Midas untuk melangsungkan upacara tumpeng dengan aturan yang ditentukannya.
Tetapi Midas bukanlah lelaki yang gampang percaya. Ia belum merasa puas jika tidak mendengar sendiri persetujuan dari Paman Kanjeng. Dan Midas bukanlah Midas jika tidak berbuat menuruti kehendaknya sendiri untuk memojokkan orang lain, meskipun orang lain itu adalah pamannya sendiri. Ia memutuskan mengambil tempayan ”pusaka” itu dan ingin membersihkannya terlebih dahulu, baru kemudian menemui pamannya.
Pagi harinya sekitar pukul sembilan, ketika Sawitri masih duduk menunggui pamannya yang tidur nyenyak, dengan disaksikan oleh orang-orang kampung Midas menjinjing tempayan itu dengan sekali angkat. Midas dengan mudah menjinjing tempayan itu. Orang-orang kampung takjub menyaksikan peristiwa itu, dan ini membuat Midas lupa diri, ia tertawa terbahak-bahak kesenangan. Klimaks cerita pun terjadi. Di tengah-tengah meluapnya kegembiraan Midas, karena berhasil menjinjing, dan bukan mengangkat, karera menjinjing  berarti membawa sesuatu dengan tangan terulur ke bawah dan tidak terlalu erat memegangnya, tentu saja akibatnya menjadi fatal, karena tempayan yang terbuat dari tanah liat itu umurnya sudah puluhan tahun, tidak pernah dipindahkan selama dua puluh tahun, apalagi mengangkatnya hanya dijinjing, tempayan itupun remuk berkeping-keping (hlm, 58).
Ternyata pada saat yang sama, bukan hanya tempayan yang remuk, di tempat lain, di rumah itu juga, tepatnya di kamar Paman Kanjeng, Sawitri menjerit keras-keras, Paman Kanjeng telah tiada. Akhir kisah yang tragis.
Pengarang cerpen ini ternyata belum mau membuat peleraiannya. Bagaimana Midas selanjutnya, bagaimana sikap Sawiti, apakah Midas akan tetap ngotot melakukan upacara tumpengan tanpa tempayan ”pusaka” setelah penguburan Paman Kanjeng. Pembaca tidak diberi informasi selanjutnya. Akan tetapi dilihat dari sudut pengaluran, yang begitu erat dengan tingkah laku tokoh-tokohnya, kesatuan cerpen ini sungguh terjaga, nyaris tidak dijumpai peristiwa lanturan. Dilihat dari sudut struktur begitu kokoh kesatuannya.

c.       Latar Cerpen Tumpeng
Latar menyangkut tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Tempat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan geografis, waktu menyangkut masalah-masalah historis, dan sosial menyangkut yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Dalam cerpen ini, ketiga kategori itu ada. Tempatnya di kota Yogyakarta, tetapi tidak jelas di mana. Yang jelas tertulis hanyalah rumah tua Paman Kanjeng yang berkamar besar-besar, yang memungkinkan dapat dibuat penginapan dengan mengubahnya menjadi kamar-kamar kecil untuk wisman (wisatawan mancanegara). Ada tempayan yang terbuat dari tanah liat yang ditaruh di senthong (kamar khusus yang letaknya di belakang kamar utama), ada pembantu bernama Jum dan embah Atma yang menemani Sawitri tidur di kamar sebelah, ada orang-orang kampung yang dapat disuruh membantu melakukan suatu upacara dan masak-masak; kesemuanya itu mengisyaratkan sebuah rumah tua tempat tinggal pejabat kraton yang bernama Kanjeng Sepuh.
Sementara yang menyangkut waktu, jelas masa sekarang. Indkatornya (sesuatu yang dapat memberikan petunjuk) antara lain ialah: penelitain untuk master, riset, memertahankan skrips, supermarket, biro perjalanan, dalang Ki Manteb, pejabat tinggi sekaligus direktur perusahaan besar, dan derum mobil. Dari kata-kata, dan frase itu dapat memberikan petunjuk bahwa cerita itu berlakuan pada masa sekarang. Sedangkan yang berkaiatan dengan faktor sosial, dari nama Paman Kanjeng Sepuh, upacara tumpengan, Mbah Atmo, senthong, Den Mas Nogobondo, reso, babut, bulan Rajab, dan sebagainya, mengisyaratkan cerpen ini berlatar belakang sosial budaya Jawa.
Dari latar yang dipergunakan pengaran, pembaca ikut merasakan suasana yang dibangun oleh pengarang, misalnya suasana kejawaan yang tampil seperti memijat-mijat kaki Paman Kanjeng Sepuh yang memang sudah tua, bertubuh lemah, suka batuk-batuk, duduk di sisi tempat tidur di atas babut yang tergelar di lantai, semuanya itu menampilkan suasana ketentramam di rumah seoang bangsawan di malam hari dengan penerangan lampu kecil. Namun suasana ketenteraman itu menjadi muram setelah dibrondong dengan sorot balik yang berkali-kali yang bernada kurang baik dan menekan. Apalagi setelah menjelang pukul dua belas tengah malam, pada saat Sawitri ingin masuk kamar sebelah. Paman Kanjeng memanggilnya dan memberi petunjuk agak keras agar disampaikan kepada Midas bagaimana upacara tumpengan itu harus dilakukan.
Kutipan berkut adalah lukisan latar yang mengakhirinya menunjukkan suasana kemuraman yang mencekam.
”Hanya dengan tempayan itu, upacara tumpengan khusus itu sah! Hanya dengan tempayan itu! Tidak bisa lain!”
Paman Kanjeng tiba-tiba menjadi sangat bersemangat. Lalu batuk-batuk beruntun, agak mengerikan. Sawitri mencoba menenangkannya.
”Suruh Midas mengambilnya senthong, kamar khusus itu,” ”suruh dia menyucinya bersih-bersih. Dia sendiri harus menyucinya... ” ”ingat, hanya dengan tempayan itu upacara yang diselenggarakan akan sah dan direstui para leluhur kita,”. . ., 
Udara dalam kamar itu itu terasa dingin, dingin yang aneh. Mbah Atmo yang diminta menemaninya sudah tidur pulas. Sawitri mencoba berdoa, tetapi agak sulit konsentrasi (hlm, 57).
Perintah yang cukup keras, tanpa dapat disela kecuali jawaban kesanggupan di tengah situasi tengah malam yang dingin, benar-benar memadukan latar, tokoh, dan alur menjadi bermakna satu, yaitu suasanya kemuraman yang mendalam dan mencekam.

d.      Sudut Pandang dalam Cerpen Tumpeng
Pemakaian sudut pandang orang ketiga (dia) menyebabkan pencerita tidak terlalu banyak terlibat di dalam cerita. Tentang tokoh Sawitri, pengarang serba mahatahu, kedekatannya pada Paman Kanjeng, kemarahannya dengan Midas kakaknya yang tidak tahu diri sejak di Boston, Amerika Serikat sampai di dalam kamar rumah Paman Kanjeng, kebelalakan matanya yang indah, bahkan di bawah lengannya terasa membasah pun (hlm, 51) diketahui oleh pengarang. Namun pada tokoh Paman Kanjeng, dan Midas, pengarang ini menggunakan teknik dia terbatas. Ini memungkinkan kejutan pada klimaks cerita yang tidak terduga..
Akibat Midas kurang berhati-hati, atau lebih tepatnya menganggap tempayan sebagai barang tidak berharga, ternyata hanya dijinjing tidak diangkat dengan sepenuh hati, maka pecahlah tempayan itu. Dan pada saat yang sama pula, atau mungkin Sawitri menganggap pamannya masih tidur nyenyak, meskipun ia sebenarnya layaknya curiga karena sampai pukul sembilan pagi, Paman Kanjeng telah meninggal dengan wajah tenang. Seandainya pengarang memergunakan sudut pandang akuan tak sertaan, bisa jadi cerpen ini menjadi sangat emosional sehingga menjadi sangat subjektif pula. Hal ini tampak kemahatahuan pengarang atas tokoh Sawitri, betapa pun diusahakan untuk dihindarkan, tidak dapat tidak pengarang ikut tidak bersimpatik dengan tokoh Midas, karena kelakuan-kelakuannya yang dituturkan tokoh Sawitri.

e.       Unsur Bahasa dalam Cerpen Tumpeng
Unsur bahasa yang dimasud adalah bentuk verbal cerpen tersebut, yaitu bagaimana pengarang memilih diksi, imaji, susunan kata dan kalimatnya. Artinya cara pemakaian bahasa yang spesifik dari seorang pengarang, atau gaya yang dipergunakannya. Bahasa yang dipakai pengarang erat kaitannya dengan nada cerita. Lewat analisis latar telah kita ketahui nada dan suasana muram ceita tersebut.
Pemilihan nama dalam cerpen ini menarik perhatian dilihat dari unsur bahasanya. Pemilihan kata Midas, terasa asing bagi telinga Jawa. Konotasi yang ingin dicapainya senada dengan tokoh Dinosauruz Onggokusumo, Paman Kanjeng Sepuh, Kampret, dan Mbah Atmo, serta Jum, sangat akrab dengan budaya Jawa. Kata Dinosauruz konotasinya jelas seperti profesi yang digelutinya, yaitu: memiliki hotel, supermarket, percetakan, dan biro perjalanan (semacam konglomerat) yang menguasai sejak hilir sampai hulu, yang mau mensponsori suatu upacara, tetapi melihat unsur bisnis di belakangnya. Begitu pula Nogobondo, yang berkonotasi pemilik harta yang seperti ular naga. Sementara Midas adalah nama tokoh dalam legenda Yunani Purba yang sangat licik dan rakus.
Selain pemilihan nama-nama tokoh, untuk memberikan suasana Jawa lebih kental, banyak dihadirkan kata-kata Jawa seperti: tumpeng, cepet-cepet, bule, enggak usah, babut, kanjeng, tumpengan, ngetop, roso, ayu, senthong, Dengan kalimat pendek-pendek pengarang menjaga irama kesuraman cerpen tersebut menjadi lebih terjaga dan menonjol.


f.       Tema dalam Cerpen Tumpeng
Cara mencari tema sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa mencari tema cerita terlebih dahulu ditempuh dengan menjawab pertanyaan, mengapa pengarang menulis cerpen seperti itu; atau bagi pembaca dapat melontarkan pertanyaan: apa yang membuat cerpen itu tampak berharga.
Kedua pertanyaan itu dapat terjawab jika terlebih dahulu kita telah menganalisis cerpen itu dari segi tokoh dan penokohannya, alurnya, latarnya, dan sudut pandang yang dipergunakannya dan bahasa yang dirakitnya. Dari ucapan-ucapan tokoh utama Paman Kanjeng Sepuh dalam menghadapi kelicikan dan keculasan tokoh Midas, sebenarnya tersurat tema cerpen tersebut. Hal ini terutama saat Paman Kanjeng Sawitri agar tidak usah marah kepada kakaknya perihal akan diadakannya upacara tumpengan.
”Jangan gusar anakku. Biarlah semuanya terjadi. Kamu tak mungkin akan mengendorkan niat kakakmu. Sebab ia dalam keadaan tidak tahu. Dan orang yang belum mengalami akan selalu bisa keliru. . .” (hlm, 55).
Dari perkataan Paman Kanjeng Sepuh, kemudaian dihubungkan dengan apa yang terjadi pada saat Midas menjinjing tempayan, ketawa ngakaknya karena merasa bisa mengangkat hanya dengan menjinjing, artinya tidak usah mengarahkan seluruh tenaganya. Dari kedua peristiwa itu dapat ditarik semacam tema ketiaktahuan yang didasari dengan kepongahan akan akibat fatal (kesalahan dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi).
Jika kita kembalikan kepada pertanyaan mengapa pengarang menulis cerita semacam itu, jawabnya ”karena ketidktahuan yang dilandasi dengan kepongahan akan menimbulkan kesalahan atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki kembali.” Dengan demikian kita juga dapat menjawab pertanyaan ”apa yang membuat cerpen itu tampak berharga?” jawabnya, ” pembaca akan menarik manfaat untuk tidak gegabah apabila memang belum tahu selayaknya bertanya sehingga tidak akan mengalami musibah yang mengerikan.
Demikian analisis cerpen Tumpeng dengan menggunakan pendekatan objektif atau pendekatan struktural. Dari analisis tersebut, dibuktikan bahwa makna cerpen tersebut tidak terletak pada unsur alur, tokoh, latar, sudut pandang atau bahasanya, tetapi maknanya terletak pada relasi antar-unsurnya (Rahmanto, 1998).   


Tidak ada komentar: