Jumat, Oktober 10, 2014

Sarana Retotika dan Gaya Bahasa dalam Sastra


Sarana Retorika dan Gaya Bahasa dalam Sastra

1.      Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang digunakan penyair sebagai alat untuk menyampaikan  pikiran, perasaan dan gagasan kepada pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk mendukung makna puisi. Altenbernd (1970) mengistilahkan sarana retorika sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 2005).
Dalam puisi sarana retorika berupa  rangkaian kata-kata frase, atau kalimat yang akan merangsang pikiran. Makna puisi merupakan wilayah isi atau unsur isi puisi, sarana retorika adalah unsur pembangun struktur puisi merupakan wilayah bentuk lahiriah. Untuk mengenali sarana retorika berikut contoh.

Ah

rasa yang dalam
datang Kau padaku!
Aku telah mengecap luka
Aku telah membelai aduhai
Aku telah tiarap harap
Aku telah mencium aum!
Aku telah dipukau au!
 aku telah meraba
                                celah
                                                lubang
                                                                pintu
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
                                                                                rasa yang dalam
 rasa dari segala risau sepi dari segala nabi Tanya dari segala nyata sebab dari
 sebagai abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari
 segala laku igau dari segala risau (Sutardji,1981).


 Bunga Gugur

 Bunga gugur
 di atas nyawa yang gugur
 gugurlah semua yang bersamanya

 Kekasihku
Bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita

Baiklah kita ikhlaskan saja
Tiada janji ‘kan jumpa di sorga
Karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara

Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama-sama

Ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri
walau ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan

Kekasihku

Gugurlah ya gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma yang berguna. (Rendra,1971).

Menegaskan kalau seseorang yang sudah gugur (mati) gugur semualah yang dimiliki yang berkaitan dengan dirinya. Orang yang ditinggalkannya pun akan segera melupakannya.
            Setiap angkatan atau priode sastra memunyai sarana retorika, bahkan setiap penyair dalam priode memunyai kekhususan dalam menggunakana dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Misalnya sarana retorika Pujangga Baru sesuai dengan konsepsi estetika yang menghendaki keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan. Maka sarana retorika yang dominan ialah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi).
            Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspressionisme, banyak memergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan eksprevitas. Di antaranya hiperbola, litotes, dan penjumlahan. Sementara, sajak-sajak yang berisi pemikiran atau filsafat banyak memergunakan sarana retorika paradoks dan kiasmus. Sajak bergaya mantra banyak memergunakan sarana retorika repetisi atau ulangan, misalnya sajak Sutardji.




        2. Jenis-jenis Sarana Retorika

Jenis-jenis sarana retorika dapat dilihat berikut ini.

Hiperbola, adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi dari kenyataan yang sesungguhnya. Contoh berikut.

berjuta-juta bilangan perkalian dan berjuta-juta bilangan tambahan kurang mengurung kamarku berdentang-dentang membawa lonceng dengan muka coreng- moreng memekikkan perang.

Hari ini
bermcam-macam margasatwa dan bermacam-macam belantara melabrak jendela kamarku menggeram-geram berderap-derap membawa cakar dan meriam dengan muka luka menyebarkan kekerasan.

Hari ini
Berbondong-bondong kalong dan berbondong-bondong para penodong menggedor dadaku dan menodongkan senapannya ke jantungku…(Yudhistiara Adi Nugraha, Hari Ini Kamis Keempat, 1983).

Hiperbola yang ditandai dengan pengguna rangkaian kata berjuta-juta…..berdentang-dentang, bermacam-macam, menggeram-geram, berderapderap, berbondong-bondong.
Efek yang ditimbulkan dari hiperbola tersebut menggambarkan si aku yang sedang menghadapi masalah yang bertubi-tubi. Di  sini dirangkaian dengan bahasa kias sinekdok sehingga tambah jelas.

Menyala rinduku
Dalam unggung apiMu
Membara dalam keluhan panjang
Hatiku yang pendiam

Menyala rinduku
Dalam redupnya gemintang
Saat malam saat kelam itu
Menikamkan dalam-dalam
… (Acep Zamzam, Di Bukit Dago, 1982)

Penyair  menggambarkan betapa besar kerinduannya dengan Tuhan, seperti api yang menyala-nyala dan membara, betapa besar nyala rindu itu sampai-sampai mengalahkan cahaya bintang.
            Sajak- sajak Angkatan 45 banyak memergunakan sarana retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut.

 

Kepada Peminta-minta

Baik, baik akau akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap ka memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahmu jadi beku. (Chairil Anwar).

            Dalam sajak tersebut, sarana retorika yang dominan adalah  hiperbola. Hal ini dapat dilihat pada larik: jangan tentang lagi aku / nanti darahku jadi beku. Juga tampak dalam bait ke- 2, 3, 4. di sini hiperbola dikombinasi dengan penjumlahan (bait ke- 2, 3, 4), maksudnya untuk lebih mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan dan menakutka, perasaan dosa itu menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan bentuk kata kerja itu memberi intensitas: mengganggu- menghenpas- mengaum.
Understatement, kebalikan dari hiperbola karena sarana retorika berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu. Suatu hal atau keadaan yang digambarkan lebih kecil atau lebih rendah dari kenyataan yang sesungguhnya. Understatement biasa juga disebut litotes. Contoh berikut ini.

ingin selalu kupersembahkan kepada-Mu
sajak-sajak yang sederhana
pikiran-pikiran yang sederhana
perasaan-perasaan  dan hasrat yang sederhana
sebab hidup ini pun sederhana saja
aku dilahirkan secara deserhana

dari rahim ibuku yang sederhana
dari rahim idarat-Mu yang sederhana
… (Emha Einun Najib Sajak Sederhana. 1987).

Di sini ada hasrat untuk merendahkan diri, efeknya untuk mengagunggang Tuhan
.
 Aku menggelinding
Hanya debu
Tertiup dari sudut ke sudut
Terseret-seret irama yang riuh
Hanya debu aku
Melayang-layang lalu jatuh, lalu luruh
Lalu turun hujan menggemuruh

Aku kuyup
Hanya debu sekedar debu
…. (Acep, Bandung 1982).

Si aku menganggap betapa rendah dirinya, betapa tak kuasanya sehingga tertiup dan terseret-seret dari sudut satu ke sudut lain. Efeknya mengandung makna betapa kecil dan tak berkuasanya manusia di semesta raya ini. Pada dasarnya manusia itu adalah debu.
.
Ambiguitas, artinya makna ganda yang dimiliki oleh kata, frase, kalusa, ataupun kalimat sebagai akibat sifat puisi yang berupa pemadatan  kata, frase, kalausa ataupun kalimat (Pradopo, 1994).

Pot

pot apa pot itu pot kaukah pot itu
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
pot pot pot
potapa potitu potikaukah potaku?
POT
(Sutardjih,1981)

Kita  tidak dapat memastikan apakah itu pot. Apakah pot tanaman atau simbol dari sesuatu?  Mungkin pot itu berkaitan dengan tanah yang menjadi bahan dasarnya, yang sebenarnya sama dengan bahan dasar manusuia  ketika dicipta? Kalau demikian,  pertanyaan tentang pot aku pot mungkin dapat dikaitkan dengan pertanyaan tentang hakikat dan asal-usul manusia.

Ayah dan ibuku bercakap-cakap
dalam  tidurku
Kata mereka: Pohon keluarganya
selalu ditebangi orang
Aku bangun pagi-pagi benar
-di seberang gurun langit sudah malam
Aku ingin tidur lagi
Aku tak ingin melihatnya  (Abdul Hadi Optimisme, 1982)

Penggunaan frase pohon keluarganya selalu ditebangi orang, baris ketiga dan keempat punya makna ganda karena dapat ditafsirkan  sebagai pohon yang ditanam dan dimiliki keluarga dan ditebangi orang. Tetapi dapat juga berarti silsilah keluarga yang digannggu orang lain.
Bait kedua dapat ditafsirkan si aku bangun pagi-pagi benar, tetapi ternyata di seberang gurun ada sesuatu yang menakutkan (digambarkan tengah malam) dan dia tak mau melihatnya.
            Tuan. Tuhan bukan? Tunggu sebentar/ saya sedang keluar (Sapardi Djoko Damono, ”Tuan”). Pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang sedang keluar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya (Wiyatmi, 2006).
Elipsis, sarana retorika yang ditandai dengan penghilangan bagian dari suatu kalimat dari suatu baris yang memungkinkan pembaca untuk mengisinya dengan imajinya, (Alternbernnd, 1970). Ellipsis menantang pembaca untuk memikirkan apa kira-kira yang akan diisikan pada bagian yang tidak lengkap itu. Elipsis dapat ditemukan pada puisi Sapardi Djoko Damono (1983) berikut ini.

 

Pesan

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa
 memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencintai, dan antara disengaja dan tak
disengaja sama sekali tiada ada pembatasnya
 Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku
tidak menaruh dendem padanya, dan nanti apabila perang
itu tiba, aku hanya akan…

Ellipsis  tampak pada bait akhir puisi yang menyuruh pembaca untuk mengisinya. Puisi   tersebut berasal dari cerita wayang purba, yang mengisahkan kematian Sukrasana seorang yang berwajah sangat buruk, di tangan kakaknya Sumantri seorang prajurut yang akhirnya berhasil menjadi patih  di kerajaan Maespati. Sukarsana selalu ingin mengikuti ke mana pun kakaknya pergi, padahal kakak malu  kalau diketahui orang lain bahwa adiknya yang berwajah buruk, untuk menakut-nakuti adiknya, dia mengacung-acungkan anak panahnya yang ternyata terlepas dan membunuhnya. Sebelum arwah Sukarsana hilang (muksa) Sumantri mendengar suara adiknya yang akan menjemputnya nanti ketika perang telah tiba (silakan melanjutkan).
Wiyatmi (2006) menguraikan bahwa ellipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai dengan .... (titik-titik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku hanyalah ... Pernyataan tersebut tidak dilanjutkan. Wahai angin... samppaikan salamku padanya.
Tautologi, ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar, sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama. Misalnya: silih berganti tiada berdaya.
Pleonasme, ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya; naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit.
Enumerasi, ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Slametmulyana, Tt). Dengan demikian, juga menguatkan suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Misalnya berikut ini.

Di dalam suka di dalam duka
Waktu bahagia waktu merana
Masa tertawa masa kecewa

Kami berbuai dalam nafasmu  
...
Buka lemari pakaian berkata
Di tempat tidur engkau berbaring
Di atas kursi engkau duduk
Pergi ke dapur engkau sibuk

            Bait sajak tersebut merupakan enumerasi (penjumlahan): di mana pun aku berada selalu melihat bayanganmu.

3. Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan sarana sastra yang turt menyumbangkan nilai kepuitisan atau estetik karya sastra, bahkan seringkali nilai seni  suatu karya sastra ditentukan oleh gaya bahasanya.
Gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang turut menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni karya sastra bercerita ataupun penyusunan alurnya. Akan tetapi, gaya bahasa sangat besar sumbangannya kepada pencapaian nilai seni karya sastra.
Dick Hartoko dan Rahmanto (1986) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Selanjutnya, oleh Slametmulyana (1956) bahwa gaya bahasa itu disusun perkataan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan suatu perasaan yang tertentu dalam hati pembaca. Selanjutnya, dikatakan bahwa gaya bahasa itu selalu subjektif dan tidak akan objektif (Slametmulyana, 1956; Pradopo, 2005).
Abrams (1981) mengemukakan bahwa gaya bahasa itu adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apa pun yang dikatakannya; Harimurti (1983) mengemukakan salah satu pengertiannya adalah penafsirannya atas kekayaan bahasa oleh seorang dalam bertutur atau menulis. Lebih khusus adalah pemakaian ragam bahasa tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu, dan lebih luas gaya bahasa itu merupakan keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu kejujuran, sopan santun, dan  menarik.

Kejujuran. Kejujuran dalam berbahasa berarti harus mengikuti aturan, kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh karena itu, bahasa harus digunakan pula secara tepat dengan memerhatikan sendi-sendi kejujuran (Keraf,1987).
Sopan-santun. Dimaksudkan memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca, (Keraf, 1987). Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan atau diungkapkan melalui kejelasan dan kesingkatan.
Keraf menyatakan kejelasan dalam gaya bahasa dapat diukur dengan (1) kejelasan dalam struktur, kata dan kalimat, (2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat, (3) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis, dan (4) kejelasan dalam mengungkapkan kiasan atau perbandingan.
Menarik. Kemenarikan gaya bahasa dapat diukur melalui: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya hayal (Keraf, 1987).
            Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca, Slametmulyana (dalam Pradopo, 2005).
            Gaya bahasa itu menghidupkan  kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca. Tiap pengarang memunyai gaya tesendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Menurut Lodge (1969) gaya itu adalah orangnya sendiri. Meskipun tiap pengarang punya gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan yang biasa disebut sarana retorika.

 

1.      Jenis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Kita mengenal kalimat yang bersifat periodik, kendur, berimbang. Kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan yang ditempatkan pada akhir kalimat. Kalimat yang bersifat kendur apabila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Kalimat berimbang, adalah kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat.
Jenis gaya bahasa berdasarkan ketiga struktur kalimat di atas sebagai berikut:

a. Klimak.  Gaya  bahasa yang mengandung urutan-urutan  pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya (Keraf, 1987). Jadi penyebutan barang atau sifat yang makin lama makin meningkat. Penyebutan dimulai dari yang sederhana, sampai yang istimewa, dari jumlahnya sedikit sampai yang terbanyak. Diperhatikan berikut ini.

sekarang masih harus setia
mendengarkan suara, apa pun juga
sampai tuli, masih harus memandang
beribu warna, sampai buta masih harus
menjumlah serta mengurangi sederet panjang angka-angka
………………. (Supardi, Dukamu Abadi)

percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputku berangkat berdua
…………..(Sapardi, Dukamu Abadi ).

b. Antiklimak. Mengungkapkan  gagasan atau pikiran yang diurutkan dari hal yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa ini dihasilkan dari stuktur kalimat yang mengendur.

hujan rinyai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sepi
……….. (Sapardi, Dukamu Abadi)

pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
………….. (Sapardi, Dukamu Abadi )

c. Paralelisme. Gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. Diperhatikan berikut ini.

Segala kupinta tiada kau beri
Segala kutanya tiada kau sahuti
…………
tertahan aku di muka dewala
tertegum aku di jalan buntu (Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi )
………………………………………………………………………………………….
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara (Sapardi, Dukamu Abadi)

d. Antitesis. Gaya  bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan (kalimat berimbang). Diperhatikan berikut ini.

makin samar
makin mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran
……….
Katakanlah
mana lebih mulia
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin
Semua melata di bidang demokrasi (Subagio, Sastrowardojo, Simphoni )

e. Repetisi. Perulangan  bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Diperhatikan berikut ini.

 

Tapi


aku  bawakan bunga padam
                                                                tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
                                                                tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                                                tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                                                tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                                                tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku pdamu
                                                                tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                                                tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                                                wah!
(Sutarji, O Amuk Kapak)

 

 

            5. Jenis Gaya Bahasa Retoris


a. `Aliterasi. Gaya  bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Diperhatikan berikut ini.

Bukan beta bijak berperi pandai
Mengubah madahan dan syair
Bukan beta budak negeri
 Musti menurut undangan mair
……
susah sungguh saya sampaikan
degup degupan di dalam kalbu
lemah lauh lagu dengunkan
matanya digamatraisain waktu

  1. Asonansi. Gaya  bahasa yang berupa pengulangan bunyi vokal yang sama. Diperhatikan berikut ini.

akulah Adam dengan mulut yang sepi
putra surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai

detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar asing
terlepas dari buku harian

c. Anastrof. Gaya  bahasa yang diperoleh dengan membalikkan susunan kalimat yang biasa. Gaya bahasa ini disebut kalimat inversi. Diperhatikan berikut ini
…………….
Waktu lonceng berbunyi
Percakapan meredah…
……………. (Sapardi, Dukamu Abadi)

Waktu seseorang sudah lupa menunggu
Kabar pun sampai………….
…………

d. Apofasisi atau Preterosio. Gaya  bahasa yang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal yang itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Diperhatikan berikut ini.

saya tidak mau membeberkan kepada umum, bahwa
saudara telah menggelapkan ratusan juta uang negara

e. Apostrof. Gaya  bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya kepada mereka yang sudah meninggal atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga ia tampaknya tidak berbicara kepada para hadirin atau pembaca. Diperhatikan berikut ini.

Hai kamu dewa-dewa yang berada di sorga,
datanglah dan bebaskanlah kami dari penindasan ini.

f. Asindenton. Gaya bahasa yang menyebutkan banyak orang barang atau sifat yang berturut-turur dengan tidak banyak menggunakan kata penghubung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan dengan tanda koma. Diperhatikan berikut ini

Sekarang masih harus setia
mendengarkan suara, apa pun juga
sampai tuli; masih harus memandang
beribu warna, sampai buta; masih harus
 menjumlah serta mengurangi deseret panjang angka-angka
………………………………………………………………………………………….
perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya, kekutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala……….
…………….

g. Polisendeton. Gaya bahasa kebalikan dari asindeton yaitu penyebutan banyak orang, barang atau sifat berturut-turut dengan banyak memergunakan kata penghubung. Diperhatikan berikut ini.
………………
Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis
Atau tulang belulang atau sisa-sisa jasad mereka
Di sana? ………..

dan di tiap jejaknya; melebar hutan-hutan
hibuk pelabuhan-pelabuhan………
keras dan fana
dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja…….

h. Kiasmus. Gaya  bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frase atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frase atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frase atau klausa lain. Diperhatikan berikut ini

kalau aku dalam engkau
dan engkau dalam aku
adakah begini jadinya
aku hamba engkau penghulu? (Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi).

i. Paradoks, gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dapat pula berarti semua hal yang menarik pehatian karena kebenarannya. Diperhatikan berikut ini.

tiada bersua dalam dunia
tiada mengapa hatiku sayang
tiada dunia sempit selama
layangkan angan meninggi awan

...
aku iblis laknat
 aku dosa melekat
aku sampah di tengah jalan

tapi istriku terus berbiak
seperti rumput di pekarangan mereka
seperti lumuk di tembok mereka
seperti cendawan di roti mereka

6. Tata Muka

            Cara sebuah teks dimuat secara tipografi menurut larik-larik sering merupakan satu-satunya tanda bahwa teks tersebut termasuk puisi. Bila teks dicetak sebagai sebuah sajak, maka pembaca mendekati teks itu dengan sikap tertentu. Pembaca menerima teks itu seperti puisi dan membacanya sebagai puisi. Culler (1977) pernah membahas sebuah contoh dari Cohen, seorang kritikus Prancis yang memerlihatkan bagaimana sebuah teks yang dibaca sebagai puisi. Berbeda dengan teks yang didekati sebagai prosa belaka. Cohen mengutip berita dari surat kabar sebagai berikut:

                Kemarin, di jalan nasional nomor tujuh
                sebuah mobil
                yang meluncur dengan kecepatan seratus kilometer
                terlempar pada sebatang pohon jati
                sehingga keempat penumpang
                mati

            Bila berita tersebut kita baca sebagai puisi, maka maknanya menjadi lebih kaya. Pertama-tama sifatnya sebagai peristiwa yang sungguh terjadi, dilepaskan, dan menjadi rekaan. Tidak penting apakah kecelakaan tersebut sungguh terjadi atau tidak. Bukan peristiwa sendiri yang penting, melainkan sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa itu atau yang digambarkan oleh peristiwa itu.
            ”kemarin” tidak lagi menunjukkan kepada saat yang terjadi sekian jam sebelum berita terbaca, melainkan kepada segala macam ”kemarin”. Peristiwa itu seolah-olah digeneralisasikan, selalu bisa terjadi, diberi arti yang lebih umum dan luas. Selain itu, cara teks tersebut dicetak menurut larik-larik menciptakan sesuatu arti tambahan. Kata ”terlempar” menekankan sifat kebetulan serta peristiwa para penumpang. Dalam terjemahan Indomesia jati berirama dengan mati sehingga unsur kematian diberi aksen tambahan
            Arti tambahan diperkuat oleh penyajian tipografik. Kadang-kadang bentuk tifografik itu demikian dipentingkan sehingga menggeserkan arti kata dan kalimat. Ia terutama terjadi pada kurun-kurun waktu bila puisi dikaitkan dengan seni lukis dan dalam lingkungan kebudayaan yang bersangkutan terdapat  perhatian umum bagi segi-segi grafik dan piktural. Sebagai contoh dapat diajukan zaman Barok dan puluhan tahun pertama abad ini.
            Pada periode terakhir ini juga timbul apa yang disebut puisi ikonis , yaitu bila terdapat kesepadanan antara bentuk grafikal dan isi sajak. Kadang-kadang sajak Sutardji ”Tragedi Winka & Sihka”

kawin
                         kawin
                                      kawin
                                                   kawin
                                                                kawin
                                                                ka
                                                                       win, dst


            Dalam perkembangan mutakhir dengan puisi kongkret  dan visual kata-kata bahkan huruf-huruf pun dikesampingkan. Satu-satunya yang masih mengingatkan kita akan ”sastra” ialah asosiasi samar-samar dengan unsur-unsur bahasa. Perbedaan antara jenis  puisi ini dan monstase foto atau gambar ialah penyair menamakan hasil karyanya sebuah sajak  dan oleh pembaca jika dibaca sebagai sebuah sajak .



Tidak ada komentar: