Sarana Retorika dan Gaya
Bahasa dalam Sastra
1. Sarana Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur
pembangun puisi yang digunakan penyair sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan kepada pembaca
atau pendengar. Kedudukannya untuk mendukung makna puisi. Altenbernd (1970)
mengistilahkan sarana retorika sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran.
Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga
pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana
retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek apa
yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 2005).
Dalam puisi sarana retorika
berupa rangkaian kata-kata frase, atau
kalimat yang akan merangsang pikiran. Makna puisi merupakan wilayah isi atau
unsur isi puisi, sarana retorika adalah unsur pembangun struktur puisi
merupakan wilayah bentuk lahiriah. Untuk mengenali sarana retorika berikut
contoh.
Ah
rasa yang dalam
datang Kau padaku!
Aku telah mengecap luka
Aku telah membelai aduhai
Aku telah tiarap harap
Aku telah mencium aum!
Aku telah dipukau au!
aku telah meraba
celah
lubang
pintu
aku telah tinggalkan puri
purapuraMu
rasa yang dalam
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi
Tanya dari segala nyata sebab dari
sebagai abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari
segala laku igau dari segala risau
(Sutardji,1981).
Bunga Gugur
Bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
Kekasihku
Bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara
kita
Baiklah kita ikhlaskan saja
Tiada janji ‘kan jumpa di sorga
Karena di sorga tiada kita ‘kan
perlu asmara
Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah
mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah
gugur
gugur pula ia bersama-sama
Ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari
penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri
walau ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau
kehormatan
Kekasihku
Gugurlah ya gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga
yang kita ambil cuma yang
berguna. (Rendra,1971).
Menegaskan kalau seseorang
yang sudah gugur (mati) gugur semualah yang dimiliki yang berkaitan dengan
dirinya. Orang yang ditinggalkannya pun akan segera melupakannya.
Setiap angkatan atau priode sastra
memunyai sarana retorika, bahkan setiap penyair dalam priode memunyai
kekhususan dalam menggunakana dan memilih sarana retorika dalam sajak-sajaknya,
aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Misalnya sarana
retorika Pujangga Baru sesuai dengan konsepsi estetika yang menghendaki
keseimbangan yang simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan
perasaan. Maka sarana retorika yang dominan ialah tautologi, pleonasme,
keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan penjumlahan (enumerasi).
Angkatan
45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspressionisme, banyak memergunakan
sarana retorika yang bertujuan intensitas dan eksprevitas. Di antaranya
hiperbola, litotes, dan penjumlahan. Sementara, sajak-sajak yang berisi
pemikiran atau filsafat banyak memergunakan sarana retorika paradoks dan
kiasmus. Sajak bergaya mantra banyak memergunakan sarana retorika repetisi atau
ulangan, misalnya sajak Sutardji.
2. Jenis-jenis
Sarana Retorika
Jenis-jenis sarana
retorika dapat dilihat berikut ini.
Hiperbola, adalah sarana retorika yang menyatakan
sesuatu secara berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi dari
kenyataan yang sesungguhnya. Contoh berikut.
berjuta-juta
bilangan perkalian dan berjuta-juta bilangan tambahan kurang mengurung kamarku
berdentang-dentang membawa lonceng dengan muka coreng- moreng memekikkan
perang.
Hari ini
bermcam-macam margasatwa dan
bermacam-macam belantara melabrak jendela kamarku menggeram-geram
berderap-derap membawa cakar dan meriam dengan muka luka menyebarkan kekerasan.
Hari ini
Berbondong-bondong kalong dan
berbondong-bondong para penodong menggedor dadaku dan menodongkan senapannya ke
jantungku…(Yudhistiara Adi Nugraha, Hari Ini Kamis Keempat, 1983).
Hiperbola yang
ditandai dengan pengguna rangkaian kata berjuta-juta…..berdentang-dentang,
bermacam-macam, menggeram-geram, berderapderap, berbondong-bondong.
Efek yang ditimbulkan dari
hiperbola tersebut menggambarkan si aku yang sedang menghadapi masalah yang
bertubi-tubi. Di sini dirangkaian dengan
bahasa kias sinekdok sehingga tambah jelas.
Menyala rinduku
Dalam unggung apiMu
Membara dalam keluhan panjang
Hatiku yang pendiam
Menyala rinduku
Dalam redupnya gemintang
Saat malam saat kelam itu
Menikamkan dalam-dalam
… (Acep Zamzam, Di Bukit Dago,
1982)
Penyair menggambarkan betapa besar kerinduannya
dengan Tuhan, seperti api yang menyala-nyala dan membara, betapa besar nyala
rindu itu sampai-sampai mengalahkan cahaya bintang.
Sajak- sajak Angkatan 45 banyak
memergunakan sarana retorika hiperbola. Misalnya
sajak Chairil Anwar berikut.
Kepada Peminta-minta
Baik, baik akau akan menghadap
Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap ka memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahmu jadi beku. (Chairil Anwar).
Dalam
sajak tersebut, sarana retorika yang dominan adalah hiperbola.
Hal ini dapat dilihat
pada larik: jangan tentang lagi aku /
nanti darahku jadi beku. Juga tampak dalam bait ke- 2, 3, 4. di sini hiperbola dikombinasi dengan penjumlahan
(bait ke- 2, 3, 4), maksudnya untuk lebih mengintensifkan pernyataan. Dengan
demikian, lukisan menjadi sangat mengerikan dan menakutka, perasaan dosa itu
menjadi sangat terasa. Begitu juga ulangan-ulangan bentuk kata kerja itu memberi
intensitas: mengganggu- menghenpas-
mengaum.
Understatement, kebalikan dari
hiperbola karena sarana retorika berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu.
Suatu hal atau keadaan yang
digambarkan lebih kecil atau lebih rendah dari kenyataan yang sesungguhnya. Understatement
biasa juga disebut litotes.
Contoh berikut ini.
ingin selalu kupersembahkan
kepada-Mu
sajak-sajak yang sederhana
pikiran-pikiran yang sederhana
perasaan-perasaan dan hasrat yang sederhana
sebab hidup ini pun sederhana
saja
aku dilahirkan secara deserhana
dari rahim ibuku yang sederhana
dari rahim idarat-Mu yang
sederhana
… (Emha Einun Najib Sajak
Sederhana. 1987).
Di sini ada hasrat
untuk merendahkan diri, efeknya untuk mengagunggang Tuhan
.
Aku menggelinding
Hanya debu
Tertiup dari sudut ke
sudut
Terseret-seret irama yang
riuh
Hanya debu aku
Melayang-layang lalu
jatuh, lalu luruh
Lalu turun hujan
menggemuruh
Aku kuyup
Hanya debu sekedar debu
…. (Acep, Bandung 1982).
Si aku menganggap betapa
rendah dirinya, betapa tak kuasanya sehingga tertiup dan terseret-seret dari
sudut satu ke sudut lain. Efeknya mengandung makna betapa kecil dan tak
berkuasanya manusia di semesta raya ini. Pada dasarnya manusia itu adalah debu.
.
Ambiguitas, artinya makna ganda yang dimiliki oleh kata,
frase, kalusa, ataupun kalimat sebagai akibat sifat puisi yang berupa
pemadatan kata, frase, kalausa ataupun
kalimat (Pradopo, 1994).
Pot
pot apa pot itu pot kaukah pot
itu
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah
pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah
pot itu
pot pot pot
potapa potitu potikaukah potaku?
POT
(Sutardjih,1981)
Kita tidak dapat memastikan apakah itu pot. Apakah
pot tanaman atau simbol dari sesuatu?
Mungkin pot itu berkaitan dengan tanah yang menjadi bahan dasarnya, yang
sebenarnya sama dengan bahan dasar manusuia
ketika dicipta? Kalau
demikian, pertanyaan tentang pot aku
pot mungkin dapat dikaitkan dengan pertanyaan tentang hakikat dan asal-usul
manusia.
Ayah dan ibuku bercakap-cakap
dalam tidurku
Kata mereka: Pohon keluarganya
selalu ditebangi orang
Aku bangun pagi-pagi benar
-di seberang gurun langit sudah
malam
Aku ingin tidur lagi
Aku tak ingin melihatnya (Abdul Hadi Optimisme, 1982)
Penggunaan frase pohon
keluarganya selalu ditebangi orang, baris ketiga dan keempat punya makna
ganda karena dapat ditafsirkan sebagai
pohon yang ditanam dan dimiliki keluarga dan ditebangi orang. Tetapi dapat
juga berarti silsilah keluarga yang digannggu orang lain.
Bait kedua dapat ditafsirkan si
aku bangun pagi-pagi benar, tetapi ternyata di seberang gurun ada sesuatu yang
menakutkan (digambarkan tengah malam) dan dia tak mau melihatnya.
Tuan.
Tuhan bukan? Tunggu sebentar/ saya sedang keluar (Sapardi Djoko Damono,
”Tuan”). Pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam logika biasa,
tidak akan terjadi si aku yang sedang keluar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas
tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk
menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya (Wiyatmi, 2006).
Elipsis, sarana retorika yang ditandai dengan
penghilangan bagian dari suatu kalimat dari suatu baris yang memungkinkan
pembaca untuk mengisinya dengan imajinya, (Alternbernnd, 1970). Ellipsis
menantang pembaca untuk memikirkan apa kira-kira yang akan diisikan pada bagian
yang tidak lengkap itu. Elipsis
dapat ditemukan pada puisi Sapardi Djoko Damono (1983) berikut ini.
Pesan
Tolong sampaikan kepada abangku,
Raden Sumantri, bahwa
memang kebetulan jantungku tertembus anak
panahnya.
Kami saling mencintai, dan antara
disengaja dan tak
disengaja sama sekali tiada ada
pembatasnya
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan
bahwa aku
tidak menaruh dendem padanya, dan
nanti apabila perang
itu tiba, aku hanya akan…
Ellipsis tampak pada bait akhir puisi yang menyuruh
pembaca untuk mengisinya. Puisi
tersebut berasal dari cerita wayang purba, yang mengisahkan kematian
Sukrasana seorang yang berwajah sangat buruk, di tangan kakaknya Sumantri seorang
prajurut yang akhirnya berhasil menjadi patih
di kerajaan Maespati. Sukarsana selalu ingin mengikuti ke mana pun
kakaknya pergi, padahal kakak malu kalau
diketahui orang lain bahwa adiknya yang berwajah buruk, untuk menakut-nakuti
adiknya, dia mengacung-acungkan anak panahnya yang ternyata terlepas dan
membunuhnya. Sebelum arwah Sukarsana hilang (muksa) Sumantri mendengar suara
adiknya yang akan menjemputnya nanti ketika perang telah tiba (silakan
melanjutkan).
Wiyatmi (2006) menguraikan
bahwa ellipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai
dengan .... (titik-titik). Contohnya: biarkan
waktu berlalu, karena aku hanyalah ... Pernyataan tersebut tidak
dilanjutkan. Wahai angin... samppaikan
salamku padanya.
Tautologi, ialah sarana retorika yang menyatakan hal
atau keadaan dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih
mendalam bagi pembaca atau pendengar, sering kata yang dipergunakan untuk
mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama. Misalnya: silih berganti tiada berdaya.
Pleonasme, ialah sarana retorika yang sepintas lalu
seperti tautologi, tetapi kata yang
kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Dengan cara demikian,
sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar.
Misalnya; naik meninggi, turun melembah
jauh ke bawah, tinggi membukit.
Enumerasi, ialah sarana retorika
yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan
tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau
pendengar (Slametmulyana, Tt). Dengan demikian, juga menguatkan suatu
pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Misalnya berikut ini.
Di dalam suka di dalam duka
Waktu bahagia waktu merana
Masa tertawa masa kecewa
Kami berbuai dalam nafasmu
...
Buka lemari pakaian berkata
Di tempat tidur engkau berbaring
Di atas kursi engkau duduk
Pergi ke dapur engkau sibuk
Bait
sajak tersebut merupakan enumerasi (penjumlahan):
di mana pun aku berada selalu melihat bayanganmu.
3. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa merupakan sarana sastra yang turt menyumbangkan nilai kepuitisan atau
estetik karya sastra, bahkan seringkali nilai seni suatu karya sastra ditentukan oleh gaya
bahasanya.
Gaya
bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek
tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang turut
menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni karya sastra bercerita
ataupun penyusunan alurnya. Akan tetapi, gaya bahasa sangat besar sumbangannya
kepada pencapaian nilai seni karya sastra.
Dick
Hartoko dan Rahmanto (1986) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas
dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Selanjutnya, oleh
Slametmulyana (1956) bahwa gaya bahasa itu disusun perkataan yang terjadi
karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak menimbulkan
suatu perasaan yang tertentu dalam hati pembaca. Selanjutnya, dikatakan bahwa
gaya bahasa itu selalu subjektif dan tidak akan objektif (Slametmulyana, 1956; Pradopo,
2005).
Abrams
(1981) mengemukakan bahwa gaya bahasa itu adalah bagaimana seorang penulis
berkata mengenai apa pun yang dikatakannya; Harimurti (1983) mengemukakan salah
satu pengertiannya adalah penafsirannya atas kekayaan bahasa oleh seorang dalam
bertutur atau menulis. Lebih khusus adalah pemakaian ragam bahasa tertentu
untuk memeroleh efek-efek tertentu, dan lebih luas gaya bahasa itu merupakan
keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Gaya bahasa yang baik harus
mengandung tiga unsur yaitu kejujuran, sopan santun, dan menarik.
Kejujuran. Kejujuran dalam berbahasa berarti harus
mengikuti aturan, kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Bahasa adalah
alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh karena itu, bahasa harus digunakan
pula secara tepat dengan memerhatikan sendi-sendi kejujuran (Keraf,1987).
Sopan-santun. Dimaksudkan memberi penghargaan atau
menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca, (Keraf,
1987). Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan atau diungkapkan melalui
kejelasan dan kesingkatan.
Keraf menyatakan kejelasan
dalam gaya bahasa dapat diukur dengan (1) kejelasan dalam struktur, kata dan
kalimat, (2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan
melalui kata-kata atau kalimat, (3) kejelasan dalam pengurutan ide secara
logis, dan (4) kejelasan dalam mengungkapkan kiasan atau perbandingan.
Menarik. Kemenarikan gaya bahasa dapat diukur
melalui: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup
(vitalitas), dan penuh daya hayal (Keraf, 1987).
Cara menyampaikan pikiran atau perasaan
ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan
perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca,
Slametmulyana (dalam Pradopo, 2005).
Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya
bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan
pikiran kepada pembaca. Tiap pengarang memunyai gaya tesendiri. Hal ini sesuai
dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Menurut Lodge (1969) gaya
itu adalah orangnya sendiri. Meskipun tiap pengarang punya gaya dan cara
sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa
macam bentuk yang biasa dipergunakan yang biasa disebut sarana retorika.
1. Jenis Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Kita mengenal kalimat yang
bersifat periodik, kendur, berimbang. Kalimat yang bersifat periodik,
bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan yang ditempatkan
pada akhir kalimat. Kalimat yang bersifat kendur apabila bagian
kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Kalimat berimbang,
adalah kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang
kedudukannya sama tinggi atau sederajat.
Jenis gaya bahasa berdasarkan ketiga struktur
kalimat di atas sebagai berikut:
a. Klimak. Gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya (Keraf, 1987). Jadi penyebutan barang atau sifat yang makin lama
makin meningkat. Penyebutan dimulai dari yang sederhana, sampai yang istimewa,
dari jumlahnya sedikit sampai yang terbanyak. Diperhatikan berikut ini.
sekarang masih harus setia
mendengarkan suara, apa pun juga
sampai tuli, masih harus memandang
beribu warna, sampai buta masih
harus
menjumlah serta
mengurangi sederet panjang angka-angka
………………. (Supardi, Dukamu Abadi)
percakapan merendah, kita kembali
menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputku berangkat
berdua
…………..(Sapardi, Dukamu Abadi ).
b. Antiklimak. Mengungkapkan
gagasan atau pikiran yang diurutkan dari
hal yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Gaya bahasa
ini dihasilkan dari stuktur kalimat yang mengendur.
hujan rinyai waktu musim berdesik-desik
pelan
kembali bernama sepi
……….. (Sapardi, Dukamu Abadi)
pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut
dari suasana
sebelum pohon-pohon di luar
tinggal suara
………….. (Sapardi, Dukamu Abadi )
c. Paralelisme. Gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata
atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang
sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. Diperhatikan
berikut ini.
Segala kupinta tiada kau beri
Segala kutanya tiada kau sahuti
…………
tertahan aku di muka dewala
tertegum aku di jalan buntu (Amir
Hamzah, Nyanyi Sunyi )
………………………………………………………………………………………….
kita saksikan burung-burung
lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di
langit utara (Sapardi, Dukamu Abadi)
d. Antitesis. Gaya
bahasa yang mengandung gagasan yang
bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan (kalimat
berimbang). Diperhatikan berikut ini.
makin samar
makin mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran
……….
Katakanlah
mana lebih mulia
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin
Semua melata di bidang demokrasi
(Subagio, Sastrowardojo, Simphoni )
e. Repetisi. Perulangan
bunyi, suku kata atau bagian kalimat
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Diperhatikan berikut ini.
Tapi
aku bawakan bunga padam
tapi
kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi
kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi
kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi
kau bilang tapi
aku bawakan mayatku pdamu
tapi
kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi
kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
(Sutarji, O Amuk Kapak)
5. Jenis Gaya Bahasa Retoris
a. `Aliterasi. Gaya
bahasa yang berwujud perulangan konsonan
yang sama. Diperhatikan berikut ini.
Bukan beta bijak
berperi pandai
Mengubah madahan
dan syair
Bukan beta budak
negeri
Musti menurut undangan mair
……
susah sungguh saya sampaikan
degup degupan di
dalam kalbu
lemah lauh lagu
dengunkan
matanya digamatraisain
waktu
- Asonansi. Gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi vokal yang sama. Diperhatikan berikut ini.
akulah Adam dengan mulut yang
sepi
putra surgawi
yang damai, terlalu damai
ketika bumi padaku melambai
detik-detik bening
memutih tengah malam
ketika lembar-lembar
asing
terlepas dari buku harian
c. Anastrof. Gaya bahasa
yang diperoleh dengan membalikkan susunan kalimat yang biasa. Gaya bahasa ini
disebut kalimat inversi. Diperhatikan berikut ini
…………….
Waktu
lonceng berbunyi
Percakapan
meredah…
…………….
(Sapardi, Dukamu Abadi)
Waktu
seseorang sudah lupa menunggu
Kabar pun
sampai………….
…………
d. Apofasisi atau Preterosio. Gaya bahasa
yang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan
sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal yang itu. Berpura-pura
melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya.
Diperhatikan berikut ini.
saya tidak mau membeberkan kepada
umum, bahwa
saudara telah menggelapkan
ratusan juta uang negara
e. Apostrof. Gaya
bahasa yang berbentuk pengalihan amanat
dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya kepada mereka yang
sudah meninggal atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang
abstrak, sehingga ia tampaknya tidak berbicara kepada para hadirin atau
pembaca. Diperhatikan berikut ini.
Hai kamu dewa-dewa yang berada di
sorga,
datanglah dan bebaskanlah kami
dari penindasan ini.
f. Asindenton. Gaya
bahasa yang menyebutkan banyak orang barang atau sifat yang berturut-turur
dengan tidak banyak menggunakan kata penghubung. Bentuk-bentuk ini biasanya
dipisahkan dengan tanda koma. Diperhatikan berikut ini
Sekarang masih harus setia
mendengarkan suara, apa pun juga
sampai tuli; masih harus
memandang
beribu warna, sampai buta; masih
harus
menjumlah serta mengurangi deseret panjang
angka-angka
………………………………………………………………………………………….
perempuan mengirim air matanya
ke tanah-tanah cahaya,
kekutub-kutub bulan
ke landasan cakrawala……….
…………….
g. Polisendeton. Gaya bahasa kebalikan dari asindeton yaitu
penyebutan banyak orang, barang atau sifat berturut-turut dengan banyak
memergunakan kata penghubung. Diperhatikan berikut ini.
………………
Apakah akan
kita jumpai wajah-wajah bengis
Atau tulang belulang atau sisa-sisa
jasad mereka
Di sana?
………..
dan di tiap jejaknya; melebar
hutan-hutan
hibuk
pelabuhan-pelabuhan………
keras dan
fana
dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari
arah mana saja…….
h. Kiasmus. Gaya
bahasa yang terdiri dari dua bagian,
baik frase atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama
lain, tetapi susunan frase atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan
frase atau klausa lain. Diperhatikan berikut ini
kalau aku dalam engkau
dan engkau dalam aku
adakah begini jadinya
aku hamba engkau penghulu? (Amir
Hamzah, Nyanyi Sunyi).
i. Paradoks, gaya
bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Dapat pula berarti semua hal yang menarik pehatian karena kebenarannya.
Diperhatikan berikut ini.
tiada bersua dalam dunia
tiada mengapa hatiku sayang
tiada dunia sempit selama
layangkan angan meninggi awan
...
aku iblis laknat
aku dosa melekat
aku sampah di tengah jalan
tapi istriku terus berbiak
seperti rumput di pekarangan
mereka
seperti lumuk di tembok mereka
seperti cendawan di roti mereka
6. Tata Muka
Cara sebuah teks dimuat secara tipografi menurut
larik-larik sering merupakan satu-satunya tanda bahwa teks tersebut termasuk
puisi. Bila teks dicetak sebagai sebuah sajak, maka pembaca mendekati teks itu
dengan sikap tertentu. Pembaca menerima teks itu seperti puisi dan membacanya
sebagai puisi. Culler (1977) pernah membahas sebuah contoh dari Cohen, seorang
kritikus Prancis yang memerlihatkan bagaimana sebuah teks yang dibaca sebagai
puisi. Berbeda dengan teks yang didekati sebagai prosa belaka. Cohen mengutip
berita dari surat kabar sebagai berikut:
Kemarin, di jalan
nasional nomor tujuh
sebuah
mobil
yang
meluncur dengan kecepatan seratus kilometer
terlempar
pada sebatang pohon jati
sehingga
keempat penumpang
mati
Bila
berita tersebut kita baca sebagai puisi, maka maknanya menjadi lebih kaya.
Pertama-tama sifatnya sebagai peristiwa yang sungguh terjadi, dilepaskan, dan
menjadi rekaan. Tidak penting apakah kecelakaan tersebut sungguh terjadi atau
tidak. Bukan peristiwa sendiri yang penting, melainkan sesuatu yang berkaitan
dengan peristiwa itu atau yang digambarkan oleh peristiwa itu.
”kemarin”
tidak lagi menunjukkan kepada saat yang terjadi sekian jam sebelum berita
terbaca, melainkan kepada segala macam ”kemarin”. Peristiwa itu seolah-olah
digeneralisasikan, selalu bisa terjadi, diberi arti yang lebih umum dan luas.
Selain itu, cara teks tersebut dicetak menurut larik-larik menciptakan sesuatu
arti tambahan. Kata ”terlempar” menekankan sifat kebetulan serta peristiwa para
penumpang. Dalam terjemahan Indomesia jati
berirama dengan mati sehingga
unsur kematian diberi aksen tambahan
Arti tambahan diperkuat oleh penyajian
tipografik. Kadang-kadang bentuk tifografik itu demikian dipentingkan sehingga
menggeserkan arti kata dan kalimat. Ia terutama terjadi pada kurun-kurun waktu
bila puisi dikaitkan dengan seni lukis dan dalam lingkungan kebudayaan yang
bersangkutan terdapat perhatian umum
bagi segi-segi grafik dan piktural. Sebagai contoh dapat diajukan zaman Barok
dan puluhan tahun pertama abad ini.
Pada periode terakhir ini juga timbul apa
yang disebut puisi ikonis , yaitu
bila terdapat kesepadanan antara bentuk grafikal dan isi sajak. Kadang-kadang
sajak Sutardji ”Tragedi Winka & Sihka”
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win, dst
Dalam
perkembangan mutakhir dengan puisi
kongkret dan visual kata-kata bahkan huruf-huruf pun dikesampingkan.
Satu-satunya yang masih mengingatkan kita akan ”sastra” ialah asosiasi
samar-samar dengan unsur-unsur bahasa. Perbedaan antara jenis puisi ini dan monstase foto atau gambar ialah
penyair menamakan hasil karyanya sebuah sajak
dan oleh pembaca jika dibaca sebagai
sebuah sajak .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar