Jumat, Oktober 10, 2014

KONSTRUKSI PUISI

 MEMAHAMI UNSU-UNSUR PEMBANGUN PUISI

A. Unsur-unsur Pembangun Puisi
            Puisi atau sajak merupakan sebuah struktur yang kompleks, untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Adapun unsur-unsur pembangun puisi dapat dilihat berikut ini.
  1. Bunyi

Bunyi dapat diibaratkan sebagai warna cat yang digoreskan oleh pelukis di atas kanvas. Keindahan bunyi bisa terjadi karena karakter dari bunyi itu sendiri. Tetapi juga bisa terjadi karena perpaduan antara bunyi satu dengan bunyi lainnya, di samping dihubungkan dengan unsur yang terkait dengan keindahan bunyi itu sendiri, misalnya titik nada, lama bunyi, tekanan dan pengulangan. (Wellek, 1990).
            Salah satu perbedaan yang dominan antara bahasa puisi dengan prosa adalah bahwa puisi cenderung mendayagunakan unsur pengulangan bunyi. Dalam puisi bunyi memiliki peran antara lain agar puisi itu merdu jika dibaca dan didengarkan, sebab pada hakikatnya puisi adalah merupakan salah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti, 2002).
            Karena pentingnya peranan bunyi dalam kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi unsur kepuitisan yang pertama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat (Pradopo, 2005). Apalagi aliran simbolik yang dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821- 1867). Salah seorang simbolis, Paul Verlaine (1844- 1896) mengemukakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Para penyair romantik dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik; merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka.
            Mengingat pentingnya unsur bunyi di dalam puisi, bahkan seorang penyair melakukan pemilihan dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan  tersebut antara lain adalah (1) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca atau pendengar; (2) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu memerjelas ekspresi; (3) ikut membangun suasana puisi, dan (4) mungkin juga mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu (Sayuti, 2002).
            Wiyatmi (2006) menguraikan, bahwa unsur bunyi dalam puisi pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Dilihat dari segi bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, aliterasi, dan asonansi.
  2. Dilhat dari posisi kata yang mendukungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir.
  3. Berdasarkan hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.
Sajak sempurna adalah ulangan bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata tertentu, seperti berikut ini
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang terengah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan
Darah sehabis menikam ombak laut
Dan terkubur
Di rahimnya
...
                (Sapardi Djoko Damono, Katanya Kau Mata Pisau, 1982).

Sajak paruh, merupakan ulangan bunyi yang terdapat pada sebagian baris dan kata-kata tertentu, seperti tampak contoh berikut ini
Sisi timur hancur
                                Sisi selatan curam
                                                                Sisi barat gelap
                                                                                        Sisi utara berbisa
Kau dan aku tiara dan
                  Berdebar-debar memeluk bantal
Sisi atas bocor
                  Sisi bawah susah
Sisi kiri dikebiri
                     Sisi kanan ditikam
                                                Kau dan aku tengkurap di langit
...
                                (F. Rahardi Berita Libanon, Sumpah WTS, 1985).

Pada kutipan tersebut, ulangan bunyi yang ditimbulkan oleh ulangan kata, hanya terdapat pada awal-awal baris, sehingga disebut sajak paruh.
Asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris puisi, yang menimbulkan irama tertentu sering dipergunakan dalam simbolik bunyi. Menurut Teeuw (1980) vokal i misalnya dalam puisi Indonesia sering melambangkan jeritan manusia yang ingin hidup, seperti: mimpi... meringkik di bukit-bukit. Asonansi, misalnya terdapat dalam kutipan berikut.

Ia dengan kepak sayap kelelawar dan guyur sisa dari daun
karena angin pada angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti yang jauh..
                                (Gunawan Mohammad, Asmaradana, Pariksit 1971) .
               
Pada kutipan tersebut terdapat asonansi berupa ulangan bunyi i- a, e-a, u-a, a-i, berulang-ulang sepanjang baris-baris puisi tersebut yang menimbulkan irama sehingga puisi enak dibaca.
Aliterasi adalah pengulangan konsonan, yang menurut Teeuw (1980) berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari hubungan semantik biasa. Selain itu, aliterasi menekankan struktur ritme sebuah larik dan memberi tekanan tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan.
Contoh aliterasi terdapat pula pada kutipan sajak di atas. Selain itu contoh aliterasi berikut ini.
Lunak besi dilengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liangsinar 

            Sajak awal adalah ulangan bunyi yang terdapat pada tiap awal baris, sementara sajak tengah terdapat pada tengah baris, dan sajak akhir terdapat pada akhir baris.
            Contoh sajak awal sebagaimana berikut ini.
                Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya
                Tiang tanpa topang apa di atasku
                Tiang tanpa akhir tanda duka lukaku
                Tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu
                                (Sutardji Calzoum Bachri, ”Colonnes Sans Fin” O amuk Kapak, 1981)

            Sajak tengah tampak pada contoh berikut

                puang jadi celah
                celah jadi sungai
                sungai jadi muare
                muare jadi perahu

                                                                perahu jadi buaye
                                                                buaye jadi puake
                                                                puake jadi pukau
                                                                pukau jadi mau

                                (Sutardji Calzoum Bachri, ”Puake” O amuk Kapak, 1981)

            Contoh sajak akhir, tampak berikut ini.
                akan kau kau kan kah hidupmu?
                kau nanti kau akan kau mau kau mau

                siapa yang tikam burung yang waktu
                waktukutukku waktukutukku  waktukutukku  waktukutukku

(Sutardji Calzoum Bachri, ”Denyut” O amuk Kapak, 1981)

            Pada kutipan tersebut sajak akhir tampak pada persama bunyi u di semua akhir baris.
            Berdasarkan hubungan antarbaris terdapat sajak merata, yang ditandai pada ulangan bunyi a-a-a-a di semua akhir baris; sajak berselang, yang ditandai dengan ulangan banyu a-b-a-b  di semua akhir baris; sajak berangkai: a-a-b-b ; dan berpeluk: a-b-b-a.

            Contoh sajak berselang adalah pada kutipan pantun berikut ini.

                Mari kita bersama-sama
                Naik sepeda bersuka ria
                Jangan lupa ajak kawan serta
                Agar hati yang sedih jadi terlupa  

            Contoh sajak berselang adalah pada kutipan pantung berikut ini.

            Berakit-rakit ke hulu
                Bersenang-senang ke tepian
                Bersakit-sakit dahulu
                Bersenang-senang kemudian

            Contoh sajak berangkai (a-a-b-b) tampak pada contoh berikut ini

            perahu jadi buaye
                buaya jadi puake
                puake jadi pukau
                pukau jadi mau

            contoh sajak berpeluk (a-b-b-a) tampak pada contoh berikut ini.

                Gelombang menari ditingkah angin
                Camar-camar berebut ikan
                Biru laut biri ikan-ikan
                Aku pun ingin menjelma angin

            Yang perlu diingat ulangan bunyi dalam puisi, bukan semata-mata sebagai hiasan untuk menimbulkan nilai keindahan, tetapi juga memiliki fungsi untuk mendukung makna dan menimbulkan suasana tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan suasana yang ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal istilah orkestrasi adalah bunyi musik dalam puisi. Orkestrasi dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu efoni, dan kakafoni.

Efoni, adalah orkestrasi berirama merdu, kakafoni, adalah orkestrasi yang bersuara parau yang tidak merdu.Kombinasi bunyi g, b, d, bunyi sengau m, n, ng, ny, liquida , r, l. (orkestrasi yang merdu). Biasanya efoni dapat mendukung suasana menyenangkan, kasih, atau cinta. Akan tetapi, sering juga menimbulkan suasana sedih atau muram bila dikombinasi dengan vokal yang berat a, o, u. terutama  bila yang diekspresikan suasana atau peristiwa yang menyedihkan, seperti berikut ini.

Bulan Terang

Sunyi lengang alam terbentang
Udara jernih sejuk tenang
Di langit mengerlip ribuan bintang
Bulan memancar caya senang

Angin mengembus tertahan-tahan
Daun berbisik rasa kesukaan
Bulan beralih perlahan-lahan
Menuju magrib tempat peraduan

Hati yang masgul menjadi senang
Sukma riang terbang melayang
Karena lahir kerinduan semalam

Ribaan Hua yang kukenang
Kudapat t’rang, kasih dan sayang
Serta damai hati di dalam.

Dalam sajak  tersebut, yang dominan adalah bunyi sengau: ng, m, n. , bunyi sengau mendukung  suasana sunyi yang khusuk dan rasa senang si aku karena ia mendapat kasih dan sayang, serta kedamaian hati sebab kerinduannya iaitu Hua (Tuhan) hadir dalam dirinya, dalam hatinya.
Selain  itu, contoh efoni dalam  puisi yang lain seperti tampak berikut ini

Gadis Desa


Siul pagi betapa manis
Mengusap pipi gadis

Dadanya telanjang setengah
Jantung di tengah sawah
Wajahnya sumringah

Duilah siapa punya dia
Anak petani orang desa
Padinya semilir hijau
Orang memandang diri terpaksa
Pipit pagi ramai berkicau

Derai-derai angin pagi
Derai hati memandang padi
Mengulun hijau lautan
Tersungging senyum perawan

Ah, gadis manis gadis desa
Jangan pergi ke kota
Sebab banyak lelaki jalang
Sebab nabi kota curang

Ah, gadis manis gadis desa
Hatiku lekat di dadamu
Aku di kota meredam cita
Segera pulang

Kombinasi bunyi vokal a, e, i, o, dan u. Bunyi konsonan b, d, g, j, bunyi liquida r dan l bunyi sengau  m, n, ng, ny (menurut Pradopo dapat menimbulkan bunyi merdu dan berirama). Bunyi merdu tersebut dapat menimbulkan rasa gembira, keindahan, kasih sayang, dan bahagia.

            Bait pertama, Kombinasi bunyi diftong i-u, liquida l (siul), asonansi vokal a – i (pagi, manis, gadis). Aliterasi bunyi p–s, (betapa, pipi, manis, gadis) menimbulkan bunyi merdu. Sama halnya dengan bait 2, 3, 4, 5. puncaknya pada bait terakhir yang berupa aliterasi bunyi s, baik bunyi desis maupun tidak (gadis, manis, desa, segera) dan asonansi a–i (gadis, manis, hati) e–a (desa, lekat, meredam, segera).  Dari bunyi saja sudah sudah menimbulkan rasa gembira, senang, dan bahagia, apalagi kalau diperhatikan maknanya, bagaimana indahnya alam pedesaan.

Bunyi konsonan k, p, t, s. bunyi tak bersuara. Kombinasinya menimbulkan suara parau, tidak enak didengar, tajam ditelinga, dan menyesakkan dada. Lebih-lebih bunyi k, t, p tutup: remuk, runtuh ripuk tamanmu rampak; manusia kecil lintang pukang/lari terbang jatuh duduk/Air naik tetap terus/ Tumbang bongkar pokok purba.

Sajak berikut dikombinasi bunyi parau k, p, t, s.

 

Sodom dan Gomorah


Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air

Kita mengikuti sebuah all night ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyaput mata
tak terdengar pintu diketuk

Kau?

Yippee!!
Rock-rock-rock

Jam menunjuk tiga (Sastrowardoyo, 1990).


Suasana kekacaubalauan itu memuncak pada bait kedua digambarkan dengan bunyi k, p, t, s. tutup. Kertas berserak/ terompet berteriak/ muka pucat mengantuk/ tak terdengar pintu diketuk. (keadaan yang kacau itu tidak mengenakkan menyesakkan dada). (Azis, 2005; Wiyatmi, 2006).
Selain sajak di atas, contoh efony yang lain dapat dilihat berikut ini.

Tuhanku
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhan kita

Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
                Seperti sepi menyeru
                                (Emha Ainun Nadjib, ”5”, 99 untuk Tuhan, 1983)
           
Efony tampak pada ulangan bunyi u, a, i, e  yang dipadu dengan b, d, k, t  yang dominan dalam puisi tersebut yang menimbulkan suasana mistik dalam dialog antara manusia dengan Tuhan yang menyenangkan.
            Contoh cacaphony , misalnya tampak pada kutipan berikut ini.
            Katanya kau keturunan pisau
                Katanya kau keturunan pisau yang terengah
                Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan
                Darah .. .Sapardi Djoko Damono, Katanya Kau, Mata Pisau, 1982).

            Puisi tersebut didominasi oleh ulangan  bunyi k, p, t, s, u, au yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenagngak (Wiyatmi, 2006).
            Contoh yang lain seperti tampak berikut ini.

 



Pidato seorang Demonstran


Mereka telah tembak teman kita
Ketika mendobrak sekretariat negara
Sekarang jelas bagi saudara
Bagaimana kebenaran hukum di Indonesia

Ketika kesukaran tambah menjadi
Para menteri sibuk ke luar negeri
Tapi korupsi makin merajalela
Sebab percaya keadaan berubah
Rakyat diam saja

Ketika produksi negara kosong
Para pemimpin asyik ngomong
Tapi harga-harga terus menanjak
Sebab percaya diatasi dengan mupakat
Rakyat masih diam saja

Di masa gestok rakyat dibunuh
Para menteri aling menuduh
Kaum penjilat mulai bereaksi
Maka fitnah makin berjangkit
Toh rakyat, asik terus diam saja

Meraka diupah oleh jerih orang tua kita
Tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
Apakah kita masih terus diam saja.


Bait pertama, Penuh dengan bunyi, k, t, s  dan konsonan k tutup yaitu: mereka, telah tembak teman kita/ ketika mendobrak sekretariat negara / sekarang jelas bagi saudara / bagaimana kebenaran hokum di Indonesia. bunyi- bunyi tersebut dinyatakan sebagai tidak merdu, parau dan menimbulkan suasana kacau balau. Apalagi ditambah asonansi bunyi e–a (mereka telah tembak, negara, jelas) yang juga memberi kesan “menentang” dan kacau. Hal ini merupakan kebalikan asonansi bunyi a – i.
Onomatope, Berarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada (onomatopo) dipilih penyair dengan harapan dapat memberikan guna atau memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair.

Amuk

ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan heina bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging jesus jangan
beri roti dia tak mau rori ngiau
(Sutardji, 1981:56)

Kata “ngiau” adalah tiruan bunyi kucing yang sedang mengerang digunakan untuk membangun suasana magis simpatetis suasana demikian juga terlihat pada puisi berikut.  

Kata “puah “ adalah tiruan bunyi orang yang menyemburkan isi mulutnya setelah membaca mantera
Lambang bunyi, ialah bunyi yang dihubungkan dengan suasana hati. Suasana hati yang riang, senang dilukiskan dengan bunyi vokal i – ai – ui, bunyi konsonan k, p, t, s, dan f, sedang diftong ai, au, dan ia melambangkan hati yang damai. Seperti beberapa bait sajak berikut.

Gadis Desa


siul pagi betapa manis
mengusap pipi gadis

dadanya telanjang setengah
jantungnya di tengah sawah
wajahnya sumringah

duilah siapa punya dia
anak petani orang desa

Konsonani i, terasa berat, sedang bunyi vokal a, o dan u terasa berat dan rendah, melambangkan perasaan sedih, gundah, murung, untuk memerjelas keterangan tersebut perhatikan bait-bait puisi  Leon Agusta berikut ini.

Hukla Matahari dan Bulan


Kau dengarlah hukla sayang menggelamkan matahari
ke dasar lautan. Arus gelap mengalir suaranya senyap
oleh ombak gemuruh dan angin mendesing
tapi di hatiku terdengar suara hukla yang lain
berdentam-dentam terkadang rendah sekali nadanya.
Berjuta orang kurang makan, kau baca di Koran.
Itulah nyanyian hukla, kau dengar setiap hari.

Bait-bait puisi yang mengandung bunyi i yang dominan menurut Pradopo memberi suasana girang, kasih, ataupun kesucian.         

Bunyi a dan u yang dominan memberi kesan suasana berat dan sedih, misalnya puisi di bawah ini.              
              Kiasan bunyi, adalah kiasan tertentu yang dikiaskan dengan bunyi-bunyi tertentu atau bunyi yang mirip dengan bunyi tiruan. Penyair yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah estetika bunyi dan cara memanfaatkannya dalam puisi, puisinya akan menjadi kacau, tanpa ekspresi dan tidak dapat menggambarkan suasana  yang sesuai dengan hal-hal  yang digambarkan melalui kata-kata…….Puisi tersebut akan mengurangi atau menghilangkan kepuitisannya. Contoh  berikut.

Dari Catatan Tua Terbuncang Topan


Tingkap teratak tua terboncang topan
Topan tepian timur yang bertuhan

Kediaman memang submer segala cerah
Mengapa bosan bolak-balik singgah?

Pada bocah berbinar laku lincah
Meriah

Dan Tuhan benci hati yang terus gelisah
Kedamaian memang sumber segala cerah.

Antara pengertian rima dan sajak dalam pengertian lama memang mirip karena keduanya memiliki konsep pengertian pengulangan bunyi. Perbedaaannya dalam pengertian lama pengulangan bunyi dalam sajak terbatas pada akhir baris, sedang konsep pengulangan bunyi pada rima tidak terbatas pada akhir baris tetapi juga untuk keseluruhan baris atau bait.
Berangkat  dari penjelasan bunyi tersebut berikut dikemukakan simpulan fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan dan  imaji, dalam puisi.



Efoni (euphony) : bunyi yang merdu dan indah.

Vokal a, i, u, e, o
Konsonan bersuara b, d, g, j
Bunyi liquida r, l
Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h


Suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia.

Kakofoni (cacophony) : bunyi yang tidak merdu, parau

- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s.
- Rima puisi sangat tidak teratur


Suasana kacau, tidak teratur, tidak menyenangkan.


Vokal e, i
Konsonan k, p, t, s, f


- Perasaan riang, kasih, suci
- imaji : kecil, ramping,    ringan, tinggi. 


Vokal a, o, u
Konsonan b, d, g, z, v, w

- Perasaan murung, sedih,    gundah, kecewa.- imaji : bulat, berat, besar, rendah.




Tidak ada komentar: