MEMAHAMI UNSU-UNSUR PEMBANGUN PUISI
A. Unsur-unsur Pembangun Puisi
Puisi atau sajak merupakan sebuah struktur yang
kompleks, untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui
bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Adapun unsur-unsur pembangun puisi
dapat dilihat berikut ini.
- Bunyi
Bunyi dapat diibaratkan sebagai warna cat yang digoreskan oleh
pelukis di atas kanvas. Keindahan bunyi bisa terjadi karena karakter dari bunyi
itu sendiri. Tetapi juga bisa terjadi karena perpaduan antara bunyi satu dengan
bunyi lainnya, di samping dihubungkan dengan unsur yang terkait dengan
keindahan bunyi itu sendiri, misalnya titik nada, lama bunyi, tekanan dan
pengulangan. (Wellek, 1990).
Salah satu perbedaan yang dominan antara
bahasa puisi dengan prosa adalah bahwa puisi cenderung mendayagunakan unsur
pengulangan bunyi. Dalam puisi bunyi memiliki peran antara lain agar puisi itu
merdu jika dibaca dan didengarkan, sebab pada hakikatnya puisi adalah merupakan
salah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti, 2002).
Karena
pentingnya peranan bunyi dalam kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi
unsur kepuitisan yang pertama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad
ke-18, 19 di Eropa Barat (Pradopo, 2005). Apalagi aliran simbolik yang
dipelopori oleh Charles Baudelaire (1821- 1867). Salah seorang simbolis, Paul
Verlaine (1844- 1896) mengemukakan bahwa musiklah yang paling utama dalam
puisi. Para penyair romantik dan simbolis ingin menciptakan puisi yang
mendekati musik; merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata
menjadi gaya suara, bahkan mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah
suara belaka.
Mengingat
pentingnya unsur bunyi di dalam puisi, bahkan seorang penyair melakukan
pemilihan dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa
pertimbangan tersebut antara lain adalah
(1) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu
memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca atau
pendengar; (2) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu memerjelas ekspresi; (3)
ikut membangun suasana puisi, dan (4) mungkin juga mampu membangkitkan
asosiasi-asosiasi tertentu (Sayuti, 2002).
Wiyatmi
(2006) menguraikan, bahwa unsur bunyi dalam puisi pada umumnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
- Dilihat dari segi bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, aliterasi, dan asonansi.
- Dilhat dari posisi kata yang mendukungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir.
- Berdasarkan hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk.
Sajak sempurna adalah ulangan
bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata tertentu, seperti berikut ini
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah dan mengucurkan darah
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah dan mengucurkan
Darah sehabis menikam ombak laut
Dan terkubur
Di rahimnya
...
(Sapardi Djoko Damono, Katanya Kau Mata Pisau, 1982).
Sajak paruh, merupakan ulangan
bunyi yang terdapat pada sebagian baris dan kata-kata tertentu, seperti tampak
contoh berikut ini
Sisi timur hancur
Sisi
selatan curam
Sisi
barat gelap
Sisi utara berbisa
Kau dan aku tiara dan
Berdebar-debar memeluk bantal
Sisi atas bocor
Sisi bawah susah
Sisi kiri dikebiri
Sisi kanan ditikam
Kau
dan aku tengkurap di langit
...
(F.
Rahardi Berita Libanon, Sumpah WTS, 1985).
Pada kutipan tersebut, ulangan
bunyi yang ditimbulkan oleh ulangan kata, hanya terdapat pada awal-awal baris,
sehingga disebut sajak paruh.
Asonansi adalah ulangan bunyi
vokal yang terdapat pada baris-baris puisi, yang menimbulkan irama tertentu
sering dipergunakan dalam simbolik bunyi. Menurut Teeuw (1980) vokal i misalnya dalam puisi Indonesia sering
melambangkan jeritan manusia yang ingin hidup, seperti: mimpi... meringkik di bukit-bukit. Asonansi, misalnya terdapat
dalam kutipan berikut.
Ia dengan kepak sayap kelelawar
dan guyur sisa dari daun
karena angin pada angin pada
kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan
bimasakti yang jauh..
(Gunawan
Mohammad, Asmaradana, Pariksit 1971) .
Pada kutipan tersebut terdapat
asonansi berupa ulangan bunyi i- a, e-a, u-a, a-i, berulang-ulang
sepanjang baris-baris puisi tersebut yang menimbulkan irama sehingga puisi enak
dibaca.
Aliterasi adalah pengulangan
konsonan, yang menurut Teeuw (1980) berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari
hubungan semantik biasa. Selain itu, aliterasi menekankan struktur ritme sebuah
larik dan memberi tekanan tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan.
Contoh aliterasi terdapat pula
pada kutipan sajak di atas. Selain itu contoh aliterasi berikut ini.
Lunak besi dilengkungannya
Tubuhnya lolos di tiap liangsinar
Sajak
awal adalah ulangan bunyi yang terdapat pada tiap awal baris, sementara sajak
tengah terdapat pada tengah baris, dan sajak akhir terdapat pada akhir baris.
Contoh
sajak awal sebagaimana berikut ini.
Tiang tanpa akhir tanpa
apa di atasnya
Tiang
tanpa topang apa di atasku
Tiang
tanpa akhir tanda duka lukaku
Tiang
tanpa siang tanpa malam tanpa waktu
(Sutardji Calzoum Bachri,
”Colonnes Sans Fin” O amuk Kapak, 1981)
Sajak
tengah tampak pada contoh berikut
puang
jadi celah
celah
jadi sungai
sungai
jadi muare
muare
jadi perahu
perahu
jadi buaye
buaye
jadi puake
puake
jadi pukau
pukau
jadi mau
(Sutardji
Calzoum Bachri, ”Puake” O amuk Kapak, 1981)
Contoh
sajak akhir, tampak berikut ini.
akan kau kau kan kah
hidupmu?
kau
nanti kau akan kau mau kau mau
siapa
yang tikam burung yang waktu
waktukutukku
waktukutukku waktukutukku waktukutukku
(Sutardji
Calzoum Bachri, ”Denyut” O amuk Kapak, 1981)
Pada
kutipan tersebut sajak akhir tampak pada persama bunyi u di semua akhir baris.
Berdasarkan
hubungan antarbaris terdapat sajak merata, yang ditandai pada ulangan bunyi a-a-a-a
di semua akhir baris; sajak berselang, yang ditandai dengan ulangan
banyu a-b-a-b di semua akhir
baris; sajak berangkai: a-a-b-b ; dan berpeluk: a-b-b-a.
Contoh sajak berselang adalah pada kutipan pantun
berikut ini.
Mari
kita bersama-sama
Naik
sepeda bersuka ria
Jangan
lupa ajak kawan serta
Agar hati yang sedih jadi
terlupa
Contoh sajak berselang
adalah pada kutipan pantung berikut ini.
Berakit-rakit ke hulu
Bersenang-senang
ke tepian
Bersakit-sakit
dahulu
Bersenang-senang
kemudian
Contoh sajak berangkai (a-a-b-b) tampak pada
contoh berikut ini
perahu jadi buaye
buaya
jadi puake
puake jadi pukau
pukau
jadi mau
contoh sajak berpeluk
(a-b-b-a) tampak pada contoh berikut ini.
Gelombang
menari ditingkah angin
Camar-camar
berebut ikan
Biru
laut biri ikan-ikan
Aku
pun ingin menjelma angin
Yang
perlu diingat ulangan bunyi dalam puisi, bukan semata-mata sebagai hiasan untuk
menimbulkan nilai keindahan, tetapi juga memiliki fungsi untuk mendukung makna
dan menimbulkan suasana tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan suasana yang
ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal istilah orkestrasi adalah
bunyi musik dalam puisi. Orkestrasi dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu efoni,
dan kakafoni.
Efoni, adalah orkestrasi berirama merdu, kakafoni, adalah orkestrasi yang
bersuara parau yang tidak merdu.Kombinasi bunyi g, b, d, bunyi
sengau m, n, ng, ny, liquida , r, l. (orkestrasi yang
merdu). Biasanya efoni dapat mendukung suasana menyenangkan, kasih, atau cinta.
Akan tetapi, sering juga menimbulkan suasana sedih atau muram bila dikombinasi
dengan vokal yang berat a, o, u. terutama bila yang diekspresikan suasana atau
peristiwa yang menyedihkan, seperti berikut ini.
Bulan
Terang
Sunyi lengang alam terbentang
Udara jernih sejuk tenang
Di langit mengerlip ribuan bintang
Bulan memancar caya senang
Angin mengembus tertahan-tahan
Daun berbisik rasa kesukaan
Bulan beralih perlahan-lahan
Menuju magrib tempat peraduan
Hati yang masgul menjadi senang
Sukma riang terbang melayang
Karena lahir kerinduan semalam
Ribaan Hua yang kukenang
Kudapat t’rang, kasih dan sayang
Serta damai hati di dalam.
Dalam sajak tersebut, yang dominan adalah bunyi sengau: ng,
m, n. , bunyi sengau mendukung
suasana sunyi yang khusuk dan rasa senang si aku karena ia mendapat kasih
dan sayang, serta kedamaian hati sebab kerinduannya iaitu Hua (Tuhan) hadir
dalam dirinya, dalam hatinya.
Selain itu, contoh efoni dalam puisi yang lain
seperti tampak berikut ini
Gadis Desa
Siul pagi betapa manis
Mengusap pipi gadis
Dadanya telanjang setengah
Jantung di tengah sawah
Wajahnya sumringah
Duilah siapa punya dia
Anak petani orang desa
Padinya semilir hijau
Orang memandang diri terpaksa
Pipit pagi ramai berkicau
Derai-derai angin pagi
Derai hati memandang padi
Mengulun hijau lautan
Tersungging senyum perawan
Ah, gadis manis gadis desa
Jangan pergi ke kota
Sebab banyak lelaki jalang
Sebab nabi kota curang
Ah, gadis manis gadis desa
Hatiku lekat di dadamu
Aku di kota meredam cita
Segera pulang
Kombinasi bunyi vokal a, e, i, o, dan u.
Bunyi konsonan b, d, g, j, bunyi liquida r dan l bunyi
sengau m, n, ng, ny (menurut Pradopo dapat menimbulkan bunyi merdu
dan berirama). Bunyi merdu tersebut dapat menimbulkan rasa
gembira, keindahan, kasih sayang, dan bahagia.
Bait pertama, Kombinasi bunyi diftong i-u, liquida l (siul), asonansi vokal a – i (pagi, manis, gadis). Aliterasi bunyi p–s, (betapa, pipi, manis, gadis) menimbulkan bunyi merdu. Sama halnya dengan bait 2, 3, 4, 5. puncaknya pada bait terakhir yang berupa aliterasi bunyi s, baik bunyi desis maupun tidak (gadis, manis, desa, segera) dan asonansi a–i (gadis, manis, hati) e–a (desa, lekat, meredam, segera). Dari bunyi saja sudah sudah menimbulkan rasa gembira, senang, dan bahagia, apalagi kalau diperhatikan maknanya, bagaimana indahnya alam pedesaan.
Bunyi konsonan k, p, t, s. bunyi tak
bersuara. Kombinasinya
menimbulkan suara parau, tidak enak didengar, tajam ditelinga, dan menyesakkan
dada. Lebih-lebih bunyi k, t, p tutup: remuk, runtuh ripuk
tamanmu rampak; manusia kecil lintang pukang/lari terbang jatuh duduk/Air naik
tetap terus/ Tumbang bongkar pokok purba.
Sajak berikut dikombinasi bunyi parau k, p, t, s.
Sodom dan Gomorah
Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
Kita mengikuti sebuah all night ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyaput mata
tak terdengar pintu diketuk
Kau?
Yippee!!
Rock-rock-rock
Jam menunjuk tiga (Sastrowardoyo,
1990).
Suasana kekacaubalauan itu
memuncak pada bait kedua digambarkan dengan bunyi k, p, t, s. tutup. Kertas berserak/ terompet
berteriak/ muka pucat mengantuk/ tak terdengar pintu
diketuk. (keadaan yang kacau itu tidak mengenakkan menyesakkan dada).
(Azis, 2005; Wiyatmi, 2006).
Selain sajak di atas, contoh efony yang lain dapat dilihat berikut
ini.
Tuhanku
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhan kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
(Emha
Ainun Nadjib, ”5”, 99 untuk Tuhan, 1983)
Efony tampak pada
ulangan bunyi u, a, i, e yang dipadu
dengan b, d, k, t yang dominan
dalam puisi tersebut yang menimbulkan suasana mistik dalam dialog antara
manusia dengan Tuhan yang menyenangkan.
Contoh
cacaphony , misalnya tampak pada
kutipan berikut ini.
Katanya kau keturunan pisau
Katanya
kau keturunan pisau yang terengah
Katanya
kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan
Darah
.. .Sapardi Djoko Damono, Katanya Kau,
Mata Pisau, 1982).
Puisi
tersebut didominasi oleh ulangan bunyi k, p,
t, s, u, au yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenagngak
(Wiyatmi, 2006).
Contoh
yang lain seperti tampak berikut ini.
Pidato seorang Demonstran
Mereka telah tembak teman kita
Ketika mendobrak sekretariat
negara
Sekarang jelas bagi saudara
Bagaimana kebenaran hukum di
Indonesia
Ketika kesukaran tambah menjadi
Para menteri sibuk ke luar negeri
Tapi korupsi makin merajalela
Sebab percaya keadaan berubah
Rakyat diam saja
Ketika produksi negara kosong
Para pemimpin asyik ngomong
Tapi harga-harga terus menanjak
Sebab percaya diatasi dengan
mupakat
Rakyat masih diam saja
Di masa gestok rakyat dibunuh
Para menteri aling menuduh
Kaum penjilat mulai bereaksi
Maka fitnah makin berjangkit
Toh rakyat, asik terus diam saja
Meraka diupah oleh jerih orang
tua kita
Tapi tak tahu cara terima kasih,
bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa
kepala negara
Apakah kita masih terus diam
saja.
Bait pertama, Penuh dengan bunyi, k, t, s dan konsonan k tutup yaitu: mereka,
telah tembak teman kita/ ketika mendobrak sekretariat negara / sekarang jelas
bagi saudara / bagaimana kebenaran hokum di Indonesia. bunyi- bunyi
tersebut dinyatakan sebagai tidak merdu, parau dan menimbulkan suasana kacau
balau. Apalagi ditambah asonansi bunyi e–a (mereka telah tembak, negara, jelas) yang juga memberi kesan “menentang”
dan kacau. Hal ini merupakan kebalikan asonansi bunyi a – i.
Onomatope, Berarti
tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada (onomatopo) dipilih penyair dengan harapan
dapat memberikan guna atau memberikan warna suasana tertentu seperti yang
diharapkan penyair.
Amuk
ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan heina bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah
rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan
amuknya
dia meraung dia mengerang jangan
beri
daging dia tak mau daging jesus
jangan
beri roti dia tak mau rori ngiau
(Sutardji,
1981:56)
Kata “ngiau” adalah tiruan
bunyi kucing yang sedang mengerang digunakan untuk membangun suasana magis
simpatetis suasana demikian juga terlihat pada puisi berikut.
Kata “puah “ adalah tiruan
bunyi orang yang menyemburkan isi mulutnya setelah membaca mantera
Lambang bunyi, ialah
bunyi yang dihubungkan dengan suasana hati. Suasana hati yang riang, senang
dilukiskan dengan bunyi vokal i – ai – ui,
bunyi konsonan k, p, t, s, dan f,
sedang diftong ai, au, dan ia melambangkan hati yang damai. Seperti beberapa bait sajak berikut.
Gadis Desa
siul pagi betapa manis
mengusap pipi gadis
dadanya telanjang setengah
jantungnya di tengah sawah
wajahnya sumringah
duilah siapa punya dia
anak petani orang desa
Konsonani i, terasa berat, sedang bunyi vokal a, o dan u terasa berat
dan rendah, melambangkan perasaan sedih,
gundah, murung, untuk memerjelas keterangan tersebut perhatikan bait-bait
puisi Leon Agusta berikut ini.
Hukla Matahari dan Bulan
Kau dengarlah hukla sayang
menggelamkan matahari
ke dasar lautan. Arus gelap
mengalir suaranya senyap
oleh ombak gemuruh dan angin
mendesing
tapi di hatiku terdengar suara
hukla yang lain
berdentam-dentam terkadang rendah
sekali nadanya.
Berjuta orang kurang makan, kau
baca di Koran.
Itulah nyanyian hukla, kau dengar
setiap hari.
Bait-bait puisi yang
mengandung bunyi i yang dominan menurut Pradopo memberi suasana girang, kasih,
ataupun kesucian.
Bunyi a
dan u yang dominan memberi kesan
suasana berat dan sedih, misalnya puisi di bawah ini.
Kiasan bunyi, adalah kiasan tertentu yang dikiaskan dengan
bunyi-bunyi tertentu atau bunyi yang mirip dengan bunyi tiruan. Penyair yang
tidak mengindahkan kaidah-kaidah estetika bunyi dan cara memanfaatkannya dalam
puisi, puisinya akan menjadi kacau, tanpa ekspresi dan tidak dapat
menggambarkan suasana yang sesuai dengan
hal-hal yang digambarkan melalui
kata-kata…….Puisi tersebut akan mengurangi atau menghilangkan kepuitisannya. Contoh
berikut.
Dari Catatan Tua Terbuncang Topan
Tingkap teratak tua terboncang topan
Topan tepian timur yang bertuhan
Kediaman memang submer segala cerah
Mengapa bosan bolak-balik singgah?
Pada bocah berbinar laku lincah
Meriah
Dan Tuhan benci hati yang terus gelisah
Kedamaian memang sumber segala cerah.
Antara pengertian rima dan sajak dalam pengertian lama
memang mirip karena keduanya memiliki konsep pengertian pengulangan bunyi.
Perbedaaannya dalam pengertian lama pengulangan bunyi dalam sajak terbatas pada
akhir baris, sedang konsep pengulangan bunyi pada rima tidak terbatas pada
akhir baris tetapi juga untuk keseluruhan baris atau bait.
Berangkat dari
penjelasan bunyi tersebut berikut dikemukakan simpulan fungsi bunyi dalam
mendukung suasana, perasaan dan imaji, dalam puisi.
Efoni (euphony) : bunyi yang
merdu dan indah.
|
Vokal a, i, u, e, o
Konsonan bersuara b, d, g,
j
Bunyi liquida r, l
Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h
|
Suasana mesra, penuh kasih
sayang, gembira, bahagia.
|
Kakofoni (cacophony) : bunyi yang
tidak merdu, parau
|
- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s.
- Rima puisi sangat tidak teratur
|
Suasana kacau, tidak teratur, tidak
menyenangkan.
|
|
Vokal e, i
Konsonan k, p, t, s, f
|
- Perasaan riang, kasih, suci
- imaji : kecil, ramping, ringan, tinggi.
|
|
Vokal a, o, u
Konsonan b, d, g, z, v, w
|
- Perasaan murung,
sedih, gundah, kecewa.- imaji :
bulat, berat, besar, rendah.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar