Menguak
Kedalaman dan Ketajaman Diksi dalam Puisi
Diksi adalah pilihan kata atau
frase dalam karya sastra (Abrems, 1981). Setiap penyair
akan memilih kata-kata yang
tepat sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin
dicapai. Diksi seringkali pula menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman
tertentu (Wiyatmi, 2006).
Seringkali
penyair mengganti kata-katanya untuk mendapatkan pilihan yang tepat. Pilihan
yang tepat itu disesuaikan dengan unsur bunyi, disesuaikan dengan arti,
suasana, tempat terjadinya peristiwa, dan konsep keindahan.
Pilihan
kata yang disesuaikan dengan bunyinya, seperti kutipan puisi di bawah ini
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dulu (Hamzah, 1985).
Habis kikis dapat diganti habis larut, tetapi bila begitu hilang persamaan bunyinya yang
menyebabkan intens. Hilang terbang
dapat diganti hilang musnah, bila
demikian hilang kemerduannya juga mengubah gambaran angannya.
Pilihan kata yang disesuaikan dengan kata dan konotasinya
sebagai sajak Chairil “Semangat” dan “Aku”. Dalam Kerikil Tajam sajak
itu berjudul “Semangat” sedang dalam Deru Campur Debu berjudul “Aku”.
Sajaknya sama, dalam bait pertama ada sebuah kata yang diganti. Kalau dibandingkan seperti berikut
Semangat
Kalau sampai waktuku
‘ku tahu tak seorang ‘kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
(Kerikil Tajam, 1978:15).
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau
tak seorang ‘kan
merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu!
(DCD,
1959:7).
Semangat, tidak tepat karena menampilkan ide atau
gagasan individualisme, gagasan kepribadian si aku yang ingin hidup mandiri,
sedangkan semangat menunjukkan
semangat perjuangan hidup. Oleh karena itu, judul semangat kurang cocok dengan semangat sajaknya.
Kata ku tahu menunjukkan bahwa si aku kalau mati, ia tahu tidak ada
orang yang merayu yang artinya bersedih, ku
tahu memberikan suasana melankolis, bersedih, tidak cocok dengan
semangat sajak.
Ketika diganti dengan ku mau semangat individualisme itu
menonjol. Si aku dengan kemauannya sendiri menolak orang lain untuk bersedih
saat kematiannya, bahkan orang yang paling dekat dengannya tidak perlu bersedih
sebab hidup mati adalah tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu tak
perlu sedu sedan itu.
Pujangga Baru mengikuti aliran
romantisme sebab itu banyak memergunakan kata-kata nan-indah: arkais, kata
arab, dan kata daerah tertentu. Sementara itu, kata tidak pernah statis, tetapi
cendrung dinamis, kedinamisan terbukti apabila kata dirangkai dengan kata lain
akan menimbulkan kata baru. Kata juga selalu bertambah sejalan dengan
perkembangan situasi dan kondisi zaman
dan budaya manusia. Kata canggih
tahun 60-an belum dibutuhkan, tetapi saat sekarang mau tak mau harus
sering digunakan karena perkembangan
budaya menurut kehadirannya.
Dulu tayangan filem berbahasa
Inggris penerjemah cukup dilakukan dengan menuliskan teks terjemahan di bagian
bawah layar. Ketika jam tayang
diperpanjang, kemudian masuk film-film
nonbahasa Inggris muncullah kata-kata atau istilah-istilah baru dalam bahasa
Indonesia, misalnya, kata alih suara, dabing, sulih suara,
Kata-kata baru tersebut
dibentuk atau diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan cara (1) penggabungan
kata yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia, (2) kata Indonesia namun sudah
tidak lazim, (3) kata dalam bahasa serumpun, (4) kata dalam bahasa serumpun
namun tidak lazim digunakan, (5) kata dalam bahasa Inggris, (6) kata bahasa
asing selain bahasa Inggris. Di samping itu, harus pula dipertimbangkan (1)
ketepatan, (2) singkat dan padat, (3) tidak berkonotasi buruk, (4) merdu atau
enak didengar.
Kata-kata yang digunakan oleh
penyair dilihat dari bentuknya tidak jauh berbeda dengan kata-kata yang
digunakan dalam percakapan sehari-hari. Contoh berikut ini.
Di samping
itu, ada juga penyair yang memergunakan kata-kata bahasa daerah, misalnya
bahasa Jawa seperti puisi Darmono
Jatman yang berjudul Kisah Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Mboten
Keduanya kembar, persis, ceples, pleg kepleng-kepleng
Orang memanggil mereka den mas Gun
Sekalipun tak pernah nunas pada pohon
silsila sultan
Sulat Yogya
Yang satu Atmo, senang pakai payung kaya
priyagung
Yang kedua Karto, berhobi beksan lawung
Adapun keduanya berfalsafah hidup “Lotung”
Atmo dicandra seperti kwangwung suka
nongkrong
Di pohon kelapa, tapi tak suka
ngrusuhi tetangga
Karto dicandra seperti laron, tak
krasan tinggal
Di pawon, lebih senang di sawah,
apalagi kalau disuruh bawon.
Pleg kepleng-kepleng, yaitu anamatope
bunyi cetakan yang menunjukkan keduanya itu kembar yang memiliki kesamaan persis
seperti dicetak. Priyagung , berarti bagaikan bangsawang, beksan
lawung, tarian tombak, lotung, daripada tidak sama sekali
lebih baik apa adanya, ngrusuhi mengganggu, dicandera, diibaratkan, pawon, dapur bawon upah memanen hasil
padi.
Kadang, penyair juga memasukkan kata-kata asing dalam bentuknya yang asli
sebagai bait puisi Linus Suryadi berikut
ini.
ya, ya pada hasil panen semua
tergantung
tergantung semua hasil panen
berhitung
“Ini hidup absurd banget , Imposible”
absurd, konyol, .imposibel tidak mungkin
Bahkan seorang penyair
menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati (tidak pernah lagi digunakan zaman
sekarang) seperti yang ditunjukkan oleh Slamet Mulyana tetapi harus dihidupkan
kembali. Misalnya sajak Amir Hamzah menggunakan kata-kata leka, marak yang
artinya cahaya dan lena atau lalai. Seperti penggalan sajak berikut ini.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyeral corak
Elang kela sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Ho Liang Telah Pergi
Teramat biru, Ho Liang !
Gelap dan sepi ?
Teramat riang, Ho Liang
Melayang pergi
Roh Hu Liang putih
Burung udara terbang putih
Tinggi ke mentari
Apa panas di sana Ho Liang ?
Padang salju atau pirdausi ?
Engkau saja yang cerita, Ho Liang
!
Jangan kemurungan tanah merah di
sini !
Terkadang teramat singkat Ho
Liang !
Kita harus beri hati
Kecantikan murung bunga-bunga
Tersia merebahi kuburnya
Kupetik satu yang paling putih
Kubawa pergi ke pesta.
Pada dasarnya kata selalu
mengacu pada makna refrensinya, yaitu makna yang ada dalam konsep atau pikiran
pemakainya atau makna yang sesuai dengan keterangan yang ada di dalam kamus.
Kata kursi, kata tersebut sesuai dengan keterangan yang
ada dalam kamus iaitu tempat duduk berkaki dan bersandaran.
Makna demikian sebagai makna denotatif, sifatnya yang
objektif, lugas, atau apa adanya menjadikan kata tersebut mudah dipahami dan tidak menimbulkan banyak
tafsiran.
Dalam puisi, kata-kata yang
bermakna denotatif juga sering kita jumpai terutama puisi yang bersifat realis,
yaitu puisi yang menggambarkan segala
sesuatu secara realistis, apa adanya. Contoh pusi Rendra berikut ini.
Episode
Kami duduk berdua
Di bangku halaman rumahnya
Pohon jambu di halaman itu
Berbuah dengan lebatnya
Dan kami senang memandangnya
Angin yang lewat
Memainkan daun yang berguguran
Tiba-tiba ia bertanya
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
aku hanya tertawa
lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
Makna konotatif adalah makna
kata tambahan. Menurut Kridalaksana
(1983) makna konotatif ialah makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran
yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara atau pendengar (makna tambahan yang
timbul berdasarkan nilai rasa seseorang).
Kata hujan dalam kamus titik air berjatuhan dari
udara lewat proses pendinginan, kata tersebut oleh seorang petani bisa
memiliki makna rahmat karena hujan lahang pertanian terairi sehingga
tanamannya tumbuh subur. Lain pula makna
konotatif pada penjuan es kata tersebut bisa berarti malapetaka karena jualannya menjadi tidak
laku.
Puisi banyak menggunakan
kata-kata yang bermuatan makna konotatif untuk menimbulkan maknanya banyak
tafsir juga nilai estetis. Seperti sajak berikut ini.
Senja Di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayu
Ini kali tidak ada yang mencari
cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada
cerita
Tiang serta temali, kapal perahu
tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya
mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada
juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari
lari bereneng
Menemu bujuk akal akanan
Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air tidur,
hilang, ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih
pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekali
selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu
penghabisan bisa terdekap.
Bait pertama kapal,
perahu tidak berlaut, mengasosiasikan perasaan penyair yang sedih dan
sepi tidak bisa memeeroleh cinta dan tidak ada yang memerlukan cintanya lagi.
Bait kedua suasana gerimis yang makin mempercepat kelam, kelepak elang
makin menambah kesepian, hari lari berenang, meninggalkan harapan
penyair agar dapat terhibur. Tanah, air tidur, laut yang kehilangan ombak
mengasosiasikan keadaan penyair yang betul-betul kehilangan harapan
serta kebahagiaan.
Bait ketiga, penyair merasa
sendirian tidak berteman, sedu penghabisan diasosiasikan dengan
benda yang betul-betul bisa didekap baik
dirasakan secara fisik maupun dalam perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar