Jumat, Oktober 10, 2014

Menguak Kedalaman dan Ketajaman Diksi dalam Puisi



Menguak Kedalaman dan Ketajaman Diksi dalam Puisi

Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra (Abrems, 1981). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi seringkali pula menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu (Wiyatmi, 2006).
            Seringkali penyair mengganti kata-katanya untuk mendapatkan pilihan yang tepat. Pilihan yang tepat itu disesuaikan dengan unsur bunyi, disesuaikan dengan arti, suasana, tempat terjadinya peristiwa, dan konsep keindahan.
Pilihan kata yang disesuaikan dengan bunyinya, seperti kutipan puisi di bawah ini

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dulu (Hamzah, 1985).

Habis kikis dapat diganti habis larut, tetapi bila begitu hilang persamaan bunyinya yang menyebabkan intens. Hilang terbang dapat diganti hilang musnah, bila demikian hilang kemerduannya juga mengubah gambaran angannya.
Pilihan kata  yang disesuaikan dengan kata dan konotasinya sebagai sajak Chairil “Semangat” dan “Aku”. Dalam Kerikil Tajam sajak itu berjudul “Semangat” sedang dalam Deru Campur Debu berjudul “Aku”. Sajaknya sama, dalam bait pertama ada sebuah kata yang diganti. Kalau dibandingkan seperti berikut

Semangat

Kalau sampai waktuku
‘ku tahu tak seorang ‘kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
(Kerikil Tajam, 1978:15).

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau  tak seorang ‘kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu!
(DCD, 1959:7).

Semangat, tidak tepat karena menampilkan ide atau gagasan individualisme, gagasan kepribadian si aku yang ingin hidup mandiri, sedangkan semangat menunjukkan semangat perjuangan hidup. Oleh karena itu, judul semangat kurang cocok dengan semangat sajaknya.
Kata ku tahu menunjukkan bahwa si aku kalau mati, ia tahu tidak ada orang yang merayu yang artinya bersedih, ku tahu memberikan suasana melankolis, bersedih, tidak cocok dengan semangat sajak.
Ketika diganti dengan ku mau semangat individualisme itu menonjol. Si aku dengan kemauannya sendiri menolak orang lain untuk bersedih saat kematiannya, bahkan orang yang paling dekat dengannya tidak perlu bersedih sebab hidup mati adalah tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu tak perlu sedu sedan itu.
Pujangga Baru mengikuti aliran romantisme sebab itu banyak memergunakan kata-kata nan-indah: arkais, kata arab, dan kata daerah tertentu. Sementara itu, kata tidak pernah statis, tetapi cendrung dinamis, kedinamisan terbukti apabila kata dirangkai dengan kata lain akan menimbulkan kata baru. Kata juga selalu bertambah sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi zaman  dan budaya manusia. Kata  canggih tahun 60-an belum dibutuhkan, tetapi saat sekarang mau tak mau harus sering digunakan  karena perkembangan budaya menurut kehadirannya.
Dulu tayangan filem berbahasa Inggris penerjemah cukup dilakukan dengan menuliskan teks terjemahan di bagian bawah layar. Ketika  jam tayang diperpanjang,  kemudian masuk film-film nonbahasa Inggris muncullah kata-kata atau istilah-istilah baru dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata alih suara, dabing, sulih suara,
Kata-kata baru tersebut dibentuk atau diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan cara (1) penggabungan kata yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia, (2) kata Indonesia namun sudah tidak lazim, (3) kata dalam bahasa serumpun, (4) kata dalam bahasa serumpun namun tidak lazim digunakan, (5) kata dalam bahasa Inggris, (6) kata bahasa asing selain bahasa Inggris. Di samping itu, harus pula dipertimbangkan (1) ketepatan, (2) singkat dan padat, (3) tidak berkonotasi buruk, (4) merdu atau enak didengar.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair dilihat dari bentuknya tidak jauh berbeda dengan kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Contoh berikut ini.               

Di  samping itu, ada juga penyair yang memergunakan kata-kata bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa seperti  puisi Darmono Jatman  yang berjudul Kisah Karto Tukul dan Saudaranya Atmo Mboten

Keduanya kembar, persis, ceples, pleg kepleng-kepleng
Orang memanggil mereka den mas Gun
Sekalipun tak pernah nunas pada pohon silsila sultan
Sulat Yogya
Yang satu Atmo, senang pakai payung kaya priyagung
Yang kedua Karto, berhobi beksan lawung
Adapun keduanya berfalsafah hidup “Lotung”

Atmo dicandra seperti kwangwung suka nongkrong
Di pohon kelapa, tapi tak suka ngrusuhi tetangga
Karto dicandra seperti laron, tak krasan tinggal
Di pawon, lebih senang di sawah, apalagi kalau disuruh bawon.

Pleg  kepleng-kepleng, yaitu anamatope bunyi cetakan yang menunjukkan keduanya itu kembar yang memiliki kesamaan persis seperti dicetak. Priyagung , berarti bagaikan bangsawang, beksan lawung, tarian tombak, lotung, daripada tidak sama sekali lebih baik apa adanya, ngrusuhi mengganggu, dicandera,  diibaratkan, pawon,  dapur bawon upah memanen hasil padi.
Kadang,  penyair juga memasukkan  kata-kata asing dalam bentuknya yang asli sebagai bait puisi  Linus Suryadi berikut ini.

ya, ya pada hasil panen semua tergantung
tergantung semua hasil panen berhitung
“Ini hidup absurd banget , Imposible”

absurd, konyol, .imposibel  tidak mungkin

Bahkan seorang penyair menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati (tidak pernah lagi digunakan zaman sekarang) seperti yang ditunjukkan oleh Slamet Mulyana tetapi harus dihidupkan kembali. Misalnya sajak Amir Hamzah menggunakan kata-kata leka, marak yang artinya cahaya dan lena atau lalai. Seperti penggalan sajak berikut ini.

Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyeral corak
Elang kela sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak

Ho Liang Telah Pergi

Teramat biru, Ho Liang !
Gelap dan sepi ?

Teramat riang, Ho Liang
Melayang pergi

Roh Hu Liang putih
Burung udara terbang putih
Tinggi ke mentari

Apa panas di sana Ho Liang ?
Padang salju atau pirdausi ?
Engkau saja yang cerita, Ho Liang !
Jangan kemurungan tanah merah di sini !

Terkadang teramat singkat Ho Liang !
Kita harus beri hati

Kecantikan murung bunga-bunga
Tersia merebahi kuburnya

Kupetik satu yang paling putih
Kubawa pergi ke pesta.

Pada dasarnya kata selalu mengacu pada makna refrensinya, yaitu makna yang ada dalam konsep atau pikiran pemakainya atau makna yang sesuai dengan keterangan yang ada di dalam kamus.
Kata kursi,  kata tersebut sesuai dengan keterangan yang ada dalam kamus iaitu tempat duduk berkaki dan bersandaran. Makna  demikian  sebagai makna denotatif, sifatnya yang objektif, lugas, atau apa adanya menjadikan kata tersebut  mudah dipahami dan tidak menimbulkan banyak tafsiran.
Dalam puisi, kata-kata yang bermakna denotatif juga sering kita jumpai terutama puisi yang bersifat realis, yaitu puisi yang menggambarkan  segala sesuatu secara realistis, apa adanya. Contoh pusi Rendra berikut ini.

Episode

Kami duduk berdua
Di bangku halaman rumahnya
Pohon jambu di halaman itu
Berbuah dengan lebatnya
Dan kami senang memandangnya
Angin yang lewat

Memainkan daun yang berguguran
Tiba-tiba ia bertanya
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
aku hanya tertawa
lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku
sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.

Makna konotatif adalah makna kata tambahan. Menurut  Kridalaksana (1983) makna konotatif ialah makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara atau pendengar (makna tambahan yang timbul berdasarkan nilai rasa seseorang).
Kata hujan  dalam kamus titik air berjatuhan dari udara lewat proses pendinginan, kata tersebut oleh seorang petani bisa memiliki makna rahmat  karena hujan lahang pertanian terairi sehingga tanamannya tumbuh subur. Lain  pula makna konotatif pada penjuan es kata tersebut bisa berarti  malapetaka karena jualannya menjadi tidak laku.
Puisi banyak menggunakan kata-kata yang bermuatan makna konotatif untuk menimbulkan maknanya banyak tafsir juga nilai estetis. Seperti sajak berikut ini.

Senja Di Pelabuhan Kecil

Buat Sri Ayu

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali, kapal perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari bereneng
Menemu bujuk akal akanan
Tidak bergerak
Dan kini, tanah, air tidur, hilang, ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekali selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Bait pertama kapal, perahu tidak berlaut, mengasosiasikan perasaan penyair yang sedih dan sepi tidak bisa memeeroleh cinta dan tidak ada yang memerlukan cintanya lagi. Bait kedua suasana gerimis yang makin mempercepat kelam, kelepak elang makin menambah kesepian, hari lari berenang, meninggalkan harapan penyair agar dapat terhibur. Tanah, air tidur, laut yang kehilangan ombak mengasosiasikan keadaan penyair yang betul-betul kehilangan harapan serta kebahagiaan.
Bait ketiga, penyair merasa sendirian tidak berteman, sedu penghabisan diasosiasikan dengan benda yang betul-betul bisa didekap baik  dirasakan secara fisik maupun dalam perasaan.
           


Tidak ada komentar: