Jumat, Oktober 10, 2014

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Subjektivitas dalam Karya Sastra

Pengkajian Fiksi Berdasarkan Subjektivitas dalam Karya Sastra

Wellek dan Warren (1995:85) mengatakan, “Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua tipe penyair; yang objektif dan yang subjektif. Penyair seperti Keats dan T.S.Eliot menekankan negatif capability (kemampuan membuat negasi), keterbukaan pada dunia, dan penghilangan diri pengarang. Sebaliknya, ada tipe penyair yang ingin memamerkan kepribadiannya, membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan dirinya”.  Lebih lanjut Wellek dan Warren (1995:85) menambahkan, bahwa penyair zaman romantik, seperti Byron adalah penyair yang subjektif karena ia menulis tentang dirinya dan perasaan-perasaannya yang paling dalam, bahkan membawa the pageant of his bleeding heart (memamerkan hatinya yang berdarah) ke sekeliling Eropa.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan bentuk persona yang dipergunakan mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan, ketajaman, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Menurut Wellek dan Warren (1995:17) dalam karya sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan sengaja. Dalam karya penyair yang subjektif, kita melihat suatu “pribadi” yang jelas sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi yang kita jumpai dalam situasi sehari-hari.
            Dari pendapat para ahli di atas, Viona Sapulette menggunakan sebagai pemandu dalam mengaji sebuah cerpen yang berjudul Bukan Yem karya Etik Juwita. Namun sebelumnya diperhatikan sinopsis, dan biografi pengarang cerpen tersebut.
1.      Sinopsis

Cerpen ini dibuka dengan penuturan Yem, teman seperjalanan sang narator, yang bercerita tentang tindak kriminal yang dilakukan rekan mereka sesama TKW: “Kau percaya? Ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung.” Hal ini jelas membat narator menjadi bergidik.

Kekejaman yang dilakukan oleh para pembantu tersebut tentu bukan tak berlasan. Jika kita mengamati berita beberapa waktu belakangan, tentu bisa dimengerti mengapa mereka tega berbuat sekejam itu. Tindakan sadis tersebut jelas merupakan pelampiasan atas ‘perbuatan sadis’ lain yang mereka terima dari sang majikan. Sudah jamak kita dengan berita di berbagai media tentang pembantu yang disiksa oleh majikannya di luar negeri. Mulai dari yang disetrika hingga dicambuk oleh sang majikan.

Tokoh utama cerpen ini memang tak mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya sehingga ia merasa heran dengan berbagai cerita sadis yang ia dengar dari rekan-rekannya sesama TKW. “Mendengar kisah bagaimaa kawan-kawan saya menjalani kehidupan sebagai buruh migran seringkali memerangahkan saya. Mulai dari cara mereka memberi nama majikan sebagai Mak Lampir, Nini Pelet, Mak Jambrong, bahkan Anjing! Atau tindakan nekat mereka mencampur sup yang dimakan majikan dengan air kencing bira majikan nurut dan tak cerewet…” kehidupan narator di luar negeri yang kontras dengan rekan-rekannya justru semakin memperjelas tindak yang tak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh para majikan terhadap para TKW, yang kemudian membuat mereka melancarkan aksi ‘balas dendam’.
Perlakuan tak manusawi yang diterima oleh para TKW tak hanya di luar negeri. Ketika mereka balik ke tanah air, para TKW pun kembali diperlakukan secara tak baik oleh berbagai pihak.

Di suatu tempat, subuh-subuh, sopir mendadak menghentikan bus. Oleh sang sopir, rombongan TKW tersebut kemudian dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk ‘menyambut’ mereka. Berdalih ingin membantu para TKW menukarkan uang mereka ke dalam bentuk rupiah, para petugas di sana melancarkan praktik penipuan. Untung saja, Tik, tokoh utama, menyadari modus penipua tersebut.

Namun, teman-temannya yang lain tetap menjadi korban aksi penipuan tersebut. “Ketika kami berada kembali di dalam mobil, kawan-kawan saya ribut mengeluhkan kurs mata uang rupiah yang lebih mahal di Indonesia. ‘Harusnya kutukar semua di Singapura, Tik. Jadi ruginya nggak banyak banget kayak begini.’”

Yem lebih parah lagi. Di saat teman-temannya sudah mendapatkan uang tunai masing-masing, ia justru tak mempunyai uang sepeser pun. Ia mengatakan bahwa majikannya akan mengirim cek ganjinya belakangan. Meski tak percaya sepenuhnya bahwa majikannya akan menepati janji, namun Yem tak punya pilihan lain.

Penderitaan para TKW tersebut belum berakhir sampai di situ. Setelah sarapan pagi, lagi-lagi mereka dibawa ke sebuah tempat yang mereka tak tahu itu tempat apa. Satu-satunya petunjuk yang didapat hanyalah bahwa tuan mereka berbicara dengan bahasa ‘lu-gue’.

Rupanya di rumah itu mereka kembali diperas oleh petugas yang mengaku dari perusahaan asuransi. Dengan menakut-nakuti para TWK tentang kemungkinan dirampok dan diperkosa di jalan, para petugas gadungan tersebut melancarkan aksi penipuan yang telah terencana dengan rapi. Namun, untung saja Tik tak sebodoh dan selugu TKW yang lain sehingga ia pun tak jadi korban aksi penipuan tersebut.


2.      Biografi Pengarang
Nama lengkapnya Etik Purwani, biasa menulis pakai nama Etik Juwita, berharap orang kesleo lidah, bilang Etik Jelita (oh!). Lahir di Blitar, 14 April 1982, tertua dari banyak saudara. Bekerja di Singapura (tahun 2000-2002) setelah menamatkan sekolah di jurusan bahasa SMU 1 Talun, Blitar. Menulis karena: menulis adalah pekerjaan tersusah tapi nggak perlu jalan ke sana ke mari. Prestasi tak terlupakan di bidang menulis: dihina guru idola saya, Tik, tingkatkan belajarmu. Kemampuan mengarangmu belum seberapa (padahal, karangan saya terbagus di kelas!) kelas 5. Jingkrak-jingkrak dapat nilai 3 untuk pelajaran matematika, tapi 9 untuk Bahasa Indonesia. Bersama lima perempuan penulis lainnya (Nining Indarti, Lik Kismawati, Tania Roos, Mega Vristian, dan Suyatminah Sarpani) Di Hong Kong, Etik membangun Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), dan kini ikut ngurusi Sekarbumi.

Tulisan-tulisannya pernah dipublikasikan di SUARA (opini), Intermezo, Surya, Sinar Harapan, Jawa Pos (cerpen).Cerita pendek berjudul Bukan Yem karya Etik Juwaita, seorang TKW asal Blitar, Jatim, yang bekerja di Hong Kong, terpilih masuk 20 cerpen terbaik Indonesia 2008 yang akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh PT Gramedia."Saya senang banget ya, karena cerpen saya ternyata ada yang mau membaca dan masih dikasih bonus setara dengan satu bulan gaji kerja di Hong Kong," kata Etik Juwita yang dimintai komentar lewat e-mail. Cerpen yang dimuat di satu harian terkemuka di Surabaya itu bercerita tentang perjalanan pulang beberapa TKW dari berbagai negara dengan menggunakan mobil carteran dari Bandara Soekarno-Hatta ke berbagai tujuan, termasuk tokoh utamanya ke Blitar. Dalam cerpen itu, Etik bercerita seorang pekerja di negeri lain yang begitu sadis memerlakukan anak majikannya. Sutiyem yang tidak mau disebut Yem itu, dengan bangga bercerita suatu ketika temannya memasukkan anak majikannya ke dalam mesin cuci.


3.      Etik Juwita sebagai Pengarang yang Subjektif
Dalam cerpen Bukan Yem pengarang menggunakan gaya bercerita orang pertama (aku). Aku, saya, beta, gue dalam karya sastra dapat ditafsirkan sebagai pengarang tetapi juga dapat berarti orang lain - bukan pengarang. Dalam puisi Aku karya Chairil Anwar, misalnya yang ditafsirkan bisa saja aku - Chairil, aku -Indonesia, atau aku - yang lain. Penafsiran semacam itu dapat saja dilakukan oleh setiap pembaca. Namun penggunaan bahasa dalam setiap karya mencerminkan kepribadian penulis atau pengarangnya.
Ketika membaca Bukan Yem kita dapat mengetahui bahwa narator dan tokoh utamanya adalah saya. Entah saya - penulis atau saya - orang lain. Karakter tokoh-tokohnya dapat kita ketahui melalui tutur kata (bahasa), tingkah laku, kebiasaan, aktivitas dll. Dengan demikian kita dapat membedakan tokoh utama (saya) dengan tokoh yang lain seperti Mak Yem, Mbak Karti dll.
Cerpen Bukan Yem mengisahan tokoh utama saya dan tokoh – tokoh yang lain selaku perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luat negeri. Jika tahu akan separah ini perjalanan yang harus aku lalui, saya pasti minta dijemput saja oleh keluarga. Mestinya saya minta majikan saya untuk membelikan tiket langsung dari Singapur ke Surabaya. Dengan begitu saya pasti sudah sampai di Blitar, kampung saya (Gramedia, 2008:62).
Tokoh saya membangun cerita melalui percakapan antar teman (tokoh) perempuan pada sebuah bus yang membawa mereka ke kampung halaman masing-masing setelah pulang dari luar negeri. Dari percakapan inilah kemudian sedikit demi sedikit terungkap berbagai kejahatan yang dilakukan baik oleh majikan, petugas imigrasi, agen, maupun oleh para TKW sendiri ketika mereka bekerja di luar negeri. Kau percaya? Ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung (Gramedia, 2008:61).
Kekejaman yang dilakukan oleh para pembantu tersebut tentu bukan tak berlasan. Jika kita mengamati berita beberapa waktu belakangan, tentu bisa dimengerti mengapa mereka tega berbuat sekejam itu. Tindakan sadis tersebut jelas merupakan pelampiasan atas ‘perbuatan sadis’ lain yang mereka terima dari sang majikan. Saya memandangnya, ia menggeser kakinya sambil meringis. “Lihatlah jempol kakiku hancur,” katanya lagi. Saya menatap pada kakinya. Di antara jari-jari kurusnya tampak kuku ibu jari kanannya tak terbentuk, korengan dan busuk. “Tertimpa kaki meja saat memersiapkan jamuan makan malam majikan. “Tak dibawa ke dokterkah ?”   “Pakai uangnya biyumu apa?”  “Ya, uangnya majikan Mbaklah.”  “Biar aku ngak dikasih makan seharian?” (Gramedia 2008:64-65).
Tokoh utama cerpen ini memang tak mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya sehingga ia merasa heran dengan berbagai cerita sadis yang ia dengar dari rekan-rekannya sesama TKW. Cerita-cerita yang semakin memberi keyakinan pada saya bahwa selama ini saya bernasib jauh lebih baik dari mereka (Gramedia 2008:65)
Perlakuan tak manusawi yang diterima oleh para TKW tak hanya di luar negeri. Ketika mereka balik ke tanah air, para TKW pun kembali diperlakukan secara tak baik oleh berbagai pihak. Hal ini tergambar dengan jelas dalam cerpen Bukan Yem. Di suatu tempat, subuh-subuh, sopir mendadak menghentikan bus. Oleh sang sopir, rombongan TKW tersebut kemudian dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk ‘menyambut’ mereka. Berdalih ingin membantu para TKW menukarkan uang mereka ke dalam bentuk rupiah, para petugas di sana melancarkan praktik penipuan. Untung saja, Tik, tokoh utama, menyadari modus penipua tersebut. Namun, teman-temannya yang lain tetap menjadi korban aksi penipuan tersebut.
Penderitaan para TKW tersebut belum berakhir sampai di situ. Setelah sarapan pagi, lagi-lagi mereka dibawa ke sebuah tempat yang mereka tak tahu itu tempat apa. Rupanya di rumah itu mereka kembali diperas oleh petugas yang mengaku dari perusahaan asuransi. Dengan menakut-nakuti para TWK tentang kemungkinan dirampok dan diperkosa di jalan, para petugas gadungan tersebut melancarkan aksi penipuan yang telah terencana dengan rapi. Namun, untung saja saya tak sebodoh dan selugu TKW yang lain sehingga ia pun tak jadi korban aksi penipuan tersebut. Mbak, tolong jangan bilang ke kawan-kawannya, Mbak tidak membayar asuransi. Sekali ini baiklah kami menolong Mbak (Gramedia, 2008:70).
 Dilihat dari biografi pengarang maka dapat dikatakan bahwa pengarang secara langsung sebagai tokoh utama saya. Karena merupakan kisah hidup yang ditulis pengarang sebagai seorang TKW asal Blitar, Jatim, yang bekerja di Hong Kong. Ia (pengarang) hanya buruh migran yang mencoba memerbaiki hidup dengan bekerja di negeri orang. Juga Etik Juwita (pengarang) menulis tentang perasaan yang paling dalam lewat pengalaman hidup di saat percakapan dia (pengarang) dengan teman-teman sesama TKW dari berbagai negara saat melakukan perjalanan pulang ke daerah asal masing-masing dengan menggunakan mobil carteran dari Bandara Soekarno-Hatta ke berbagai tujuan.
Setelah pengarang mendengar kisah dari teman sesama TKW maka pengarang membandingkan bahwa nasibnya tidak seburuk (penyiksaan begitu sadis dilakukan oleh majikan) yang dirasakan oleh teman-temannya sehingga memaksakan relung hatinya untuk menulis cerpen Bukan Yem sekaligus Etik juwita (pengarang) mau menunjukan bahwa tidak semua TKW mendapat perlakuan baik oleh majikan seperti dirinya tetapi hampir 90 % nasib TKW sangat buruk (perlakukan kasar oleh majikan dan dihamili oleh warga setempat di mana mereka kerja).
Kita dapat bertanya: bagaimana mungkin seseorang yang belum pernah menjadi TKW dapat bercerita tentang kehidupan TKW dengan berbagai kejadian seperti bentuk penyiksaan yang dialami TKW, kelakuan TKW pada majikannya, kejadian buruk dialami TKW saat pulang ke negara asal. 
Jadi jelaslah apa yang dikatakan oleh Wellek dan Warren (2000:88) bahwa, bagaimanapun, tetap ada hubungan, kesejarahan, dan kesamaan tidak langsung antara karya sastra dengan pengarangnya. Karya penyair bisa merupakan topeng, atau suatu konvensi yang didramatisasi. Tapi konvensi yang dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Menurut Wellek dan Warren (1995:87), “ . . adanya kepribadian di balik karya sastra.  Kita membaca Dante dan Tolstoy, dan kita tahu bahwa ada sesosok pribadi di balik karya-karyanya itu. Ditambahkan bahwa kita tahu apa yang disebut Virgilian atau Shakesperian, tanpa perlu mengetahui riwayat hidup Vergil dan Shakespeare”.
Dalam novel ini penulis ingin mengatakan INILAH SAYA. Saya dengan berbagai garis hidup dan pengalaman sebagai TKW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saya dalam Bukan Yem  termasuk penulis yang subjektif karena dalam novel ini penulis membuat siapa dirinya, dan apa yang ia perjuangkan.
 Etik Juwita dengan demikian, selaku pengarang yang subjektif karena ingin memamerkan kepribadiannya, membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan dirinya lewat kisah hidup yang ditulis pengarang sebagai seorang TKW asal Blitar, Jatim, yang bekerja di Hong Kong. Ia hanya buruh migran yang mencoba memerbaiki hidup dengan bekerja di negeri orang. Juga Etik Juwita (pengarang) menulis tentang pengalaman hidup lewat percakapan dia (pengarang) dengan teman-teman sesama TKW dari berbagai negara saat melakukan perjalanan pulang ke daerah asal masing-masing dengan menggunakan mobil carteran dari Bandara Soekarno-Hatta ke berbagai tujuan (Sapulette, 2009).


Tidak ada komentar: