Pengkajian Fiksi
Berdasarkan Subjektivitas dalam Karya Sastra
Wellek dan
Warren (1995:85) mengatakan, “Dalam hal ini, kita perlu membedakan dua tipe
penyair; yang objektif dan yang subjektif. Penyair seperti Keats dan T.S.Eliot
menekankan negatif capability
(kemampuan membuat negasi), keterbukaan pada dunia, dan penghilangan diri
pengarang. Sebaliknya, ada tipe penyair yang ingin memamerkan kepribadiannya,
membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan dirinya”. Lebih lanjut Wellek dan Warren (1995:85)
menambahkan, bahwa penyair zaman romantik, seperti Byron adalah penyair yang
subjektif karena ia menulis tentang dirinya dan perasaan-perasaannya yang
paling dalam, bahkan membawa the pageant
of his bleeding heart (memamerkan hatinya yang berdarah) ke sekeliling
Eropa.
Sudut pandang
dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi
mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Dengan demikian, pemilihan
bentuk persona yang dipergunakan mempengaruhi kebebasan dan keterbatasan,
ketajaman, dan keobjektifan terhadap hal-hal yang diceritakan.
Menurut Wellek dan Warren (1995:17)
dalam karya
sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan sengaja.
Dalam karya penyair yang subjektif, kita melihat suatu “pribadi” yang jelas
sosoknya dan lebih menonjol dari pribadi yang kita jumpai dalam situasi
sehari-hari.
Dari
pendapat para ahli di atas, Viona Sapulette menggunakan sebagai pemandu dalam
mengaji sebuah cerpen yang berjudul Bukan
Yem karya Etik Juwita. Namun sebelumnya diperhatikan sinopsis, dan biografi
pengarang cerpen tersebut.
1. Sinopsis
Cerpen ini dibuka dengan penuturan
Yem, teman seperjalanan sang narator, yang bercerita tentang tindak kriminal
yang dilakukan rekan mereka sesama TKW: “Kau percaya? Ada kawanku yang
memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang
kampung.” Hal ini jelas membat narator menjadi bergidik.
Kekejaman yang dilakukan oleh para
pembantu tersebut tentu bukan tak berlasan. Jika kita mengamati berita beberapa
waktu belakangan, tentu bisa dimengerti mengapa mereka tega berbuat sekejam
itu. Tindakan sadis tersebut jelas merupakan pelampiasan atas ‘perbuatan sadis’
lain yang mereka terima dari sang majikan. Sudah jamak kita dengan berita di
berbagai media tentang pembantu yang disiksa oleh majikannya di luar negeri.
Mulai dari yang disetrika hingga dicambuk oleh sang majikan.
Tokoh utama cerpen ini memang tak
mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya sehingga ia merasa heran dengan
berbagai cerita sadis yang ia dengar dari rekan-rekannya sesama TKW. “Mendengar
kisah bagaimaa kawan-kawan saya menjalani kehidupan sebagai buruh migran
seringkali memerangahkan saya. Mulai dari cara mereka memberi nama majikan
sebagai Mak Lampir, Nini Pelet, Mak Jambrong, bahkan Anjing! Atau tindakan
nekat mereka mencampur sup yang dimakan majikan dengan air kencing bira majikan
nurut dan tak cerewet…” kehidupan narator di luar negeri yang kontras dengan
rekan-rekannya justru semakin memperjelas tindak yang tak berprikemanusiaan
yang dilakukan oleh para majikan terhadap para TKW, yang kemudian membuat
mereka melancarkan aksi ‘balas dendam’.
Perlakuan tak manusawi yang diterima
oleh para TKW tak hanya di luar negeri. Ketika mereka balik ke tanah air, para
TKW pun kembali diperlakukan secara tak baik oleh berbagai pihak.
Di suatu tempat, subuh-subuh, sopir
mendadak menghentikan bus. Oleh sang sopir, rombongan TKW tersebut kemudian
dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk
‘menyambut’ mereka. Berdalih ingin membantu para TKW menukarkan uang mereka ke
dalam bentuk rupiah, para petugas di sana melancarkan praktik penipuan. Untung
saja, Tik, tokoh utama, menyadari modus penipua tersebut.
Namun, teman-temannya yang lain
tetap menjadi korban aksi penipuan tersebut. “Ketika kami berada kembali di
dalam mobil, kawan-kawan saya ribut mengeluhkan kurs mata uang rupiah yang
lebih mahal di Indonesia. ‘Harusnya kutukar semua di Singapura, Tik. Jadi
ruginya nggak banyak banget kayak begini.’”
Yem lebih parah lagi. Di saat
teman-temannya sudah mendapatkan uang tunai masing-masing, ia justru tak
mempunyai uang sepeser pun. Ia mengatakan bahwa majikannya akan mengirim cek
ganjinya belakangan. Meski tak percaya sepenuhnya bahwa majikannya akan
menepati janji, namun Yem tak punya pilihan lain.
Penderitaan para TKW tersebut belum
berakhir sampai di situ. Setelah sarapan pagi, lagi-lagi mereka dibawa ke
sebuah tempat yang mereka tak tahu itu tempat apa. Satu-satunya petunjuk yang
didapat hanyalah bahwa tuan mereka berbicara dengan bahasa ‘lu-gue’.
Rupanya di rumah itu mereka kembali
diperas oleh petugas yang mengaku dari perusahaan asuransi. Dengan
menakut-nakuti para TWK tentang kemungkinan dirampok dan diperkosa di jalan,
para petugas gadungan tersebut melancarkan aksi penipuan yang telah terencana
dengan rapi. Namun, untung saja Tik tak sebodoh dan selugu TKW yang lain
sehingga ia pun tak jadi korban aksi penipuan tersebut.
2.
Biografi
Pengarang
Nama lengkapnya Etik Purwani, biasa
menulis pakai nama Etik Juwita, berharap orang kesleo lidah, bilang Etik Jelita
(oh!). Lahir di Blitar, 14 April 1982, tertua dari banyak saudara. Bekerja di
Singapura (tahun 2000-2002) setelah menamatkan sekolah di jurusan bahasa SMU 1
Talun, Blitar. Menulis karena: menulis adalah pekerjaan tersusah tapi nggak
perlu jalan ke sana ke mari. Prestasi tak terlupakan di bidang menulis: dihina
guru idola saya, Tik, tingkatkan belajarmu. Kemampuan mengarangmu belum
seberapa (padahal, karangan saya terbagus di kelas!) kelas 5. Jingkrak-jingkrak
dapat nilai 3 untuk pelajaran matematika, tapi 9 untuk Bahasa Indonesia.
Bersama lima perempuan penulis lainnya (Nining Indarti, Lik Kismawati, Tania
Roos, Mega Vristian, dan Suyatminah Sarpani) Di Hong Kong, Etik membangun
Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), dan kini ikut ngurusi Sekarbumi.
Tulisan-tulisannya pernah
dipublikasikan di SUARA (opini), Intermezo, Surya, Sinar Harapan, Jawa Pos
(cerpen).Cerita pendek berjudul Bukan Yem karya Etik Juwaita, seorang TKW asal
Blitar, Jatim, yang bekerja di Hong Kong, terpilih masuk 20 cerpen terbaik
Indonesia 2008 yang akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh PT
Gramedia."Saya senang banget ya, karena cerpen saya ternyata ada yang mau
membaca dan masih dikasih bonus setara dengan satu bulan gaji kerja di Hong
Kong," kata Etik Juwita yang dimintai komentar lewat e-mail. Cerpen yang
dimuat di satu harian terkemuka di Surabaya itu bercerita tentang perjalanan
pulang beberapa TKW dari berbagai negara dengan menggunakan mobil carteran dari
Bandara Soekarno-Hatta ke berbagai tujuan, termasuk tokoh utamanya ke Blitar.
Dalam cerpen itu, Etik bercerita seorang pekerja di negeri lain yang begitu
sadis memerlakukan anak majikannya. Sutiyem yang tidak mau disebut Yem itu,
dengan bangga bercerita suatu ketika temannya memasukkan anak majikannya ke
dalam mesin cuci.
3.
Etik
Juwita sebagai Pengarang yang Subjektif
Dalam
cerpen Bukan Yem pengarang
menggunakan gaya bercerita orang pertama (aku). Aku, saya, beta, gue dalam
karya sastra dapat ditafsirkan sebagai pengarang tetapi juga dapat berarti
orang lain - bukan pengarang. Dalam puisi Aku
karya Chairil Anwar, misalnya yang ditafsirkan bisa saja aku - Chairil, aku
-Indonesia, atau aku - yang lain.
Penafsiran semacam itu dapat saja dilakukan oleh setiap pembaca. Namun
penggunaan bahasa dalam setiap karya mencerminkan kepribadian penulis atau
pengarangnya.
Ketika membaca Bukan Yem kita dapat mengetahui bahwa
narator dan tokoh utamanya adalah saya. Entah saya - penulis atau saya - orang lain. Karakter tokoh-tokohnya dapat kita
ketahui melalui tutur kata (bahasa), tingkah laku, kebiasaan, aktivitas dll.
Dengan demikian kita dapat membedakan tokoh utama
(saya) dengan
tokoh yang lain seperti Mak Yem, Mbak Karti dll.
Cerpen Bukan Yem mengisahan tokoh
utama saya dan tokoh – tokoh yang
lain selaku perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita)
di luat negeri. Jika tahu akan separah
ini perjalanan yang harus aku lalui, saya pasti minta dijemput saja oleh keluarga.
Mestinya saya minta majikan saya untuk membelikan tiket langsung dari Singapur
ke Surabaya. Dengan begitu saya pasti sudah sampai di Blitar, kampung saya
(Gramedia, 2008:62).
Tokoh saya membangun cerita melalui percakapan antar teman (tokoh) perempuan
pada sebuah bus yang membawa mereka ke kampung halaman masing-masing setelah
pulang dari luar negeri. Dari percakapan inilah kemudian sedikit demi sedikit
terungkap berbagai kejahatan yang dilakukan baik oleh majikan, petugas
imigrasi, agen, maupun oleh para TKW sendiri ketika mereka bekerja di luar
negeri. Kau percaya? Ada kawanku yang
memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung
(Gramedia, 2008:61).
Kekejaman yang dilakukan oleh para
pembantu tersebut tentu bukan tak berlasan. Jika kita mengamati berita beberapa
waktu belakangan, tentu bisa dimengerti mengapa mereka tega berbuat sekejam
itu. Tindakan sadis tersebut jelas merupakan pelampiasan atas ‘perbuatan sadis’
lain yang mereka terima dari sang majikan. Saya
memandangnya, ia menggeser kakinya sambil meringis. “Lihatlah jempol kakiku
hancur,” katanya lagi. Saya menatap pada kakinya. Di antara jari-jari kurusnya
tampak kuku ibu jari kanannya tak terbentuk, korengan dan busuk. “Tertimpa kaki
meja saat memersiapkan jamuan makan malam majikan. “Tak dibawa ke dokterkah
?” “Pakai uangnya biyumu apa?” “Ya, uangnya majikan Mbaklah.” “Biar aku ngak dikasih makan seharian?”
(Gramedia 2008:64-65).
Tokoh utama cerpen ini memang tak
mendapatkan perlakuan kasar dari majikannya sehingga ia merasa heran dengan
berbagai cerita sadis yang ia dengar dari rekan-rekannya sesama TKW. Cerita-cerita yang semakin memberi keyakinan
pada saya bahwa selama ini saya bernasib jauh lebih baik dari mereka (Gramedia
2008:65)
Perlakuan tak manusawi yang diterima
oleh para TKW tak hanya di luar negeri. Ketika mereka balik ke tanah air, para
TKW pun kembali diperlakukan secara tak baik oleh berbagai pihak. Hal ini
tergambar dengan jelas dalam cerpen Bukan
Yem. Di suatu tempat, subuh-subuh, sopir mendadak menghentikan bus. Oleh
sang sopir, rombongan TKW tersebut kemudian dibawa ke sebuah ruangan yang
sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk ‘menyambut’ mereka. Berdalih ingin
membantu para TKW menukarkan uang mereka ke dalam bentuk rupiah, para petugas
di sana melancarkan praktik penipuan. Untung saja, Tik, tokoh utama, menyadari
modus penipua tersebut. Namun, teman-temannya yang lain tetap menjadi korban
aksi penipuan tersebut.
Penderitaan para TKW tersebut belum
berakhir sampai di situ. Setelah sarapan pagi, lagi-lagi mereka dibawa ke
sebuah tempat yang mereka tak tahu itu tempat apa. Rupanya di rumah itu mereka
kembali diperas oleh petugas yang mengaku dari perusahaan asuransi. Dengan
menakut-nakuti para TWK tentang kemungkinan dirampok dan diperkosa di jalan,
para petugas gadungan tersebut melancarkan aksi penipuan yang telah terencana
dengan rapi. Namun, untung saja saya tak
sebodoh dan selugu TKW yang lain sehingga ia pun tak jadi korban aksi penipuan
tersebut. Mbak, tolong jangan bilang ke
kawan-kawannya, Mbak tidak membayar asuransi. Sekali ini baiklah kami menolong
Mbak (Gramedia, 2008:70).
Dilihat dari biografi pengarang maka dapat
dikatakan bahwa pengarang secara langsung sebagai tokoh utama saya. Karena merupakan kisah hidup yang
ditulis pengarang sebagai seorang TKW asal Blitar, Jatim, yang bekerja di Hong Kong.
Ia (pengarang) hanya buruh migran yang mencoba memerbaiki hidup dengan bekerja
di negeri orang. Juga Etik Juwita (pengarang) menulis tentang perasaan yang
paling dalam lewat pengalaman hidup di saat percakapan dia (pengarang) dengan
teman-teman sesama TKW dari berbagai negara saat melakukan perjalanan pulang ke
daerah asal masing-masing dengan menggunakan mobil carteran dari Bandara
Soekarno-Hatta ke berbagai tujuan.
Setelah pengarang mendengar kisah
dari teman sesama TKW maka pengarang membandingkan bahwa nasibnya tidak seburuk
(penyiksaan begitu sadis dilakukan oleh majikan) yang dirasakan oleh
teman-temannya sehingga memaksakan relung hatinya untuk menulis cerpen Bukan Yem sekaligus Etik juwita
(pengarang) mau menunjukan bahwa tidak semua TKW mendapat perlakuan baik oleh
majikan seperti dirinya tetapi hampir 90 % nasib TKW sangat buruk (perlakukan
kasar oleh majikan dan dihamili oleh warga setempat di mana mereka kerja).
Kita dapat bertanya: bagaimana mungkin seseorang yang belum
pernah menjadi TKW dapat bercerita tentang kehidupan
TKW dengan berbagai kejadian seperti bentuk penyiksaan yang dialami TKW,
kelakuan TKW pada majikannya, kejadian buruk dialami TKW saat pulang ke negara
asal.
Jadi jelaslah apa yang dikatakan oleh Wellek dan Warren
(2000:88) bahwa, bagaimanapun, tetap ada hubungan, kesejarahan, dan kesamaan
tidak langsung antara karya sastra dengan pengarangnya. Karya penyair bisa
merupakan topeng, atau suatu konvensi yang didramatisasi. Tapi konvensi yang
dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Menurut Wellek dan
Warren (1995:87), “ . . adanya kepribadian di balik karya sastra. Kita membaca Dante dan Tolstoy, dan kita tahu
bahwa ada sesosok pribadi di balik karya-karyanya itu. Ditambahkan bahwa kita
tahu apa yang disebut Virgilian atau Shakesperian, tanpa perlu mengetahui riwayat
hidup Vergil dan Shakespeare”.
Dalam novel ini penulis ingin mengatakan INILAH SAYA. Saya
dengan berbagai garis hidup dan pengalaman sebagai TKW. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa saya dalam Bukan Yem termasuk penulis
yang subjektif karena dalam novel ini penulis membuat siapa dirinya, dan apa
yang ia perjuangkan.
Etik
Juwita dengan demikian, selaku pengarang yang subjektif karena ingin memamerkan
kepribadiannya, membuat potret diri, menyampaikan pengakuan dan menyatakan
dirinya lewat kisah hidup yang ditulis pengarang sebagai seorang TKW asal Blitar, Jatim, yang
bekerja di Hong Kong. Ia hanya buruh migran yang mencoba memerbaiki hidup
dengan bekerja di negeri orang. Juga Etik Juwita (pengarang) menulis tentang
pengalaman hidup lewat percakapan dia (pengarang) dengan teman-teman sesama TKW
dari berbagai negara saat melakukan perjalanan pulang ke daerah asal
masing-masing dengan menggunakan mobil carteran dari Bandara Soekarno-Hatta ke
berbagai tujuan (Sapulette, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar