Jumat, Oktober 10, 2014

Berpuisi = Berbahasa Telaah Kekiasan Puisi


Berpuisi = Berbahasa
Telaah Kekiasan Puisi
Bahasa Kias

            Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu (Abrams, 1981). Sementara Luxemburg (1989) menjelaskan bahwa bahasa kias (kiasan) sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna.
            Kiat penyair untuk mengungkapkan perasaannya atau menggambarkan pikirannya ke dalam rangkaian kata-kata pada bait-bait puisi. Bahasa kias merupakan salah satu unsur kepuitisan dalam puisi. Memahami bahasa kias berarti: memahami makna puisi. Bahasa kias artinya dalam KBBI ialah bahasa yang memergunakan kata-kata yang tersusun dan artinya sengaja disimpangkan dengan maksud agar memeroleh kesegaran dan kekuatan ekspresi. Kata kias mengandung arti perbandingan, ibarat, contoh yang telah terjadi (Alwi Hasan, 1994).
Jenis- jenis Bahasa Kiasan
            Untuk mendapatkan kepuitisan, pengarang menggunakan bahasa kiasan. Dengan adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan  kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan, maksudnya mengiaskan atau memersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.
            Menurut Altenbernd (1970) bahasa kiasan bermacam-macam, walau demikian memunyai sifat yang umum, iaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut memertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Jenis -jenis bahasa kiasan tersebut adalah sebagai berikut.

  1.  Semile
Dalam perbandingan ini ada kegiatan atau usaha untuk menyamakan sesuatu hal dengan hal lain dengan disertai kata-kata pembanding, misalnya bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya.

Sajak


O, bukannya dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata,
Yang kan’ Cuma mempermainkan  mata

Dan hanya dibaca sepintas lalu
Karena tak keluar dari sukmamu

Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa.

Kata  seperti digunakan sebagai kata pembanding yang membandingkan sajak dengan matahari yang mencintai bumi. Amir  Hamzah menggunakan kata pembanding serupa  dalam puisinya yang berjudu Padamu Jua  dalam baitnya berikut ini.

Nanar aku, gila sasar
Sayang, berpulang pada-Mu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kata serupa digunakan untuk membandingkan Engkau (Tuhan) dengan seorang dara yang berada di balik tirai dalam hal menarik keinginan, dalam hal ini mungkin untuk diketahui, atau didekati dsb.
Berikut Rendra menggunakan kata bagai dalam bait puisinya

 

Surat kepada Bunda


Tentang Calon Menantunya

Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan jua jodohku
Seorang yang bagai kau
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku

Ibuku
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah kau cemburu
Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya, aku mesti kaulepaskan pergi

Begitu kata alam. Begitu kau mengerti
Bagai dulu bundamu melepas kau
Kawin dengan ayahku. Dan bagai
Bunda ayahku melepaskannya
Untuk mengawinimu
Tentu sangatlah berat
Tetapi itu harus. Mama!
Dan akhirnya tak akan begitu berat
Apabila telah dimengerti
Apabila telah disadari

Kata bagai digunakan untuk membandingkan gadis pilihannya dengan ibunya dalam hal kesederhanaan tingkah dan bicara serta dalam hal menyayanginya. Di samping itu, digunakan untuk membandingkan ibundanya dengan ibu ibundanya (neneknya) atau ibu bapaknya dalam rela melepaskan anaknya untuk mengawini gadis idamannya.
Amir Hamzah dalam puisinya yang berjudul Buah Rindu yang menggunakan kata-kata pembanding laksana


Ibu lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana asmara kehilangan seroja (Amir Hamzah)

Penyair mengumpamakan asmara yang kehilangan seroja dengan mengguankan kata pembanding laksana dalam hal kedukaannya.
Tatengkeng menggunakan kata pembanding bagaikan, serasa, se.

 


Perasaan Seni


Bagaikan banjir gulung-gemulung
Bagaikan topan seru menderu
Demikian rasa
Datang sesama
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh

Serasa manis sejuknya embun
Selagu merdu dersiknya angin
Demikian rasa
Datang sesama
Membisik, mengajak aku berpantun
Mengayung jiwa ke tempat dingin

Jika aku datang sekuat raksasa
Atau Kau menjelma secantik juita
Kusedia hati
Akan berbakti
Dalam tubuh Kau berkuasa
Dalam dada Kau bertakhta (Tatengkeng)

Perasaan seni dibandingkan dengan banjir gulung menggulung, topan seru menderu dengan menggunakan kata pembanding bagaikan  dalam hal gejolak jiwa seni yang tidak dapat terbendung. Perasaan  tersebut juga dibandingkan dengan rasa, lagu, kuat, dan cantik dalam hal manis, merdu, kekuatan raksasa, dan kecantikan.
Contoh simile yang lain, berikut ini.
Hidupku dibayangi oleh dua raksasa
: Rusia dan Amerika, KGB dan CIA
ya, ya, aku hidup di dunia ketiga
mereka sudah siap mencaplok apa saja

bagaikan siluman mereka pun bekerja
bagaikan air di bawah tanah kucinta
bagaikan air merembes ke dalam bumi
...
                                                (Linus Suryadi A.G, “Ode Asia Tenggara”
                                                                                Perkutuk Manggung, 1986)

Dalam puisi tersebut Rusia dan Amerika, KGB dan CIA diumpamakan sebagai siluman, air di bawah tanah, dan air yang merembes ke dalam bumi. Dengan perumpamaan tersebut sifat keganasan kedua negara tersebut menjadi konkret.

  1.  Metafora

            Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd & Lewis, 1969). Sementara itu, Becker (1987) menyatakan bahwa metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak memergunakan kata-kata pembanding, misalnya: bagai, laksana, seperti. Metafora ini melihat sesuatu dengan perantaraan benda lain.. Dalam sebuah metafora  terdapat dua unsur, yaitu pembanding dan yang dibandingkan. Dalam hubungannya dengan dua unsur tersebut, maka terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandingkan disebut, misalnya, kecewa  adalah merusak perasaan. Kecewa sebagai hal yang dibandingkan dan merusak perasaan sebagai pembandingnya. Disebut metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja, misalnya sambal tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang dibandingkan (Wiyatmi, 2006)
`Berikut Amir Hamzah mencoba melihat Tuhan melalui kendil yang kemerlap sebagai berikut ini

 

Padamu Jua


Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar setia selalu

Seirama dengan Wiyatmi, menurut Pradopo (2005) metafora terdiri dari dua term atau bagian yaitu bagian pokok disebut juga tenor, yang kedua vichile. Term pokok ialah hal yang dibandingkan. Sedang yang kedua vichle adalah hal untuk membandingkan. Sajak Subagio yang berjudul Dewa Tekah Mati disebut bumi ini perempuan jalanng, bumi adalah pokok sedang perempuan jalang adalah term kedua
Dalam puisi sering penyair langsung menyebut term pokoknya, metafora semacam ini disebut metafora implisit. Baris puisi Subagio Hidup ini mengikat dan mengurung . Hidup dalam baris puisi diumpamakan sebagai hal yang mengikat dan sebagai kurungan mengurung. Pada puisi tersebut yang disebut bukan pembandingnya tetapi sifat pembandingnya. Sebagimana puisi  Ajip Rosadi berikut inii.

 

Jante Arkidam


Sepasang mata biji sagat tajam tangannya lancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang
Arkidam, Jante Arkidam

Sepasang mata biji warnanya (tidak disebutkan) diumpamakan sebagai warna biji saga yaitu dalam hal kemerahannya, baris-baris berikutnya hanyalah metafora biasa.

Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantang dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini

Bumi diumpamakan perempuan jalang, rawa-rawa mesum ialah kiasan kehidupan yang kotor, yang mesum, kehidupan yang penuh percabulan (term kedua). Di samping itu, Pradopo menurutnya ada juga metafora mati, yaitu yang sudah menjadi klise, sehingga orang sudah lupa bahwa itu adalah metafora, misanya kaki gunung, lengan kursi, contoh  berikut

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
...............                                 (Amir Hamzah, Barangkali, 1959).

Buka mata mutiaraMu
Barangkai di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
         …………………………(Amir Hamzah, Barangkali, 1959)

aku boneka engkau boneka
penghibur dalang mengatur tembang
di layar kembang bertukar pandang
hanya selagu, sepanjang dendang
                                                Amir Hamzah, Sebab Dikau, 1959)

            Menurut Lexemburg (1989), dalam metafora dan perumpamaan dua objek atau pengertian dibandingkan. Dalam perumpamaan ini terjadi secara eksplisit, di dalam metafora implisit. Diperkenalkan empat buah istilah untuk melukiskan dan menganalisis kiasan-kiasan ini.
            Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumuh dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding  sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Selain itu, disebut juga mengapa rumah dibandingkan dengan sebuah benteng, perlindungan merupakan motif  dalam perbendingan ini. Motif dapat disebut aspek arti yang bersama-sama dimiliki oleh pembanding dan apa yang dibandingkan. Kata penghubung bagaikan berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Sering kali salah satu unsur tersebut tiada.
            Dalam ucapan rumahku bagaikan sebuah benteng motif tidak disebut secara eskplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng. Motif tidak dibatasi dengan ketat. Di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat.
            Kalau kata penghubung dilenyapkan perumpamaan dipersempit menjadi rumahku bentengku  (may house is my castle), kedua pengertian disamakan, ada identifikasi. Artinya apa yang dibandingkan juga dapat dihapus, lalu terbaca bentengku . Kedua ucapan terakhir ini disebut metafora. Motif harus kita carai sendiri. Arti sebuah metafor terjadi sebagai hasil konfrontasi yang menyangkut unsur-unsur yang terlibat dalam proses metaforik. Menentukan arti sering terjadi berdasarkan asosiasi pribadi.
            Dalam puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Dan penyair suka menciptakan efek yang memeranjatkan, karena dengan tak terduga mengaitkan objek-objek yang sangat berbeda-beda.
            Secara tata bahasa, metafora dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Selain kata-kata benda, maka kata kerja atau kata tambahan pun dapat dipergunakan secara metaforik. Selain itu, di dalam sebuah konstruksi metaforik berbagai metafora dapat dikombinasikan. Seorang penyair Belanda pernah memakai ungkapan lorong-lorong tidur yang tuli, metafor ganda ini diuraikan dahulu menjadi dua, iaitu lorong tidur dan lorong tuli. Kemudian kita meneliti kata-kata menurt arti harafiah dan arti kiasan. Mengingat konteksnya, maka ”lorong tuli” rupanya dipakai menurut arti  kiasan, sedangkan ”tidur” menurut arti harafiah. Kalau kita meninjau ”lorong tuli” tersendiri, maka ”lorong dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ”tuli” sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang dibandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ”tuli” dan ”lorong”, sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ”Lorong tuli” dapat ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ”Lorong tidur” dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ”bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan”
            Dalam proses metaforik pembanding dan apa yang dibandingkan saling dikonfrontasikan. Akibatnya ialah aspek-aspek arti dari pembanding dapat dialihkan kepada apa yang dibandingkan (dan sebaliknya). Selanjutnya dapat juga ditanyakan, bidang semantik mana yang meliputi pembanding dan apa yang dibandingkan. Kadang-kadang suatu pengertian konkret dan abstrak saling dibandingkan, seperti dalam metafora pelita harapan, keping-keping waktu, dan sebagainya. 

 

c.        Perumpamaan Epos

 

Perumpmaan epos adalah  perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau dengan frase-frase yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sagat panjang. Misalnya berikut ini.

 

Di tengah Sunyi

Di tengah sunyi menderu rinduku
Seperti topan merenggutkan dahan
Mencabutkan akar, merenggutkan kembang kalbuku

Puisi Rustam Effendi, kesunyian penyair diibaratkan dengan topan kemudian sifat-sifat topan yang disamakan dengan rasa sunyi yang menderu rindunya tersebut diuraikan secara panjang lebar.

Sebagai Dahulu


Laksana bintang berkilat cahya
Di atas langit hitam kelam
Sinar berkilau cahya matamu
Menembus aku ke jiwa dalam

Aku tersadar aku
Dahulu………..
Telah terpasang lentera harapan
Tertiup angin gelap keliling

Laksana bintang di langit atas
Bintang kejora
Segera lenyap beredar pula
Bersama zaman terus berputar

Sinar caya matamu (mungkin kekasih sang penyair) diibaratkan sebagai bintang kemudian dijelaskan karakter bintang  yaitu berkilat cahaya, di atas langit hitam kelam. Karakter demikian, pada hakikatnya juga merupakan gambaran dari sinar mata cahayamu  yang disamakan dengan bintang tadi.






Burung laut secara panjang lebar digambarkan dengan jelas dalam tujuh baris

 

Engkau


Engkau ibarat kolam di tengah-tengah belukar
Beriak-riak tenang
Membiarkan nyiur sepasang
Bercerminkan diri ke dalam
Airmu…

Kupandang dari kiri
Terlihat sinar matahari
Di muka air berseri

Kupandang dari kanan
Hanyalah rumput panjang

Ah!
Berkeliling aku melangkah cepat
Hanya pohon, rumput, awan yang padat

Sinar gemerlap yang dapat kulihat
Tapi
Mengapa, mengapa dasarmu
Tak kunjung menampak.

 

e.  Alegori

 

            Alegori hampir  sama dengan perumpamaan epos. Kalau perempumaan epos hal yang dibandingkan itu masih mendapatkan porsi penceritaan yang banyak, dalam alegori hal yang dibandingkan tersebut tidak banyak diungkapkan atau bahkan hanya disinggung sedikit sedang hal yang dijadikan bahan perumpamaan term kedua diungkapkan secara panjang lebar.

            Alegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern yang kemudian. Alegori ini sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya Menuju ke Laut, sajak Sutan Takdir Alisyahbana. Sajak ini melambangkan angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan. Angkatan baru ini dikiaskan sebagai air danau yang menuju ke laut dengan melalui rintangan-rintangan. Laut penuh gelombang, mengiaskan hidup yang penuh dinamika perjuanga, penuh pergolakan. Jadi,  sajak tersebut mengiaskan angkatan muda yang penuh semangat menuju kehidupan baru yang dinamis, meninggalkan adat yang statis, kehidupan lama yang beku, tidak mengalir.

Menuju Ke laut

Angkatan baru
Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang tiada beriak
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit
pasir rata berulang dikecup
tebing curam ditantang diserang
dalam bergurau bersama angin
dalam berlomba bersama mega

Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda
Ketenangan lama rasa beku
Gunung pelindung rasa pengalang

Berontak hati hendak bebas
Menyerang segala apa mengadang

Gemuruh berderu kami jatuh
Terhempas berderai mutiara bercahaya
Gegap gempita suara mengerang
Dahsyat bahana suara menang
Keluh dan gelap silih berganti
Pekik dan tampik sambutan menyambut

Tetapi betapa sukarnya jalan
Bulan terhempas kepala tertumbuk
Hati hancur pikiran kusut
Namun kebali tiadalah ingin
Ketenangan lama tiada diratap
…………..
Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang tiada beriak
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat

Puisi di atas, melambangkan angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan yang diibaratkan sebagai air danau yang mengalir ke laut yang melalui banyak rintangan  surut kembali. Walaupun di sana ada ketenangan, ada kerimbunan bahkan ada gunung yang berperan sebagai pelindung.

            Sajak Sanusi Pane Teratai menyimbulkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan, dengan semangat keindonesiaan asli.

Teratai

Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tak terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia

Teruslah Oh Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkaupun turut menjaga zaman.


Sajak Putih


Ketika sajak putih ditulis
Hari-hari cemas tak pernah habis
Merah hari-hari
Hitam hari-hari
Hijau hari-hari
Silih berganti
Bercah-bercah merah
Bercah-bercah hijau
Semakin kelam

Ketika sajak putih ditulis
Tak ada lagi suara tangis
Mengejar matahari
Tidak bangkit seperti ini

            Contoh Alegori yang lain berikut ini.

Bunglon
                Untuk “Pahlawan” ku

Melayang gagah, meluncur rampis
Menentang tenang, ‘alam samadi
‘Alam semesta memberi senjata

Selayang terbang ke rumpun bamboo
Pindah meluncur ke padi masak
Bermain mesra di balik dahan
Tiada satu dapat mengganggu

Ah, sungguh puas berwarna aneka
Gampang menyamar mudah menjelma
Asalkan diri menurut suasana

O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara
Biar lahirku diancam derita
Tidak daku sudi serupa.
                                (Jassin, 1959)

Kapal Penuh

Sekali akan turun lagi
kapal Nuh di pelabuhan malam
tanpa kapten
hany Suara yang berseru ke setiap hari
”Mari”
Kita berangkat
berkelamin laki-istri
untuk berbiak di tanah baru yang berseri
juga makhluk yang merangkak
di darat di langit terbang
masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat uang
di haluan, di buritan, di timbaruang
Kita semua. Sebab kasih itu murah
bahkan bunga, emas dan perak
itu batu mulia
yang memancarkan api rahmatturut termuat
Kalau bahtera mulai bertolak
dekat kita dengan bumi retak
Bumi yang telah tua
oleh usia dan derita
                                (Subagio Sastrowardojo, Simphon, 1975).


Di Kebun Binatang

Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang
                melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya
                katanya kepada suaminya, ”Alangkah indahnya kulit ular
                itu untuk tas dan sepatu
Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik
                lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
                                (Sapardi Djoko Damono, Akuarium, 1974).
                                  

e. Personifikasi.

Kiasan  menyamakan benda-benda mati dengan manusia yang hidup dengan segala aktivitasnya, misalnya berjalan, melihat, makan, minum, dan sebagainya. Penyair banyak memergunakan personifikasi dari dahulu hingga sekarang, karena memberikan bayangan angan yang konkret.

Anak Molek V

Malas dan malu nyala pelita
Seperti meratap mencuri mata
Seisi kamar berduka cita
Seperti takut gentar berkata
                                                (Jassin, 1963)

Langitd  di Mana-mana

Langit berjalan di atas pohon di mana-mana
Bayangan mereka di atas air, di atas pasir
Dan gelap, bintang-bintang seperti lampu-lampu
Yang ditaruh para nelayan
Dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
Lapar semesta itu, haus waktu dan awan cair
Menembus dinding hatimu

Serangan

Pohon-pohon cemara di kaki gunung
Pohon-pohon cemara
Menyerbu kampung-kampung
Bulan di atasnya
Menceburkan dirinya ke dalam kolam
Membasuh luka-lukanya
Dan selusin dua sejoli mengajaknya tidur.

Percakapan Dalam Kamar 

Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang
tiba-tiba menghela nafas panjang tiba-tiba berdiri
Bunga pelastik dan lukisan dinding bercakap tentang
seorang yang berdiri seperti bertahan terhadap
sesuatu yang akan menghancurkannya
Jam dinding dan penanggalan bercakap tentang seseorang yang
 mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi
  tanpa menutupkan kembali
Topen yang tergantung di dinding itu, yang mirip wajah
 pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah kata pun:
 ia merasa bayangan orang itu masih bergerak dari dinding ke
dinding, ia makin mirip pembuatnya karena sedang menahan kata-kata.

f.  Metonimia

Metonimia (pengganti nama), maksudnya pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain yang berdekatan (Luxemburg, dkk, 1984). Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logik, hubungan dalam waktu atau ruang.
Kasus-kasus metonimi yang paling terkenal ialah akibat digantikan sebagai isi diganti wadah. Misalnya, dengan indah sekali ia membawakan Chairil : maksudnya ”membawakan sajak-sajak Chairil”. Atau ia menghisap pipa, maksudnya ”menghisap tembakau dalam pipa”. Dalam puisi, aspek waktu sering dipakai secara metonimik, misalnya Musim gugur menutup jalan-jalan dengan permadani kuning dan coklat, maksudnya, ”Di musim gugur pohon-pohon menutup jalan-jalan dengan daun-daun yang berwarna kuning dan coklat”
 Pradopo (2005) mengungkapkan bahwa metonimo adalah kiasan ini menggunakan nama atau atribut atau sifat-sifat suatu barang tersebut sebagai ganti barang itu sendiri. Jadi, jika sesuatu atau hal yang menjadi term pokok atau yang disamakan, maka hal yang dijadikan bahan persamaan atau term kedua ialah sifat, atribut atau nama yang ada dalam sesuatu yang disamakan atau term pokok tersebut. Dalam percakapan sehari-hari penggunaan metonimia ini seperti perunggu sebetulnya adalah nama suatu medali, kemudian dikatakan bahwa olahragawan itu menerima perunggu, artinya, menerima medali perunggu. (dalam hal ini medali disamakan dengan perunggu).

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Di bawah bayangan sama istana kejang
O, kota kekasihku setelah senja.

            Klakson dan lonceng, dapat menggantikan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti sungai Ciliung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta.
            Penggunaan metonimia ini efeknya, pertama,  untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan hal yang konkret itu. Penggunaan hal tersebut lebih dapat menghasilkan imaji-imaji yang nyata. Kedua, pertentangan benda-benda tersebut menekankan pemisahan status sosial antara bangsawan dan orang kebanyakan. Benda-benda tersebut merupakan tanda pangkat atau tingkatan (Altenbernd, 1970).
 
g.  Sinekdok
           
            Sinekdok ialah hubungan antara bagian dan keseluruhan. Pola-pola terkenal ialah pars pro toto, bagian mewakili keseluruhan, atau totum pro parte, keseluruhan mewakili bagian. Misalnya, ”Diadakan sensus jiwa”, ”Indonesia mengalahkan Malaysia”. Pars pro toto lebih sering digunakan apalagi kalau bagian ini cukup menonjol. Misalnya, ”Berilah aku hatimu”. Bukan hanya hati yang diminta, melainkan seluruh pribadi kekasihnya.  kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan  untuk maksud sebagian (Luxemburg, 1989).
Uraian Pradopo (2005) terlihat bahwa pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan, tampak pada penggalan puisi berikut ini

Para petani bekerja
Berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela
Menambah bibit di tanah yang subur
Memanen hasil yang berlimpah dan makmur
Namun hidup mereka sendiri dan sensara

            Totum pro parte, keseluruhan untuk sebagian, misalnya puisi berikut ini

                  Pemalang

Dari atas bus biru tua

Sepotong kerlingan
Kulempar lewat jendela
Menatap kotaku
Semakin diam
Semakin kecil.

Langit di Mana-mana

Langit berjalan di atas pohon di mana-mana
Bayangan mereka di atas air, di atas pasir
Dan gelap, bintang-bintang seperti lampu-lampu
Yang ditaruh para nelayan
Dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
Lapar semesta itu, haus waktu dan awan cair
Menembus dinding hatimu
Ayolah buyung kau baringkan tubuhmu
Tak ada bulan, tak ada nyanyian, bagi tumbuhan bumi
Kami kan tidurkan kamu pada ranjang kayu
Muara sungai dan musim kemarau
Ayolah buyung kau tembangkan  pucung sebelum tidur
Naik laut atas mimpimu, putri-putri buih di atas badan
Tengah malam jika bintang-bintang menembus sunyi para nelayan
Perahu-perahu dagang yang tua, membersihkan laut bayangan
Mereka di mana-mana. Dan gelap
Ayolah buyung tidur. Ombak sudah siap
Menelan lelahmu, dan dongengmu teramat bagus.
Seperti  penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah pergi ke mana-mana
          
            Kujelajahi bumi dan alis kekasih . Bumi itu totum pro parte, sedang alis kekasih itu pars pro toto. Kupanjat dinding dan hati wanita, keduanya itu adalah pars pro toto.




Tidak ada komentar: