Berpuisi = Berbahasa
Telaah Kekiasan Puisi
Telaah Kekiasan Puisi
Bahasa Kias
Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa
yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan
untuk mencapai efek tertentu (Abrams, 1981). Sementara Luxemburg (1989)
menjelaskan bahwa bahasa kias (kiasan) sering dipandang sebagai ciri khas bagi
jenis sastra yang disebut puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak
menampilkan kiasan-kiasan, tetapi dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi
susunan makna.
Kiat
penyair untuk mengungkapkan perasaannya atau menggambarkan pikirannya ke dalam
rangkaian kata-kata pada bait-bait puisi. Bahasa kias merupakan salah satu
unsur kepuitisan dalam puisi. Memahami bahasa kias berarti: memahami makna
puisi. Bahasa kias artinya dalam KBBI ialah bahasa yang memergunakan kata-kata
yang tersusun dan artinya sengaja disimpangkan dengan maksud agar memeroleh
kesegaran dan kekuatan ekspresi. Kata kias mengandung arti perbandingan,
ibarat, contoh yang telah terjadi (Alwi Hasan, 1994).
Jenis- jenis Bahasa Kiasan
Untuk mendapatkan kepuitisan, pengarang menggunakan
bahasa kiasan. Dengan adanya bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan,
maksudnya mengiaskan atau memersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya
gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup.
Menurut
Altenbernd (1970) bahasa kiasan bermacam-macam, walau demikian memunyai sifat
yang umum, iaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut memertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Jenis -jenis bahasa kiasan tersebut
adalah sebagai berikut.
- Semile
Dalam perbandingan ini ada
kegiatan atau usaha untuk menyamakan sesuatu hal dengan hal lain dengan
disertai kata-kata pembanding, misalnya bagai, sebagai, bak, seperti,
semisal, seumpama, laksana, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya.
Sajak
O, bukannya dalam kata yang
rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata,
Yang kan’ Cuma mempermainkan mata
Dan hanya dibaca sepintas lalu
Karena tak keluar dari sukmamu
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa.
Kata seperti digunakan sebagai kata
pembanding yang membandingkan sajak dengan matahari yang mencintai bumi.
Amir Hamzah menggunakan kata pembanding serupa
dalam puisinya yang berjudu Padamu
Jua dalam baitnya berikut ini.
Nanar aku, gila sasar
Sayang, berpulang pada-Mu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kata serupa digunakan
untuk membandingkan Engkau (Tuhan) dengan seorang dara yang berada di balik
tirai dalam hal menarik keinginan, dalam hal ini mungkin untuk diketahui, atau
didekati dsb.
Berikut Rendra menggunakan kata bagai dalam
bait puisinya
Surat kepada Bunda
Tentang
Calon Menantunya
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan jua jodohku
Seorang yang bagai kau
Sederhana dalam tingkah dan
bicara
Serta sangat menyayangiku
Ibuku
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah kau cemburu
Hendaknya hatimu yang baik itu
mengerti
Pada waktunya, aku mesti
kaulepaskan pergi
Begitu kata alam. Begitu kau
mengerti
Bagai dulu bundamu melepas kau
Kawin dengan ayahku. Dan bagai
Bunda ayahku melepaskannya
Untuk mengawinimu
Tentu sangatlah berat
Tetapi itu harus. Mama!
Dan akhirnya tak akan begitu
berat
Apabila telah dimengerti
Apabila telah disadari
Kata bagai digunakan
untuk membandingkan gadis pilihannya dengan ibunya dalam hal kesederhanaan
tingkah dan bicara serta dalam hal menyayanginya. Di samping itu, digunakan
untuk membandingkan ibundanya dengan ibu ibundanya (neneknya) atau ibu bapaknya
dalam rela melepaskan anaknya untuk mengawini gadis idamannya.
Amir Hamzah dalam puisinya
yang berjudul Buah Rindu yang menggunakan kata-kata pembanding laksana
Ibu lihatlah anakmu muda belia
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana asmara kehilangan seroja
(Amir Hamzah)
Penyair mengumpamakan asmara yang kehilangan
seroja dengan mengguankan kata pembanding laksana dalam hal kedukaannya.
Tatengkeng menggunakan kata pembanding bagaikan,
serasa, se.
Perasaan Seni
Bagaikan banjir gulung-gemulung
Bagaikan topan seru menderu
Demikian rasa
Datang sesama
Mengalir, menimbun, mendesak,
mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
Serasa manis sejuknya embun
Selagu merdu
dersiknya angin
Demikian rasa
Datang sesama
Membisik, mengajak aku berpantun
Mengayung jiwa ke tempat dingin
Jika aku datang sekuat raksasa
Atau Kau menjelma secantik
juita
Kusedia hati
Akan berbakti
Dalam tubuh Kau berkuasa
Dalam dada Kau bertakhta
(Tatengkeng)
Perasaan seni dibandingkan
dengan banjir gulung menggulung, topan seru menderu dengan menggunakan kata
pembanding bagaikan dalam hal
gejolak jiwa seni yang tidak dapat terbendung. Perasaan tersebut juga dibandingkan dengan rasa, lagu,
kuat, dan cantik dalam hal manis, merdu, kekuatan raksasa, dan kecantikan.
Contoh simile yang lain, berikut ini.
Hidupku dibayangi oleh dua
raksasa
: Rusia dan Amerika, KGB dan CIA
ya, ya, aku hidup di dunia ketiga
mereka sudah siap mencaplok apa
saja
bagaikan siluman mereka pun
bekerja
bagaikan air di bawah tanah
kucinta
bagaikan air merembes ke dalam
bumi
...
(Linus
Suryadi A.G, “Ode Asia Tenggara”
Perkutuk Manggung, 1986)
Dalam puisi tersebut Rusia dan
Amerika, KGB dan CIA diumpamakan sebagai siluman, air di bawah tanah, dan air
yang merembes ke dalam bumi. Dengan perumpamaan tersebut sifat keganasan kedua
negara tersebut menjadi konkret.
- Metafora
Metafora adalah
kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain, yang
sesungguhnya tidak sama (Altenbernd & Lewis, 1969). Sementara itu, Becker
(1987) menyatakan bahwa metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan,
hanya tidak memergunakan kata-kata pembanding, misalnya: bagai, laksana, seperti. Metafora ini melihat sesuatu dengan perantaraan benda lain.. Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yaitu pembanding dan yang
dibandingkan. Dalam hubungannya dengan dua unsur tersebut, maka terdapat dua
jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut
eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandingkan disebut, misalnya, kecewa
adalah merusak perasaan. Kecewa sebagai hal yang dibandingkan dan merusak perasaan sebagai pembandingnya.
Disebut metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja,
misalnya sambal tomat pada mata, untuk
mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang dibandingkan (Wiyatmi, 2006)
`Berikut Amir Hamzah mencoba
melihat Tuhan melalui kendil yang kemerlap sebagai berikut ini
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar setia selalu
Seirama dengan Wiyatmi,
menurut Pradopo (2005) metafora terdiri dari dua term atau bagian yaitu
bagian pokok disebut juga tenor, yang kedua vichile. Term pokok
ialah hal yang dibandingkan. Sedang yang kedua vichle adalah hal untuk membandingkan. Sajak Subagio yang berjudul Dewa
Tekah Mati disebut bumi ini perempuan jalanng, bumi adalah pokok
sedang perempuan jalang adalah term kedua
Dalam puisi sering penyair
langsung menyebut term pokoknya, metafora semacam ini disebut metafora
implisit. Baris puisi Subagio Hidup ini mengikat dan mengurung . Hidup
dalam baris puisi diumpamakan sebagai hal yang mengikat dan sebagai kurungan
mengurung. Pada puisi tersebut yang disebut bukan pembandingnya tetapi sifat
pembandingnya. Sebagimana puisi Ajip
Rosadi berikut inii.
Jante Arkidam
Sepasang mata biji sagat tajam
tangannya lancip gobang
Berebahan tubuh-tubuh lalang dia
tebang
Arkidam, Jante Arkidam
Sepasang mata biji warnanya (tidak disebutkan) diumpamakan
sebagai warna biji saga yaitu dalam hal kemerahannya, baris-baris berikutnya
hanyalah metafora biasa.
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantang
dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Bumi diumpamakan perempuan jalang, rawa-rawa mesum
ialah kiasan kehidupan yang kotor, yang mesum, kehidupan yang penuh percabulan
(term kedua). Di samping itu, Pradopo menurutnya ada juga metafora mati, yaitu
yang sudah menjadi klise, sehingga orang sudah lupa bahwa itu adalah metafora,
misanya kaki gunung, lengan kursi, contoh
berikut
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
............... (Amir
Hamzah, Barangkali, 1959).
Buka mata mutiaraMu
Barangkai di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
…………………………(Amir Hamzah, Barangkali,
1959)
aku boneka engkau boneka
penghibur dalang mengatur tembang
di layar kembang bertukar pandang
hanya selagu, sepanjang dendang
Amir
Hamzah, Sebab Dikau, 1959)
Menurut
Lexemburg (1989), dalam metafora dan perumpamaan dua objek atau pengertian dibandingkan. Dalam perumpamaan
ini terjadi secara eksplisit, di dalam metafora implisit. Diperkenalkan empat buah istilah untuk
melukiskan dan menganalisis kiasan-kiasan ini.
Dalam
ucapan rumahku melindungi aku bagaikan
sebuah benteng, rumuh dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Selain itu, disebut juga
mengapa rumah dibandingkan dengan sebuah benteng, perlindungan merupakan motif dalam perbendingan ini. Motif dapat disebut
aspek arti yang bersama-sama dimiliki oleh pembanding dan apa yang
dibandingkan. Kata penghubung bagaikan berfungsi
sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Sering kali
salah satu unsur tersebut tiada.
Dalam
ucapan rumahku bagaikan sebuah benteng motif
tidak disebut secara eskplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan
antara rumah dan benteng. Motif tidak dibatasi dengan ketat. Di samping aspek
perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat.
Kalau
kata penghubung dilenyapkan perumpamaan dipersempit menjadi rumahku bentengku (may
house is my castle), kedua pengertian disamakan, ada identifikasi. Artinya
apa yang dibandingkan juga dapat dihapus, lalu terbaca bentengku . Kedua ucapan terakhir ini disebut metafora. Motif harus
kita carai sendiri. Arti sebuah
metafor terjadi sebagai hasil konfrontasi yang menyangkut unsur-unsur yang
terlibat dalam proses metaforik. Menentukan arti sering terjadi berdasarkan
asosiasi pribadi.
Dalam
puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Antara lain disebabkan karena
apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Dan penyair suka
menciptakan efek yang memeranjatkan, karena dengan tak terduga mengaitkan
objek-objek yang sangat berbeda-beda.
Secara tata bahasa, metafora dapat
diwujudkan dengan berbagai cara. Selain kata-kata benda, maka kata kerja atau kata tambahan pun dapat
dipergunakan secara metaforik. Selain itu, di dalam sebuah konstruksi metaforik
berbagai metafora dapat dikombinasikan. Seorang penyair Belanda pernah memakai
ungkapan lorong-lorong tidur yang tuli, metafor
ganda ini diuraikan dahulu menjadi dua, iaitu lorong tidur dan lorong tuli. Kemudian kita meneliti kata-kata
menurt arti harafiah dan arti kiasan. Mengingat konteksnya, maka ”lorong tuli”
rupanya dipakai menurut arti kiasan,
sedangkan ”tidur” menurut arti harafiah. Kalau kita meninjau ”lorong tuli”
tersendiri, maka ”lorong dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ”tuli”
sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang
dibandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ”tuli” dan
”lorong”, sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai
arti. ”Lorong tuli” dapat ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi
kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ”Lorong
tidur” dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi).
Jadi apa yang dibandingkan ialah ”bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan”
Dalam
proses metaforik pembanding dan apa yang dibandingkan saling dikonfrontasikan.
Akibatnya ialah aspek-aspek arti dari pembanding dapat dialihkan kepada apa
yang dibandingkan (dan sebaliknya). Selanjutnya dapat juga ditanyakan, bidang
semantik mana yang meliputi pembanding dan apa yang dibandingkan. Kadang-kadang
suatu pengertian konkret dan abstrak saling dibandingkan, seperti dalam
metafora pelita harapan, keping-keping
waktu, dan sebagainya.
c. Perumpamaan Epos
Perumpmaan epos adalah perbandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau dengan frase-frase yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sagat panjang. Misalnya berikut ini.
Di tengah Sunyi
Di tengah sunyi menderu rinduku
Seperti topan merenggutkan dahan
Mencabutkan akar, merenggutkan
kembang kalbuku
Puisi Rustam Effendi,
kesunyian penyair diibaratkan dengan topan kemudian sifat-sifat topan
yang disamakan dengan rasa sunyi yang menderu rindunya tersebut diuraikan
secara panjang lebar.
Sebagai Dahulu
Laksana bintang berkilat cahya
Di atas langit hitam kelam
Sinar berkilau cahya matamu
Menembus aku ke jiwa dalam
Aku tersadar aku
Dahulu………..
Telah terpasang lentera harapan
Tertiup angin gelap keliling
Laksana bintang di langit atas
Bintang kejora
Segera lenyap beredar pula
Bersama zaman terus berputar
Sinar caya matamu (mungkin
kekasih sang penyair) diibaratkan sebagai bintang kemudian dijelaskan karakter
bintang yaitu berkilat cahaya, di atas
langit hitam kelam. Karakter demikian, pada hakikatnya juga merupakan gambaran
dari sinar mata cahayamu yang
disamakan dengan bintang tadi.
Burung laut secara panjang lebar digambarkan
dengan jelas dalam tujuh baris
Engkau
Engkau ibarat kolam di
tengah-tengah belukar
Beriak-riak tenang
Membiarkan nyiur sepasang
Bercerminkan diri ke dalam
Airmu…
Kupandang dari kiri
Terlihat sinar matahari
Di muka air berseri
Kupandang dari kanan
Hanyalah rumput panjang
Ah!
Berkeliling aku melangkah cepat
Hanya pohon, rumput, awan yang
padat
Sinar gemerlap yang dapat kulihat
Tapi
Mengapa, mengapa dasarmu
Tak kunjung menampak.
e. Alegori
Alegori hampir sama dengan perumpamaan epos. Kalau perempumaan epos hal yang dibandingkan itu masih mendapatkan porsi penceritaan yang banyak, dalam alegori hal yang dibandingkan tersebut tidak banyak diungkapkan atau bahkan hanya disinggung sedikit sedang hal yang dijadikan bahan perumpamaan term kedua diungkapkan secara panjang lebar.
Alegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan
ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori ini banyak terdapat dalam
sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam
sajak-sajak Indonesia modern yang kemudian. Alegori ini sesungguhnya metafora
yang dilanjutkan. Misalnya Menuju ke
Laut, sajak Sutan Takdir Alisyahbana. Sajak ini melambangkan angkatan baru
yang berjuang ke arah kemajuan. Angkatan baru ini dikiaskan sebagai air danau
yang menuju ke laut dengan melalui rintangan-rintangan. Laut penuh gelombang,
mengiaskan hidup yang penuh dinamika perjuanga, penuh pergolakan. Jadi, sajak tersebut mengiaskan angkatan muda yang
penuh semangat menuju kehidupan baru yang dinamis, meninggalkan adat yang
statis, kehidupan lama yang beku, tidak mengalir.
Menuju Ke laut
Angkatan baru
Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang tiada beriak
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat
“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit
pasir rata berulang dikecup
tebing curam ditantang diserang
dalam bergurau bersama angin
dalam berlomba bersama mega
Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda
Ketenangan lama rasa beku
Gunung pelindung rasa pengalang
Berontak hati hendak bebas
Menyerang segala apa mengadang
Gemuruh berderu kami jatuh
Terhempas berderai mutiara
bercahaya
Gegap gempita suara mengerang
Dahsyat bahana suara menang
Keluh dan gelap silih berganti
Pekik dan tampik sambutan
menyambut
Tetapi betapa sukarnya jalan
Bulan terhempas kepala tertumbuk
Hati hancur pikiran kusut
Namun kebali tiadalah ingin
Ketenangan lama tiada diratap
…………..
Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang tiada beriak
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat
Puisi di atas, melambangkan
angkatan baru yang berjuang ke arah kemajuan yang diibaratkan sebagai air danau
yang mengalir ke laut yang melalui banyak rintangan surut kembali. Walaupun di sana ada
ketenangan, ada kerimbunan bahkan ada gunung yang berperan sebagai pelindung.
Sajak Sanusi Pane Teratai menyimbulkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan, dengan semangat keindonesiaan asli.
Teratai
Kepada
Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tak terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
Teruslah Oh Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar
sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkaupun
turut menjaga zaman.
Sajak Putih
Ketika sajak putih ditulis
Hari-hari cemas tak pernah habis
Merah hari-hari
Hitam hari-hari
Hijau hari-hari
Silih berganti
Bercah-bercah merah
Bercah-bercah hijau
Semakin kelam
Ketika sajak putih ditulis
Tak ada lagi suara tangis
Mengejar matahari
Tidak bangkit seperti ini
Contoh Alegori yang lain berikut ini.
Bunglon
Untuk
“Pahlawan” ku
Melayang gagah, meluncur rampis
Menentang tenang, ‘alam samadi
‘Alam semesta memberi senjata
Selayang terbang ke rumpun bamboo
Pindah meluncur ke padi masak
Bermain mesra di balik dahan
Tiada satu dapat mengganggu
Ah, sungguh puas berwarna aneka
Gampang menyamar mudah menjelma
Asalkan diri menurut suasana
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara
Biar lahirku diancam derita
Tidak daku sudi serupa.
(Jassin,
1959)
Kapal Penuh
Sekali akan turun lagi
kapal Nuh di pelabuhan malam
tanpa kapten
hany Suara yang berseru ke setiap
hari
”Mari”
Kita berangkat
berkelamin laki-istri
untuk berbiak di tanah baru yang
berseri
juga makhluk yang merangkak
di darat di langit terbang
masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat uang
di haluan, di buritan, di
timbaruang
Kita semua. Sebab kasih itu murah
bahkan bunga, emas dan perak
itu batu mulia
yang memancarkan api rahmatturut
termuat
Kalau bahtera mulai bertolak
dekat kita dengan bumi retak
Bumi yang telah tua
oleh usia dan derita
(Subagio
Sastrowardojo, Simphon, 1975).
Di Kebun Binatang
Seorang wanita muda berdiri
terpikat memandang ular yang
melilit sebatang pohon
sambil menjulur-julurkan lidahnya
katanya
kepada suaminya, ”Alangkah indahnya kulit ular
itu
untuk tas dan sepatu
Lelaki muda itu seperti teringat
sesuatu, cepat-cepat menarik
lengan
istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
(Sapardi
Djoko Damono, Akuarium, 1974).
e. Personifikasi.
Kiasan
menyamakan benda-benda mati dengan manusia yang
hidup dengan segala aktivitasnya, misalnya berjalan, melihat, makan, minum, dan
sebagainya. Penyair banyak memergunakan personifikasi dari dahulu hingga
sekarang, karena memberikan bayangan angan yang konkret.
Anak Molek V
Malas dan malu nyala pelita
Seperti meratap mencuri mata
Seisi kamar berduka cita
Seperti takut gentar berkata
(Jassin,
1963)
Langitd di Mana-mana
Langit berjalan di atas pohon di
mana-mana
Bayangan mereka di atas air, di
atas pasir
Dan gelap, bintang-bintang seperti
lampu-lampu
Yang ditaruh para nelayan
Dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu
karang
Lapar semesta itu, haus waktu dan
awan cair
Menembus dinding hatimu
Serangan
Pohon-pohon cemara di kaki gunung
Pohon-pohon cemara
Menyerbu kampung-kampung
Bulan di atasnya
Menceburkan dirinya ke dalam
kolam
Membasuh luka-lukanya
Dan selusin dua sejoli
mengajaknya tidur.
Percakapan Dalam Kamar
Puntung rokok dan kursi
bercakap tentang seorang yang
tiba-tiba
menghela nafas panjang tiba-tiba berdiri
Bunga pelastik dan lukisan
dinding bercakap tentang
seorang
yang berdiri seperti bertahan terhadap
sesuatu
yang akan menghancurkannya
Jam dinding dan penanggalan
bercakap tentang seseorang yang
mendadak membuka pintu lalu cepat-cepat pergi
tanpa menutupkan kembali
Topen yang tergantung di dinding
itu, yang mirip wajah
pembuatnya, tak berani mengucapkan sepatah
kata pun:
ia merasa bayangan orang itu masih bergerak
dari dinding ke
dinding, ia
makin mirip pembuatnya karena sedang menahan kata-kata.
f. Metonimia
Metonimia
(pengganti nama), maksudnya pengertian yang satu dipergunakan sebagai
pengertian yang lain yang berdekatan (Luxemburg, dkk, 1984). Kaitan-kaitan
tersebut berdasarkan berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal,
logik, hubungan dalam waktu atau ruang.
Kasus-kasus
metonimi yang paling terkenal ialah akibat digantikan sebagai isi diganti
wadah. Misalnya, dengan indah sekali ia
membawakan Chairil : maksudnya ”membawakan sajak-sajak Chairil”. Atau ia menghisap pipa, maksudnya ”menghisap
tembakau dalam pipa”. Dalam puisi, aspek waktu sering dipakai secara metonimik,
misalnya Musim gugur menutup jalan-jalan
dengan permadani kuning dan coklat, maksudnya, ”Di musim gugur pohon-pohon
menutup jalan-jalan dengan daun-daun yang berwarna kuning dan coklat”
Pradopo (2005) mengungkapkan bahwa metonimo adalah kiasan ini
menggunakan nama atau atribut atau sifat-sifat suatu barang tersebut sebagai
ganti barang itu sendiri. Jadi, jika sesuatu atau hal yang menjadi term pokok
atau yang disamakan, maka hal yang dijadikan bahan persamaan atau term kedua
ialah sifat, atribut atau nama yang ada dalam sesuatu yang disamakan atau term
pokok tersebut. Dalam percakapan sehari-hari penggunaan metonimia ini seperti “perunggu
sebetulnya adalah nama suatu medali, kemudian dikatakan bahwa olahragawan itu
menerima perunggu, artinya, menerima medali perunggu. (dalam hal
ini medali disamakan dengan perunggu).
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
…
Dan perempuan mendaki tepi sungai
kesayangan
Di bawah bayangan sama istana kejang
O, kota kekasihku setelah
senja.
Klakson
dan lonceng, dapat menggantikan orang-orang atau partai-partai yang bersaing
adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti sungai Ciliung. Istana
mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih
adalah Jakarta.
Penggunaan
metonimia ini efeknya, pertama, untuk membuat lebih hidup dengan menunjukkan
hal yang konkret itu. Penggunaan hal tersebut lebih dapat menghasilkan
imaji-imaji yang nyata. Kedua, pertentangan
benda-benda tersebut menekankan pemisahan status sosial antara bangsawan dan
orang kebanyakan. Benda-benda tersebut merupakan tanda pangkat atau tingkatan
(Altenbernd, 1970).
g. Sinekdok
Sinekdok ialah
hubungan antara bagian dan keseluruhan. Pola-pola terkenal ialah pars pro toto, bagian mewakili
keseluruhan, atau totum pro parte, keseluruhan
mewakili bagian. Misalnya, ”Diadakan sensus jiwa”, ”Indonesia mengalahkan
Malaysia”. Pars pro toto lebih sering
digunakan apalagi kalau bagian ini cukup menonjol. Misalnya, ”Berilah aku
hatimu”. Bukan hanya hati yang diminta, melainkan seluruh pribadi kekasihnya. kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan atau menyebutkan
keseluruhan untuk maksud sebagian
(Luxemburg, 1989).
Uraian
Pradopo (2005) terlihat bahwa pars pro
toto: sebagian
untuk keseluruhan, tampak pada penggalan puisi berikut ini
Para petani bekerja
Berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela
Menambah bibit di tanah yang
subur
Memanen hasil yang berlimpah dan
makmur
Namun hidup mereka sendiri dan
sensara
Totum pro parte, keseluruhan untuk sebagian, misalnya puisi berikut ini
Pemalang
Dari atas bus biru tua
Sepotong kerlingan
Kulempar lewat jendela
Menatap kotaku
Semakin diam
Semakin kecil.
Langit di Mana-mana
Langit berjalan di atas pohon di
mana-mana
Bayangan mereka di atas air, di
atas pasir
Dan gelap, bintang-bintang
seperti lampu-lampu
Yang ditaruh para nelayan
Dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu
karang
Lapar semesta itu, haus waktu dan
awan cair
Menembus dinding hatimu
Ayolah buyung kau baringkan
tubuhmu
Tak ada bulan, tak ada nyanyian,
bagi tumbuhan bumi
Kami kan tidurkan kamu pada
ranjang kayu
Muara sungai dan musim kemarau
Ayolah buyung kau tembangkan pucung sebelum tidur
Naik laut atas mimpimu,
putri-putri buih di atas badan
Tengah malam jika bintang-bintang
menembus sunyi para nelayan
Perahu-perahu dagang yang tua,
membersihkan laut bayangan
Mereka di mana-mana. Dan gelap
Ayolah buyung tidur. Ombak sudah
siap
Menelan lelahmu, dan dongengmu
teramat bagus.
Seperti penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah pergi ke
mana-mana
Kujelajahi
bumi dan alis kekasih . Bumi itu totum
pro parte, sedang alis kekasih itu pars
pro toto. Kupanjat dinding dan hati wanita, keduanya itu adalah pars pro toto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar