Jumat, Oktober 10, 2014

Analisis Latar Belakang Sosial-Budaya dalam Puisi

Analisis Latar Belakang Sosial-Budaya dalam Puisi

            Menurut Teeuw (1983) untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah sajak, analisis tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budanyanya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat, maka ia tidak dapat lepas darinya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam karakter tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Untuk memahami dan memberi makna sajak yang ditulis oleh penyair Sunda, Bali, Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja (Sulawesi Selatan) diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial-budayanya yang melatarinya. Misalnya untuk memahami sajak Linus Suryadi yang berlatar budaya wayang, maka pembaca harus mengetahui wayang. Dalam ”Asmaradana” diceritakan episode cerita Ramayana.
Asmaradana adalah nama sebuah tembang Jawa yang berisi cerita percintaan. Sita dibakar untuk membuktikan kesuciannya, belum terjamah oleh Rahwana yang mencurinya dari Rama suami Sita. Namun dalam sajak ”Asmaradana” ini cerita diubah oleh Subagio, yaitu Sita memang melakukan sanggama dengan raksasa (Rahwana) yang melarikannya. Untuk mengemukakan pandangan atau pendapat penyair sendiri bahwa manusia itu tidak dapat terlepas dari nalurinya. Dalam cerita Ramayana (wayang), Sinta dibakar di api suci tidak terbakar, ini membuktikan kesuciannya. Untuk lebih jelasnya analisis sajak berdasarkan latar belakang sosial-budaya, dapat diperhatikan berikut ini.

            Asmaradana
Sita di tengah nyala api
tidak menyakal
betapa indahnya cinta birahi
Raksasa melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka
tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa
jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama

            Pembaca tidak dapat memahami sajak ini tanpa pengetahuan wayang atau cerita Ramayana. Cerita itu merupakan episode akhir dari cerira Rama. Sesudah Rama mengalahkan Rahwana dan membunuhnya, Rahwana raja Alengka  yang mencuri Sinta, maka Rama dapat berjumpa kembali dengan Sita istrinya. Akan tetapi, Rama meragukan kesucian Sinta, betapapun Sita menyatakan bahwa ia tidak pernah terjamah Rahwana. Untuk membuktikan kesuciannya itu Sinta bersedia dibakar, bila terbakar berarti ia pernah dijamah Rahwana, bila tidak terbakar berarti ia masih tetap suci. Dalam cerita wayang memang Sita tidak terbakar karena ditolong oleh dewa sebab memang ia sungguh masih suci, ia selalu menolak bila dirayu oleh Rahwana. Akan tetapi, dalam sajak itu ceritanya dengan sengaja diubah oleh Subagio untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Ini menunjukkan ’kreativitas’ subagio sebagai seorang penyair.
Untuk menunjukkan pemahaman sajak dengan mengingat latar sosial yang mendasarinya, dapat diperhatikan sajak Darmanto Jt  (1980) berikut ini.
  Isteri
..isteri mesti digemateni
  Ia sumber berkah dan rejeki
(Towikromo, Tambran, Pundong, Bantul)

Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di sumur
Mengirim rantang ke sawah
Dan ngeroki kita kalau masuk angin
Ya, isteri sangat penting untuk kita
            Ia sisihkan kita
                                Kalau kita pergi kondangan
            Ia tetimbangan kita
                                Kalau kita mau jual palawija
            Ia teman belakang kita
                                Kalau kita lapar dan mau makan
            Ia sigaraning nyawa kita
                                Kalau kita
            Ia sakti kita !
                  Ah lihatkah. Ia menjadi sama penting dengan
kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa
Ia kita cangkul malam hari dan tidak pernah ngeluh walau cape
Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa
sukur: tahu terima kasih dan meninggikan harkat kita sebagai
lelaki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
            Seperti lidah ia di mulut kita
                                                          tak terasa
            Seperti jantung ia di dada kita
tak teraba
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai
melupakannya:
                Jadi waspadalah !
                Tetap, madep, manteb
                Gemati, nastiti, ngati-ati
                Supaya kita mandiri – perkasa dan pinter ngatur hidup
                Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel atau lurah
                Seperti Subadra bagi Arjuna
                makin jelita ia di antara maru-marunya
                Seperti Arimbi bagi Bima
                jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka
                Seperti Sawitri bagi Setyawan
                Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka
Ah. Ah. Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya

                        Hormatilah isterimu
                        Seperti kamu menghormati Dewi Sri
                        Sumber hidupmu
                        Karena memang demikianlah suratannya
                        -- Towikromo

            Dalam sajak ”Isteri” tergamar lingkungan sosial-budaya petani Jawa. Hidup mati petani ini ditentukan oleh sawah, kerbau dan alat-alat pertanian, ditentukan berhasil atau tidaknya menanam padi. Menurut pandangan petani Jawa, tanaman padi akan subur dan berbuah lebat, serta panenan akan berhasil bila mendapat berkah dan restu dari Dewi Sri, dewi padi. Oleh karena itu, para petani Jawa sangat menghormati dan menjunjung tinggi Dewi Sri, membuat selamatan dan sesaji untuk mendapatkan berkahnya, yaitu pada waktu mulai menanam padi dan di waktu panen.
Bagi petani, kerbau dan alat-alat pertanian itu sangat penting bagi kelangsungan hidupnya, bahkan merupakan hidup matinya. Dipandang dari sudut pandang sosial-budaya pertanian, penjajaran istri dengan kerbau itu tidak dimaksudkan merendahkan kedudukan istri sebab kerbau itu sangat penting, merupakan hidup matinya pula.
Pada umumnya, dalam pandangan sosial-budaya masyarakat Jawa, lebih-lebih petani, kedudukan istri seperti tergambar dalam bait pertama. Hal itu sudah merupakan adat  kebiasaan turun-temurun. Jadi, yang kelihatannya aneh buat masyarakat atau bangsa lain sesungguhnya tidak aneh dalam masyarakat Jawa. Dengan memahami latar belakang sosial-budaya demikian itu, orang dapat memahami kesungguhan sajak itu bahwa istri petani sangat penting dan cukup terhormat kedudukannya, bukan hanya sebagai benda kekayaan, pelayanan, ataupun budak suami.
Dalam latar budaya petani Jawa, Dewi Sri itu sangat terhormat yang disejajarkan dengan isteri (bait terakhir) ”Hormatilah isterimu sepeti kamu menghormati Dewi Sri sumber hidupmu. Di samping itu, isteri juga disamakan  Subadra isteri Arjuna. Dalam cerita wayang. Arjuna itu banyak istrinya, yang utama adalah Subadra karena lembut hatinya, cantik, dan baik hati, kepada maru-marunya ia bertindak adil, tidak membenci, penuh kasih sayang hingga maru-marunya pun baik kepadnya.
Demikian pula, isteri dibandingkan dengan Arimbi istri Bima, yang melahirkan Bambang Tetuka (Gatutkaca), ia memelihara anaknya dengan penuh kasih sayang. Sama halnya isteri petani itu dibandingkan dengan Sawitri, seorang isteri yang karena sangat cintanya kepada suami, maka ia memaksa Dewa Yama, dewa maut yang mencabut nyawa Seytawan suaminya. Akhirnya, Yana mengabulkannya, mengembalian nyawa ke tubuh Setyawan dengan janji bahwa hidup Setyawan itu harus ditebus dengan setengah masa hidup Sawitri sendiri. Dengan demikian, hidup kembali dengan bahagia.
Seirama dengan analisis sajak Isteri, di Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat dikenal suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Untuk mengenal budaya, ambillah misalnya suku Bugis memiliki sikap keteguhan (agettengeng) berarti tidak kendur; tidak mudah terpengaruh oleh berbagai godaan ataupun tantangan yang dapat mempengaruhi keyakinannya. Sikap memertahankan keteguhan hati atau keteguhan pendirian merupakan cerminan implementasi budaya sirik (malu).
Keteguhan suku (manusia) Bugis dalam pendiriannya mengakibatkan seseorang itu tidak akan bergeser sedikit pun dari apa yang pernah dikatakan. Ia lebih baik mati terhormat (mate risantangi) daripada dia mengingkari kesepakatan yang telah dibuat bersama. Dalam pandangan Bugis, orang yang tidak teguh dalam pendirian, tidak bisa diberi amanah dan tanggung jawab. Hanya orang yang teguh pendirian yang dapat dipercaya, karena orang itu tidak akan mengkhianati amanah yang diterima, apa pun resiko bagi dirinya. Hal ini tercermin lewat puisi (elong) berikut ini.
pura tala’ni ada e
itongko’ni batu pipi
tawaddeni rilengga
(alla) maruttung langi’e
Terjemahan
kalau kata (janji) sudah disampaikan
sudah ditutup rapat dengan batu
tidak akan mungkin dibuka lagi
biarpun langit akan runtuh (Amaluddin, 2009: 388)

Penggalan puisi tersebut menggambarkan suatu keteguhan hati dan prinsip hidup yang kokoh dan tak tergoyahkan sedikit pun. Kalimat itongko’ni batu pipi/ tawaddeni rilengga, bermakna jika janji sudah diikrarkan, tidak bisa diingkari, walaupun langit akan runtuh. Ikrar yang teguh untuk melaksanakan kesepakatan merupakan wujud keteguhan pendirian dari seseorang yang memegang prinsip hidupnya, sehingga merupakan siri baginya jika mengingkari kesepakatan.
Sementara itu, suku Makassar pun mengenal budaya sirik sebagaimana suku Bugis, dan bahkan dipahami bahwa budaya sirik bagi suku Bugia dan Makassar adalah budaya milik kolektif. Konsep Siri na Pacce didasari dengan perasaan malu sehingga rela menanggung konsekwensinya. “Siri” artinya ‘malu’ sedangkan pacce artinya ‘tak membiarkan; tidak tega; iba kepada seseorang”. Sehingga kalau kehormatannya merasa terinjak-injak, baik pada dirinya maupun keluarga atau pun kelompoknya maka mereka rela melakukan tindakan tanpa berpikir panjang dan siap menanggung segala resikonya. Selain itu, konsep sirik na pacce mengandung pula pengertian bahwa malu bila tidak melakukan kebaikan dan tak berguna bagi orang lain. Oleh karena dalam puisi (kelong) banyak mengekspresikan tentang nilai-nilai misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai filosofis, nilai etis, dan nilai estetis. Berikut ini contoh puisi (kelong) yang mengeksprersikan nilai etis ketika Tumalompoa, atau Penguasa Belanda di Makassar, memaksa Datu Museng Menyerahkan istrinya,   I Maipa kepada Belanda. Datu Museng berpesan melalui puisinya, sebagaimana berikut ini
Kalamangku Tappu kulik
Eknek tassiraeng-raeng
Kalasarani
Tampangassengak lajak (Hakim dkk., 1998:23)
            Terjemahan
            Biar kulitku hancur
            Robek tidak karuan
            Daripada nasrani
            Tak tahu sopan

Ungkapan tappu kulik dan eknek tassiraeng-raeng punya makna rela mati dalam memertahankan prinsip-prinsip kebenaran. Keberanian dalam membela dan memertahankan  kehormatan istrinya tertanam kokoh dalam Datumuseng. Mati terhormat lebih baik daripada hidup ternoda.
Puisi Makassar masih tetap dipakai dalam interaksi dalam lingkungan keluarga khususnya dalam strarata sosial tertentu dan dalam acara ajjangang-jangang (melamar gadis). Ketika remaja mengincar seorang gadis misalnya, secara spontan orangtua menyampaikan pesan lewat puisi,sebagaimana berikut ini.
Teako jalling matai
 anjo tope tassampea.
Nia patanna
Tanakalimbuki mami

Terjemahan

Jangan engkau lirik
Sarung yang tergantung itu
ada yang punya
tinggal menunggu waktu yang tepat

Kemudian puisi tersebut dijawab oleh orang (anak) yang melirik gadis itu, sebagaimana berikut ini.

Susa tongi takujalling
anjo tope tassampea
anjo patanna
tena tompa tantuanna.

Terjemahan

Gundah hati saya
Bila tidak melirik sarung yang tergantung itu
Karena yang empunya
Belum ada kepastian

Keunikan kelong ini adalah karena dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi sebagai ekspresi kesantunan dalam interaksi melamar gadis. Sehingga kalau salah menyampaikan biasanya lamaran si pemuda ditolak, karena dianggap kurang sopan. Oleh karena itu, utusan dari pihak laki-laki adalah orang-orang tertentu yang pandai berpuisi, sebelum memasuki acara inti yaitu membicarakan tentang pinangan mereka (Ali, 2009: 13).
Kalindaqdaq, adalah puisi Mandar yang masih banyak digunakan oleh masyarakat pendukungnya, sebagai sastra daerah dan sekaligus sebagai pendukung budaya dalam rangka memperkaya khazanah budaya nasional.
Penggambaran keteguhan pada pendirian suku Bugis menamai siri, suku Makassar menamai sirik na pacce, sementara suku Mandar menamai masiriq. Apabila harga diri atau masiriq itu dilanggar, maka orang akan marah dan berusaha membela dan memertahankan walaupun nyawa taruhannya.
Dalam kalindaqdaq percintaan, harga diri sangat menonjol. Oleh karena itu masiriq  timbul karena persoalan hubungan antara seorang pemuda dan seorang gadis. Untuk lebih jelasnya diperhatikan kalindaqdaq berikut ini.
Muaq diang na maqala
Pandeng pura u tujuq
Apa gunana
Pataeng di reqdeu

Terjemahannya

Bila ada yang akan mengambil
Pandan yang sudah kuikat
Apa gunanya
Senjata tajam di pinggangku

Puisi tersebut menggambarkan sikap seorang laki-laki yang sudah bertunangan dengan seorang gadis pilihannya. Untuk memertahankan kehormatan dirinya, dia membawa sebilah keris sebagai senjatanya apabila ada orang yang mencoba mengganggu gadis pilihannya. Kata panden yang bermakna pandang merupakan simbol seorang gadis.
Demikianlan pemahaman puisi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kemasyarakatan dan budayanya. Sebagaimana uraian Pradopo (2005) bahwa sastrawan itu adalah anggota masyarakat tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Latar sosial budaya itu terwujud dalam tokoh-tokoh yang dikemukakan, sistem kemasyarakatan, adat-istiadat,  pendangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.



2 komentar:

Blog27999 mengatakan...

Do you realize there is a 12 word phrase you can communicate to your man... that will trigger intense feelings of love and instinctual attractiveness for you deep within his chest?

Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, adore and guard you with his entire heart...

12 Words Who Trigger A Man's Love Impulse

This instinct is so hardwired into a man's brain that it will make him work better than before to do his best at looking after your relationship.

Matter of fact, triggering this all-powerful instinct is so mandatory to having the best possible relationship with your man that the moment you send your man one of the "Secret Signals"...

...You'll immediately find him expose his heart and mind for you in such a way he's never experienced before and he will identify you as the one and only woman in the world who has ever truly understood him.

Unknown mengatakan...

Your Affiliate Money Making Machine is ready -

Plus, making money with it is as easy as 1--2--3!

Here's how it all works...

STEP 1. Tell the system what affiliate products you intend to promote
STEP 2. Add push button traffic (it ONLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate products system explode your list and sell your affiliate products all for you!

Are you ready to make money automatically?

Get the full details here