Jumat, Oktober 10, 2014

Kajian Sastra dengan Pendekatan Kearifan Lokal

 Kajian Sastra dengan Pendekatan Kearifan Lokal

Kearifan  lokal dalam sebuah karya sastra seringkali tidak terlalu diperhatikan padahal kearifan lokal sangat identik dengan kesusateraan, misalnya tentang kearifan lokal yang bersifat tentang bahasa, panggilan seseorang, dan status sosial. Kadang disalah artikan kearifan lokal. Arif berarti bijaksana, akan tetapi sebagian dari budaya tidak terggambarkan kearifan. Tindakan merusak alam, dan pemborosan kerap menjadi ritual kebudayaan. Kadang pula berada dalam suatu kebimbangan karena budaya kerap menjadi hal yang sangat sensitif, karena dapat memecah belah persaudaraan. Budaya adalah lekat pada bidang-bidang lain yang terstruktur rapi. Keterkaitan antar unsur kehidupan itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan  demikian, budaya bukan sekedar tumpukan acak fenomena, atau bukan sekedar kebiasaan lazim, malainkan tertata rapi dan penuh makna. (Endarswara, 2003 : 1)
Dalam kebudayaan Bugis Makassar ada sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan yaitu siri, makna siri adalah berbeda-beda menurut ruang dan waktu tertentu tergantung pada bagaimana tingkat perkembangan makna, nilai dan struktur sosil yang mendukungnya atau dengan kata lain, bahwa makna itu sangat ditentukan oleh tingkat kebudayaan yang menyangkut masalah nilai dalam kehidupan. Oleh karenanya ungkapan-ungkapan yang dapat dikemukakan dapat menjadi jembatan penghubung antara nilai sosial dan nilai budaya yang ada ditengah masyarakat. Seperti  yang diuraikan oleh Mattulada,tiga sifat yang bisa menjadi pedoman dalam kehidupan sosial. Ketiga sifat yang dimaksud yaitu sipakatau', sipakainge', dan sipakalebbi Sipakatau', merupakan sifat untuk memandang manusia seperti manusia. Maksudnya dalam kehidupan sosial selayaknya dipandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apa pun. Pada intinya manusia seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan derajat.
 Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang dipuji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi
Ketiga sifat yang diwariskan nenek moyang suku bugis makassar. dengan merealisasikan dalam kehidupan, berarti telah melaksanakan kearifan lokal.
            Adapun kearifan local dalam kupulan cerpen Panggil Aku Aisyah karya Thamrin Paelori dan Rahman Rahim, dapat dilahat berikut ini.
1. Sipakatau (Tata Krama)
    Sipakatau', merupakan sifat untuk memandang manusia seperti manusia. Maksudnya dalam kehidupan sosial selayaknya dipandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apa pun. Pada intinya manusia seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan derajat. Sipakatau adalah bagian dari tata krama sebagaimana dalam pengertian tata krama adalah adalah kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia setempat. Tata krama terdiri dari kata “tata” dan “krama”, tata berarti ada, aturan, norma, peraturan. Krama berarti sopan, santun, bahasa yang taklim (amat terhormat), kelakuan, tindakan perbuatan. Dengan demikian, tata krama berarti adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan santun. Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
 “Istirahatlah Daeng, sudah larut malam, nanti besok
Bisa dilanjutkan,”  Indoupe memecah kesunyian tatkala
melihat suaminya terus terbenam dalam kenikmatannya.
Peringatan itu sudah sangat dihafal oleh Daeng Sallo.

“Aku paham, Upe. Ini semua untuk Latuwo, bukan untuk orang lain. Untuk anak kita. “ Daeng Sallo kembali membangkitkan rasa rindu pada kedua anaknya. (Paelori, hlm. 7).

“Kata mereka, Daeng selalu merusak perangkapnya,”

Indoupe menatap suaminya dengan lekat. Daeng Sallo
Tersenyum getir.
“Perangkap torisalo itu ? Tanya Daeng Sallo sambil mengerutkan dahi. Diletakkannya gelas yang telah kosong di dekatnya.

Indoupe hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah suaminya menegang dengan tatapan kosong.
“ Mengapa aku yang dituduh?” suara Daeng Sallo seolah diperdengarkan kepada angin yang ada disekelilingnya.
“Entahlah, Daeng. Kata mereka kita selalu menghalangi niatnya untuk menangkap torisalo, penunggu sungai itu,

 “ Indoupe berucap dengan hati-hati dan selembut mungkin. (Paelori, hlm. 9).
“Jalanmi Daeng ” Aku mengajak pak supir yang berdiri di sisi mobil.

“Belumpi penuh Kareng” jawabnya disertai dengan senyum. Aku menoleh. Masih kurang tiga orang. Biasanya mobil meninggalkan terminal jika penumpang sudah penuh.

“Saya pi yang bayar untuk empat orang Daeng”. Aku sudah tidak sabaran. Bayangan ibu, ayah, saudara dan segenap kawan kecilku telah terlintas di depan mata. (Rahim, hlm. 19).

Ternyata tidak demikian. Mereka justru membantuku dan memberi makanan buat adikku. Kami ikut mereka menyeberang sungai untuk menyelematkan diri, tapi Isak tidak kuat lagi, dia meninggal di tengah jalan. Kembali air mata Yohanna tumpah mengenang tragedi yang memilukan itu.

Saya satu-satunya Nasrani di kelompok itu. Mereka ternyata baik-baik, tidak seperti yang sering dituduhkan sebagian orang. Saya diperlakukan dengan baik, bukan seperti musuh. Di situlah saya mulai berpikir bahwa Islam benar-benar agama yang damai. (Rahim, hlm. 48).

“Dari mana dik?” tanyanya dengan sopan disertai dengan senyum yang ramah.
“Sekolah,”  jawabku sekenanya.
Setelah itu, diam. Ia juga tidak berbicara banyak. (2)Tapi dalam diam, setiap sekali matanya membentur bola mataku pasti ia tersenyum ramah. Ramah sekali. (Paelori, hlm. 56).


          
Kutipan di atas menggambarkan perbincangan yang sopan antara Daeng Sallo dan Indo Upe. percakapan tersebut sangat relefan dengan nilai sipakatu adalah sifat memanusiakan manusia. Daeng Sallo dan Indo Upe menggunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai antara suami istri seperti bagaimana mestinya. Di sisi lain,  menggambarkan betapa sopannya Indoupe berbicara dengan suaminya Daeng Sallo. Kepada  seorang sopir yang belum dikenalnya. Ini sangat menampakkan rasa sipakatau. sifat memanusiakan manusia tidak melihat manusia dari segi jabatan, pangkat dan status sosial.
            Cerita  Yohanna kepada seorang sahabatnya ketika Yohanna diperlakukan dengan baik oleh umat islam meskipun dia seorang nasrani. Ini membuktikan nilai siapakatau  manusia  tidak meliha dari segi budaya, ras, dan agama.
Percakapan  yang sangat sopan dan ramah, kutipan diatas tersebut menggambarkan nilai siapakau yang yang mengedepankan nilai kesopanan dan keramahan ketika sedang berbicara tanpa memandang dari segi apa pun.

2. Sipakainge (watak)
Sipakainge', merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
            Sipakainge sangat erat hubungannya dengan watak yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya seperti: tabiat, budi pekerti. Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
 (1)“Jangan ganggu..., Jangan ganggu dia! Anakku tidak bersalah. Dia tidak bersalah...! Daeng Sallo berteriak dengan mata tajam menancap satu-persatu orang di sekelilingnya. (Paelori, hlm. 12)

 (1)“Torisalo yang kamu musuhi itu adalah anakku. Adalah   darah    dagingku. (2)Jika kamu membunuhnya, berarti kamu juga telah membunuhku...!!!” suara Daeng Sallo semakin meninggi dengan matanya tetap jalang meneliti orang-perorang yang mengelilinya. (Paelori, hlm. 12).

“Aku pernah bertemu dengan Karaeng Labakang. Beliau menanyakan kamu. (1)Jalan-jalanlah ke rumahnya nanti. Putri bungsunya sudah mengajar di pesantren. (Rahim, hlm. 18).

(1)“Tolong Pak, larang mereka meninggalkan tempat”.Pinta Nurul pada seorang pedagang yang memakai peci putih
(2)“Mari bapak-bapak kita hadapi mereka”. Ajak Nurul kepada para pedagang yang berani tinggal di tempatnya. (Rahim, hlm.50).

(1)“coba Bapak pikir, seandainya yang berjualan di   tempat ini adaalah orang tua atau saudara Bapak, (2) apakah bapak tega untuk melakukan tindakan seperti ini?” Nurul menatap petugas yang bertubuh tinggi di depannya. Sama sekali tidak gentar menghadapinya. (Rahim, hlm. 51).

(1)“Dia telah mengambil uang dengan meminjam kepada warga di sini. Hampir seluruh warga telah diutangi. Dan kini dia sudah kabur entah ke mana,” jelas pemuda itu, yang juga katanya ia termasuk korbannya. (Paelori, hlm. 62).

“ Sabar, Pak Faisal.” Pak Kepala mencoba menenagkan Pak Faisal. (Rahim, hlm. 92).

(1)“Astagfirullah. Daeng tidak perlu marah seperti itu. Istigfar, Daeng. Kan baru saja selesai shalat, masa marah-marah seperti itu.
(2)Daeng kecewa ? Daeng menyesal menyumbangkan tanah untuk sekolah ini?” suara Bu Abidah menahan kekecewaan. Wajahnya keras dan pucat, menutupi kelembutan yang selama ini selalu melekat di sana. (Rahim, hlm. 94).

Kutipan  menggambarkan jiwa sipakainge, terlihat ketika Daeng Sallo mengingatkan kepada penduduk agar tidak membunuh torisalo yang dianggap anaknya. Seperti yang telah diketahui bahwa sipakainge adalah bagaimana sifat yang saling mengingatkan. Hal ini terlihat ketika Daeng Sallo mengingatkan dan meyakinkan warga penduduk bahwa Torisalo itu adalah anaknya. Nilai  sipakainge pun merupakan sifat saling mengingatkan dan terlihat jelas dari sebuah saran atau mengingatkan, seperti ketika Nurul mencoba mengingatkan para pedagang agar tetap bertahan dan mengajak para pedagang untuk melawan para petugas yang ingin menghancurkan dagangan para pedagang dan mencoba mengadakan pengrusakan tempat para pedagang.
            Di sisi lain, terlihat  pemuda itu mencoba mengingatkan agar tidak langsung percaya sama orang lain walaupun kelihatannya baik dan sangat sopan karena tidak menutup kemungkinan orang itu adalah penipu dan sengaja bersembunyi di balik kesederhanaannya. Sipakatau pun terlihat ketika Ibu Abidah mengingatkan suaminya Pak Faisal agar tetap sabar dan iklas atas cobaan yang dihadapinya.

3. Sipakalebbi (Kekeluargaan)
               Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang dipuji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi.
                Sipakalebbi tidak dipisahkan dalam bingkai kekeluargaan, karena kekeluargaan adalah aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga dan masyarakat). Hal tersebut dapat dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
 Latuwo kan paling suka daging burung belibis. .. Mumpung aku masih hidup. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengangkap belibis untuk anak kita ?”  Daeng Sallo bercerita dengan nada sendu bercampur. Kadang-kadang berhenti sejenak. Meluruskan punggungnya yang sudah mulai sakit ketika duduk lama. (Paelori, hlm. 7).

“Bukan anakku, bukan!” Daeng Sallo membela anaknya. (Paelori, hlm. 13).
“Ini oleh-oleh untukmu”
Bune gembira sekali dengan pemberianku. Wajahnya menyiratkan keceriaan.
“Terima kasih Karaeng” katanya sambil mendekap pemberianku. (Rahim, hlm. 22).

“Esse kan ? Siniko dulu” Wanita hamil itu memanggilnya dengan logam Makassar. Terpancar senyum di wajahnya, Nurul bertambah bingung. Nurul berusaha untuk tersenyum, tapi senyum itu tidak tulus. … “Jangan-jangan wanita itu ...ah... tidak jadi. Kita tidak boleh menuduh orang tanpa bukti “ pikirnya. (Rahim, hlm. 45).

Nurul melirik jam tangan. Hari sudah siang, dia belum berbelanja. Dia pamit pada Yohana. … Sekali lagi dia merangkul sahabat lamanya. Tanpa sepengetahuan …Yohana, Nurul memasukkan selembar lima puluh ribu rupiah ke dalaam sakunya. (Rahim, hlm. 50).

“kemarin saya dapat telegram dari adik, dia diminta dikirimi uang untuk biaya pengobatan itu.” Tuturnya tanpa aku minta, tatkala aku sempat terdiam bebererapa jenak.
… Aku agak terenyuh dengan penuturannya. … Naluri kemanusiaanku tak membantah sedikitpun. Aku menganngguk. (Paelori, hlm. 59).
… “kalau Daeng ikhlas, tidak ada tapi-tapian. Aku sudah senang kita dapat menyumbangkan tanah ini untuk anak-anak di sini. Itu sudah cukup . tak usah diungkit-ungkit lagi. Nanti hilang pahalanya…. Bukan begitu yang sering Daeng nasihatkan kepada murid-murid kita dulu ?”. (Rahim, hlm.97-98).

Kutipan di atas memperlihatkan nilai sipakalebbi yang merupakan sifat yang tidak melihat manusia dari kekurangannya dan terlihat jelas dari kutipan tersebut, ketika Daeng Sallo sangat memperjuangkan dan ingin membahagiakan anaknya walaupun anaknya yang diyakininya itu adalah seekor buaya. Daeng Sallo rela mati membela seekor buaya yang diyakini bahwa buaya itu adalah darah dagingnya yang pada saat itu akan dibunuh warga.
Hal yang serupa terlihat ketika seorang karaeng yang memberikan oleh-oleh kepada Bune yang hanya orang biasa. Sama halnya dengan  Nurul sangat menghargai orang lain walaupun orang itu belum dikenalnya. Nurul pun sangat peduli dengan sahabat lamanya Yohana, walaupun Yohana sekarang hanyalah orang miskin, bersedia menolong orang lain yang sedang kesusahan walaupun orang itu belum tertalu dikenalnya. Keiklasan  Ibu Subaedah telah menyumbangkan tanahnya untuk anak-anak digunakan sebagai sekolah walau pada akhirnya dia harus terusir dari tanahnya sendiri karena pembangunan sekolah.










3 komentar:

BIDANG DIKDAS SULSEL mengatakan...

sebuah ulasan yang bagus meski perlu dibelah dengan pisau yang tajam, sukses penulis cerpen panggil aku aisyah

Unknown mengatakan...

Bagus ini

Unknown mengatakan...

Bagus ini