Kajian Sastra dengan Pendekatan Kearifan Lokal
Kearifan lokal dalam sebuah karya
sastra seringkali tidak terlalu diperhatikan padahal kearifan lokal sangat
identik dengan kesusateraan, misalnya tentang kearifan lokal yang bersifat
tentang bahasa, panggilan seseorang, dan status sosial. Kadang disalah artikan kearifan
lokal. Arif berarti bijaksana, akan tetapi sebagian dari budaya tidak terggambarkan
kearifan. Tindakan merusak alam, dan pemborosan kerap menjadi ritual
kebudayaan. Kadang pula berada dalam suatu kebimbangan karena budaya kerap
menjadi hal yang sangat sensitif, karena dapat memecah belah persaudaraan.
Budaya adalah lekat pada bidang-bidang lain yang terstruktur rapi. Keterkaitan
antar unsur kehidupan itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan demikian, budaya bukan sekedar tumpukan acak
fenomena, atau bukan sekedar kebiasaan lazim, malainkan tertata rapi dan penuh
makna. (Endarswara, 2003 : 1)
Dalam kebudayaan Bugis Makassar ada
sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan yaitu siri, makna siri adalah
berbeda-beda menurut ruang dan waktu tertentu tergantung pada bagaimana tingkat
perkembangan makna, nilai dan struktur sosil yang mendukungnya atau dengan kata
lain, bahwa makna itu sangat ditentukan oleh tingkat kebudayaan yang menyangkut
masalah nilai dalam kehidupan. Oleh karenanya ungkapan-ungkapan yang dapat
dikemukakan dapat menjadi jembatan penghubung antara nilai sosial dan nilai
budaya yang ada ditengah masyarakat. Seperti
yang diuraikan oleh Mattulada,tiga sifat yang bisa menjadi pedoman dalam
kehidupan sosial. Ketiga sifat yang dimaksud yaitu sipakatau', sipakainge', dan sipakalebbi Sipakatau', merupakan
sifat untuk memandang manusia seperti manusia. Maksudnya dalam kehidupan sosial
selayaknya dipandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apa pun.
Pada intinya manusia seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan
derajat.
Sipakainge', merupakan sifat saling
mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki
kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun manusia adalah
ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia
dengan segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan melupakan
keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang dipuji, jadi saling memuji
dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi
Ketiga sifat yang diwariskan nenek
moyang suku bugis makassar. dengan merealisasikan dalam kehidupan, berarti
telah melaksanakan kearifan lokal.
Adapun
kearifan local dalam kupulan cerpen Panggil
Aku Aisyah karya Thamrin Paelori dan Rahman
Rahim, dapat dilahat berikut ini.
1.
Sipakatau (Tata Krama)
Sipakatau', merupakan sifat untuk memandang
manusia seperti manusia. Maksudnya dalam kehidupan sosial selayaknya dipandang
manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apa pun. Pada intinya manusia
seharusnya saling menghormati tanpa melihat status dan derajat. Sipakatau adalah bagian dari tata krama
sebagaimana dalam pengertian tata krama adalah adalah
kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia
setempat. Tata krama terdiri dari kata “tata” dan “krama”, tata berarti ada,
aturan, norma, peraturan. Krama berarti sopan, santun, bahasa yang taklim (amat
terhormat), kelakuan, tindakan perbuatan. Dengan demikian, tata krama berarti
adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan santun. Hal tersebut
dapat dilihat dari petikan cerpen sebagai berikut :
“Istirahatlah Daeng, sudah larut malam, nanti
besok
Bisa
dilanjutkan,” Indoupe memecah kesunyian
tatkala
melihat
suaminya terus terbenam dalam kenikmatannya.
Peringatan
itu sudah sangat dihafal oleh Daeng Sallo.
“Aku paham, Upe.
Ini semua untuk Latuwo, bukan untuk orang lain. Untuk anak kita. “ Daeng Sallo
kembali membangkitkan rasa rindu pada kedua anaknya. (Paelori, hlm. 7).
“Kata mereka,
Daeng selalu merusak perangkapnya,”
Indoupe
menatap suaminya dengan lekat. Daeng Sallo
Tersenyum
getir.
“Perangkap torisalo itu ? Tanya Daeng Sallo sambil
mengerutkan dahi. Diletakkannya gelas yang telah kosong di dekatnya.
Indoupe
hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah suaminya menegang dengan
tatapan kosong.
“ Mengapa
aku yang dituduh?” suara Daeng Sallo seolah diperdengarkan kepada angin yang
ada disekelilingnya.
“Entahlah,
Daeng. Kata mereka kita selalu menghalangi niatnya untuk menangkap torisalo,
penunggu sungai itu,
“ Indoupe berucap dengan hati-hati dan
selembut mungkin. (Paelori, hlm. 9).
“Jalanmi
Daeng ” Aku mengajak pak supir yang berdiri di sisi mobil.
“Belumpi
penuh Kareng” jawabnya disertai dengan senyum. Aku menoleh. Masih kurang tiga
orang. Biasanya mobil meninggalkan terminal jika penumpang sudah penuh.
“Saya pi
yang bayar untuk empat orang Daeng”. Aku sudah tidak sabaran. Bayangan ibu,
ayah, saudara dan segenap kawan kecilku telah terlintas di depan mata. (Rahim,
hlm. 19).
Ternyata
tidak demikian. Mereka justru membantuku dan memberi makanan buat adikku. Kami
ikut mereka menyeberang sungai untuk menyelematkan diri, tapi Isak tidak kuat
lagi, dia meninggal di tengah jalan. Kembali air mata Yohanna tumpah mengenang
tragedi yang memilukan itu.
Saya
satu-satunya Nasrani di kelompok itu. Mereka ternyata baik-baik, tidak seperti
yang sering dituduhkan sebagian orang. Saya diperlakukan dengan baik, bukan
seperti musuh. Di situlah saya mulai berpikir bahwa Islam benar-benar agama
yang damai. (Rahim, hlm. 48).
“Dari mana
dik?” tanyanya dengan sopan disertai dengan senyum yang ramah.
“Sekolah,” jawabku sekenanya.
Setelah itu,
diam. Ia juga tidak berbicara banyak. (2)Tapi dalam diam, setiap sekali matanya
membentur bola mataku pasti ia tersenyum ramah. Ramah sekali. (Paelori, hlm.
56).
Kutipan di atas menggambarkan
perbincangan yang sopan antara Daeng Sallo dan Indo Upe. percakapan tersebut
sangat relefan dengan nilai sipakatu adalah sifat memanusiakan manusia. Daeng
Sallo dan Indo Upe menggunakan bahasa yang sopan dan saling menghargai antara
suami istri seperti bagaimana mestinya. Di sisi lain, menggambarkan betapa sopannya Indoupe
berbicara dengan suaminya Daeng Sallo. Kepada
seorang sopir yang belum dikenalnya. Ini sangat menampakkan rasa sipakatau. sifat memanusiakan manusia
tidak melihat manusia dari segi jabatan, pangkat dan status sosial.
Cerita Yohanna kepada seorang sahabatnya ketika
Yohanna diperlakukan dengan baik oleh umat islam meskipun dia seorang nasrani.
Ini membuktikan nilai siapakatau manusia tidak meliha dari segi budaya, ras, dan
agama.
Percakapan yang sangat sopan dan ramah, kutipan diatas
tersebut menggambarkan nilai siapakau yang yang mengedepankan nilai kesopanan
dan keramahan ketika sedang berbicara tanpa memandang dari segi apa pun.
2. Sipakainge (watak)
Sipakainge', merupakan sifat saling
mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki
kekurangan. Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun manusia adalah
ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka bumi ini.
Sipakainge sangat erat hubungannya
dengan watak yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran
dan perbuatannya seperti: tabiat, budi pekerti. Hal tersebut dapat dilihat dari
petikan cerpen sebagai berikut :
(1)“Jangan ganggu..., Jangan ganggu dia!
Anakku tidak bersalah. Dia tidak bersalah...! Daeng Sallo berteriak dengan mata
tajam menancap satu-persatu orang di sekelilingnya. (Paelori, hlm. 12)
(1)“Torisalo yang kamu musuhi itu adalah
anakku. Adalah darah dagingku. (2)Jika kamu membunuhnya, berarti
kamu juga telah membunuhku...!!!” suara Daeng Sallo semakin meninggi dengan
matanya tetap jalang meneliti orang-perorang yang mengelilinya. (Paelori, hlm.
12).
“Aku pernah
bertemu dengan Karaeng Labakang. Beliau menanyakan kamu. (1)Jalan-jalanlah ke
rumahnya nanti. Putri bungsunya sudah mengajar di pesantren. (Rahim, hlm. 18).
(1)“Tolong
Pak, larang mereka meninggalkan tempat”.Pinta Nurul pada seorang pedagang yang
memakai peci putih
(2)“Mari
bapak-bapak kita hadapi mereka”. Ajak Nurul kepada para pedagang yang berani
tinggal di tempatnya. (Rahim, hlm.50).
(1)“coba
Bapak pikir, seandainya yang berjualan di
tempat ini adaalah orang tua atau saudara Bapak, (2) apakah bapak tega
untuk melakukan tindakan seperti ini?” Nurul menatap petugas yang bertubuh
tinggi di depannya. Sama sekali tidak gentar menghadapinya. (Rahim, hlm. 51).
(1)“Dia
telah mengambil uang dengan meminjam kepada warga di sini. Hampir seluruh warga
telah diutangi. Dan kini dia sudah kabur entah ke mana,” jelas pemuda itu, yang
juga katanya ia termasuk korbannya. (Paelori, hlm. 62).
“ Sabar, Pak Faisal.” Pak Kepala
mencoba menenagkan Pak Faisal. (Rahim, hlm. 92).
(1)“Astagfirullah.
Daeng tidak perlu marah seperti itu. Istigfar, Daeng. Kan baru saja selesai
shalat, masa marah-marah seperti itu.
(2)Daeng
kecewa ? Daeng menyesal menyumbangkan tanah untuk sekolah ini?” suara Bu Abidah
menahan kekecewaan. Wajahnya keras dan pucat, menutupi kelembutan yang selama
ini selalu melekat di sana. (Rahim, hlm. 94).
Kutipan menggambarkan jiwa sipakainge, terlihat
ketika Daeng Sallo mengingatkan kepada penduduk agar tidak membunuh torisalo
yang dianggap anaknya. Seperti yang telah diketahui bahwa sipakainge adalah
bagaimana sifat yang saling mengingatkan. Hal ini terlihat ketika Daeng Sallo
mengingatkan dan meyakinkan warga penduduk bahwa Torisalo itu adalah anaknya.
Nilai sipakainge pun merupakan sifat saling mengingatkan dan terlihat
jelas dari sebuah saran atau mengingatkan, seperti ketika Nurul mencoba
mengingatkan para pedagang agar tetap bertahan dan mengajak para pedagang untuk
melawan para petugas yang ingin menghancurkan dagangan para pedagang dan
mencoba mengadakan pengrusakan tempat para pedagang.
Di
sisi lain, terlihat pemuda itu mencoba
mengingatkan agar tidak langsung percaya sama orang lain walaupun kelihatannya
baik dan sangat sopan karena tidak menutup kemungkinan orang itu adalah penipu
dan sengaja bersembunyi di balik kesederhanaannya. Sipakatau pun terlihat
ketika Ibu Abidah mengingatkan suaminya Pak Faisal agar tetap sabar dan iklas
atas cobaan yang dihadapinya.
3. Sipakalebbi (Kekeluargaan)
Sipakalebbi, sifat yang dilarang melihat manusia
dengan segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan melupakan
keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang dipuji, jadi saling memuji
dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahmi.
Sipakalebbi
tidak dipisahkan dalam bingkai kekeluargaan, karena kekeluargaan adalah aspek
yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik langsung maupun dalam
bentuk kelembagaan (keluarga dan masyarakat). Hal tersebut dapat dilihat dari
petikan cerpen sebagai berikut :
Latuwo kan paling suka daging burung belibis.
.. Mumpung aku masih hidup. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengangkap
belibis untuk anak kita ?” Daeng Sallo
bercerita dengan nada sendu bercampur. Kadang-kadang berhenti sejenak.
Meluruskan punggungnya yang sudah mulai sakit ketika duduk lama. (Paelori, hlm.
7).
“Bukan anakku, bukan!” Daeng Sallo
membela anaknya. (Paelori, hlm. 13).
“Ini
oleh-oleh untukmu”
Bune
gembira sekali dengan pemberianku. Wajahnya menyiratkan keceriaan.
“Terima
kasih Karaeng” katanya sambil mendekap pemberianku. (Rahim, hlm. 22).
“Esse kan ?
Siniko dulu” Wanita hamil itu memanggilnya dengan logam Makassar. Terpancar
senyum di wajahnya, Nurul bertambah bingung. Nurul berusaha untuk tersenyum,
tapi senyum itu tidak tulus. … “Jangan-jangan wanita itu ...ah... tidak jadi.
Kita tidak boleh menuduh orang tanpa bukti “ pikirnya. (Rahim, hlm. 45).
Nurul melirik
jam tangan. Hari sudah siang, dia belum berbelanja. Dia pamit pada Yohana. …
Sekali lagi dia merangkul sahabat lamanya. Tanpa sepengetahuan …Yohana, Nurul
memasukkan selembar lima puluh ribu rupiah ke dalaam sakunya. (Rahim, hlm. 50).
“kemarin saya
dapat telegram dari adik, dia diminta dikirimi uang untuk biaya pengobatan itu.”
Tuturnya tanpa aku minta, tatkala aku sempat terdiam bebererapa jenak.
… Aku
agak terenyuh dengan penuturannya. … Naluri kemanusiaanku tak membantah
sedikitpun. Aku menganngguk. (Paelori, hlm. 59).
… “kalau
Daeng ikhlas, tidak ada tapi-tapian. Aku sudah senang kita dapat menyumbangkan
tanah ini untuk anak-anak di sini. Itu sudah cukup . tak usah diungkit-ungkit
lagi. Nanti hilang pahalanya…. Bukan begitu yang sering Daeng nasihatkan kepada
murid-murid kita dulu ?”. (Rahim, hlm.97-98).
Kutipan di atas memperlihatkan nilai
sipakalebbi yang merupakan sifat yang
tidak melihat manusia dari kekurangannya dan terlihat jelas dari kutipan
tersebut, ketika Daeng Sallo sangat memperjuangkan dan ingin membahagiakan
anaknya walaupun anaknya yang diyakininya itu adalah seekor buaya. Daeng Sallo
rela mati membela seekor buaya yang diyakini bahwa buaya itu adalah darah
dagingnya yang pada saat itu akan dibunuh warga.
Hal yang serupa
terlihat ketika seorang karaeng yang memberikan oleh-oleh kepada Bune yang
hanya orang biasa. Sama halnya dengan
Nurul sangat menghargai orang lain walaupun orang itu belum dikenalnya.
Nurul pun sangat peduli dengan sahabat lamanya Yohana, walaupun Yohana sekarang
hanyalah orang miskin, bersedia menolong orang lain yang sedang kesusahan
walaupun orang itu belum tertalu dikenalnya. Keiklasan Ibu Subaedah telah menyumbangkan tanahnya
untuk anak-anak digunakan sebagai sekolah walau pada akhirnya dia harus terusir
dari tanahnya sendiri karena pembangunan sekolah.
3 komentar:
sebuah ulasan yang bagus meski perlu dibelah dengan pisau yang tajam, sukses penulis cerpen panggil aku aisyah
Bagus ini
Bagus ini
Posting Komentar