Rabu, Juli 23, 2008

KISAH I KUKANG Sebuah Kajian Fungsi

A. Pendahuluan

Cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan cerita rakyat ini dapat dikatakan masih berkisar pada tradisi lisan. Artinya, sebagian besar cerita rakyat masih tersimpan di dalam ingatan orang-orang tua atau pencerita. Namun, akhir-akhir ini tidak sedikit pula di antara cerita rakyat itu yang sudah ditulis, bahkan diterbitkan.
Cerita rakyat merupakan suatu bentuk atau genre folklor yang paling banyak diteliti oleh para ahli folklor (Dananjaya, 2002: 50). Sementara, Mitchell, 2003: 228) mengemukakan bahwa folklor merupakan jenis pengetahuan tradisional yang disampaikan dari lisan ke lisan dalam sebuah komunitas masyarakat kecil yang terisolasi. Berbagai pengetahuan tersebut dapat disampaikan lewat nyanyian, permainan, cara berbicara, dan adat-istiadat sebagaimana halnya sebuah mitos dan atau lagenda.

1 Cerita rakyat adalah bagian dari sastra tradisional yang kehadirannya untuk memberikan pengajaran dan dapat juga dipandang sebagai memahami akar eksistensi manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan masa kini. Huck dkk (1987:252) mengemukakan bahwa sastra tradisional adalah milik masyarakat yang menciptakannya dan dikisahkan baik kepada orang dewasa maupun anak-anak yang secara langsung maupun tidak langsng anak dibelajarkan menghargai keadilan dan memberikan penilaian moral.
Sebagai kekayaan sastra, sekaligus sebagai kekayaan budaya, cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tetapi juga dapat memberikan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan ini. Dalam kapasitasnya sebagai kekayaaan budaya, cerita rakyat sarat pula dengan ide-ide yang positif, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan sebagainya.
Kisah I Kukang merupakan salah satu cerita rakyat Makassar yang sangat digemari oleh kalangan tua dan muda, terutama anak-anak. Kisah I Kukang menceritakan keuletan dan ketabahan serta kemauan keras seorang anak yang sudah ditinggal mati ayah ibunya. Dengan ketekunan, keuletan dan bekerja keras ia memperoleh kebahagian, i Kukang pun tabah menghadapi cobaan hidup dan tekun berusaha sambil membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Dengan demikian, pengungkapan cerita rakyat termasuk Kisah I Kukang memiliki fungsi seperti fungsi pendidikan. Yang pada umum kepribadian dibentuk oleh pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana atau media dalam menanamkan laku perbuatan yang secara kontinyu sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang mendasar dijadikan norma, dan selanjutnya menjadi adat, sehingga laku atau perbuatan itu mempunyai sanksi. Adat kemudian membentuk sifat. Sifat seseorang merupakan tabiat atau watak. Tabiat rohaniahnya dan sifat lahir akan membentuk kepribadian sehingga orang dikenal dengan berkepribadian baik atau buruk.

B. Fokus Kajian
Fokus yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah fungsi sastra daerah Makassar dalam Kisah I Kukang. Fungsi yang dimaksud adalah (1) sebagai alat pendidikan, (2) sebagai alat memperjuangkan kelas, (3) sebagai alat penebal rasa solidaritas, (4) sebagai alat melatih mental, dan (5) sebagai alat hiburan.

C. Teori
1. Folklor
Menurut Alwi (1994: 279) folklor ialah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan; ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
Seirama dengan pengertian tersebut oleh Hoetomo (2005:158) mengemukakan folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun; ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan. Sementara itu, menurut Dananjaya (2002:2) folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang terbesar dan diwariskan turun-temurun. Di antara kolektif bermacam-macam, ada secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Folklor biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Sebagai bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif) folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum.
Danandjaja (1984) mengemukakan bahwa folklor merupakan cara untuk mengabadikan apa yang dirasakan penting oleh sebuah masyarakat pada sesuatu masa yang tertentu, dan lore mencerminkan fikiran folk itu. Dalam konteks ini, folk akan berterusan menguji dan mempersoalkan lore yang ditatanya untuk memastikan keserasian dan kesesuaian tradisi itu. Dalam arti lain, budaya yang bersifat dinamik tidak berubah melalui perubahan pikir dan jiwa masyarakatnya. Apabila masyarakat itu bertambah kritis dan rasional, semakin banyak unsur-unsur budaya yang akan dipersoalkan, diuji dan disesuaikan kepada konteks tempat dan masa. Ini semua dilakukan tanpa mencemari motif asal cerita tersebut.
Ciri-ciri folklor yang membedakan dari kebudayaan lainnya menurut Dananjaya (2002: 3-4) sebagai berikut:
Penyebaran dan pewarisan dilakukan secara lisan.
Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda karena penyebarannya dari mulut ke mulut.
Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui.
Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, seperti kalimat pembukaan sahibul hikayat, pada suatu hari dan lain-lain.
Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat umpamanya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Sebagai salah satu genre sastra lisan, folklor secara umum mempunyai fungsi sosial karena merupakan ekspresi masyarakat (Wellek, 1993:90).
Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu karena pencipta pertamanya tidak diketahui, sehingga setiap anggota kolektif merasa memiliki.
Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kasar, terlalu spontan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur.
Dundes (1965: 277) menyatakan ada beberapa fungsi folklor yaitu sebagai alat pendidikan di kalangan kaum muda, menawarkan perasaan solidaritas sebuah kelompok, memberikan cara-cara sansi sosial untuk individu-individu yang berbuat melebihi yang lain (superior) atau mengecam individu-individu lain, berfungsi sebagai sarana protes sosial, menawarkan suatu pelarian dari kenyataan; dan mengubah pekerjaan yang menjemukan menjadi menyenangkan seperti permainan.
2. Teori Fungsi
Teori Fungsi khususnya Fungsi Sastra menurut Wellek & Warren (1995: 24-25), dipelopori oleh Edgar Allan Poe dan Horace, seorang pujangga Romawi, didukung oleh Luxemburg (1991) dan Budi Darma (2004). Namun menurut Sudikan (2001:109), Fungsi Sastra khususnya Sastra Lisan di­pelopori oleh para ahli folklor, di antaranya William R. Bascom (1965), Alan Dundes (1965), dan Ruth Finnegan (1977). Masing-masing memiliki pan­dang­an berbeda, karena landasan filosofis dan daya ana­lisis mereka juga ber­beda.
Menurut Edgar Allan Poe (dalam Wellek & Warren, 1995:24-25), sastra berfungsi untuk: menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Darma (2004:4) me­nyebutnya sebagai: sastra hiburan atau pelarian (escape litera­ture) dan sastra serius atau penafsir­an (interpretative lite­rature). Horace (dalam Wellek & Warren, 1995:25, 316) atau Horatio –Luxemburg (1987:16) menyebutnya demi­kian– menyimpul­kan fungsi sastra, adalah: dulce dan utile (“indah” dan “ber­guna”, atau “main” dan “kerja”, atau “nilai terminal” dan “nilai ins­trumental”). Demi­kian pula Luxem­burg (1991:21-22) berpendapat serupa, bah­wa sastra dapat ber­fungsi mem­­berikan: kesantaian atau kesenangan dan man­faat tak langsung. Pendapat para ahli tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
a. hiburan / kesenangan / pelarian (escape literature), sifatnya:
1) merangsang pembaca untuk terus membaca tanpa penafsiran, jadi hanya­lah untuk iseng semata (just for fun) (Darma, 2004:4).
2) memberi: pelepasan ketegangan, kenikmatan estetis ‘kesenangan’ aktif (terus-me­­nerus) karena apresiasi teks, identifikasi diri (self identifi­cation) (pelibatan pribadi) karena fiksio­nalitas teks (Lux­em­burg, 1991:22).
3) kegiatan iseng, tidak membosankan (Wellek & Warren, 1995­:­26).
b. Ajaran / kegunaan / penafsiran (interpreta­tive literature), sifat­nya:
1) mendorong pembaca untuk merenung/berfikir, sehingga dapat menambah wawasan ke­hidupan (insight into life) (Darma, 2004:4).
2) memberi: manfaat mimesis imitable (dapat di­tiru) & imitation (peniru­an) (Abrams, 1971:8-9); wawasan masalah manusiawi, sosial, ataupun intelektual (Luxemburg, 1991:21)
3) perlu perhatian serius (Wellek & Warren, 1995:26).
Menurut William R. Bascom (1965, dalam Sudikan, 2001:109) fungsi sas­tra, khususnya sastra folklor (cerita-cerita, dongeng-dongeng, atau cerita rakyat) mem­punyai fungsi sebagai: (1) bentuk hibur­an (form of amuse­ment), (2) penge­sah­an budaya, (validating culture), (3) pembenaran ritual dan adat isti­adat (justi­fying rituals and insti­tutions), (4) alat pen­didikan (pedago­gical de­vice), dan (5) pe­negak disiplin norma-norma masyarakat (main­tain­ing patterns of behavior).
Menurut Alan Dundes (1965, dalam Sudikan, 2001:109), bebe­rapa fungsi sastra khususnya dalam folklor bersifat umum, yaitu untuk: (1) mem­­­bantu pen­didikan (aiding in the education), (2) meningkat­kan perasaan solida­ritas (pro­moting a feeling of solidarity), (3) mem­beri sangsi sosial (pro­viding socially sanctioned way ), (4) memberi sarana kritik sosial (vehicle for social pro­test), (5) memberi suatu pelarian yang me­nyenangkan (offering an enjoy­able escape), (6) mengubah pekerjaan mem­bosankan menjadi per­mainan (con­vert­ing dull work into playing). Sedangkan Ruth Finnegan (1977, dalam Sudikan, 2001­:­114), menyata­kan bahwa fungsi sastra khususnya sastra lisan termasuk juga puisi lisan (oral poetry) adalah untuk: mem­per­juangkan kelas (the class struggle).
Beberapa fungsi sastra yang lain, antara lain adalah: (1) fungsi “katarsis” (catharsis) yang disampaikan oleh Aristoteles (dalam Wellek & Warren, 1995: 35) melalui karyanya The Poetics. Istilah katarsis dapat diartikan “pelepasan”, “keterharuan”; maksudnya: membebaskan, meluapkan atau mengekspresikan tekanan emosi pem­baca atau penontonnya. (2) fungsi “propa­ganda” yang di­sampaikan oleh Wellek & Warren (1995:33). Istilah propaganda dapat diartikan “penyebaran doktrin”, artinya: segala macam usaha yang di­lakukan secara sadar atau tidak adalah mempengaruhi pem­baca agar me­nerima sikap hidup tertentu.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, dapatlah disimpulkan dan di­uraikan bahwa karya seni atau sastra dapat berfungsi antara lain sebagai:
1. Hiburan.
Bagi seorang pengarang (karya seni dan sastra), kegiatan mengarang dapat menjadi sarana hiburan atau mem­bebas­kan diri dari tekan­an emosi. Ribot (dalam Wellek & Warren (1995:96), seorang psikolog Perancis, me­nyebut pengarang demikian sebagai sastrawan atau seniman diffluent yaitu me­mulai imaji­nasi­nya dari emosi atau perasaan, lalu me­nuangkannya me­lalui irama dan pen­citraan yang didorong oleh stimmung dalam dirinya. Demi­kian pula bagi seorang yang menikmati (karya seni dan sastra) akan me­­ngurangi bahkan melegakan emosi atau perasaan yang tertekan. Salah satu ciri sastra hiburan menurut Darma (2004:6), adalah tokoh-tokoh yang tampan, kaya, dicintai dan dikagumi, serta sanggup mengatasi segala macam masalah dengan mudah.
2. pembangkit emosi.
Drama tragedi dan komedi menurut Plato (dalam Wellek & Warren, 1995­:35), “memupuk dan menyuburkan emosi yang seharusnya kita mati­kan”. Pada saat menikmati (karya seni dan sastra, emosi dan perasaan pem­baca atau pe­nonton akan dibangkitkan. Hal ini terjadi ketika tokoh prota­gonis atau tokoh antagonis beraksi. Jadi, dalam me­nikmati karya seni dan sastra emosi atau perasaan pembaca dibangkitkan sampai klimaks cerita.
3. pelepasan/katarsis.
Setelah klimaks cerita, tekanan emosi atau perasaan pem­baca atau pe­nonton berangsur-angsur dibebaskan sampai pada akhir cerita, sehingga pembaca atau penonton mengalami kelegaan atau katarsis.
4. Ajaran atau penafsiran.
Menurut Edgar Alan Poe (dalam Mariana, 2004:3), menikmati karya seni dan sastra, penge­tahuan seseorang akan bertambah. Melalui tokoh-tokoh­nya, seseorang dapat belajar memahami sifat-sifat manusia tanpa perlu be­lajar psikologi lebih dahulu secara khusus. Selain itu, seseorang dapat me­­nambah wawasannya tentang filsafat, karena karya seni atau sastra yang baik biasanya mengandung nilai-nilai filosofis. Melalui nilai-nilai filoso­fis ini seseorang dapat menafsirkan makna ke­hidupan manusia dan sekitar­nya serta kebe­naran yang diungkapkan oleh pengarang.
5. Latihan mental
Dalam memahami apa yang ingin disampaikan oleh pengarang, diperlu­kan latihan otak atau latihan mental. Dengan demikian karya seni dan sastra juga ber­fungsi sebagai pelatihan mental, karena akan membuat se­seorang bertanya-tanya atau berfikir mengenai maksud pengarang; kira-kira pesan apa yang ingin disampaikannya, dan hikmah apa yang dapat diambil.
6.Alat propaganda
Bagi kaum Marxisme, yang berlandaskan ajaran ajaran-ajaran Karl Marx, seni atau sastra mempunyai fungsi sebagai alat propaganda untuk me­nyebarkan ide kelas penguasa (Hutomo, 1991:19, dalam Mariana 2005:4). Artinya, pengarang dengan media karyanya dapat menyampaikan doktrin­nya untuk mempengaruhi seseorang agar setuju dan mau menerima­nya.

7. Alat untuk memperjuangkan kelas
Menurut Hutomo (1991:19, dalam Mariana, 2005:4), kaum Marxisme meng­­­­anggap karya seni atau sastra juga berfungsi sebagai alat untuk memper­juangkan kelas. Pengarang menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh dalam karyanya berjuang agar taraf hidupnya meningkat dari kelas bawah men­jadi kelas menengah.
8. Alat proyeksi
Maksudnya, sebuah karya seni dan sastra dapat memproyeksikan kehidup­an seseorang atau masyarakat agar sese­orang dapat menyadari apa yang bisa terjadi dalam kehidupan seseorang atau masyarakat sesungguhnya.
9. Alat untuk mendidik anak
Pendapat tersebut sejalan dengan para sosiolog, seperti Bronis­law Mali­now­­ski (Hutomo, 1991:19, dalam Mariana, 2005:4), yang me­nyata­kan bahwa karya seni atau sastra berfungsi pula untuk mendidik anak. Artinya, dengan belajar melalui karya seni dan sastra, seperti dongeng atau drama lisan, anak dapat belajar etika, moral, dan agama tanpa merasa dicekoki dengan ajaran-ajaran yang abstrak; tetapi ada gambaran yang nyata pada tokoh-tokoh atau pelaku cerita termasuk perilaku-perilakunya, baik yang jahat mau­pun yang buruk.
10. Alat pengesahan budaya
Maksudnya, cerita dalam karya sastra dapat mengesahkan kebudayaan yang ada. Misalnya cerita tentang asal usul kata “babah”. Cerita ini se­sungguhnya mempunyai tujuan untuk mengesahkan larangan perkawinan antara pribuni dan non-pribumi (Hutomo, 1991:69, dalam Mariana, 2005:4). Contoh lain yaitu cerita tentang Nyi Roro Kidul yang digunakan untuk me­ngesahkan larangan memakai pakaian warna hijau ke pantai selatan.
11. Pengendali/kontrol sosial
Maksudnya, melalui karya seni (drama) atau sastra seseorang diingatkan untuk meng­­hindari perilaku buruk yang dilakukan oleh tokoh-tokoh anta­go­nis yang notabene juga seorang arau sekelompok penguasa, sekaligus membela perilaku baik tokoh-tokoh protagonis yang notabene seorang atau kelompok yang tertindas dalam cerita.
12. Alat untuk mengkritik
Kritikan dapat ditujukan kepada perorangan maupun kelompok tertentu; misalnya: kepada penguasa yang bertindak sewenang-wenang, kepada se­seorang atau masyarakat tertentu, sehingga terjadi diskriminasi sosial. Oleh karena itu teori ini juga berkaitan dengan dengan fungsi sastra yang beri­kut­nya yaitu untuk memprotes ketidak-adilan dalam masyarakat.
13. Protes ketidak-adilan
Sebagai contoh novel “Animal Farm” karangan George Orwell (Mariana, 2005:6). Dalam novel ini, Orwell menceritakan tentang pemberontakan hewan dalam peternakan, terhadap manusia sebagai penguasa; karena para hewan menganggap bahwa manusia telah berlaku sewenang-wenang dan me­nindas mereka. Setelah mereka mengalahkan mereka dengan cara mem­bunuh­nya, mereka memilih seorang pemimpin dari antara mereka. Ter­nyata perilaku pemimpin mereka sama persis dengan manusia yang telah mereka bunuh, yakni bertindak sewenang-wenang.
14. Pelarian
Artinya, karya seni atau sastra dapat berfungsi untuk melarikan diri dari tekanan hidup yang dialami oleh pembaca atau penonton. Karya de­mi­kian, Darma (2004:24) menyebutnya ‘refleksi realita’, yaitu untuk mem­buai pem­­baca dan untuk melarikan diri dari kepahitan dan rutinitas kehidupan.
Dengan demikian suatu karya seni atau sastra dapat mempunyai berbagai fungsi, baik bagi pengarangnya maupun bagi para pembaca atau penontonnya. Hal tersebut bukanlah suatu ketumpang-tindihan fungsi dalam suatu karya sastra; tetapi kebermaknaan yang disajikan oleh pengarang, telah dapat diterima oleh pem­baca atau penonton.

D. Analisis Fungsi dalam Kisah I Kukang
Sebagai alat pendidikan dalam Kisah I Kukang memperlihatkan bahwa kerja keras atau bekerja dengan tekun adalah salah satu syarat yang sangat fundamental untuk mewujudkan kebahagian hidup. Orang-orang tua dahulu sejak dini, telah menanamkan semangat seperti itu kepada anak cucunya.
Ada dua ungkapan yang sangat mempengaruhi jiwa dan semangat kerja orang Makassar. Kedua ungkapan tersebt adalah:
resopa siagang tambung
ri karaeng Malompoa
nanampa niak
sunggu lanikammai

empo sunggu panna-panna
tekne jannaya kayao
naya lanrinna
reso satunggu-tunggu
Terjemahannya
bekerja disertai tawakal
kepada Tuhan Yang Maha Agung
baru ada
bahagia digapai

bahagia cita-citakan
kemakmuran idam-idamkan
melalui
bekerja dengan tekun

Ungkapan tersebut, baik pada bait pertama maupun pada bait kedua terdapat kata kunci, yaitu reso dan sunggu. Kata reso dalam konsep budaya Makassar bermakna ‘bekerja dengan tekun”. Sedangkan kata sunggu bermakna ‘bahagia, makmur, dan tenteram’. Kata sunggu lebih mengacu kepada pemenuhan kebutuhan hidup materi.
Berdasarkan konsep makna kedua ungkapan tersebut dapat ditafsirkan bahwa: untuk memenuhi kebutuhan hidup di bidang materi, landasannya adalah bekerja. Tanpa kerja keras, kebahagiaan dan kemakmuran tetap menjadi sebuah impian yang tak akan pernah terwujud.
Makna kedua ungkapan itu benar-benar terpatri dalam jiwa i Kukang . Walau sudah ditinggal pergi oleh kedua orang tua untuk semala-lamanya, sanak-saudara, dan harta tidak punya, semangat hidupnya tidak pernah pudar, keyakinan dan semangat tawakalnya tidak pernah hilang. Penderitaan yang bertubi-tubi lebih memacu semangat keinginannya untuk lebih bersemangat hidup. Baginya, tawa, tangis, bahagia adalah bumbu kehidupan.
Dari alur perjalan hidup tokoh utama ini dapat diketahui betapa tinggi semangat kerja yang dimilikinya seperti yang terungkap dalam kutipan berikut ini.
Demikianlah keadaannya setiap hari… mengambil air untuk orang yang membutuhkan dan membuang sampah para penjual-jual kemudian diberi upah alakadarnya…
Kutipan tersebut memperlihatkan sikap dan tindakan yang sangat terpuji, yaitu bekerja apa saja yang penting halal, pantang meminta belas kasihan orang lain. Menjadi pengambil air atau pemungut sampah merupakan jenis pekerjaan yang ditekuni i Kukang sepeninggal kedua orang tuanya. Bagi sebagian orang pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang hina, tetapi bagi i Kukang hal itu merupakan suatu kebahagiaan karena sudah mendapatkan penyambung hidup melalui tetesan keringat sendiri.
Walaupun i Kukang sudah dapat menyambung hidupnya dari hasil mengambil air dan membuang sampah. Namun, tetap ber-inisiatif untuk meningkatkan taraf hidupnya. Beberapa waktu kemudian, niatnya menjadi kenyataan, yaitu menjadi penjual buah-buahan.
Cerita berawal ketika i Kukang masuk hutan mencari bahan-bahan untuk membuat gubuk tempat berlindung. Di tengah hutan ia mendapati pohon yang sarat dengan buah. Buah itu ternyata buah yang sangat digemari oleh penduduk kampung, tetapi sudah sangat langkah. Itulah sebabnya ketika i Kukang membawa buah itu ke pasar orang-orang pada kagum dan mendapat sambutan yang baik. Bahkan, tidak sedikit pedagang buah yang ingin memborong buah itu. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan berikut.
Hingga ia menemukan di dalam hutan pohon yang sarat dengan buah yang berwarna putih. Alangkah gembira hatinya melihat buah tersebut… Setelah sampai ke pasar… orang berkata inilah yang disebut ‘rappo-rappo kebok’, enak dimakan… “Hai anak”, kata seorang penjual “jika kamu ingin berlangganan bawakanlah saya setiap hari, saya saja yang membelinya”.

Sumber kehidupan yang ditemukan i Kukang di tengah hutan belantara berupa buah-buahan yang bernilai tinggi merupakan hasil kerja keras yang tentu saja memerlukan pengorbanan dan kesabaran. Beberapa saat lamanya menekuni pekerjaan itu. Masuk keluar hutan itulah yang dilakukannya hingga akhirnya dijadikan anak angkat dan tinggal bersama i Mannyang, sahabat almarhum ayahnya. Berkat ketekunannya menimba ilmu dari seorang guru i Kukang diangkat menjadi murid kesayangan sang guru. Bahkan i Kukang diberi kepercayaan untuk mengurus seluruh keperluan sekolah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Tidak berapa lama belajar, ia pun pintar. Dari hari ke hari ia semakin disayangi oleh gurunya karena kepandaiannya. Oleh karena itulah ia diberi kepercayaan untuk mengurusi sekolah. Bahkan ia diberi kepercayaan memegang kunci sekolahnya… Tak lama kemudian datanglah menghadap seorang saudagar Belanda kepada sang guru yang tujuannya mencari tenaga yang akan dijadikan tenaga kerja di perusahaannya (toko)… Dari hari ke hari i Kukang semakin disayangi oleh majikanna hingga ia diberi tugas/kepercayaan memegang kunci toko…Akhirnya ia diangkat menjadi pengawas oleh majikannya.

Kutipan tersebut, mempertegas kandungan tema dan amanat yaitu dengan ketekunan, kerja keras, disertai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan sukses dalam bidang apa pun dapat diraih.
Fungsi memperjuangakan kelas. Dalam hal ini pengarang menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh dalam karyanya berjuang agar taraf hidupnyameningkat dari kelas bawah menjadi kelas menengah.
Salah satu nilai yang cukup menonjol di dalam Kisah I Kukang adalah hemat dalam pengelolaan pendapatan. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan i Kukang menata ekonomi rumah tangganya dengan baik disebabkan kemampuan mengatur pemasukan dan pengeluarannya.
Salah seorang tokoh dalam kisah ini adalah Tambi Hakim dari Hindustan. Tambi Hakim termasuk salah seorang yang ikut berjasa kepada i Kukang ketika sakit keras (lumpuh). Tambi Hakim yang mengobatinya. Bahkan lebih dari itu, ketika ekonomi rumah tangga i Kukang morat-marit, ia pulalah yang mengatasinya, baik melalui bantuan langsung maupun melalui petuah-petuah yang bertuah. Berkat jasa Tambi Hakim, i Kukang dapat bangkit kembali menata kehidupannya seperti sebelum ia sakit keras. Sebagaimana ungkapan berikut ini.
Sudah banyak tabib yang mengobatinya, uang, barang yang dimiliki pun sudah habis digunakan untuk berobat. Namun penyakitnya tak kunjung sembuh, bahkan tulangnya terasa remah sampai ia bertemu dengan tabib yang berasal dari Hindustan.

Salah satu wasiat Tambi Hakim yang sangat terkesan di dalam hati i Kukang adalah sebagai berikut.
“Usahakan Nak, menjaga dan memelihara uang jika kamu memperoleh rezki dari Tuhan…” Hal ini pulalah yang dipesan guru kepada saya… “Apabila pengeluaran lebih banyak sehari, sebulan, dan setahun daripada pemasukan yakinlah pasti perhitunganmu tidak benar…”

Nasihat Tambi Hakim yang lain dapat dilihat berikut ini
“Langkah yang menyebabkan seorang mendapat kehormatan, seorang raja luas kekuasaannya, orang hina menjadi mulia, orang mulia bertambah mulia, hanya karena uang…”

Nasihat tersebut, memberi gambaran betapa besar pengaruh uang itu. Dengan uang seseorang dihormati. Seseorang yang hina, martabatnya dapat terangkat dan dihormati sesamanya karena uang.
I Kukang menyadari betul keadaannya. Tidak ada yang dapat ia andalkan. Sanak-saudara ia tidak punya, dan dia pun bukan dari kelompok yang layak dihormati. Oleh karena itu, ia berusaha mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.
Pada bagian akhir, Tambi Hakim menyatakan “…amatilah dengan baik kekuasaan uang. Itulah sebabnya sehingga kita dianjurkan untuk memelihara dan menjaganya dengan baik.

Semua nasihat Tambi Hakim berintikan faktor kepandaian mencari, memelihara, dan mengatur anggaran belanja. Artinya dalam segala hal harus kita selalu berhati-hati dan waspada. Termasuk di dalam mengelola masalah keuangan sesuai dengan ungkapan “hemat pangkal kaya”.
Fungsi yang lain yang terdapat dalam Kisah I Kukang adalah sebagai alat penebal perasaan solidaritas. Selaku makhluk sosial, manusia tidak mungkin hidup dan memenuhi kebutuhan sendiri. Semua manusia di dunia ini pasti memerlukan kehadiran orang lain. Kerja sama yang baik dalam kekeluargaan dan tolong-menolong selalu diperlukan dalam kehidupan.
Manusia di dalam mengarungi kehidupannya ibarat perahu yang sedang berlayar di tengah samudra. Di tengah pelayaran sangat banyak rintangan dan hambatan. Di sinilah diperlukan kerja sama yang baik dan tolong-menolong antara sesama keluarga. Dengan sifat seperti itu betapa pun beratnya rintangan dan hambatan akan dapat diatasi dengan baik.
Hidup ini terasa indah, jika yang satu menghadapi kesulitan lalu yang lain ikut merasakannya dan bersedia membantunya. Demikian juga sebaliknya, jika yang satu memperoleh keuntungan yang lain pun ikut merasakannya.
Rasa kekeluargaan dan persaudaraan dalam cerita ini tergambar ketika i Mannyang mengajak i Kukang tinggal bersamanya. I Mannyang adalah sahabat almarhum ayah i Kukang. Ia sangat berjasa, mengasuh dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri. Melalui i Mannyang, i Kukang dapat mengecap pendidikan yang amat berharga bagi perjalanan hidupnya.
I Mannyang merasa berkewajiban membantu i Kukang untuk keluar dari kesusahan, ia merasa berdosa jika membiarkan i Kukang larut dalam penderitaan. Oleh karena itu, ia berusaha meyakinkan i Kukang agar bersedia tinggal bersamanya. Ia bermaksud baik dan betul-betul ingin membantunya. Sebagaimana kutipan di bawah ini
Berkatalah i Mannyang , “…sayalah yang sering membawa ayahmu berlayar mengarungi samudra, merasakan pahit-getirnya kehidupan seperti saudara sekandung. Jika kamu bersedia, marilah kita sehidup semati”.

I Kukang menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh i Mannyang betul-betul diilhami oleh rasa persaudaraan yang sekian lama terjalin dengan almarhum ayahnya. Ajakan itu bukan sekedar basa-basi, melainkan betul-betul bersumber dari keinginan yang tulus. Oleh karena itu, i Kukang merasa berdosa jika niat yang baik tidak diterima dengan baik pula. Sebagaimana pernyataan i Kukang berikut ini.
Saya tidak dapat mengelak untuk tinggal bersama dan mengharap belaskasih Bapak. Walaupun seandainya kedua orang tuaku masih hidup tidak akan berbeda cara Bapak mengasuh saya. Saya bersyukur atas rahmat Allah dan rasul-Nya karena Bapak bersedia menerima sampah masyarakat seperti saya ini.

Keikhlasan i Mannyang menerima i Kukang yang didasari oleh rasa persaudaraan, akhirnya i Kukang langsung tunduk kemudian mencium lutut i Mannyang sebagai tanda hormat sekaligus sebagai tanda kesediaannya menerima tawaran tersebut, sebagaimana yang tergambar di bawah ini,
Maka sujudlah i Kukang lalu mencium lutut i Mannyang sebagai tanda hormat sambil mengucapkan maaf dengan berkata, “Maafkanlah saya, saya serahkan diri saya kepada Bapak dunia akhirat, lahir dan batin. Bapaklah pengganti orang tua saya.

Apa yang dijanjikan oleh i Mannyang benar-benar terpatri. Ia mengasuh i Kukang seperti layaknya anak kandung sendiri. Segala kebutuhannya dipenuhi. Bahkan, ia menyekolahkan hingga dapat hidup mandir.
Tolong-menolong di dalam kehidupan ini pada akhirnya bermuara kepada terciptanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

Fungsi sebagai alat melatih mental. Artinya, dalam memahami yang ingin disampaikan oleh pengarang diperlukan latihan otak atau latihan mental sehingga pembaca bertanya-tanya atau berpikir mengenai maksud pengarang kira-kira pesan apa yang hendak disampaikannya dan hikma apa yang dapat diperoleh.
Di dalam menghadapi sesuatu seseorang harus pandai-pandai mengasah otak membuat perhitungan. Sebelum bertindak, akibat yang akan muncul sudah harus diperhitungkan secara matang.
I Kukang ketika ditawari oleh i Mannyang untuk tinggal bersama, tidak langsung ia menerima. Berulang kali diajak, tetapi setiap kali itu pula i Kukang minta agar diberi waktu untuk berpikir. Ia teringat cerita antara burung Elang dengan burung Bangau. Kedua burung itu bersahabat karib. Keduanya saling membantu dan hidup berkasih-kasihan. Jika burung Bangau pergi mencari makan, burung Elang tinggal menjaga anak burung Bangau. Ketika induk burung Bangau mati, burung Elang berbuat lalim dengan jalan memakan anak burung Bangau. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan berikut.
Pada suatu hari burung Elang berkeliling mencari makanan, tetapi tidak berhasil…. Bersedilah burung Elang sampai ia kembali ke sarangnya. Sementara itu, anak burung Bangau mulai meriuh menciap-ciap menadahkan mulutnya kepada burung Elang minta makan. Tiba-tiba ia dipatok kemudian dimakan oleh burung Elang.

Cerita inilah yang mengilhami i Kukang sehingga ia tidak langsung menerima tawaran tersebut. Ia khawatir nasibnya akan sama dengan anak burung Bangau yang dimakan oleh burung Elang.
I Mannyang berusaha meyakinkan i Kukang dengan mengatakan “jangan berpikiran yang bukan-bukan, saya bukanlah burung Elang yang memakan anak sahabatnya. Saya hanya ingin membuktikan bahwa betapa tinggi nilai persaudaraan itu. Persaudaraan dapat berjalan terus walaupun salah satu pihak telah tiada. Segalanya terpulang kepadamu, Kukang . Keputusan ada padamu. Akan tetapi cita-citaku kepadamu adalah: kudambakan engkau bahagia, kudoakan dirimu sejahtera.
Dasar pemikiran yang dikemukakan i Kukang mencerminkan nilai kehati-hatian atau perhitungan yang matang sebelum mengambil keputusan. Walaupun keadaan terdesak, ia tetap berpikir jernih dan tidak gegabah menghadapi suatu permasalahan.
Dari gambaran tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, di dalam menghadapi suatu permasalahan diperlukan ketenangan berpikir. Segala sesuatu yang mungkin timbul sebagai akibat perlu diperhitungkan dengan matang. Kedua, untuk berpikir lebih tenang diperlukan waktu yang cukup. Tergesa-gesa dalam mengambil suatu putusan perlu dijauhi. Ketenangan i Kukang di dalam menghadapi setiap masalah merupakan modal tersendiri di dalam menanggapi kesuksesannya.
Alasan yang dikemukakan oleh i Kukang diterima baik oleh I Mannyang . Kehati-hatian dan perhitungannya yang cermat dibenarkan oleh I Mannyang , seperti yang terungkap berikut ini.
“…betul berpikirlah baik-baik, janganlah perbuatan yang engkau perhatikan, tetapi akibat dari perbuatan itulah yang perlu engkau perhitungkan. Sebab, manusia yang selalu memperhitungkan akibat suatu perbuatan, walaupun dia ditima bahaya, tidak akan terlalu parah.”

Kutipan tersebut, mengisyaratkan bahwa yang terpenting adalah kemampuan mendeteksi akibat suatu tindakan, bukan penyebabnya, dan yang dapat melakukan hal yang semacam itu adalah orang-orang yang bijak. Bukan hanya berupa tindakan, ucapan pun perlu diperhatikan. Hal inilah yang mempengaruhi cara berpikir i Kukang sehingga saat mendapat tawaran yang menggembirakan tidak langsung menerimanya tetapi dipikirkan dan diperhitungkan secara matang. Setelah ia berpikir dengan baik barulah tawaran itu diterimanya.
Di sisi lain, sikap kehati-hatian i Kukang ketika ia berada dalam hutan dan menemukan sebatang pohon yang sarat dengan buah. Setelah ia mengamati dengan baik muncullah dalam pikirannya, mengapa pohon yang satu ini berbeda dengan pohon yang lain. Pohon yang lain selalu dihinggapi burung, sedangkan pohon ini tidak seekor pun burung yang menghinggapinya. Akhirnya, ia mengambil simpulan bahwa buah ini beracun berbeda dengan buah yang tadi. Karena selalu berhati-hati dalam segala hal, ia selamat menjalani pahit getirnya kehidupan. Fungsi sebagai alat hiburan, mengartikan bahwa seseorang yang menikmati cipta sastra akan mengurangi bahkan melegakan emosi atau perasaan yang tertekan. Salah satu ciri sastra hiburan menurut Darma (2004: 6) tokoh-tokohnya tanpan, kaya, dicintai dan dikagumi, serta sanggup mengatasi macam masalah dengan mudah.
Dalam kapasitas sebagai pelestari budaya dapat dikatakan bahwa langgeng dan lestarinya warisan nenek moyang, baik berupa pengalaman, pandangan, dan falsafah hidup maupun yang lain-lain karena terekam dalam bentuk karya satra dalam segala jenisnya. Apa yang terkandung di dalamnya bukan hanya milik kelompok atau generasi tertentu, melainkan milik siapa saja yang sanggup menggalinya.
Nilai-nilai yang dilontarkan memiliki daya tembus terhadap nurani manusia. Ia pun mempunyai daya gapai yang jauh sekaligus memungkinkan akan terjadinya komunikasi yang intens antara cipta sastra dengan penikmatnya. Di sini terlihat adanya hubungan dan pengaruh timbal-balik antara karya satra sebagai produk budaya dan masyarakat sebagai pencipta sekaligus selaku budaya. Dari sini pula orang dapat menilai bobot dan kualitas suatu hasil karya sastra.
Terlepas dari sektor kemandiriannya, tingkat kemajuan dan kualitas suatu kelompok masyarakat ikut memberi andil terhadap hasil karya tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat kemajuan dan kualitas masyarakat, bobot dan kualitas karya sastra yang dimilikinya semakin tinggi pula. Sebab, sastra merupakan gambaran utuh suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Dan Kisah I Kukang sebagai salah satu jenis cerita rakyat tidak akan terlepas dari kenyataan seperti itu.
Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang sanggup melaksanakan amanat tersebut sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu di antaranya adalah kejujuran. Kejujuran adalah salah satu sifat yang dikagumi. Hal ini adalah penuangan salah satu cirri fungsi sastra sebagai alat hiburan. Kejujuran akan membawa seseorang lebih berhati-hati dan bertanggung jawab di dalam melaksanakan pekerjaan.
Tanggung jawab kepada Tuhan, apabila dilaksanakan dengan baik akan mewarnai pelaksanaan tanggung jawab yang lain, yaitu kepada sesama manusia dan kepada diri sendiri. Pusat pelaksanaan tanggung jawab kepada Tuhan adalah melalui penyembahan atau ibadah, baik yang langsung berhubungan dengan Tuhan , seperti shalat dan puasa maupun yang tidak langsung, seperti zakat dan infak. Tinggi dan rendahnya posisi atau martabat seseorang di sisi Tuhan tergantung pada pelaksanaan tanggung jawab tersebut kepada Tuhan.
I Kukang sebagai tokoh sentral dalam cerita ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab kepada Tuhan itu perlu dilaksanakan. Dalam cerita ini, pelaksanaan tanggung jawab tidak digambarkan secara transparan, tetapi ada kejadian-kejadian tertentu yang dapat mendukung hal tersebut. Misalnya, ketika i Kukang merasakan kekalutan pikiran dan kesedihan yang mendalam karena kematian kedua orang tuanya, keadaan hidupnya yang sangat memperihatinkan, ia meminta petunjuk atau berdoa kepada Tuhan agar diberi jalan keluar yang terbaik.
Berdoa termasuk rangkaian ibadah yang intinya adalah pengakuan atas kelemahan dan ketakberdayaan makhluk di balik kekuatan dan ke-Mahakuasaan-Nya. Di sisi lain i Kukang mengakui bahwa dirinya memang miskin, tetapi ia tetap hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw., ia tidak menerima perlakuan yang meremehkan agama Islam dan Al-Quran. Bahkan ia berani berkorban untuk itu. Apa yang dilakukan oleh i Kukang adalah penggambaran bahwa ia tetap melaksanakan tanggung jawab kepada Tuhan.
Walau ayah dan ibunya telah meninggal, i Kukang tetap memperlihatkan baktinya. Ia merawat kuburan kedua orang tuanya, ia selalu mengenang kedua orang tuanya yang sekali-kali diiringi dengan linangan air mata.
Tanggung jawab yang lain adalah tidak melupakan orang yang telah berjasa kepadanya terutama untuk meningkatkan kualitas hidupnya. I Mannyang selaku orang tua asuhnya, guru, dan pembimbingnya tak pernah luput dari perhatian dan tanggung jawabnya. Ketika timbul komplik antara I Mannyang dan gurunnya ia tampil sebagai penyelamat. Ia mengambil keputusan yang tepat sehingga keduanya mengakhiri konflik tersebut. i Kukang yang ketika itu sudah mulai mapan ekonominya, tidak sampai hati melihat adanya gejolak yang terjadi anatar dua orang yang dianggap sangat berjasa. Oleh karena itu, ia rela berkorban guna tegaknya sebuah nilai tanggung jawab.
Di sisi lain dapat dilihat tanggung jawab i Kukang terhadap majikannya, yaitu seorang saudagar Belanda. Amanat yang diserahkan padanya tidak disia-siakan. Selaku karyawan toko ia bekerja dengan tekun dan berusaha mengetahui seluk-beluk pekerjaan yang digelutinya. Ia menganggap toko itu sebagai miliknya sendiri. Karena itu, ia selalu berupaya agar toko itu tetap meningkat dan maju. Majikannya melihat tanggung jawab yang tinggi merupakan suatu yang patut dihargai. Sebagai tanda penghargaan diangkatlah i Kukang menjadi pengawas kepala dalam perusahaan milik saudagar Belanda.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri dapat berarti seorang selalu berusaha ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna, serta selalu berusaha meningkatkan kualitas dan taraf hidupnya. Pada sisi lain, tanggung jawab dapat berarti terselenggaranya satu amanat dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada.
Apa yang dilakukan i Kukang baik ditinjau dari ajaran agama maupun ajaran moral (adat-istiadat) merupakan hal yang wajar. Bahkan usaha itu dapat dikatakan mulia. Lebih memilih menjadi pembantu rumah tangga daripada meminta-minta, misalnya. Walaupun hal itu wajar saja dia lakukan sebagai anak yang telah yatim piatu.
Menadahkan tangan kepada orang lain dengan maksud meminta-minta merupakan tindakan yang sangat tercela. Nilai tanggung jawab yang demikian tinggi yang diperlihatkan i Kukang dalam hal kemampuannya mengatasi masalahnya patut dipuji. Usahanya dari membuang sampah hingga menjadi mandor kepala dengan penghasilan yang cukup lumayan tidak terlepas dari tanggung jawab diri sendiri. Demikian juga ketika diserahi amanah untuk membantu gurunya tugas itu pun dilaksanakan dengan sepenuh hati.

E. Penutup

Sastra derah khususnya cerita rakyat, merupakan asset budaya daerah yang perlu dijaga kelestariannya. Karena, merupakan bagian dari masa lalu, cerita rakyat berfungsi sebagai perekam dan pelestari norma-norma kemasyarakatan yang berkembang pada masanya.
Kisah I Kukang merupakan cerita berbingkai. Artinya, cerita inti banyak dibumbui oleh cerita tambahan. Walaupun demikian, struktur ceritanya tetap mencerminkan suatu keutuhan, sebab cerita-cerita tambahan itu lebih mempertajam fokus masalah untuk mencapai penyelesaian. Jalan ceritanya mendatar dan tokoh utama tidak banyak mengalami konflik, dalam arti tidak berhadapan dengan tokoh antagonis. Namun dalam cerita-cerita tambahan ditemukan tokoh-tokoh pratagonis dan tokoh antagonis.
Kisah I Kukang terdapat sejumlah pikiran atau nilai-nilai yang patut dihargai. I Kukang adalah sosok anak sejak kecil sudah akrab dengan berbagai penderitaan yang berat. Bekerja keras dan semangat membara, dan keterbukaan menerima nasihat orang lain, ia berhasil mengatasi tantangan.
Fungsi yang terdapat dalm Kisah I Kukang antara lain: (a) alat pendidikan, (b) alat memperjuangkan kelas (c) alat penebal rasa solidaritas, (d) alat melatih mental, (e) alat hiburan.
 

F. Ringkasan Cerita

I Kukang adalah seorang anak yang sudah yatim piatu. Pada waktu kedua orang tuanya meninggal, ia sangat menderita. Penderitaannya semakin menjadi-jadi sebab selain sudah tidak memiliki orang tua dan sanak saudara, ia pun tidak mewarisi harta. Pakaiannya compang-camping, kumuh, dan warnanya sudah tidak dapat dikenal. Untuk makan saja ia harus bekerja mengambil air dan membuang sampah atau membersihkan halaman rumah tetangga. Untuk tidur ia membuat balai-balai di atas pusara kedua orang tuanya.
Pada suatu hari, i Kukang sangat lapar, tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dimakan. Pada saat itu munculnya niatnya untuk pergi mencari makanan di dalam hutan. Ketika sedang berada di tengah-tengah hutan, tiba-tiba ada buah yang jatuh dari pohonnya. Buah itu jatuh karena ada burung yang memakannya. Karena laparnya, ia berpikir untuk langsung memakan buah itu. Namun, di balik itu muncul kekhawatiran segera hilang setelah ia mengamati burung-burung di atas pohon sedang menikmati buah itu dengan riangnya. Kekhawatirannya semakin terkubur setelah ia sendiri mencoba buah itu dan tidak terjadi sesuatu yang membahayakan pada dirinya. Ternyata buah itu asem-asem manis rasanya. Oleh karena itu, ia berpikir untuk membawa buah itu ke pasar siapa tahu orang kampung menyukainya.
Diambillah olehnya beberapa buah untuk diperlihatkan kepada pedagang buah sebagai contoh. Dan alangkah bahagianya tatkala buah yang diperkenalkan mendapat sambutan para pedagang buah. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang bersedia menjadi pelanggan, apalagi buah seperti itu sulit didapatkan pada musim itu.
Salah seorang di antara pedagang buah yang berminat dan selanjutnya menjad pelanggang adalah i Mallang . Selama berkenalan dengan i Mallang , ia selalu memperlihatkan sifat dan tingkah laku yang terpuji. i Mannyang saudara kandung i Mallang , secara diam-diam memperhatikannya dan ingin mengetahui lebih jauh siapa sebenarnya i Kukang, siapa orang tuanya, bagaimana keadaannya, dan seterusnya. Akhirnya, i Mannyang merasa tertarik untuk memungut i Kukang sebagai anak angkat. Sebelum menerima tawaran itu, i Kukang menyelidikinya lebih dahulu bagaimana kesungguhan orang itu. Setelah mengetahui bahwa i Mannyang itu adalah orang baik dan bersungguh-sungguh ingin mengambilnya seperti anak sendiri barulah i Kukang menerima tawaran itu.
Demi masa depan i Kukang , i Mannyang mengusahakan guru untuk membimbing atau mendidik secara khusus. Setelah berguru sekian lama, i Kukang semakin arif dalam memaknai hidup. Dari hari ke hari ia pun semakin disenangi oleh gurunya karena memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan budi pekerti yang terpuji. Itulah sebabnya ia diberi kepercayaan oleh gurunya untuk membantu mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan masalah belajar-mengajar.
Setelah menginjak dewasa, datang tawaran dari saudagar Belanda untuk menjadi karyawan di sebuh toko. Penghasilannya sebagai karyawan toko sudah cukup memenuhi kehidupan sehari-harinya. Kariernya semakin menanjak hingga akhirnya ia diangkat oleh majikannya menjadi pengawas atau mandor di toko tersebut. Tak lama kemudian ia pun dinikahkan oleh majikannya dengan seorang gadis yang bernama i Saoda . Ia bersama istrinya hidup aman dan tentram. Kebahagian yang dirasakannya tidak berlangsung lama, tiba-tiba ia mendapat musibah berat, terkena penyakit yang sangat parah. Sudah beberapa dukun atau tabib mengobatinya, namun belum juga sembuh. Setelah berobat kepada tabib yang bernama Tambi Hakim berangsur-angsur kesehatannya membaik.

Minggu, Mei 25, 2008

PUISI SODUM DAN GOMORRHA KARYA SASTROWARDOYO

A. Pendahuluan
Karya sastra seperti puisi merupakan pancaran sosila dan gejolak kejiwaan yang timbul dalam batin penyair. Pancaran kehidupan tersebut timbul akibat adanya interaksi langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar, dalam suatu keadaan yang dialaminya yang diwujudkan dalam bentuk tulisan ditata sedemikian rupa dengan menggunakan kata-kata yang singkat dan padat .
Umumnya puisi mengandung makna konotatif, serta membawa rasa keindahan baik ditinjau dari segi bahasa bagi orang yang menikmatinya maupun ditinjau dari segi isi orang yang mendalaminya.
Puisi, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama dengan sastra lainnya iaitu untuk memberikan nilai keindahan dan nilai moral bagi kehidupan manusia. Puisi lahir melalui renungan berdasarkan pengamatan terhadap realita kehidupan. Di samping itu, puisi mengandung ketidakpastian. Oleh karena itu, pembaca berada dalam tanggapan antara ketidakpastian dan kepastian, antara mengerti dan tidak mengerti. Di sinilah terletak seni suatu puisi, karena nilai suatu puisi terletak pada maknanya, maka setiap kali dibaca mengandung pemikiran atau inspirasi baru.
Puisi, akan memberikan nuansa baru yang khas pada pembaca apabila pembaca yang bersangkutan dapat memahami apa yang dibacanya. Untuk memahami puisi secara utuh perlu diketahui dan dimengerti bahwa puisi itu adalah karya bernilai estetis yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek lain, terlebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna atau bernilai estetis.
Puisi sebagai sistem tanda mempunyai satuan-satuan tanda yang antara lain berupa kosakata, bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, juga memiliki konvensi visual atau tipografi yang meliputi bait, baris sajak, enyambemen, rima, dan homologue. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra. Perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun. Bahkan sudah menjadi hakikat sastra sendiri.
Oleh karena itu, puisi sebagai sistem tanda tepatlah apabila dikaji berdasarkan tandanya atau semiotiknya, karena salah satu ciri penting dalam puisi adalah penggunaan bahasa yang khas dan padat. Salah satu bentuk kepadatan itu adalah kata yang konotatif dan simbolis.

B. Fokus
Fokus dalam kajian ini analisis semiotik dalam puisi Sodum dan Gomorrha karya Sastrowardoyo. Dalam kajian ini akan dipergunakan teori semiotik yang dianut oleh Charles Sander Peirce. Menurutnya tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol
C. Kajian Teori

1. Pengertian Semiotik

Istilah “Semiotik” berasal dari bahasa Yunani, iaitu “semion” yang berarti tanda, (sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan). Semiotik itu sendiri bukanlah suatu aliran baru dalam pengkajian bahasa atau kesusastraan, melainkan suatu pengembangan yang lebih lanjut dari aliran yang pernah ada. Ada pula yang mengemukakan “sematologi” atau “semiologi”. John Locke (dalam Teeuw, 1988:12), menggunakan istilah “semiotik” untuk menggambarkan ajaran tentang tanda.
Semiotik atau ilmu tentang tanda, menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah pengguna bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan yang meneliti ciri-ciri yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, 1974:980). Di sisi lain Aart van Zoest (1996: 5) mengungkapkan bahwa emiotik studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lainnya, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mengirimkannya.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama, yang seorang ahli linguistik iaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik. Kemudian nama itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Menurut Umberto, semiotik di Perancis dikenal dengan istilah semiologi adalah ilmu tentang tanda. Secara luas setiap aktivitas manusia yang bukan fenomena alam adalah tanda. Jadi, teori tentang tanda disebut semiotik (dalam Junus, 1985:73). Gagasan yang sama dikemukakan oleh Atmazaki bahwa istilah semiotik atau semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan sistem tanda secara sistematik (1990:77).
Foulkes (1975:3) mengemukakan bahwa pengkajian tentang sistem tanda berpangkal dari teori bahasa. Dengan demikian, ilmu bahasa pun dapat disamakan dengan ilmu semiotik. Jadi, semiotik adalah kajian tentang sistem tanda bahasa. Bahasa merupakan sistem tanda-tanda yang bersifat konvensional.
Menurut de Saussure (dalam Teeuw, 1988:46-47) bahasa sebagai sistem tanda. Tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifian (penanda) dan signifie (petanda). Signifian adalah adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Deskripsi demikian, signifian tidak indentik dengan bunyi dan signifie bukanlah denotatum, melainkan hal atau tanda dalam kenyataan yang diacu oleh benda itu. Secara kongkrit tanda burung tidak sama dengan bunyi fisik dan tidak pula dengan binatang dalam kenyataan. Tanda adalah albitrer, konvensional, dan sistematik. Jadi pengertian semiotik merupakan ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda.
Semiotik banyak mempersoalkan pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsif, yaitu penanda atau yang ditandai (yang merupakan arti tanda) dan petanda atau yang ditandai (yang mempunyai arti tanda). Berdasarkan hubungan antara penanda atau petanda ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang berhubungan antara penanda dan petanda dan petandanya dilihat dari segi persamaan bentuknya (kemiripan). Misalnya: potret, denah, dan grafik. Indeks digunakan untuk tanda yang menunjukkan bahwa hubungan yang alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat kausal (hubungan kedekatan eksistensi). Misalnya ada asap menandai ada api. Seruan he juga merupakan sebuah indeks sebab menyebabkan orang yang mendengar menoleh ke arah suara tersebut. Istilah simbol adalah tanda yang bersifat arbitrer. Hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat, artinya simbol itu ditentukan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Dengan kata lain, simbol merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional.


2. Semiotik dalam Kajian Sastra

Segala unsur yang ada dalam suatu kajian sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Dengan demikian, setiap unsur suatu karya sastra masuk dalam suatu sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem. Sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin dalam karya sastra karena tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Menganalisis atau mengkritik karya sastra adalah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya tersebut. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puis) haruslah puisi dianalisis (Hill, 1966:6).
Medium karya sastra bukanlah bahasa yang bebas seperti bunyi pada musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat.
Karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya daripada bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua atau sebagai sistem tanda sekunder. Dalam sastra, konvensi bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru iaitu arti sastra itu.
Atmazaki (1990:79) menjelaskan bahwa dalam penciptaan sastra, sastrawan pertama kali telah diikat oleh bahasa. Bahasa yang telah mempunyai arti itulah yang diolahnya menjadi sastra sehingga kadang-kadang arti bahasa di dalam karya sastra tidak sama artinya di luar karya sastra itu. Arti bahasa sehari-hati adalah terjemahan dari arti, sementara arti dalam karya sastra itu adalah terjemahan dari makna.
Makna karya sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra. Misalnya, tipografi, sajak, baris sajak, ulangan, dan lain-lain.
Meskipun sastra itu dalam sistem semiotik tingkatannya lebih tinggi daripada bahasa. Sastra tidak lepas sama sekali dari sistem bahasa atau konvensi bahasa. Hal ini disebabkan oleh penjelasan yang telah dikemukakan, iaitu bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang mempunyai arti berdasarkan konvensi tertentu.
Karya sastra adalah karya yang imajinatif yang bermedium bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya itu adalah tanda kebahasaan meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan konvensi tambahan. Konvensi itu antara lain perulangan, persajakan, tipografi, pembagian baris sajak, pembaitan, makna kiasan karena konteks dalam struktur yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sastra. Tentu saja tanda-tanda tersebut erat hubungannya dengan tanda kebahasaan. Misalnya ulangan tidak terpisahkan dengan kata-kata yang diulang-ulang yang semuanya menimbulkan ulangan bunyi dan menimbulkan efek intensitas atau efek liris atau efek lain.
Bagian-bagian (unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan bagian yang merupakan tanda yang bermakna di dalamnya harus dijelaskan.
Sajak atau pusi adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara bagian-bagiannya saling erat berhubungan. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika terintegrasi ke dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu. (Hawkes, 1978:18). Jadi, untuk memahami puisi haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan (Culler, 1977:170).
Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti.
Puisi adalah sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan sistem semiotik tingkat pertama yang berupa bahasa tertentu (Preminger, 1974:981), sistem tanda tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberi arti dan efek yang lain dari yang dimiliki prosa biasa. Tugas semiotik puisi adalah membuat eksplisit asumsi-asumsi implisit yang menguasai produksi arti dalam puisi.
Tahap pertama memahami puisi secara semotik adalah dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial, menurut kemampuan bahasanya yang mendasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala di luar: fungsi memetiknya. Tahap ini oleh Riffaterre (1978) disebut tahap pembacaan heuristic. Setelah itu, pembacaan dan pemaknaan harus ditingkatkan pada tahap semiotik yaitu dengan membongkar kode-kode sastra secara struktural, atas dasar maknanya; penyimpangan dari kode bahasa, dari makna biasa, yang oleh Riffaterre disebut ungrammaticalities dengan latar belakang keseluruhan karya yang disimpanginya (intertekstualitasnya dengan karya-karya sebelumnya). Tahap kedua inilah yang disebut sebagai tahap pemaknaan secara semiotik.
Dengan demikian, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, dan sebaliknya. Bagian-bagian (unsur-unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan bagian-bagiannya merupakan tanda-tanda yang bermakna dalamnya harus dijelaskan.

3. Teori Semiotik yang Dijadikan Alat untuk Mengkaji

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aart van Zoest (1996: 5) bahwa pemahaman semiotik adalah salah satu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan cara berfungsinya hubungan dengan tanda-tanda lainnya, pengiriman, dan penerimaannya oleh mereka yang mengirimkannya.
Dalam kajian ini akan dipergunakan teori semiotik yang dianut oleh Charles Sander Peirce. Menurutnya tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

D. Pembahasan
Sebelum pengkajian puisi Sodom dan Gomorrha karya Sastrowardoyo, terlebih dahulu diperhatikan tampilan puisi berikut ini.
Sodom dan Gomorah
Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air

Kita mengikuti sebuah all night ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyapu mata
tak terdengar pintu diketuk

Kau?

Yippee!!
Rock-rock-rock
Jam menunjuk tiga (Sastrowardoyo, 1990:33).

Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi memberi petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi adalah memahami judulnya (Esten, 1995: 212-213).
Ikon Sodom dan Gomorrha misalnya, dikaitkan dengan citra sebagaimana diungkapkan Wellek dan Waren yang merupakan reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak terlalu bersifat visual. Begitu membaca judul puisi Sodom dan Gomorrha, maka dua ikon itu akan memberikan gambaran makna berikut.
Secara umum menggambarkan bahwa kata Sodom berarti pencabulan dengan sesama jenis kelamin atau dengan binatang, atau dapat pula berarti sanggama antar-manusia secara oral atau anal, biasanya dilakukan antar-pria; semburit. Kata gomorrha berarti virus yang biasa menyerang anak ayam dengan gejala mengantuk, bulu mengerut, menceret keputih-putihan atau penyakit yang disebabkan virus gumboro (gumurah).
Dari judul puisi mengingatkan kepada sebagian orang yang memahami di jaman Nabi Luth a.s, ada negara yang mendapat kutukan dari Allah swt., karena rakyatnya melakukan hubungan seksual dengan sesamanya (pria dengan pria, wanita dengan wanita) penduduknya sangat buruk budi pekertinya, tidak percaya kepada Tuhan, hanya disibuki kehidupan yang bersifat duniawi saja, hura-hura, dan pesta-pesta. Akibat perbuatan itu, Allah menurunkan azabnya yang tergambar dalam firman-Nya dalam surat Al-A’raf (surat 7: 80-84) sebagai berikut
Terjemahnya : Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?" (Q.S, 7:80)

Terjemahnya : Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (S.Q.7: 81).
Terjemahnya : Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." (Q.S, 7: 82).
Terjemahnya : Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan) (Q.S, 7: 83).
Terjemahnya : Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu (Q.S, 7: 84).
Dalam ayat tersebut Allah mengungkap sesuatu yang sangat buruk bahwa Nabi Luth a.s., hendak meluruskan aqidah mereka iaitu kebiasaan buruk mereka dalam bidang seks. Homoseksual merupakan pelanggaran fitrah. Allah Yang Maha Esa telah menciptakan manusia bahkan makhluk lanilla yang memiliki kecenderungan kepada lawan jenisnya, dalam rangka memelihara kelanjutan jenisnya. Yakni bahwa kenikmatan yang diperoleh dari hubungan tersebut bersumber dari lubuk hati masing-masing pasangan bukan hanya kenikmatan jasmanai, tetapi kenikmatan rohani, dan gabungan kenikmatan dari dua sisi itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang melakukan homoseksual hanya mengharapkan kenikmatan jasmani yang menjijikkan sambil melepaskan tanggung jawabnya. Belum lagi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani dan rohani yang diakibatkannya. Homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga ia dinamai fahishah (QS. An-Naml (27) : 54-55).
Hubungan seks yang merupakan fitrah manusia hanya dibenarkan terhadap lawan jenis (dalam ajaran Islam setelah menikah). Pria mencintai dan birahi terhadap wanita demikian pula sebaliknya. Jika terjadi hubungan antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), maka itu bertentangan dengan fitrah manusia. Setiap pelanggaran terhadap fitrah mengakibatkan yang diistilahkan dengan uquubatul Fiathrah (sanksi fitrah). Dalam konteks pelanggaran terhadap fitrah seksual, sanksinya antara lain apa yang dikenal dewasa ini dengan penyakit AIDS. Penyebabnya ádalah hubungan yang tidak normal. Inilah dalam al-Qur’an disebut dengan fahisyah. Perhatikan pula dalam QS. Al-Qamar (54) : 33-39, bagaimana perilaku kaum Luth a.s., terhadap tamu Nabi Luth a,s., (malaikat yang menyerupai laki-laki tampan), mereka berusaha untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada tamu Nabi Luth a.s.
Pelampauan batas, yang menjadi penutup ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kelakuan kaum Nabi Luth a.s., melampaui batas fitrah kemanusiaan, sekaligus menyia-nyiakan potensi mereka yang seharusnya ditempatkan pada tempatnya yang wajar, guna kelanjutan jenis manusia.
Karena kedurhakaan kaum Nabi Luth a.s., berlangsung bahkan meningkat secara terus menerus, maka Allah Swt., menjatuhkan sanksi-Nya. Namun, sebelum menyebut jenis sanksi terlebih dahulu dijelaskan tentang orang yang selamat dan yang tidak selamat atas sebuah sanksi. Perhatikan pula (QS.al-a’raf (7) : 83; QS. An-Naml (27) : 57; QS. Al-Hijr (15) : 59-76). Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya yakni pengikutnya, kecuali isterinya (lihat juga QS. Ash-Shaffat ( 37) : 133). Yakni isteri yang durhaka itu termasuk sebagai orang yang tertinggal, yakni dibinasakan sama dengan kebinasaan lelaki (homoseksual) QS. Hud (11) : 77-78.
Sebuah pendapat dari Thahir Ibnu ’Asyuur bahwa ia menduga isteri Nabi Luth a.s. berasal dari penduduk negeri Sadum (Sodom) tempat kaum Luth a.s., dibinasakan, lihat (QS. Al-Hijr, 15 : 65).
Setelah menjelaskan keselamatan Nabi Luth a.s., dan pengikutnya dan mengisyaratkan jatuhnya siksa bagi yang membangkang. Maka selanjutnya dijelaskan tentang jenis sanksi bagi mereka (QS. Al-A’raf (7) ; 84). Dan Kami hujani (kata Allah), yakni Kami turunkan dari langit sehingga mengenai bagian atas mereka, hujan batu yang akhirnya membinasakan mereka, maka lihatlah bagaimana kesudahan para pendurhaka (kaum Luth a.s. yang homoseksual), lihat juga QS. Al-Hijr (15) : 66; QS. An-Naml (27) : 58. dan siksaan tersebut tidak dapat mereka elakkan, hujan tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa dan ajaib sebagai mana dalam QS. Huud (11) : 82-83.1 sebagai berikut:
Terjemahnya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S, 11: 82).
Terjemahnya :Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim[733].
[733]. Yakni orang-orang zalim itu karena kezalimannya, mereka pasti mendapat siksa yang demikian. Ada pula sebagian mufassir mengartikan bahwa negeri kaum Luth yang dibinasakan itu tidak jauh dari negeri Mekah.
Membaca larik-larik puisi, pembaca digiring pada citraan bahwa ikon Sodom dan Gomorrha bukan sekedar judul, akan tetapi sebuah simbolisasi dari penandaan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s., yang tidak megindahkan perintah-Nya akibat kemurkaan, negeri Sodum di balik dan dihujani batu siapa yang dikehendaki-Nya termasuk istri Luth juga binasa.
Diksi yang merupakan metaforis-simbolis dengan penggambaran (imaji) beragam pengalaman psikisnya ter-presentase di dalamnya. Tuhan diantropomorkan diwujudkan sebagai benda yang tertimbun salah satu cara untuk merangsang imaji pembaca. Tuhan tertimbun / di balik surat pajak, secara simbolis menggambarkan bahwa tidak ada penguasa, rakyat semakin merajalela melakukan apa saja yang diinginkan halal-haram sama saja. Politik dipermainkan, penguasa berpesta pora menikmati kelezatan dunia yang mereka ciptakan. Sementara, sebagian rakyat tertindas karena ulah pejabat yang tidak bertanggung jawab, malah pembagian air pun dikeluhkan. Dan keluh tangga kurang air merupakan metafora memperjelas penderitaan rakyat akibat tuhannya tertimbun.
Diksi air merupakan lambang kehidupan. Bagaimana sengsaranya seseorang jikalau air sebagai kebutuhan hidup tidak ada, manusia membutuhkan air minum minimal tiga liter tiap hari belum termasuk kebutuhan lain seperti mandi dan sebagainya. Apatahlagi yang mengeluh kurang air orang sekampung.
Suasana kekacau-balau itu memuncak pada bait kedua digambarkan dengan bunyi k, p, t, s. tutup. Kertas berserak/ terompet berteriak/ muka pucat mengantuk/ tak terdengar pintu diketuk. Keadaan yang kacau itu tidak mengenakkan/ menyesakkan dada. Terompet berteriak, menyebabkan citra pendengaran terganggu (gendang-gendang telinga). Karena keributan dan kebisingan seperti itu, mereka tidak mendengarkan peringatan dan tidak mendengar peringatan Tuhan. Mereka terus berdansa semalam suntuk dengan musik yang kacau. Terikan-teriakan kegembiraannya pun tidak seperti halnya teriakan kegembiraan pada umumnya (yippee).
Muka pucat mengantuk / asap asbak menyapu mata / tak terdengar pintu diketuk, merupakan perpaduan antara citra perasa dan citra dengar, menggambarkan kondisi ketidak-tentraman, tidak ada aktivitas yang menyenangkan disebabkan karena kurang tidur (tidak ada semangat hidup), asap asbak menyapu mata adalah citra gerak (visual) dapat bermakna masa depan yang suram. Semua indra tidak berfungsi termasuk citra pendengaran (tak terdengar pintu diketuk). Ditambah dengan yippee !! Rock-rock-rock, merupakan kombinasi bunyi vokal i kombinasi konsonan p rangkap vokal e rangkap pengulangan konsonan r, c dan dipadukan dengan vokal o menimbulkan orkestrasi yang tidak memuakkan (kakafoni).
Jam menunjuk tiga, memaknakan kepulangan mereka dari berhura-hura menjelang pagi. Pada umumnya orang-orang yang mabuk-mabuk karena hura-hura (minum-minuman yang memabukkan) tidak adalagi (bisa) aktivitas, baginya tidur yang utama. Tidur adalah tanda ketidak-suksesan.
Dengan demikian, puisi Sodom dan Gomorrha penggambaran suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan. Oleh penyair, kota-kota sebagian di Indonesia diasosiasikan dengan kota Sodom dan Gomorrha yang penduduknya sudah tidak bermoral dan tidak lagi ingat kepada Tuhan. Karena melupakan Tuhan, maka azabnya sangat pedih. Tidak dapat disangkal di mana-mana terjadi kekecauan, pemimpin bangsa tidak lagi berarti, demokrasi terinjak-injak. Gempa , badai (angin rebut, longsor), dan sebagainya adalah cerminan kemurkaan Tuhan. Namun sebagian umat tidak menanggapinya. Bahkan kemaksiatan makin meraja lela di mana-mana. Para atris panggung hiburan, secara vulgar mempertontonkan auratnya bukanlah hal yang tabu, bahkan baginya adalah kesenangan (hobi) yang tersalurkan. Pada hal diketahui bahwa aurat seorang perempuan hanya muka dan telapak tangan yang bisa tidak tertutupi., sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 sebagai berikut.
Terjemahannya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Firman Allah menganjurkan bahwa mewajibkan kepada kaum perempuan menutup auratnya sementara yang terjadi sekarang malah sebaliknya, sebagian perempuan tidak punya malu merasa ketinggalan zamanlah baginya apabila berbusana tidak tampak sebagian anggota tubuhnya. Kalau hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka murka Allah akan datang yang lebih parah lagi dari yang pernah terjadi ….Anauzubillah minzalik.


E. Penutup


Gambaran simbolik ungkapan penyair secara semiotik diekspresikan lewat puisinya Sodom dan Gomorrha, mengungkapkan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s., yang penduduknya homoseksual. Sodom adalah negeri yang terletak di laut Tengah yang telah dihancurkan oleh Allah swt., karena penduduknya sangat buruk budi pekertinya, tidak percaya kepada Tuhan, berbuat maksiat hanya disibuki urusan dunia saja.
Oleh penyair keadaan yang tergambar dalam larik-larik puisi diasosiasikan dengan sebagian kota-kota yang ada di Indonesia. Tempat maksiat bukan lagi tabu, pelacuran merajalela, narkoba menjamur. Pada tingkat atas (pimpinan) sebagian korupsi adalah santapan yang empuk, dipengadilankan merupakan arena sandiwara yang dilakonkan menurut keinginan sutradara. Maka tidak mengherankan, murka Allah pun sedikit-demi sedikit tampak. Namun bagi pelaku tidak pernah tahu dan memang tidak mau tahu. Aceh dengan sunaminya, Porong dengan lumpur panasnya banjir di setiap daerah, gempa di Jokja, Sulawesi, angin rebut bergantian dari satu daerah ke daerah yang lain hingga merata seantero dunia.
Dengan demikian, suasana yang tergambar dalam larik-larik puisi adalah suasana yang kacau-balau. Di samping itu, bunyi-bunyi parau, tidak merdu pun menghiasi larik-larik. Dari bunyi konsonan yang tidak bersuara (k, p, t, s ) dari awal sampai akhir memperdalam dan memperjelas arti, tanggapan, dan perasaan.