Pengkajian
Fiksi Berdasarkan Nilai Distansi Estetis dalam Karya Sastra
Wellek
dan Warren (1995:278) mengatakan, “Memang, semua karya sastra membuat distansi
estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara itu karya sastra
menggubah hal-hal yang pahit dan sakit jika dialami atau dilihat dalam
kehidupan nyata, menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra”.
Sedangkan Aristoteles dalam Luxemburg., (1989:19) mengatakan, bahwa seorang
pengarang justru karena daya cipta
artistik-nya mampu menampilkan perbuatan manusia yang universal.
Dengan
demikian jika kita membaca teks-teks sastra, kita berhadapan dengan tokoh-tokoh
dan situasi-situasi yang hanya terdapat dalam khayalan pengarang. Datuk
Maringgih dalam Siti Nurbaya
sebenarnya tidak pernah ada dunia nyata, tetapi kita dapat menemukan
tokoh-tokoh di dunia nyata yang sifatnya sama dengan Datuk Maringgih.
Berbeda
dengan laporan seorang wartawan dari medan perang, sebuah karya sastra
menciptakan dunia “baru” dengan kreativitas dan imajinasinya yang matang lewat
tokoh, latar, alur, serta permasalahan yang mirip dengan dunia nyata. Sesuatu
yang terasa asing dan tidak enak untuk dilihat dan dirasakan dalam dunia nyata
menjadi indah dan menyenangkan untuk dinikmati dalam karya sastra, sehingga
tidak berlebihan jika Horace dalam Wellek dan Warren (1995:25) mengatakan, bahwa
sastra itu menyenangkan dan berguna - dulce
et utile. Bahkan menurut Wellek dan Warren (1995:30), bahwa salah satu
nilai kognitif drama dan novel adalah segi psikologinya. Novelis dapat
mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikologi.
Berdasarkan uraian tersebut, berikut kajian Viona Sapulette berdasarkan Nilai distansi estetis dalam cerpen Triumaida karya Hasan Al Banna. Namun sebelumnya diperhatikan
sinopsis cerpen tersebut, berikut ini.
1.
Sinopsis
Cerpen Tiurmaida bercerita tentang perjuangan seorang perempuan perkasa
dalam memertahankan cinta yang telah ia pupuk bersama sang suami, Marsius.
Pernikahan Tiurmaida dan Marsius sama sekali tak direstui oleh orangtua Tiur,
hingga mereka pun memilih untuk marlojong
(kawin lari). Tiur dan Marisus tahu belaka kalau keputusan nekad mereka untuk marlojong akan membuat mereka terbuang
dari keluarga dan kampung.
Meski akhirnya berhasil membina
rumah tangga, namun mereka tetap gagal dalam hidup. Setelah bertahun-tahun
menikah, Tiur belum juga dikarunia seorang anak. Mereka hampir saja putus asa.
Namun, setelah berobat kian kemari, akhirnya Tiur hamil dan melahirkan seorang
putra. Sayang, putra semata wayang mereka ini pun kemudian meninggal.
Musibah tersebut membuat Marsius terpukul
dan menjadi gila. Walaupun tak bisa mengharapkan apa-apa lagi dari Marsius,
Tiur tetap menjaga dan merawat suaminya. memilih tetap merawat suaminya meski
akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman (orangtua Tiur) sering membujuknya
agar meninggalkan Marsius. Untuk menghidupi keluarganya, Tiur membanting tulang
sebagai seorang buruh harian yang bekerja memecah batu.
Cinta Tiurmaida kepada Marsius
tampaknya sudah meagakar dalam. Demi cintanya, Tiur tetap merawat Marsius yang
sudah tak bisa apa-apa lagi selain bertingkah aneh di pasungan. Tiur pun
menolak keinginan orangtuanya agar mangidolong (cerai) dengan Marius dan
menikah dengan anak dari saudara Baginda Parahuman. Ia tak mau, meski keinginan
untuk sering terlintas di benaknya. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena
lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi karena ia masih tulus
mencintai Marsius.
2. Kajian Nilai Distansi
Estetis dalam Cerpen Triumaida Karya
Hasan Al
Banna.
Dalam
cerpen Triumaida Hasan Al Banna
menampilkan dua tokoh yang berbeda
Marsius dan Triumaida yang memiliki kisah hidup yang berbeda. Bermula
dari Marsius dan Triumaida menjalin cinta dan ingin meningkatkan ke jenjang
yang paling khusus yaitu pernikahan tapi orang tua Triumaida tidak setuju
karena mereka (orang tua ) ingin Triumaida kawin dengan pemuda pilihan mereka
(orang tua) sendiri, tetap Triumaida tidak mau dan berpaling hati pada
laki-laki pilihannya sendiri yaitu Marsius.
Akhirnya
Tiurmaida dan Marsius memberanikan diri untuk kawin lari Lihatlah apa yang dialami, tak
sedikit cobaan yang mereka hadapi ketika tak mematuhi aturan adat dan orangtua.
Tiurmaida dan Marsius seolah mendapat kutukan leluhur, sehingga anak yang
mereka idam-idamkan meninggal, Marsius jadi gila, dan Tiurmaida musti
membanting tulang menjadi buruh kasar pemecah batu untuk menghidupi
keluarganya.
Cinta Tiurmaida kepada Marsius
tampaknya sudah mengakar dalam. Demi cintanya, Tiurmaida tetap merawat Marsius
yang sudah tak bisa apa-apa lagi selain bertingkah aneh di pasungan.
Tiurmaida menolak keinginan orang tuanya
agar mangidolong (cerai) dengan Marius dan menikah dengan anak dari saudara
Baginda Parahuman. Ia tak mau, meski keinginan untuk sering terlintas di benaknya.
Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda
beranak tiga, tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius.
Cerita
yang disuguhkan oleh pengarang sangat menarik jika tidak dikatakan memukau.
Penggunaan gaya bahasa yang tidak membosankan, pengaturan alur campuran yang
sempurna sehingga tidak ada satu klimaks yang dominan - memancing rasa ingin
tahu pembaca bagaimana akhir ceritanya, gaya penulisan yang lain dari
kebanyakan novel angkatan 45 atau 66 - sedikit “memaksakan" pembaca untuk
lebih menajamkan analisis dan imajinasi untuk menemukan sebab akibat dalam
cerita.
Jika
kita lihat peristiwa-peristiwa yang diangkat oleh Hasan Al Banna dalam cerpen
ini tidak ada bedanya dari kehidupan nyata. Banyak dialami oleh pemuda-pemudi
yang menjalin cinta tapi tidak disetujui oleh orang tua, dan peristiwa ini dari
sejak dulu sampai sekarang pasti ada yang terjadi. Sebagai orang tua pasti
ingin melakukan yang terbaik untuk masa depan anaknya yaitu dengan cara anak
harus mengikuti semua hal mulai dari menentukan pekerjaan sampai pada jodoh
bagi anak-anak dalam perkawinan.
Memang
kalau dipikir apa yang dilakukan orang tua baik juga untuk anak-anak, tapi
untuk hal memilih jodoh sebaiknya serahkan saja pada anak sehingga tidak
terjadi hal-hal yang dapat merugikan anak maupun orang tua sendiri. Seperti
yang ditampilkan dalam klimaks cerpen Tiurmaida.
Kalau
kita menghadapi peristiwa yang ditampilkan dalam cerpen Tiurmaida, memang batin kita tersiksa karena terpisah dengan orang
tua dan menghadapi suami yang mengalami gangguan jiwa. Tapi kita harus tetap
mencintai lelaki yang kita pilih, menerima lelaki itu apa adanya dan dewasa
dalam mengadapi cobaan dalam rumah tangga. Jika fenomena ini kita baca dalam
sebuah harian, katakanlah Jawa Pos atau Radar Surabaya, tidak akan memunyai
arti apa-apa, sambil lalu saja kita membacanya tanpa berpikir lebih jauh lagi.
Apalagi kalau itu berita kriminal yang disertai gambar kepala manusia yang
pecah atau tubuh anak kecil yang dipotong, kita akan merasa ngeri dan takut.
Setelah dibaca, dibuang begitu saja atau dijadikan tempat membungkus kacang.
Mengapa? sebab menurut Luxemburg, dkk., (1989:19) bahwa seorang wartawan
melaporkan apa yang menurut pengamatannya terjadi dalam kenyataan. Ia
menampilkan laporannya sebagai sesuatu yang sungguh terjadi dan demikian juga
tanggapan pembaca. Kita dapat mengecek apakah tulisan wartawan itu benar atau
tidak, karena laporannya juga dapat dicek oleh orang lain. Jika laporannya
tidak sesuai dengan kenyataan pembaca dapat menuduhnya sebagai pemerkosa
kenyataan.
Hal ini akan berbalik 180 derajat, jika yang
kita baca adalah sebuah kisah cinta atau kekerasan dalam rumah tangga yang
dikemas menjadi sebuah bentuk lain yang namanya karya sastra. Yang menjadi
bahan sebuah novel, cerpen atau teks sastra yang lain adalah kehidupan manusia
dengan segala permasalahannya. Penulis bukan berlayar ke “dunia gaib” dan
kembali membawa sebuah novel atau cerpen. Tetapi apa yang ia dengar, alami, dan
rasakan dalam kehidupannya diubah ke dalam bentuk bahasa dengan daya kreasi dan
didukung oleh kemampuan imajinasi yang tinggi menjadi sebuah karya sastra.
Bahasa yang digunakan penuh asosiasi, ambiguitas, konotatif untuk mengungkapkan
ekspresi penulis. Tulisan seorang penulis atau pengarang sastra tidak dapat
dicek kebenarannya karena kebenaran sastra adalah kebenaran yang ada dalam
imajinasi pengarang.
Dalam novel Tiurmaida, kita menemukan permasalahan
yang juga terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tapi apakah kita dapat mengecek
kebenarannya, tokoh-tokohnya, atau tempat-tempat kejadiannya. Apa benar ada
orang yang namanya Tiurmaida yang menjadi buruh kasar pemecah batu yang
memunyai suami untuk Marsius yang mengalami ganguan jiwa. Semua itu hanyalah
tokoh rekaan saja yang sengaja diciptakan oleh Hasan Al Banna untuk membawa
misinya. Dengan demikian tokoh-tokoh itu diberi tugas dan peran oleh Hasan Al Banna
dalam menyampaikan tema yang diusungnya. Jadi jelaslah apa yang dikatakan oleh
Desmont McCarty, Meredith, Conrad, Henry James, dan Hardy dalam Wellek dan
Warren (1989:279) Semuanya telah meniup gelembung-gelembung yang besar dan bercahaya. Di dalamnya semua
manusia yang digambarkannya, meskipun bisa disamakan dengan orang-orang dalam
kehidupan nyata, hanya bersifat nyata dalam dunia yang diciptakan untuk mereka.
Dalam novel Tiurmaida pembaca dapat saja
mengidentikan dirinya dengan tokoh Tiurmaida dan Marsisus. Atau dengan
permasalahan yang dihadapi oleh salah satu di antara mereka. Dengan membaca
cerpen ini kita dapat membuat perenungan yang mendalam tentang “makna” sebuah
cinta sejati. Kemampuan Hasan Al Banna untuk membawa pembaca masuk ke dalam
“dunia” yang diciptakannya lewat tokoh-tokoh cerita menjadikan cerpen ini enak
dibaca sekalipun sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti jalan ceritanya.
Penulis (Hasan Al Banna) mampu membuat jarak estetis atau distansi estetis dalam novel ini sehingga permasalahan yang tadinya
dapat dianggap sudah “usang” menjadi sesuatu yang enak untuk dinikmati. Penulis
seakan membuat sebuah “sejarah kasus” baru
yang patut dibaca berulang-ulang.
Benarlah
apa yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1995:278) memang, semua karya
sastra membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara
itu karya sastra menggubah hal-hal yang pahit dan sakit jika dialami atau
dilihat dalam kehidupan nyata, menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam
karya sastra. Sedangkan Aristoteles dalam Luxemburg., (1989:19) mengatakan,
bahwa seorang pengarang justru karena daya cipta artistik-nya mampu menampilkan perbuatan manusia yang universal.
Dalam
cerpen Tiurmaida karya Hasan Al Banna, penulis melihatnya dari unsur jarak
estetis atau distansi estetis karena dengan membaca cerpen ini kita dapat
membuat perenungan yang mendalam tentang makna sebuah cinta sejati. Dengan
begitu, kemampuan Hasan Al Banna untuk membawa pembaca masuk ke dalam dunia
yang diciptakannya lewat tokoh-tokoh cerita menjadikan cerpen ini enak dibaca
sekalipun sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti jalan ceritanya (Sapulette,
2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar