Jumat, Oktober 10, 2014

Kajian Makna Simbolik



Makna Simbolik Kada-kada Tominaa; Singgikna Torampo  Tongkon  Upacara Rambu Solok di Tana Toraja


     Masyarakat Toraja sejak dari dulu dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya. Menurut Suhamiharja dalam bukunya Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan,           ( 1977: 29), suku Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh memegang adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyrakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu. Apalagi dalam kelahiran, perkawinan dan kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara ini dilakukan secara besar-besaran sehingga orang  luar akan menaruh kesan sebagai pemborosan kekayaan, sedangkan bagi masyarakat Toraja sendiri hal itu sudah seharusnya. Masyarakat Toraja beranggapan bahwa apabila upacara itu dilaksanakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan untuk itu, semakin baik. Gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin tinggi, status naik dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang melakukan itu adalah golongan orang-orang bangsawan.
     Dalam prosesi upacara Rambu Solok  terdapat banyak tahapan ritual unik dan sangat menarik baik yang dilakukan secara simbolik maupun dengan unsur-unsur visual dan audiovisual seperti arsitektur, kesenian dan bahasa yang bagi masyarakat Toraja tahapan ritual-ritual yang dilakukan memiliki makna mendalam yang telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Toraja sebagai tradisi untuk menghormati warisan para leluhur yang dianggap sakral. Salah satu tahapan yang dilakukan dalam prosesi Rambu Solok  adalah  Untarima To Rampo Tongkon atau penerimaan tamu. Tamu yang hadir dalam upacara tersebut disambut dengan rangkaian kata yang sangat indah yang dinamakan “Singgikna To Rampo Tongkon” yang diungkap dalam bahasa Tominaa.
     Bahasa Tominaa berbeda dengan bahasa Toraja yang biasa digunakan oleh masyarakat Toraja pada umumnya sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kada-Kada Tominaa disebut sebagai bahasa Toraja tingkat tinggi karena kemampuan untuk menyampaikan bahasa ini hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan dalam penyampaiannya tidak boleh menyimpang dari situasi atau acara adat yang sedang berlangsung.
“Singgikna To Rampo Tongkon” adalah lantunan puisi sarat dengan simbol yang bermakna pesan-pesan moral. Berikut adalah simbol-simbol yang ditemukan dalam untaian kata- kata puitis atau Kada-Kada Tominaa;Singgikna To Rampo Tongkon pada acara penerimaan tamu prosesi penguburan.


1.      Simbol Status Sosial Masyarakat Toraja
a.       Saleko  (Kerbau Belang) Simbol Kebangsawanan
Saleko atau kerbau beanag adalah symbol kebangsawanan. Begitu berharganya kerbau bagi masyarakat Toraja sehingga  kerbau dipakai sebagai simbol status sosial seperti yang terlihat pada kutipan berikut:
      “Rampomo salekona tondok
        Tongkonmo bongana pangleon”
         Terjemahan
         “Sudah hadir salekonya daerah
          Datanglah bonganya  wilayah”

   Saleko (kerbau belang) dan bonga (jenis kerbau belang tetapi harganya lebih murah daripada saleko) adalah simbol dari seorang bangsawan atau status sosialnya tinggi. Saleko dipakai untuk menyebut atau  menyanjung seorang yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan serta pengaruh yang besar dalam masyarakat. Saleko symbol bangsawan yang berkuasa, kaya dan berpengaruh karena saleko adalah jenis kerbau belang yang termahal di Toraja yang harganya bisa mencapai 750 juta rupiah. Karena harganya  mahal sehingga hanya orang tertentu  mampu membelinya untuk dipersembahkan saat meninggal.

b.      Tongkonan (Rumah Adat Toraja)

   Tongkonan  berasal dari kata tongkon yang berarti duduk, kemudian dibubuhi akhiran –an sehingga menjadi tongkonan yang artinya tempat duduk bersama. Tongkonan symbol kebangsawanan, kekayaan, dan kepemimpinan.
 Tongkonan merupakan wadah tempat berkumpulnya para kaum bangsawan Toraja, untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan adat. Oleh karena itu, tidak semua bangunan adat Toraja disebut Tongkonan. Tongkonan yang sebenarnya merupakan tempat kaum bangsawan yang memiliki wibawa kepemimpinan, kekuasaan, dan kekayaan.
Pada saat penerimaan tamu kaum bangsawan disebut asal-usul tongkonannya sebagai sanjungan dan identitas bangsawan tersebut seperti dalam kutipan berikut:
      “Todilolloan dao mai tongkonan layuk
       To dipamadatu muane esungan pa’kalandoanna pa’tala baine
       Tongkonan peseoaluk tambakuku”
       Terjemahan:      
     “ Orang yang mewarisi tongkonan yang agung
       Orang yang dihormati kedudukannya baik laki-laki maupun           perempuan
       Tongkonan pemangku adat yang kuat dan kokoh”

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa orang tersebut adalah seorang bangsawan yang lahir dari sebuah tongkonan yang termasyur dan mewarisi tongkonan itu secara turun-temurun. Dari tongkonan itu lahir penguasa, pemimpin atau pemangku adat yang mempunyai kuasa memerintah dan mengayomi orang banyak yang disebut To Parengnge’.                          

c.       Barana (Pohon Beringin)  Tallang Kamban (Rumpun Bambu)

    Barana”  atau pohon beringin adalah jenis pohon yang tinggi dan besar, rimbun dan akarnya merambat ke mana-mana. Tingginya bisa mencapai 40 meter dan tajuknya berbentuk payung. Karena bentuknya yang demikian sehingga  masyarakat Toraja memakainya sebagai simbol orang besar, simbol perlindungan.
“ Songka kami barana’ki
  Tibambang kami lamba’ki”
Terjemahan:
“Beringin kami telah tumbang
 Pohon tinggi kami telah terbanting”

      Ungkapan di atas menyatakan bahwa pohon beringin telah tumbang yang mengacu pada orang besar yang sudah meninggal yang diacarakan pada saat itu. Para tamu dan sekalian yang hadir maklum bahwa yang diupacarakan  adalah  seorang yang mempunyai kekuasaan, kekayaan dan nama besar  semasa hidupnya yang tidak tertandingi oleh siapapun di wilayahnya. Kebesarannya laksana beringin yang tinggi menjulang tidak terpele oleh apa pun dan kelihatan dari segala penjuru.
          Tajuk pohon beringin yang seperti payung menyimbolkan bahwa orang besar tersebut adalah pengayom atau pelindung orang banyak. Jika ada masalah yang dihadapi oleh orang banyak, kepada  “beringin” atau“orang besar” itulah mereka mencari perlindungan dan penyelesaian. Orang besar pun akan segera memberi bantuan, setidaknya memberi solusi atau jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi. Orang banyak merasa aman, tenang dan damai di bawah perlindungan  “orang besar”itu.
          Sebaliknya orang kebanyakan disimbolkan dengan tallang kamban atau rumpun bambu. Rumpun bambu yang tumbuh tidak ada yang terlalu mencolok tetapi hampir sama semua tingginya. Rombongan tamu yang diterima di tempat penerimaan tamu bukan hanya dari kalangan bangsawan tetapi juga dari rakyat banyak atau masyarakat umum. Yang membedakan adalah sanjungan atau pujian terhadap mereka berdasarkan status sosialnya.
d.      Gayang” (Keris),  Rara’ (Sejenis Kalung)
           Gayang  dan rara’  bagi masyarakat Toraja adalah benda pusaka yang tidak ternilai harganya. Awalnya gayang dan rara’ umumnya dibuat dari emas murni atau setidaknya disepuh dengan emas. Karena terbuat dari emas murni sehingga tidak semua orang bisa membeli dan memilikinya pada saat itu. Hanya orang tertentu saja yang mampu yakni dari kalangan bangsawan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa gayang dan rara’ dipakai untuk menyimbolkan kaum bangsawan. Gayang atau keris adalah simbol  laki-laki bangsawan sedangkan rara’ simbol perempuan bangsawan.
          Demikian dalam penyambutan tamu. Kaum bangsawan yang ada di antara rombongan tamu disambut dan disanjung dengan ungkapan sebagai berikut:
“Rampo mananmo muane, takinan gayangna Nanggala
  Rampo inde simbolong manikna to merrapu tallang
  Lokkon loe rara’na pentutuan lipu sanda kasalle”
 Terjemahan:
 “Sudah hadir seorang lelaki, pemegang kerisnya Nanggala
   Sudah datang seorang perempuan dari rumpun keluarga
   Perempuan pemakai rara’ dari segala penjuru wilayah”
         Ungkapan di atas adalah sambutan dan sanjungan terhadap seorang laki-laki bangsawan  yang ada di antara rombongan tamu. Bangsawan tersebut berasal dari sebuah kampung namanya Nanggala. Laki-laki bangsawan itu disimbolkan gayang atau keris.  .
           Di antara rombongan tamu, selain bangsawan laki-laki, terdapat juga bangsawan perempuan. Perempuan itu disimbolkan rara’ yakni semacam kalung yang dipakai kaum perempuan, terbuat dari emas murni atau disepuh dengan emas. Harganya mahal dan hanya kaum bangsawan yang mampu membelinya pada zaman dulu. Karena bernilai sehingga rara’ dipakai untuk menyimbolkan kebangsawanan.
e.       Londong (Ayam Jantan atau Ayam Jago)

 Londong” atau ayam jago dilambangkan kepemimpinan atau kedisiplinan ketika dipasangi taji dan terlibat dalam pertarungan dengan ayam lain  maka ayam jago ini akan berjuang sekuat tenaga sampai mampus. Meskipun sudah sempoyongan dan terlihat tidak berdaya lagi  karena terkena taji tetapi dia masih berusaha untuk  berdiri, menerjang, dan mengepakkan sayapnya. Selama masih bisa berdiri tidak ada kata menyerah sedikit pun. Bahkan jika sudah terkapar tak berdaya dia masih berusaha untuk berdiri dan akhirnya mati lemas. Ini menyimbolkan keberanian dan pantang menyerah.
  Ayam jantan adalah simbol pemberani dan pemimpin yang disiplin. Sama seperti Sultan Hasanuddin diberi gelar Ayam Jantan dari Timur yang melambangkan seorang pemberani yang tidak kenal pantang menyerah. Demikian pada acara penerimaan tamu dalam pesta Rambu Solok, ayam jantan dipakai untuk menyambut dan menyebut pemberani atau pemimpin seperti dalam kutipan berikut:
  “Rampomo londong kila’na padang di Pangala’
   Tu’tunmo saungan la’te lambunna pentutuan lipu sanda kasalle”

Terjemahan:                  
“Sudah datang ayam jago hebat dari daerah Pangala’
  Sudah tiba ayam taruhan dari berbagai penjuru wilayah”

  Londong  (ayam jago) dipakai untuk menyanjung dan menyebut pemberani atau keturunan pemberani yang hadir dalam pesta Rabu Solok tersebut. Dari daerah Pangala’ (nama kampung di Toraja) misalnya ada seorang pahlawan yang terkenal namanya Pong Tiku. Pong Tiku seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dengan berani melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai Tana Toraja yang lasim dikenal Bumi Lakipadada. Selama hayat masih dikandung badan, tak ada kata menyerah dia terus berjuang melawan penjajah sampai titik darah penghabisan laksana Londong (ayam jago) yang perkasa mengepakkan sayapnya, menerjang lawannya tanpa rasa takut dan gentar.

2.      Simbol Religius

a.      Tokaubanan ( Berambut Putih) Simbol Lanjut Usia, Keabadian dan Kematangan
 Orang Toraja mengakui dan memahami adanya kuasa supranatural, yakni kuasa yang tertinggi yang melampaui kuasa pada diri manusia dan alam semesta. Kuasa itu disebut “Puang Matua” ( Tuhan Allah). Tetapi orang Toraja memahami bahwa wujud menghormati Sang Kuasa tersebut adalah tidak boleh menyebut langsung nama-Nya di sembarang tempat, waktu dan peristiwa, maka keberadaan-Nya diungkapkan sebagaimana sifat-sifat-Nya.
  Sifat-sifat Puang Matua tersebut diungkapkan dengan simbol:
             “Puang To Kaubanan dao masuanggana topalullungan
   Puang dao ba’ba manikna, dao gaun ma’gulung-gulunganna”
              Terjemahan:
            “Tuhan  yang beruban yang bertahta di atas tempat tinggi
              Tuhan yang bersemayam di pintu kerajaan di atas awan yang   
              bergulung-gulung”
             Orang Toraja menyebutkan Tuhan yang beruban. Uban atau rambut putih adalah simbol lanjut usia dan keabadian. Tuhan itu kekal adanya. Tuhan itu ada dari dulu, sekarang dan untuk selama-lamanya. Keberadaan dan kekuasaan-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena kekuasaan-Nya,Tuhan itu bertahta di tempat yang tinggi yang tidak terjangkau oleh manusia yang berdosa.
         Uban juga menyimbolkan kematangan . Matang artinya dewasa dalam segala hal. Tuhan disimbolkan beruban yang berarti dewasa, berkharisma dan berhikmat dalam segala hal. Hikmat dan khrisma Tuhan tiada duanya. Oleh karena itu hanya sabda atau firman Tuhan yang didengar dan dipercaya. Firman Tuhan membawa manusia pada kebaikan dan keselamatan hidup.

b.      Sa’pala Buda (Banyak Tangan) Simbol Maha Murah Maha Kasih dan Maha Penyayang
Sa’pala buda artinya banyak tangan adalah symbol maha murah, maha kasih, dan maha penyanag Meskipun Tuhan itu tak terhampiri karena kekuasaan-Nya tetapi Tuhan juga sangat dekat dengan kehidupan manusia, seperti dalam kutipan berikut:
          “ Tu Puang torro mamase, unnisung sakpala buda
            Lako mintu’ panampa mala’bi’-Na
           Terjemahan:
         “ Tuhan itu tetap Mahakasih ,
           Maha Penyayang dan Mahamurah
           Kepada semua ciptaan-Nya yang mulia”
            Ungkapan tersebut menyatakan tentang hakikat Allah yang Maha Kasih, Maha Murah dan Maha Penyayang. Maha Kasih dalam arti selalu mau mengampuni kesalahan dan dosa-dosa manusia. Ketika manusia berbuat dosa dan datang memohon pengampunan kepada-Nya maka tangan Tuhan selalu terbuka. Ada pintu maaf yang selalu terbuka kepada setiap manusia yang ingin bertobat atas segala kekeliruannya dan tidak akan mengulanginya lagi.

c.       Pote Bolong (Kerudung Hitam)
       
          Pote bolong  atau kerudung hitam simbol dukacita. Masyarakat Toraja memaknai warna hitam sebagai simbol dukacita yang mendalam atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Saat rangkaian upacara Rambu Solok tamu  yang hadir umumnya menggunakan busana berwarna hitam baik anggota keluarga maupun tamu.
           Iring-iringan atau rombongan tamu berbaris memasuki halaman atau   pelataran tempat upacara Rambu Solok. Diantar oleh penerima tamu, diikuti oleh rombongan kaum perempuan yang menggunakan tudung atau kerudung hitam berupa selendang yang terjuntai  dan diakhiri dengan rombongan laki-laki.
   Hal itu  tergambar dalam kutipan berikut:
         “ Rampo ma’pote di bolong
            Tu’tun ma’kekeran bassi
            Terjemahan:
           “ Datang dengan kerudung hitam
              Hadir  menggigit  besi”
            Kehadiran tamu dengan kerudung hitam sebagai simbol berdukacita atas kematian seorang anggota keluarga. Kehadiran tamu sebagai wujud solidaritas bahwa kesedihan ditinggalkan orang yang dikasihi bukan hanya dirasakan oleh keluarga, tetapi juga semua orang yang hadir dalam upacara Rambu Solok.                

d.      Tambuk Lendong ( Perut Belut )
          Lendong atau belut adalah symbol kejujuran, ketulusan, dan kepolosan. Lending  mempunyai bentuk tubuh yang lurus demikian pula dengan perut atau ususnya. Karena bentuknya yang lurus sehingga perut belut dipakai untuk menyimbolkan kejujuran dan ketulusan hati seseorang seperti dalam kutipan berikut:
“ Digente’komi to ma’tambuk lendong
  Tomaluangan kamu batu ba’tengmi
  Tomasindun kamu pa’inaanmi”

 Terjemahan:
“ Kamu digelar laksana perut belut
  Kamu mempunyai hati yang bijak
  Kamu mempunyai akal yang arif”
    
           Ungkapan di atas dipakai untuk menyambut dan menghormati rombongan tamu yang sementara berbaris menuju tempat penerimaan tamu. Rombongan tamu itu diberi gelar mempunyai perut belut sebagai simbol kejujuran, ketulusan dan kepolosan. Mereka adalah orang yang layak disanjung atas kelurusan hati dan ketulusan mereka. Mereka (tamu) tidak suka bersilat lidah dan selalu mengatakan “ya” kalau “ya” dan “tidak” kalau “tidak”. Mereka polos mengatakan apa adanya tanpa ada maksud jahat di balik tingkah laku dan kata-katanya.
            
e.       Rapu Tallang  (Rumpun Bambu)
      
          Rapu talang ataua rumpun bambu adalah simbol kekeluargaan. Bambu adalah jenis tumbuhan berakar serabut, dan tumbuh anak beranak dalam satu rumpun. Tumbuh dalam satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah sehingga  kuat terhadap terpaan angin.
         Rumpun bambu dipakai simbol kekeluargaan dalam upacara Rambu Solok seperti dalam kutipan berikut:
“Rampomo inde mai toma’rapu tallang
  Tu’tun koli-koli rara’mo inde to ma’kaponan ao’
 Terjemahan:
 “Sudah datang semua di sini seperti rumpun bambu
   Sudah hadir semua di sini seperti rumpun buluh”

           Ungkapan di atas menyatakan bahwa seluruh rumpun keluarga   yang disimbolkan rumpun bambu sudah hadir dalam acara Rambu Solok. Kehadiran mereka sebagai wujud kebersamaan dan rasa solidaritas atas dukacita yang sedang dialami oleh keluarga. Dukacita seorang anggota keluarga tidak dialami atau dirasakan sendiri tetapi oleh seluruh  rumpun keluarga. Kekompakan dan persatuan dalam ikatan darah terus dijaga dan dipertahankan agar tetap satu laksana  bambu yang tumbuh bersama dalam satu rumpun.
          
f.        Matampu  ( Sebelah Barat)   
    
           Matampu ataua sebelah Barat adalah simbol kematian Matahari terbit di sebelah timur kemudian tenggelam di sebelah barat, lalu akhirnya kegelapan malam tiba. Proses kehidupan manusia di dunia sering diandaikan dengan matahari yang terbit di timur dan akhirnya tenggelam di sebelah barat. Kelahiran manusia diibaratkan dengan matahari yang baru terbit di ufuk timur kemudian terus naik lalu akhirnya tenggelam di ufuk barat yang menggambarkan kehidupan seseorang di bumi ini telah berakhir.
       Matampu (barat) bagi orang Toraja adalah simbol kematian seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
“Songka lurokko matampu’
 Rokko kabottoan kulla”
 Terjemahan:
 Tumbang ke arah barat
 Ke bawah tempat matahari terbenam

           Ungkapan di atas menyatakan bahwa seseorang itu telah meninggal  (tumbang)  ke barat dan berakhir kehidupannya di bumi ini  laksana matahari yang terbenam di sebelah barat. Oleh karena itu ketika orang Toraja meninggal, maka mayatnya dibaringkan dan kepalanya harus mengarah ke barat. Sangatlah tabu apabila mayatnya dibaringkan dengan sembarang arah.
g.      Balo  (Jimat)

         Balo (jimat atau azimat) adalah simbol keberkahan,  mengandung pengertian barang atau tulisan yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit, bahaya dan sebagainya. Orang Toraja memahami dan mengakui bahwa tanah yang didiami adalah tanah yang hidup seperti “balo” atau jimat sebagai simbol tanah keberkahan, penuh dengan ketenteraman dan kedamaian yang terungkap dalam kutipan berikut:
“ Padang digente’ padang tuo balo”
  Terjemahan:
“Tanah yang digelar tanah yang berjimat (penuh berkat)”
           Toraja adalah tanah yang indah permai, ada ketenteraman dan kebahagiaan. Penduduknya menikmati tanah itu sebagai  anugrah Tuhan yang begitu sempurna. Tanah itu telah memberi ketenangan untuk hidup di dalamnya. Orang Toraja yang mendiami negeri yang sejuk, damai dan tenang mengakui berkat Tuhan melalui tanah itu. Berkat itu adalah lolo tau, lolo patuoan, dan lolo tananan. Lolo tau , berupa lahirnya anak cucu sebagai berkat terindah, lolo patuoan berupa hewan ternak, dan lolo tananan berupa tanaman yang semuanya memberi kehidupan.  Dulu orang Toraja sudah merasa bahagia dan makmur jika sudah memiliki ketiga berkat tersebut yang bersumber dari Tuhan melalui negeri yang subur itu.
       Pelaksanaan upacara Rambu Solok di Tana Toraja ternyata sarat dengan simbol secara khusus yang terdapat dalam Kada-Kada Tominaa; Singgikna Torampo Tongkon. Singgikna Torampo Tongkon adalah untaian kata-kata puitis yang dipakai untuk menyambut rombongan tamu yang hadir dalam upacara Rambu Solok. Ricoeur  menyatakan bahwa bentuk simbol dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah simbol-simbol yang berupa bahasa yang dituturkan oleh para pelak
       Seperti yang yang dikemukakan oleh Pierre  bahwa  salah satu jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan adalah simbol. Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.  Demikian pula simbol dalam Kada-Kada Tominaa; Singgikna Torampo Tongkon adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi masyarakat Toraja. Misalnya,  “saleko” (kerbau belang), “barana” (beringin), tongkonan” (rumah adat Toraja), “gayang “ (keris),  dan “rara” (jenis kalung),  adalah simbol kaum bangsawan,  “londong” (ayam jantan atau ayam jago) adalah simbol pemberani, “pote bolong” (kerudung hitam), simbol duka cita. Semua simbol tersebut adalah persetujuan atau konvensi masyarakat Toraja tentang yang disimbolkan.
Dengan begitu, simbol  yang terkandung di balik simbol Singgikna Torampo Tongkon merupakan makna yang terkandung oleh pandangan dan budaya Toraja yang pada umumnya bersifat arbitrer dengan hal yang disimbolkan.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

As reported by Stanford Medical, It's really the one and ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh on average 19 KG lighter than we do.

(And actually, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and EVERYTHING about "how" they are eating.)

BTW, I said "HOW", not "WHAT"...

TAP on this link to reveal if this brief test can help you release your real weight loss potential