Kajian Simiotik Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail
Semiotik yang dimaksud dalam penelitian ini antara lain: (1)
komponen tanda (lambang/ simbol, makna), (2) tingkatan tanda
(denotasi/konotasi), (3) relasi antar tanda (metafora).
Untuk lebih jelasnya diperhatikan kajian berikut ini dan sebeumnya ditampilkan sajak
berikut.
1.
Komponen Tanda (Lambang atau Simbol, Makna)
“Dengan puisi aku”
Dengan puisi aku bernyayi
Sampai senja umurku nan
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam
mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku
beetrdoa
Perkenanlah
kiranya
Komponen tanda
yang terdapat dalam sajak di atas, dapat dilihat uraian berikut.
a.
Lambang atau simbol
Lambang atau simbol yang dimaksud adalah: bernyanyi ,bercinta, mengenang, menangis, mengiris, mengutuk, berdoa,
jarum,
Dipahami bahwa, kata bernyanyi adalah lambang/simbol. Dengan puisi aku bernyanyi berarti bersama atau dengan cara
mengungkapkan ungkapan personal melalui medium bahasa (puisi) aku, saya,
menyenandungkan bait-bait nada dan musik. Kata aku bait puisi tersbut, secara mimesis membayangkan adanya
sseorang, entah laki-laki atau perempuan, entah muda atau tua, entah di mana,
entah kapan terjadi, kata aku jelas
menunjukkan adanya manusia. Dengan puisi
Aku Bercinta merupakan bersama
atau dengan cara mengungkapkan personal
melalui medium bahasa (puisi) aku, saya, ego telah dijelaskan di muka, bercinta berasal dari kata dasar cinta yang berarti suka sekali, sayang
benar, ingin sekali. Mengenang yang
berarti membangkitkan kembali ingatan, mengingat-ingat, ataukah membayangkan
lagi.
Menangis merupakan lambang yang dapatlah ditandai sebagai mencucurkan
air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan
sebagainya) sebagai ungkapan perasaan sedih. Menangis biasanya dialami oleh
orang yang mendapat musibah dan ada pula orang yang menangis karena mendapat
keberuntungan yang tidak terduga sebelumnya. Mengiris merupakan suatu tindakan kekejaman yang melahirkan luka
kemanusiaan yang parah. Dengan puisi aku mengutuk, berarti mengatakan, menyatakan, menyumpahi, melaknatkan
sesuatu yang buruk. Pengarang menutupnya
sebagai lanjutan dari Dengan puisi aku berdoa, berarti mengucapkan (memanjatkan)
permohonan/harapan kepada Tuhan. Dalam tradisi agama-agama, doa dilakukan baik
itu sebelum maupun sesudah melakukan dapat dilihat. pada kata Jarum yang bararti jarum berarti kawat halus yang ujungnya tajam
dan pangkalnya berlubang tempat memasukkan benang.
b.
Makna
Makna bait pertama, Dengan puisi Aku bernyanyi berarti lahirnya semangat pengarang menyuguhkan hiburan melalui puisi. Mencipta
melodi, syair, dan nada yang tentu saja memberikan pengaruh estetik kepada
setiap orang yang mendengarnya. Sehingga dengan bernyayi, pengarang tidak hanya
sekadar menghibur untuk orang lain, melainkan untuk menyatu dengan penciptanya
sekaligus segala manifestasi makhluk-Nya yang paling dekat dengan diri sang aku dalam kehidupannya, yakni manusia. Sampai senja umurku nanti mengimplikasikan
hubungan antara senja dan umur dalam membangun demarkasi pemaknaan. Senja
menyiratkan pewaktuan yang berhubungan dengan masa, di mana seseorang hidup.
Hubungan yang melekat antara senja dan umur sebagai metafora perjalanan hidup
yang ditempuh berada pada waktu yang dekat dengan kematian. Sampai dan nanti larik menunjukkan adanya pertemuan pada masa dan
waktu tertentu setelah bertemu pada masa yang sudah terjalani.
Selanjutnya bait kedua,
dengan puisi aku bercinta berarti adanya keinginan untuk merangkai kehidupan dengan
kesungguhan, kerelaan, serta ketulusan untuk saling menyayangi, berbagi dan
menjatuhkan diri ke dalam oase pertemuan yang amat suci. Bercinta terpahami seperti bertemunya dua atau lebih subjek yang berada pada titik kasih sayang
yang sama. Berada di ambang ketulusan membangun hubungan yang tidak semata-mata
bersifat fisik, melainkan melampaui metafisik kehidupan. Berbatas cakrawala mengindikasikan adanya ujung dari setiap upaya
yang dilakukan dalam batas-batas kehidupan. Hubungan bercinta dan berbatas
cakrawala mengimplikasikan bahwa kekuatan apa pun yang ada dalam batas-batas
kehidupan selalu saja dibatasi oleh kehidupan yang akan datang, termasuk di
dalamnya kesediaan untuk saling menyayangi, mencintai, dan berbagi terbatasi
oleh hakikat cinta yang lebih luas dan tidak terjangkau oleh nalar kehidupan.
Demikian pada bait ketiga,
Aku mengenang mengimplikasikan terjadinya proses
menoleh kembali catatan kehidupan yang telah berlalu dan mungkin masih
dihadapi. Kegiatan meneropong jejak titik kehidupan untuk menangkap esensi yang
sesungguhnya. Dalam bahasa agama, mengenang sama dengan muhasabah, merefleksi setiap laku, tindakan, dan perangai yang
pernah dan akan dilakukan. Nabi Muhammad dalam catatan hidupnya, mendaur
kembali hakikat dirinya di Gua Hira, dan saat itulah kenabian dan kerasulan pun
diterimanya. Keabadian yang akan datang termaknai
bahwa setelah kefanaan kehidupan yang berakhir akan muncul kehidupan yang
abadi, langgeng, dan tidak mengenal
lelah untuk tetap eksis. Suatu kesadaran yang muncul, bahwa akan ada kehidupan
yang tidak mengenal kehancuran dan kebinasaan. Kehidupan semacam itu hanyalah
milik Sang Abadi itu sendiri, yakni Tuhan.
Sementra bait keempat,
kalimat berulang dengan puisi aku menangis dapatlah dikatakan sebagai ungkapan
kesedihan, haru dan sedih dengan medium puisi sebagai alat pengungkapannya.
Jika dihubungkan dengan jarum waktu bila
kejam mengiris, maka dapatlah di urai bahwa dalam hubungan jarum dan
mengiris, adalah dua hal yang tidak berbanding berdasarkan fungsinya. Jarum
berfungsi untuk menusuk sementara irisan biasanya tersifati dari belati. Kedua
kata ini merupakan metafora untuk mengungkap sebuah kenyataan bahwa perjalanan
waktu telah menyisakan realitas yang menyedihkan, karena darinya lahir luka
yang teramat perih dan pedih. Jarum dan
kejam saja dapatlah dibingkai menjadi
semacam tusukan yang menebar luka oleh suatu perilaku yang meniadakan sisi-sisi
manusia dan melakukan dehumanisasi yang
menusuk. Keterhubungan kedua penggalang kalimat pada bait ini mengimplikasikan
terjadinya tindakan kekejaman yang melahirkan luka kemanusiaan yang parah, dan
dengan ungkapan personal seorang pengaranglah, realitas tersebut diungkap dan
dipersentasikan.
Aku mengutuk (bait kelima) melambangkan tata
cara menghujat suatu perbuatan. Pernyataan yang menyeret sebuah perilaku ke
dalam terminologi yang sesat, kufur, dan biadab. Seseorang yang mengutuk orang
lain dalam pranata kehidupan kita, tercipta dari sesuatu yang tidak bisa lagi
diberi perma’afan dan baginya hanyalah keadaan yang paling buruk dari yang
seharusnya dilakukan. Nafas zaman yang busuk memungkinkan pembacaan bahwa
potret suatu masa yang bergerak menjadi bangkai yang mengundang aroma yang
tidak sedap. Ternodai oleh perilaku, cara pandang, dan tradisi-tradisi yang
mengandung kebobrokan dan asusila. Hubungan nafas dan busuk, jika dipertautkan
mendapat pemaknaan bahwa sesuatu itu membawa bau yang tidak baik bagi penciuman
manusia. Aku mengutuk dan nafas zaman yang busuk merepresentasikan
respon keras berupa pengecaman seseorang terhadap realitas kehidupan yang
bergerak pada ambang kebobrokan, sadisme, bahkan fatalisme moral dan terjadi
disfungsi nilai dari wajah zaman sebagai perjalanan peradaban manusia. Puisi
dengan sendirinya hendak mengungkap fakta-fakta itu dengan lantang dan tetap
bersikap jujur meskipun kelihatan naif.
Bait keenam, Dengan puisi aku berdoa mengimplikasikan permohonan dan harapan dari sesorang.
Perjalanan kembali dari ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan seorang hamba
kepada Penciptanya. Jika dipertautkan dengan perkenankanlah kiranya menunjukkan adanya keselarasan dari doa. Pengarang ingin menegaskan bahasa
ketidak mampuan, ketidaksanggupan, dan ketidakberdayaan melalui bahasa.
2.
Tingkatan Antartanda (Konotasi dan Denotasi)
Tingkatan tanda adalah cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya kemungkinan
untuk dihasilkan makna sebuah teks. Oleh karena itu, hubungan antara sebuah
penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan hubungan yang
terbentuk berdasarkan konvensi, maka sebuah penanda dan pada dasarnya membuka
berbagai peluang atau makna.
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan,
yang memungkinkan untuk menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu
tingkat denotasi dan konotasi.
“Denotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna eksplisit, lamgsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal
ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto wajah Barnadi berarti
wajah Barnadi yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya
mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
“Konotasi” adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang
di dalamnya beroperasi makna yang eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(artinya terbuka dalam berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua,
yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,
seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan
makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna
konotatif
Kata bernyanyi
merupakan denotasi yang berarti bersama atau dengan cara mengungkapkan ungkapan
personal melalui medium bahasa (puisi) aku, saya, ego menyenandungkan bait-bait
nada dan musik. Kata bercinta merupakan denotasi yang berarti memendam
perasaan cinta dalam dirinya kata mengenang
merupakan denotasi yang berarti membangkitkan kembali
ingatan, mengingat-ingat, ataukah membayangkan lagi. Kata menangis
merupakan denotasi yang bermencucurkan air mata serta mengeluarkan suara
(tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan sebagainya) sebagai ungkapan perasaan sedih.
Kata mengiris
merupakan denotasi yang sebagai memotong atau mengerat tanpa belas kasihan atau
lalim dan sadistik. Kata mengutuk
merupakan denotasi yang berarti mengatakan, menyatakan, menyumpahi, melaknatkan
sesuatu yang buruk. Kata berdoa merupakan denotasi yang berarti
mengucapkan (memanjatkan) permohonan/harapan kepada Tuhan.
Tingkatan
tanda konotasi terdapat pada kata: kata cakrawala
merupakan konotasi yang artinya lengkungan langit dan kata senja juga merupakan konotasi yang artinya matahari.
3.
Relasi Antartanda
Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga
beruapaya mengungkap interaksi di antara tanda-tanda. Meskipun bentuk interaksi di antara tanda-tanda ini
sangat terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu
metafora (metaphor) “Metafora” adalah sebuah model interaksi tanda, yang di
dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan
metafora ‘kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah
pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang banyak digunakan di
dalam berbagai puisi sebagai karya sastra.
Metafora dalam puisi dengan puisi aku yaitu Keabadian Yang Akan Datang bermakna kehidupan yang akan terjadi di
masa yang akan dilewati. Jarum waktu bila
kejam mengiris merupakan metafora yang memberikan penyifatan terhadap
sesuatu. Kata jarum berarti kawat
halus yang ujungnya tajam dan pangkalnya berlubang tempat memasukkan benang,
dan kata waktu merupakan seluruh
rangkaian saat ketika proses, saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu atau
dapat juga berarti kesempatan, tempo, peluang. Jarum waktu merupakan
metafora yang mengandaikan adanya keadaan atau kesempatan yang menusuk sangat
tajam.
3 komentar:
mantap...
Bagus dan bermanfaat (y)
As stated by Stanford Medical, It is indeed the SINGLE reason women in this country get to live 10 years longer and weigh 19 kilos lighter than we do.
(Just so you know, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and absolutely EVERYTHING related to "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
Tap on this link to reveal if this short test can help you unlock your real weight loss potential
Posting Komentar