Makna Simbolik Kada-kada
Tominaa; Singgikna Torampo Tongkon Upacara Rambu
Solok di Tana Toraja
Masyarakat Toraja sejak dari dulu dikenal
sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam
menjunjung tinggi budayanya. Menurut Suhamiharja dalam bukunya Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi
Selatan, ( 1977: 29), suku
Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh memegang adat. Setiap
pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena melanggar adat adalah suatu
pantangan dan masyrakat memandang rendah terhadap perlakuan yang memandang
rendah adat itu. Apalagi dalam kelahiran, perkawinan dan kematian, upacara adat
tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya upacara ini dilakukan secara
besar-besaran sehingga orang luar akan
menaruh kesan sebagai pemborosan kekayaan, sedangkan bagi masyarakat Toraja
sendiri hal itu sudah seharusnya. Masyarakat Toraja beranggapan bahwa apabila
upacara itu dilaksanakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan untuk
itu, semakin baik. Gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin
tinggi, status naik dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang
melakukan itu adalah golongan orang-orang bangsawan.
Dalam prosesi upacara Rambu Solok terdapat banyak
tahapan ritual unik dan sangat menarik baik yang dilakukan secara simbolik
maupun dengan unsur-unsur visual dan audiovisual seperti arsitektur, kesenian
dan bahasa yang bagi masyarakat Toraja tahapan ritual-ritual yang dilakukan
memiliki makna mendalam yang telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Toraja
sebagai tradisi untuk menghormati warisan para leluhur yang dianggap sakral.
Salah satu tahapan yang dilakukan dalam prosesi Rambu Solok adalah Untarima
To Rampo Tongkon atau penerimaan tamu. Tamu yang hadir dalam upacara
tersebut disambut dengan rangkaian kata yang sangat indah yang dinamakan “Singgikna To Rampo Tongkon” yang
diungkap dalam bahasa Tominaa.
Bahasa Tominaa
berbeda dengan bahasa Toraja yang biasa digunakan oleh masyarakat Toraja pada
umumnya sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kada-Kada Tominaa disebut sebagai bahasa Toraja tingkat tinggi karena kemampuan untuk menyampaikan bahasa
ini hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan dalam penyampaiannya tidak
boleh menyimpang dari situasi atau acara adat yang sedang berlangsung.
“Singgikna To Rampo
Tongkon” adalah lantunan puisi sarat dengan simbol
yang bermakna pesan-pesan moral. Berikut adalah simbol-simbol yang ditemukan
dalam untaian kata- kata puitis atau Kada-Kada
Tominaa;Singgikna To Rampo Tongkon pada acara penerimaan tamu prosesi
penguburan.
1. Simbol Status Sosial
Masyarakat Toraja
a. Saleko (Kerbau Belang) Simbol Kebangsawanan
Saleko atau kerbau beanag adalah symbol kebangsawanan. Begitu berharganya
kerbau bagi masyarakat Toraja sehingga
kerbau dipakai sebagai simbol status sosial seperti yang terlihat pada
kutipan berikut:
“Rampomo salekona tondok
Tongkonmo bongana pangleon”
Terjemahan
“Sudah hadir
salekonya daerah
Datanglah
bonganya wilayah”
Saleko (kerbau
belang) dan bonga (jenis kerbau
belang tetapi harganya lebih murah daripada saleko)
adalah simbol dari seorang bangsawan atau status sosialnya tinggi. Saleko dipakai untuk menyebut atau menyanjung seorang yang mempunyai kekuasaan
dan kekayaan serta pengaruh yang besar dalam masyarakat. Saleko symbol bangsawan yang berkuasa, kaya dan berpengaruh karena saleko adalah jenis kerbau belang yang
termahal di Toraja yang harganya bisa mencapai 750 juta rupiah. Karena
harganya mahal sehingga hanya orang
tertentu mampu membelinya untuk dipersembahkan
saat meninggal.
b.
Tongkonan (Rumah Adat Toraja)
Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti duduk, kemudian dibubuhi akhiran –an sehingga menjadi tongkonan yang artinya tempat duduk
bersama. Tongkonan symbol
kebangsawanan, kekayaan, dan kepemimpinan.
Tongkonan merupakan wadah tempat berkumpulnya para kaum bangsawan
Toraja, untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan adat. Oleh
karena itu, tidak semua bangunan adat Toraja disebut Tongkonan. Tongkonan yang sebenarnya merupakan tempat kaum
bangsawan yang memiliki wibawa kepemimpinan, kekuasaan, dan kekayaan.
Pada saat penerimaan tamu kaum bangsawan disebut asal-usul
tongkonannya sebagai sanjungan dan identitas bangsawan tersebut seperti dalam
kutipan berikut:
“Todilolloan dao mai tongkonan layuk
To
dipamadatu muane esungan pa’kalandoanna pa’tala baine
Tongkonan peseoaluk tambakuku”
Terjemahan:
“ Orang yang mewarisi tongkonan yang agung
Orang yang dihormati kedudukannya baik laki-laki maupun perempuan
Tongkonan pemangku adat yang kuat dan kokoh”
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa orang tersebut adalah seorang
bangsawan yang lahir dari sebuah tongkonan yang termasyur dan mewarisi
tongkonan itu secara turun-temurun. Dari tongkonan itu lahir penguasa, pemimpin
atau pemangku adat yang mempunyai kuasa memerintah dan mengayomi orang banyak
yang disebut To Parengnge’.
c.
Barana (Pohon Beringin) Tallang Kamban (Rumpun Bambu)
Barana” atau pohon beringin adalah jenis pohon yang
tinggi dan besar, rimbun dan akarnya merambat ke mana-mana. Tingginya bisa
mencapai 40 meter dan tajuknya berbentuk payung. Karena bentuknya yang demikian
sehingga masyarakat Toraja memakainya
sebagai simbol orang besar, simbol perlindungan.
“ Songka kami barana’ki
Tibambang kami lamba’ki”
Terjemahan:
“Beringin kami telah tumbang
Pohon tinggi kami telah
terbanting”
Ungkapan di atas
menyatakan bahwa pohon beringin telah tumbang yang mengacu pada orang besar
yang sudah meninggal yang diacarakan pada saat itu. Para tamu dan sekalian yang
hadir maklum bahwa yang diupacarakan
adalah seorang yang mempunyai
kekuasaan, kekayaan dan nama besar
semasa hidupnya yang tidak tertandingi oleh siapapun di wilayahnya.
Kebesarannya laksana beringin yang tinggi menjulang tidak terpele oleh apa pun
dan kelihatan dari segala penjuru.
Tajuk pohon beringin yang seperti payung
menyimbolkan bahwa orang besar tersebut adalah pengayom atau pelindung orang
banyak. Jika ada masalah yang dihadapi oleh orang banyak, kepada “beringin” atau“orang besar” itulah mereka
mencari perlindungan dan penyelesaian. Orang besar pun akan segera memberi
bantuan, setidaknya memberi solusi atau jalan keluar dari setiap masalah yang
dihadapi. Orang banyak merasa aman, tenang dan damai di bawah perlindungan “orang besar”itu.
Sebaliknya orang kebanyakan disimbolkan dengan
tallang kamban atau rumpun bambu. Rumpun bambu yang tumbuh tidak ada
yang terlalu mencolok tetapi hampir sama semua tingginya. Rombongan tamu yang
diterima di tempat penerimaan tamu bukan hanya dari kalangan bangsawan tetapi
juga dari rakyat banyak atau masyarakat umum. Yang membedakan adalah sanjungan
atau pujian terhadap mereka berdasarkan status sosialnya.
d.
Gayang” (Keris), “Rara’ (Sejenis Kalung)
Gayang dan rara’
bagi masyarakat Toraja adalah benda
pusaka yang tidak ternilai harganya. Awalnya gayang dan rara’ umumnya
dibuat dari emas murni atau setidaknya disepuh dengan emas. Karena terbuat dari
emas murni sehingga tidak semua orang bisa membeli dan memilikinya pada saat
itu. Hanya orang tertentu saja yang mampu yakni dari kalangan bangsawan. Hal
inilah yang menyebabkan mengapa gayang
dan rara’ dipakai untuk menyimbolkan
kaum bangsawan. Gayang atau keris
adalah simbol laki-laki bangsawan
sedangkan rara’ simbol perempuan
bangsawan.
Demikian dalam penyambutan tamu. Kaum
bangsawan yang ada di antara rombongan tamu disambut dan disanjung dengan
ungkapan sebagai berikut:
“Rampo mananmo muane,
takinan gayangna Nanggala
Rampo inde simbolong manikna to merrapu
tallang
Lokkon loe rara’na pentutuan lipu sanda
kasalle”
Terjemahan:
“Sudah hadir seorang lelaki,
pemegang kerisnya Nanggala
Sudah datang seorang
perempuan dari rumpun keluarga
Perempuan pemakai rara’ dari segala penjuru
wilayah”
Ungkapan di atas
adalah sambutan dan sanjungan terhadap seorang laki-laki bangsawan yang ada di antara rombongan tamu. Bangsawan
tersebut berasal dari sebuah kampung namanya Nanggala. Laki-laki bangsawan itu
disimbolkan gayang atau keris. .
Di antara rombongan tamu, selain bangsawan
laki-laki, terdapat juga bangsawan perempuan. Perempuan itu disimbolkan rara’ yakni semacam kalung yang dipakai
kaum perempuan, terbuat dari emas murni atau disepuh dengan emas. Harganya
mahal dan hanya kaum bangsawan yang mampu membelinya pada zaman dulu. Karena
bernilai sehingga rara’ dipakai untuk
menyimbolkan kebangsawanan.
e.
Londong (Ayam Jantan atau Ayam Jago)
Londong” atau ayam
jago dilambangkan kepemimpinan atau kedisiplinan ketika dipasangi taji dan
terlibat dalam pertarungan dengan ayam lain
maka ayam jago ini akan berjuang sekuat tenaga sampai mampus. Meskipun
sudah sempoyongan dan terlihat tidak berdaya lagi karena terkena taji tetapi dia masih berusaha
untuk berdiri, menerjang, dan
mengepakkan sayapnya. Selama masih bisa berdiri tidak ada kata menyerah sedikit
pun. Bahkan jika sudah terkapar tak berdaya dia masih berusaha untuk berdiri
dan akhirnya mati lemas. Ini menyimbolkan keberanian dan pantang menyerah.
Ayam jantan
adalah simbol pemberani dan pemimpin yang disiplin. Sama seperti Sultan
Hasanuddin diberi gelar Ayam Jantan dari
Timur yang melambangkan seorang pemberani yang tidak kenal pantang
menyerah. Demikian pada acara penerimaan tamu dalam pesta Rambu Solok, ayam jantan dipakai untuk menyambut dan menyebut
pemberani atau pemimpin seperti dalam kutipan berikut:
“Rampomo londong kila’na padang di Pangala’
Tu’tunmo saungan la’te lambunna pentutuan
lipu sanda kasalle”
Terjemahan:
“Sudah datang ayam jago hebat dari
daerah Pangala’
Sudah tiba ayam taruhan dari berbagai penjuru wilayah”
Londong (ayam jago) dipakai untuk menyanjung dan
menyebut pemberani atau keturunan pemberani yang hadir dalam pesta Rabu Solok tersebut. Dari daerah
Pangala’ (nama kampung di Toraja) misalnya ada seorang pahlawan yang terkenal
namanya Pong Tiku. Pong Tiku seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dengan berani
melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai Tana Toraja yang lasim dikenal
Bumi Lakipadada. Selama hayat masih dikandung badan, tak ada kata menyerah dia
terus berjuang melawan penjajah sampai titik darah penghabisan laksana Londong (ayam jago) yang perkasa
mengepakkan sayapnya, menerjang lawannya tanpa rasa takut dan gentar.
2. Simbol Religius
a.
Tokaubanan ( Berambut Putih) Simbol Lanjut Usia, Keabadian dan Kematangan
Orang Toraja
mengakui dan memahami adanya kuasa supranatural, yakni kuasa yang tertinggi
yang melampaui kuasa pada diri manusia dan alam semesta. Kuasa itu disebut “Puang Matua” ( Tuhan Allah). Tetapi
orang Toraja memahami bahwa wujud menghormati Sang Kuasa tersebut adalah tidak
boleh menyebut langsung nama-Nya di sembarang tempat, waktu dan peristiwa, maka
keberadaan-Nya diungkapkan sebagaimana sifat-sifat-Nya.
Sifat-sifat Puang Matua
tersebut diungkapkan dengan simbol:
“Puang To Kaubanan dao masuanggana
topalullungan
Puang dao ba’ba manikna, dao gaun
ma’gulung-gulunganna”
Terjemahan:
“Tuhan yang beruban yang bertahta di atas tempat
tinggi
Tuhan yang bersemayam di pintu
kerajaan di atas awan yang
bergulung-gulung”
Orang Toraja menyebutkan Tuhan yang beruban.
Uban atau rambut putih adalah simbol lanjut usia dan keabadian. Tuhan itu kekal
adanya. Tuhan itu ada dari dulu, sekarang dan untuk selama-lamanya. Keberadaan
dan kekuasaan-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena
kekuasaan-Nya,Tuhan itu bertahta di tempat yang tinggi yang tidak terjangkau
oleh manusia yang berdosa.
Uban juga
menyimbolkan kematangan . Matang artinya dewasa dalam segala hal. Tuhan
disimbolkan beruban yang berarti dewasa, berkharisma dan berhikmat dalam segala
hal. Hikmat dan khrisma Tuhan tiada duanya. Oleh karena itu hanya sabda atau
firman Tuhan yang didengar dan dipercaya. Firman Tuhan membawa manusia pada
kebaikan dan keselamatan hidup.
b.
Sa’pala Buda (Banyak Tangan) Simbol Maha Murah Maha Kasih dan Maha Penyayang
Sa’pala buda artinya banyak tangan
adalah symbol maha murah, maha kasih, dan maha penyanag Meskipun Tuhan itu tak
terhampiri karena kekuasaan-Nya tetapi Tuhan juga sangat dekat dengan kehidupan
manusia, seperti dalam kutipan berikut:
“ Tu Puang torro mamase, unnisung
sakpala buda
Lako mintu’ panampa mala’bi’-Na
Terjemahan:
“ Tuhan itu tetap Mahakasih ,
Maha Penyayang dan Mahamurah
Kepada semua ciptaan-Nya yang mulia”
Ungkapan tersebut
menyatakan tentang hakikat Allah yang Maha Kasih, Maha Murah dan Maha
Penyayang. Maha Kasih dalam arti selalu mau mengampuni kesalahan dan dosa-dosa
manusia. Ketika manusia berbuat dosa dan datang memohon pengampunan kepada-Nya
maka tangan Tuhan selalu terbuka. Ada pintu maaf yang selalu terbuka kepada
setiap manusia yang ingin bertobat atas segala kekeliruannya dan tidak akan
mengulanginya lagi.
c.
Pote Bolong (Kerudung Hitam)
Pote bolong atau kerudung
hitam simbol dukacita. Masyarakat Toraja memaknai warna hitam sebagai simbol
dukacita yang mendalam atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Saat
rangkaian upacara Rambu Solok tamu yang hadir umumnya menggunakan busana berwarna
hitam baik anggota keluarga maupun tamu.
Iring-iringan atau
rombongan tamu berbaris memasuki halaman atau
pelataran tempat upacara Rambu
Solok. Diantar oleh penerima tamu, diikuti oleh rombongan kaum perempuan
yang menggunakan tudung atau kerudung hitam berupa selendang yang terjuntai dan diakhiri dengan rombongan laki-laki.
Hal itu tergambar dalam kutipan
berikut:
“ Rampo ma’pote di bolong
Tu’tun ma’kekeran bassi”
Terjemahan:
“ Datang dengan kerudung hitam
Hadir menggigit
besi”
Kehadiran tamu
dengan kerudung hitam sebagai simbol berdukacita atas kematian seorang anggota
keluarga. Kehadiran tamu sebagai wujud solidaritas bahwa kesedihan ditinggalkan
orang yang dikasihi bukan hanya dirasakan oleh keluarga, tetapi juga semua
orang yang hadir dalam upacara Rambu
Solok.
d.
Tambuk Lendong ( Perut Belut )
Lendong
atau belut adalah symbol kejujuran, ketulusan, dan kepolosan. Lending mempunyai bentuk tubuh yang lurus demikian
pula dengan perut atau ususnya. Karena bentuknya yang lurus sehingga perut
belut dipakai untuk menyimbolkan kejujuran dan ketulusan hati seseorang seperti
dalam kutipan berikut:
“
Digente’komi to ma’tambuk lendong
Tomaluangan kamu batu ba’tengmi
Tomasindun kamu pa’inaanmi”
Terjemahan:
“ Kamu digelar laksana perut belut
Kamu mempunyai hati yang bijak
Kamu mempunyai akal yang arif”
Ungkapan di atas
dipakai untuk menyambut dan menghormati rombongan tamu yang sementara berbaris
menuju tempat penerimaan tamu. Rombongan tamu itu diberi gelar mempunyai perut
belut sebagai simbol kejujuran, ketulusan dan kepolosan. Mereka adalah orang
yang layak disanjung atas kelurusan hati dan ketulusan mereka. Mereka (tamu)
tidak suka bersilat lidah dan selalu mengatakan “ya” kalau “ya” dan “tidak”
kalau “tidak”. Mereka polos mengatakan apa adanya tanpa ada maksud jahat di
balik tingkah laku dan kata-katanya.
e.
Rapu Tallang (Rumpun Bambu)
Rapu talang ataua rumpun bambu adalah simbol kekeluargaan. Bambu
adalah jenis tumbuhan berakar serabut, dan tumbuh anak beranak dalam satu
rumpun. Tumbuh dalam satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah sehingga kuat terhadap terpaan angin.
Rumpun bambu dipakai
simbol kekeluargaan dalam upacara Rambu
Solok seperti dalam kutipan berikut:
“Rampomo
inde mai toma’rapu tallang
Tu’tun koli-koli rara’mo inde to ma’kaponan
ao’
Terjemahan:
“Sudah datang semua di sini seperti rumpun
bambu
Sudah hadir semua di sini seperti rumpun buluh”
Ungkapan di atas
menyatakan bahwa seluruh rumpun keluarga
yang disimbolkan rumpun bambu sudah hadir dalam acara Rambu Solok. Kehadiran mereka sebagai
wujud kebersamaan dan rasa solidaritas atas dukacita yang sedang dialami oleh
keluarga. Dukacita seorang anggota keluarga tidak dialami atau dirasakan
sendiri tetapi oleh seluruh rumpun
keluarga. Kekompakan dan persatuan dalam ikatan darah terus dijaga dan
dipertahankan agar tetap satu laksana bambu
yang tumbuh bersama dalam satu rumpun.
f.
Matampu ( Sebelah Barat)
Matampu ataua sebelah Barat adalah
simbol kematian Matahari terbit di sebelah timur kemudian tenggelam di sebelah
barat, lalu akhirnya kegelapan malam tiba. Proses kehidupan manusia di dunia
sering diandaikan dengan matahari yang terbit di timur dan akhirnya tenggelam
di sebelah barat. Kelahiran manusia diibaratkan dengan matahari yang baru
terbit di ufuk timur kemudian terus naik lalu akhirnya tenggelam di ufuk barat
yang menggambarkan kehidupan seseorang di bumi ini telah berakhir.
Matampu (barat) bagi orang Toraja adalah simbol kematian seperti
yang tergambar dalam kutipan berikut:
“Songka
lurokko matampu’
Rokko kabottoan kulla”
Terjemahan:
Tumbang ke arah barat
Ke bawah tempat matahari terbenam
Ungkapan di atas
menyatakan bahwa seseorang itu telah meninggal
(tumbang) ke barat dan berakhir
kehidupannya di bumi ini laksana
matahari yang terbenam di sebelah barat. Oleh karena itu ketika orang Toraja
meninggal, maka mayatnya dibaringkan dan kepalanya harus mengarah ke barat.
Sangatlah tabu apabila mayatnya dibaringkan dengan sembarang arah.
g.
Balo (Jimat)
Balo
(jimat atau azimat) adalah simbol keberkahan, mengandung pengertian barang atau tulisan yang
dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai
penangkal penyakit, bahaya dan sebagainya. Orang Toraja memahami dan mengakui
bahwa tanah yang didiami adalah tanah yang hidup seperti “balo” atau jimat
sebagai simbol tanah keberkahan, penuh dengan ketenteraman dan kedamaian yang
terungkap dalam kutipan berikut:
“ Padang digente’ padang
tuo balo”
Terjemahan:
“Tanah
yang digelar tanah yang berjimat (penuh berkat)”
Toraja
adalah tanah yang indah permai, ada ketenteraman dan kebahagiaan. Penduduknya
menikmati tanah itu sebagai anugrah
Tuhan yang begitu sempurna. Tanah itu telah memberi ketenangan untuk hidup di
dalamnya. Orang Toraja yang mendiami negeri yang sejuk, damai dan tenang
mengakui berkat Tuhan melalui tanah itu. Berkat itu adalah lolo tau, lolo patuoan,
dan lolo tananan. Lolo tau , berupa lahirnya anak cucu
sebagai berkat terindah, lolo patuoan berupa
hewan ternak, dan lolo tananan berupa
tanaman yang semuanya memberi kehidupan.
Dulu orang Toraja sudah merasa bahagia dan makmur jika sudah memiliki
ketiga berkat tersebut yang bersumber dari Tuhan melalui negeri yang subur itu.
Pelaksanaan upacara Rambu Solok di Tana Toraja ternyata
sarat dengan simbol secara khusus yang terdapat dalam Kada-Kada Tominaa; Singgikna Torampo Tongkon. Singgikna Torampo Tongkon
adalah untaian kata-kata puitis yang dipakai untuk menyambut rombongan tamu
yang hadir dalam upacara Rambu Solok.
Ricoeur menyatakan bahwa bentuk simbol
dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni simbol
verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah simbol-simbol yang berupa
bahasa yang dituturkan oleh para pelak
Seperti yang yang
dikemukakan oleh Pierre bahwa salah satu jenis tanda berdasarkan hubungan
antara tanda dengan yang ditandakan adalah simbol. Simbol adalah tanda yang
memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan
konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.
Demikian pula simbol dalam Kada-Kada
Tominaa; Singgikna Torampo Tongkon adalah tanda yang memiliki hubungan
makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi
masyarakat Toraja. Misalnya, “saleko” (kerbau belang), “barana” (beringin), tongkonan” (rumah adat Toraja), “gayang “ (keris), dan “rara”
(jenis kalung), adalah simbol kaum
bangsawan, “londong” (ayam jantan atau ayam jago) adalah simbol pemberani, “pote bolong” (kerudung hitam), simbol
duka cita. Semua simbol tersebut adalah persetujuan atau konvensi masyarakat
Toraja tentang yang disimbolkan.
Dengan begitu, simbol yang terkandung di balik simbol Singgikna Torampo Tongkon merupakan
makna yang terkandung oleh pandangan dan budaya Toraja yang pada umumnya
bersifat arbitrer dengan hal yang disimbolkan.
1 komentar:
As reported by Stanford Medical, It's really the one and ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh on average 19 KG lighter than we do.
(And actually, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and EVERYTHING about "how" they are eating.)
BTW, I said "HOW", not "WHAT"...
TAP on this link to reveal if this brief test can help you release your real weight loss potential
Posting Komentar