Analisis Hubungan Intertekstual Padamu Jua dengan Doa
Berdasarkan prinsip intertekstual sebagaimana yang dikemukakan oleh
Riffaterre (1987), sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak
lain, baik dalam persamaannya maupun
dalam perbedaannya. Dalam artian sajak baru bermakna secara sepenuhnya
setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar
penciptaannya. Di samping itu, suasana sajak akan menjadi lebih terang,
kiasan-kiasannya menjadi lebih dapat dipahami. Sajak yang menjadi latar
penciptaan sebuah sajak disebut hypogram (Riffaterre,
1978). Sementara Culler (1977) mengemukakan bahwa tiap teks itu merupakan
mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan trasformasi teks-teks lain.
Maksudnya, teks-teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain
berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolahnya kembali dalam karyanya atau
teks yang ditulis oleh sastrawan kemudian itu.
Dalam kesusastraan Indonesia,
hubungan intertekstual antara suatu karya dengan karya lain, baik antara karya
sezamannya maupun zaman sebelumnya banyak terjadi. Misalnya saja beberapa sajak
Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstual dengan sajak-sajak Amir Hamzah.
Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangannya
dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawana.
Untuk lebih jelasnya analisis hubungan
intertekstual Padamu Jua dengan Aku dapat dilihat berikut ini.
Amir Hamzah
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang
terbang
Pulang kembali aku
padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam
gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindi rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai
hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tanggakap
dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu
jua
Engkau pelik menarik
ingin
Serupa dara di balik
tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan
giliranku
Mati hati-bukan
kawanku...
(Nyanyi Sunyi, 1959).
Chairil Anwar
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut
namamu
Biar susah sungguh
mengingat kau penuh
seluruh
Caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di
kelam malam
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri
asing
Tuhanku
di pintu-Mu mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Deru Campur Debu, 1959).
Secara intertekstual ”Doa” Chairil Anwar menunjukkan
adanya persamaan dan pertalian dengan sajak ”Padamu Jua”. Ada gagasan dan
ungkapan Chairil Anwar yang dapat diruntut kembali dalam sajak Amir Hamzah.
Begitu juga ide, meskipun dalam pengolahannya ada perbedaan yang menyebabkan
tiap-tiap sajak menunjukkan kepribadiannya masing-masing dalam menanggapi
masalah yang dihadapi.
”Padamu Jua” si aku yang cinta dunianya habis kikis dengan
pasti kembali kepada-Mu, Tuhan, meskipun pada awalnya kecewa karena ia merasa
dipermainkan oleh Engkau. Namun, akhirnya ia tak mau pergi lagi karena Engkau
sebagai dara di balik tirai, menanti si aku seorang diri dengan setia.
”Doa”, si aku yang terasing dalam kebingungannya meskipun
pada mulanya termangu, toh akhirnya ia datang juga kepada Tuhan karena Tuhan
itu penuh seluruh (Maha Rahman dan Maha
Rahim). Tak ada tempat lain untuk mengadu keremukan bentuknya (wujud
hidupnya) selain Dia. Maka, setelah aku mengetuk pintu kerahmanan dan
kerahimnya, si aku tak bisa berpaling lagi.
Amir Hamzah menggambarkan Tuhan (Engkau) sebagai kendil
(lilin) kemerlap. Ini ditrasformasikan Chairil dalam ”Doa”, sifat Tuhan sebagai
kerdip lilin di kelam sunyi.
Si aku dalam sajak Amir Hamzah ragu-ragu karena tak dapat
menangkap wujud Engkau: Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa // Di mana Engkau
/ Rupa tiada / Suara sayup / Hanya kata merangkai hati //. Bahkan si aku merasa
diperhatikan: Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu /
Bertukar tangkap dengan lemas //. Hal
ini ditransformasikan Chairil: Tuhanku / Dalam termangu aku masih menyebut
nama-Mu // Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh //. Penderitaan si
aku dalam sajak Amir Hamzah (bait ke-3, 4, 5) ditransformasikan Chairil Anwar:
Tuhanku / Aku hilang bentuk / remuk / ... / aku mengembara di negeri asing.
Meskipun demikian, si aku Amir Hamzah kembali juga kepada
Engkau, kekasihnya: Nanar aku, gila sasar / Sayang berulang padamu juga / Engkau
pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu sunyi / Menunggu
seorang diri /. Ini ditrasformasikan Chairil dalam ”Doa”: Tuhanku / aku
mengembara di negeri asing // Tuhanku / di pintu-Mu aku mengetuk / aku tidak
bisa berpaling.
Meskipun ada persamaan ide antara kedua sajak tersebut,
namun pelaksanaannya, yaitu mengekspresikannya, berbeda, menyebabkan hasilnya
pun berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan tanggapan terhadap Tuhan
(wujud Tuhan).
Amir Hamzah menanggapi wujud Tuhan sebagai kekasih, Tuhan
dianthropomorfkan, diwujudkan sebagai
manusia: kekasih, gadis. Dengan demikian, kiasan-kiasannya bersifat
personifikasi dan romantis: Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu / .../
Kaulah kandil kemerlap / ... / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu
// ... / Engkau pelik menarik ingin / Serupa dara di balik tirai // Kasihmu
sunyi / Menunggu seorang diri.
Amir Hamzah ingin menangkap wujud Tuhan seperti hal yang
berbentuk wadag: Satu kekasihku / Aku manusia / Rindu rasa / Rindu rupa//. Yang
diinginkan Amir Hamzah pertemuan dengan Tuhan seperti halnya Nabi Musa: Hanya
satu kutunggu hasrat / serupa Musa di puncak Tursina (”Hanya Satu”). Tuhan
digambarkan sebagai gadis yang pencemburu dan ganas (di sini juga digambarkan sebagai binatang bas): Engkau cemburu / Engkau ganas / Mangsa
aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas.
Hal tersebur lain dari yang digambarkan wujud Tuhan
menurut konsep Chairl Anwar. Antara aku dan engkau itu ada jarak. Kekuasaan
Tuhan itu mutlak, ada hamba dan Tuhan. Maka Chairil Anwar tak memberinya bentuk
manusia, melaikan hanya kekuasaan-Nya yang terasa. Tuhan memancarkan cahaya
yang panas, meskipun juga untuk menerangi hati manusia: caya-Mu panas suci /
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi //. Manusia tak dapat berbuat laian
kecualai hanya bersrah diri dan mengadukan nasibnya sebab hanya Dia tumpuan
keluh dan tangis manusia: Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk // Tuhanku / aku
mengembara di negeri asing.
Dalam gaya ekspresi, Chairil Anwar mempergunakan haya
semacam imagisme, yaitu gaya yang
mengemukakan pengertian dengan citra-cita, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji:
Tuhanku / aku hilang bentuk / remuk /... / aku mengembara di negeri asing //.
Maka, kata-kata yang kalimatnya ambigu. Amir Hamzah mempergunakan citra-citra
juga, tetapi tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan untuk
mengkonkretkan tanggapan. Kaulah Kandil kemerlap / Pelita jendela di malam
gelap / Melambai pulang perlahan / Sabar, setia selalu / ... / Engkau cemburu /
Engkau ganas / Mangsa aku dalam cakarmu / Bertukar tangkap dengan lepas.// Di sini
kata-kata dan kalimatnya tidak ambigu, bahkan mendekati kepolosan (diafan).
2 komentar:
Did you know there's a 12 word phrase you can communicate to your partner... that will trigger deep feelings of love and impulsive attraction for you deep within his chest?
Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, look after and care for you with all his heart...
====> 12 Words Will Trigger A Man's Desire Response
This impulse is so built-in to a man's brain that it will drive him to try harder than before to to be the best lover he can be.
Matter-of-fact, fueling this mighty impulse is absolutely mandatory to getting the best possible relationship with your man that the instance you send your man one of the "Secret Signals"...
...You will immediately find him expose his soul and heart for you in a way he haven't expressed before and he will perceive you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly attracted him.
Terima kasih. Saya jadi paham tentang intertekstual puisi
Posting Komentar