Analisis Gaya Bahasa Berdasarkan Sintaksis
Sajak memerlukan
kepadatan dan ekspresivitas, karena sajak itu hanya mengemukakan inti masalah
atau inti pengalaman. Oleh karena itu, terjadi pemadatan, hanya yang
perlu-perlu saja dinyatakan, maka hubungan kalimat-kalimatnya implisit, hanya
tersirat saja. Hal ini tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat dalam bait
pertama (dan bait-bait lainnya). Jadi, gaya kalimat demikian dapat disebut gaya
implisit, seperti tampak dalam wujud baris ke-3 dan ke-4 dalam bait pertama. Di
antaranya dapat disisipkan kata penghubung untuk memperjelas. Diperhatikan
berikut ini.
Dan
suara yang kucintai ’kan behenti membelai
(Oleh karena
itu), kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Begitu juga hubungan
antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3 dan ke-4 dalam bait kedua dan ketiga,
sebagaimana berikut ini
Tidak tah Romeon
& Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
(Karena) lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Begitu juga, hubungan
implisit antara baris ke-2 dan ke-3 bait ketiga, dapat dijelaskan dengan
sisipan ungkapan penghubung ”karena itu” atau ”kemudian”, sebagaimana berikut
ini.
Jadi bedil sudah
disimpan, Cuma kenangan berdebu
(Karena
itu atau kemudian), kita memburu arti atau diserahkan kepada
Anak
lahir sempat
Dalam
sajak ini tampak yang mendominasi adalah gaya bahasa kalimat untuk
melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Gaya ini dikenal sebagai sarana
retorika hiperbola, sebagaimana
berikut ini.
Kupahat
batu nisan sendiri dan kupagut
(Batu
nisan ”dipagut” ini berlebih-lebihan).
Kita
– anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Di sini tampak
hiperbola: kita – anjing diburu – orang disamakan dengan anjing
(dilebih-lebihkan kehinaannya). Di samping itu, ada gaya yang menyangatkan,
tetapi dalam arti sangay dikecilkan, gaya itu adalah sarana retorika litotes, hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang“
„Lahir
seorang besar dan tenggelam beratus ribu“
Banyaknya orang yang
mati dilebih-lebihkan sebagai „tenggelam beratus ribu“
Kita memburu
arti atau diserahkan anak lahir sempat“, ini hiperbola
Karena itu
jangan mengerdip, tetap dan penamu asah“.
Untuk menggambarkan orang harus bekerja keras
”mengerdip” pun tidak boleh, dan harus selalu ”mengasah pena” (bekerja keras).
Jadi gaya ini adalah hiperbola.
Baris ke-3, 4, 5 bait ketiga dapat juga dipandang sebagai
sarana retorika klimaks, iaitu
pernyataan yang mengera.
”Kita memburu
arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit
mau basah!”
1. Gaya Bahasa dalam Kata
Untuk
menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas, dalam sajak ini banyak
dipergunakan bahasa kiasan. Bahasa kiasan ini menyatakan suatu hal secara tidak
langsung. Ekspresi secara tidak langsung ini merupakan konvensi sastra,
khususnya puisi seperti yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978), bahwa ucapan
tidak langsung itu disebabkan oleh tiga hal: pemindahan atau pergantian arti,
penyimpangan atau pemoncongan arti, dan penciptaan arti.
Pemindahan arti (displacing
of meaning) berupa penggunaan metafora dan metinimi. Istilah metafora
seringkali untuk menyebut arti kiasan pada umumnya meskipun, metafora itu
sesungguhnya merupakan salah satu ragam bahasa kiasan. Penyimpangan atau
pemoncongan arti (distoring of meaning)
disebabkan oleh ambiguitas, kontadiksi, dan nonsense. Penciptaan arti
disebabkan oleh penggunaan bentuk visual: pembaitan, enyambemen, persajakan,
persejajaran bentuk (homologue), dan
bentuk visual lainnya.
Ungkapan tak langsung dalam sajak ini yang sangat penting
terutama bahasa kiasan (penggantian arti: metafora dan metonimi dan
ambiguitas). Demikian pula, untuk menghidupkan lukisan dalam sajak ini
dipergunakan ucapan tak langsung dengan citraan (imagery).
Bait ke-1
”Ada tanganku”
merupakan sinekdoki pars pro toto, ini
untuk menunjukkan pusat aktivitas manusia yang terpenting itu terletak di
tangan. Di sini tangan untuk keseluruhan manusia.
Untuk memperjelas gambaran tua atau mati diberi citra:
”jemu terkulai” dan ”mainan cahaya di air” ”hilang bentu”, ”dalam kabut”.
”Suara yang dicintai” adalah sinekdoki pars
pro toto untuk istri atau sanak saudara yang dicintai dan disayangi.
”Bat nisan” adalah metafora untuk karya yang agung,
”monumental” yang merupakan tanda bahwa orang pernah hadir di dunia dan perlu
diingat karena kebesarannya atau karyanya yang hebat.
Bait ke-2
”Anjing diburu”
merupakan metafora untuk menunjukkan ketergesa-gesaan atau ”orang yang hina”
(untuk menyangatkan). ”Sandiwara” adalah metafora untuk peristiwa ataupun
kehidupan ini, hal ini menyiratkan bahwa ”hidup di dunia” ini ”hanya” permainan
saja yang dibuat oleh Tuhan.
”Romeo dan Juliet” ini untuk memberikan kiasan dua
kekasih yang saling bercintaan: yang terjadi di dalam sandiwara kehidupan ini.
”Seorang besar” seorang tokoh yang hebat, misalnya Hitler, Churchil, charles de
Gaule para ”aktor” dalam PD II. ”beratus ribu” ada;ah rakyat kecil yang
beribu-ribu yang menderita.
Bait ke-3
”Sawan” ini
merupakan ambiguitas berarti kekhawatiran atau takut, atau juga penyakit jiwa.
”Diburu”
ambiguitas untuk dikejar-kejar, dihina, direndahkan martabatnya sebagai
binatang buruan.
”Bedil” metafora atau sinekdoki untuk perang.
Kalau ”bedil disimpan” artinya peranng sudah usai.
”Kenangan berdebu” adalah kenangan lama ataupun yang
menyeramkan (kenagan kepada perang yang hebat).
”Memburu
arti” ini ambiguitas untuk menyatakan: mencari arti hidup dengan
sungguh-sungguh, memperjuangkan nasib sendiri, atau mencari martabat hidup.
”Anak
lahir sempat” anak yang kebetulan lahir
yang tidak diketahui asal-usulnya ataupun kualitas kehebatannya.
”Jangan
mengerdip” adalah ambiguitas untuk: jangan berhenti berusaha, jangan
beristirahat, jangan santai-santai
”Pena”
adalah alat tulis sebagai metafora untuk kehidupan yang (masih) kosong, belum
dijalani.
”Tenggorokan”
adalah sinikdoke pars pro toto untyk
orang yang hidupna sengsara
”Sedikit
mau basah” berarti sekedar bisa makan untuk kelangsungan atau mempertahankan
hidup.
2. Gaya Bahasa dalam Bunyi
Bunyi berfungsi
untuk mendukung atau memperkeras arti kata ataupun kalimat. Gaya bunyi untuk
memperdalam makna kata dan kalimat. Dalam sajak ini tampak berikut ini
Keseluruhan sajak merupakan suasana”berat”, ”muram”, atau ”murung” dan
”gundah”. Suasana itu ditampilkan, di samping oleh arti kata-kata dan
kalimatnya, juga oleh bunyinya yang berat dan dominan, yaitu asonansi a dikombinasikan u sajak akhir. Akan tetapi, efektivitasnya ditunjang oleh variasi
dan kombinasi bunyi yang menyebabkan berirama dan liris.
Bait ke-1
Kombinasi bunyi a – u yang kuat tampak pada baris
ke-1,2,3. diperhatikan berikut ini
Ada tanganku ... akan jemu...
Mainan cahaya ... hilang bentuk dalam kabut, ...
Kupahat batu nisan ... dan kupagut
Sajak akhir baris ke-3
dan ke-4: kabut – kupagut, bunyi u memberikan suasana sedih dikombinasi bunyi t yang tidak merdu memperkeras suasana yang tidak menyenangkan. Diperhatikan
berikut ini.
Variasi
bunyi l dan buni ai dalam baris ke-1, 2, dan 3 menyiratkan makna ketidakberdayaan:
sekali... terkulai/Mainan cahya di air hilang... dalam/Kucintai... berhenti...
membelai. Kombinasi bunyi sengau m, n, ng
membuat berirama dan liris... tanganku... akan jemu.../Mainan ... hilang
bentuk dalam .../Dan... yang kucintai’kan berhenti membelai./Batu nisan sendiri
dan ...
Bait ke-2
Asonansi a yang dominan yang dikombinasi bunyi u pada keempat barisnya memperkuat
situasi dan suasana muram. Diperhatikan berikut.
Kita
– anjing diburu – hanya melihat ... sandiwara sekarang ... berpeluk dikubur
atau diranjang
Lahir
seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Kedua
harus... dapat tempat
Kombinasi bunyi sengau m, n, ng menyebabkan berirama dan
membuat liris. Diperhatikan berikut.
...
anjing ... sebagai.... sandiwara sekarang
... di ranjang/...
seorang besar... dan tenggelam
Begitu juga, kombinasi
bunyi r membuat liris: ... diburu...
dari sandiwara sekarang/... dikubur... di ranjang/lahir seorang besar.... beratus
ribu.
Bait ke-3
Asonansi a dan sajak akhir u memperkuat suasana muram dan gundah divariasi dengan bunyi i membuat berirama liris. Pola bunyi
vokal tersebut dapat dilihat berikut ini
Baris
ke-1: a – ia – ai – iaa – ai – iuu
Baris
ke-2: ia – i – ua – iia – ua – aa – u
Baris
ke-3: ia – uu – ia – aau – iaa – aa- aa- ai- au – aa
Baris
ke-4: aa – ia – aa – i – a – a – au – aa
Baris
ke-5: ui – a – a- a- ooa – i – ii – au – aa
Lebih- lebih pada baris
ke-4 dan ke- 5 bunyi e (pepet) tampak
berulang-ulang menambah liris juga: Karena – mengerdip – tetap/karena kertas
gersang, tenggorokan kering sedikit
Sajak akhir: diburu
– berdebu – sempat – asah – basah memperkeras
makna muram atau murung. Dalam bait ini juga tampak bunyi sengau sebagai
variasi membuat merdu dan liris:
dan
... nanti... sawan.../...dsimpan...Cuma kenagan
memburu...diserahkan...sempat/...jangan
mengerdip...
/...karena kertas gersang. tenggorokan kering...
Pada baris terakhir
bunyi r berturut-turut membuat liris:
...
diburu/...berdebu/...memburu arti... diserahkan...lahir/...mengerdip.../
karena ketas gersang, tenggorokan kering...
Dengan demikian, tampak
pada keseluruhan sajak, kombinasi bunyinya membuat bunyi musik (orkestrasi)
yang merdu menyebabkan sajak ini menjadi liris. Perasaan sedih, gundah, dan
suasana murung dapat terjilma sesuai dengan tema atau masalah sajaknya. Sajak ini
tampak gaya bunyi yang utama ialah asonansi a
i dikombinasi bunyi u, sajak akhir pada tiap bait yang bersuasana berat,
dan kombinasi bunyi sengau m, n, ng, bunyi
l dan r . Kombinasi semuanya itu menyebabkan sajak berirama liris
(Pradopo, 2005).
3. Analisis Struktural dan Semiotik
Sebuah sajak
merupakan kesatuan yang utuh. Dengan demikian, tidak cukupkah
bilaunsur-unsurnya dibicarakan terpisah-pisah. Oleh karena itu analisis
struktural dan semiotik dianalisis/dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah
sajak yang utuh. Hal ini disebabkan norma-norma sajak itu saling berhubungan
erat, saling menentukan maknanya.
Dalam pengertian struktur (Piaget via Hawkes, 1978)
melihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, iaitu kesatuan,
dan ide pengaturan diri sendiri (elf-regulation).
Ide kesatuan,
maksudnya struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, iaitu bagian-bagian
yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Ide kesatuan, maksudnya, struktur itu
berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu
mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru
diproses dan melalui prosedur itu. Misalnya struktur Ia memetik bunga. Strukturnya: subjek, predikat, dan objek. Dari
struktur itu dapat diproses: saya (Ali, Ahmad, Tini) memetik bunga dapat diproses dengan struktur: ia memetik buah (jambu, rambutan, jeruk), atau. Ia merangkai (memasang, memotong,
menanam) bunga; dan seterusnya. Ide diri
sendiri, maksudnya struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur
itu tidak memerlukan pertolongan/bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan
prosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat: Saya memetik bunga, tidaklah diperlukan
keterangan dari dunia nyata, melainkan ia diproses atas dasar aturan di
dalamnya dan yang mencukupi dirinya sendiri. Maksudnya setiap unsur mempunyai
fungsi tertentu berdasarkan letaknya dalam struktur itu.
Menurut pikiran strukturalisme dunia (karya sastra
merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan
daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur
itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh
hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu
(Hawkes, 1978).
Dengan demikian, analisis struktural sajak adalah
analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan
penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan
unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur (Pradopo,
2005).
Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem
semiotik atau ketandaan, iaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium
karya sastra bukanlah bahan yang bebas seperti bunyia pada seni musik ataupun
warna pada lukisan. Kata-kata atau bahasa sebelum dipergunakan dalam karya
sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh
perjanjian masyarakat (konvensi) masyarakat. Bahasa merupakan sistem ketandaan
yang berdasarkan oleh konvensi masyarakat. . Sistem ketandaan itu disebut semiotika atau semiologi.
Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, iaitu penanda (signifier) atau yang menandai yang
merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified)
atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara
penanda dan petanda ada tiga jenis tanda yang pokok, iaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah
tanda hubungan antara penanda dan petanda bersifat bersamaan bentuk alamiah,
misalnya gambar kuda menandai kuda yang nyata. Indeks, adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal ada hubungan sebab akibat.
Misalnya asap menandai api. Simbol, adalah
tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya, hubungannya berdasarkan
konvensi masyarakat.
Memahami sajak (puisi) tidak lain dari memahami
makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha memahami makna sajak. Makna sajak
adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra
menurut konvensinya, iaitu arti yang bukan hanya arti bahasa, melainkan berisi
arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Menurut Preminger,
1974) mengemukakan bahwa kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan
konvensi-konvensi sastra yang berlaku. Satuan –satuan berfungsi itu misalnya;
alur, latar, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, gaya bahasa, satuan
visual seperti tipografi, enyambemen, satuan baris (bait), dan sebagainya. Di
samping itu masih ada konvensi tambahan. Konvensi tambahan itu antara lain:
perulangan, persajakan, , pembagian baris sajak, makna kiasan karena konteks
dalam struktur, yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sasra. Dengan demikian,
maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda kebahasaan kemudian
dianalisis tanda-tanda tambahan yang lain yang merupakan konvensi tambahan
dalam puisi.
Selanjutnya kita perhatikan analisis sajak Amir Hamzah
berdasarkan struktural dan semiotik berikut ini.
Barangkali
Engkau
yang lena dalam hatiku
Akasa
swarga nipis-nipis
Yang
besar terangkum dunia
Kecil
terlindung alis
Kujunjung
di atas hulu
Kupuji
di pucuk lidah
Kupangku
di lengan lagu
Kudaduhkan
di selendang dendang
Bangkit
gunung
Buka mata
mutiara-mu
Sentuh
kecapi firdusi
Dengan
jarimu menirus halus
Biar
siuman dewi nyanyi
Gambuh
asmara lurus lampai
Lemah
ramping melidah api
Halus
harum mengasap keramat
Mari
menari dara asmara
Biar
terdengan swara swarna
Barangkali
mati di pantai hati
Gelombang
kenang membanting diri
(Nyanyi Sunyi, 1959).
Engkau yang terasa bertiduran dalam hati si aku adalah
sesuatu yang indah, amat halus (aksara swarga: langit sorga, iaitu sesuatu yang
luas; tipis nipis; sangat halus, sangat kecil). Sesuatu yang indah dan gaib itu
kalau besar dapat menguasai dunia, bila kecil dapat bersembunyi di balik alis.
Dalam hal ini berarti, bahwa yang gaib itu selalu terasa ada, meliputi
segalanya: meliputi dunia si aku, namun tak terlihat karena dapat bersembunyi
di balik alis.
Yang gaib itu selalu dijunjung di atas kepala si aku:
selalu dimuliakan, selalu dipuji-puji dengan kata-kata, selalu dinyanyikan,
selalu dininabobokan dengan dendang sayang. Jadi yang gaib itu selalu dibawa
kian kemari.
Perasaan gaib yang terasa dalam hati si au diumpamakan
gunung besarnya. Maksudnya sangat dimuliakan, dipuja-puja. Ia disuruh bangkit
dan membuka matanya yang indah, disuruh memetik kecapi sorga (sangat merdu
bunyinya) dengan jarinya yang sangat indah: panjang halus meruncing ke ujung.
Dengan demikian, maka dewi nyanyi akan siuman dan menari
dengan tubuhnya yang lurus lampai, ramping lemah gemulai seperti lidah api yang
meliuk-liuk, baunya harum seperti asap setanggih yang keramat wangi memabukkan.
Dewi-nyanyi kiasan rasa senang, rasa gembira si aku. Rasa gembira itu biasanya
diekspresikan dengan nyanyian dan tarian. Jadi bila kekasih si aku memetik
kecapi, maka rasa senang dan kegembiraan si aku akan sampai puncaknya
Diajaknya gadis kekasihnya menari dan menyanyi supaya si
aku mendengar suaranya yang merdu dan indah seperti emas. Dengan demekian,
barangkai jika percintaan itu mati tidak berlangsung terus, maka dalam hati si
aku akan tetap ada kenangan sebagai gelombang yang menghempas di pantai. Dalam
arti, si aku akan selalu mempunyai kenangan indah terhadap kekasihnya.
Bait ke- 3 dan ke-5 adalah citra seorang gadis yang
cantik, yang sangat dimuliakan dan dicintai: Bangkit gunung buka mata
mutiaram...// Mari menari dara asmara / biar terdengar swara swarna. Jadi si
aku dalam bait ke-1 itu tidak lain citra gadis kekasih si aku, yang selalu
menguasai diri si aku, dipuja-puji dan dimuliakan. Dimintanya untuk bangkit dan
membukakan matanya yang berkilau seperti mutiara. Dimintanya untuk memetik
kecapi yang indah dan merdu bunyinya dengan jarinya yang indah: panjang halus
meruncing ke ujung.
Ide percintaan tersebut secara semiotik sesuai dengan
pilihan kata-kata yang menimbulkan suasana romantis. Secara semiotik yang
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan bahasa sebagai tanda mempunyai arti (Preminger, 1874). Kata-kata
romantis antara lain: yang lena dalam hatiku, akasa,, swarga, nipis-tipis,
hulu, kupangku, lengan lagu, kudaduhkan (kutidurkan), selendang dendang,
mata-mutiara-mu, kecapi firdausi, menirus halus, dewi-nyanyi, gambuh asmara,
lurus lampai, harum, dara-asmara, swarna-swarni, pantai hati, gelombang
kenang. Dengan pilihan kata-kata
demikian, menurut Culler (1977) secara struktural terjadilah kekompakan,
koherensi, dan integrasi kata-kata yang sesuai dengan arti serta suasana
romantis yang ditimbulkannya.
Begitu juga untuk menyatakan betapa cintanya si aku
kepada gadisnya, dipergunakan sarana retorika ulangan (paralelisme) dipadukan
dengan penjumlahan (enumerasi), sebagaimana berikut ini.
Kujunjung
di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Lukisannya terasa
dilebih-lebihkan, dengan retorika hiperbola, berikut ini.
Yang
besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis
Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
Mari
menari dara asmara
Biar
terdengar swara swarna
Si engkau yang lena
dalam hati si aku itu sesuatu yang gaib, maka citranya pun bersifat pemikiran:
citraan intelektual yang tampak dalam bait ke-1 dan ke-2. diperhatikan berikut
ini.
Akasa
swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alia
Kupangku
di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Akasa swarga itu memberikan gambaran atau kiasan sesuatu
yang besar dan halus. Hal ini sejajar dengan arti: yang besar terangkum dunia.
Sedangkan yang nipis-tipis memberikan gambaran yang kecil dan lembut, ini
sejajar dengan : kecil terlindung alis. Untuk membuat konkret tampak pada bait
ke-3 dan ke-4 citraan visual, maka gadis kekasih itu kelihatan nyata, sebagaimana
ungkapan berikut ini.
Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
Sentuh kecapi firdausi
Dengan jarimu meniru-halus
...
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Juga untuk
mengkonkretkan tanggapan dalam sajak ini banyak dipergunakan metafora, sebagaimana berikut ini.
Engkau
yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
....
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
...
Mari mencari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
... di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Metafor
dalam sajak ini, selain untuk membuat konkret tanggapan, juga dipergunakan
untuk kesejajaran bunyi yang membuat ritmis, padat hingga menjadi ekspresif:
aksara swarga; nipis tipis; di lengan lagu; selendang dendang; mata-mutiara-mu,
dara asmara; swara swarna; pantai hati; gelombang kenang.
Engkau yang lena dalam hatiku itu dikiaskan sebagai
anak/kekasih tersayang yang dipangku di lengan lagu, diayun dengan lagu
seolah-oleh lagu mempunyai tangan, dan ditidurkan di selendang dendang. Ibarat
anak yang digendong di selendang dan didendangkan. Hal ini membuat gambaran
jadi visual. Seolah segalanya tampak mata. Juga mata yang dikiaskan sebagai
mutiara itu tampak indah. Dara asmara adalah gadis yang menimbulkan rasa cinta.
Gelombang kenang mengiaskan kenangan yang begitu hebatnya yang terasa
menghempas di pantai hati: di dasar hati, di sini ada persejajaran antara
gelombang dan pantai.
Sajak ini pun
sarana kepuitisanyang telah terurai dikombinasi dengan fungsi bunyi.
Irama dan ulangan-ulangan bunyi yang dinyatakan dengan puji-pujian kepada
gadisnya itu terekspresi dengan bunyi a dan
u yang
dominan pada bait ke-2 dan ke-3 sebagaimana berikut ini.
Kujunjung di atas hulu
...
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
...
Dengan jarimu menirus halus
Kegembiraan itu memuncak
dalam bait ke-4 dan ke-5, diekspresikan dengan bunyi ringan yang
berturut-turut, iaitu bunyi vokal i, sebagaimana
berikut ini
Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
...
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Bunyi-bunyi yang
ekspresif, memperkuat, mempertegas arti yang terkandung dalam kata-katanya;
akasa swarga... yang besar terangkum dunia, arti besar diperkuat oleh asonansi a dan u ...
nipis-tipis... kecil terlindung alis, arti kecil itu diperkuat oleh asonansi i.
Kujunjung di atas hulu; kupangku di lengan lagu; bangkit
gunung/buka mata mutiara-mu; biar terdengar swara swarna; gelombang kenang.
Merupakan kombinasi bunyi a dan u yang
memperkuat arti besar, berat.
4. Analisis Struktural dan
Semiotik Sajak Aku
Proses analisis
dan parafrase sajak Aku karya Chairil
Anwar adalah seperti analisis dan parafrase sajak sebelumnya. Untuk lebih
jelasnya diperhatikan berikut ini.
Aku
Kalau
sampai waktuku
’Ku mau
tak seorang ’kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih perih
Dan aku
akan lebih tidak perduli
Aku mau
hidup seribu tahun lagi
(DCD,
1959).
Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada
seorang pun yang bersedih (merayu), bahkan juga kekasih atau istrinya. Tidak
perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada
gunanya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari
kelompoknya; ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan, bahkan meskipun
ia ditembak; peluru menembus kulitnya, si aku tetap berang dan memberontak
terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan
penderitaan akan ditangguhkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan
penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
Si aku makin tidak akan perduli pada segala aturan
dan ikatan, halangan serta penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maksudnya, secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya,
karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural, dengan, melihat hubungan
antarunsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang
terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan
ide kepribadian bahwa orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri: kumau tak seorang kan merayu (bersedih).
Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalan suka maupun
dalam duka, maka tak perlu sedu sedan
itu. Semua masalah pribadi itu
urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang yang
sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang),
tak mau dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku
akan menghadapi segala rintangan: tembusan
peluru, bisa dan luka dengan kebebasannya yang mutlak itu. Aku mau hidup seribu tahun lagi berdasar
konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu
tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Dalam sajak ini kematangan pikiran dan semangat selain
ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukkan ketegasan seperti kumau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap
meradang, aku akan lebih tidak perduli, aku akan mau hidup seribu tahun lagi, juga
ditandai oleh bunyi vokal yang berat a dan u yang
dominan.
Pernyataan sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang
besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya memuat orang
tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai
kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya. Ia sendirilah yang
menganggap dirinya binatang jalang, bukan tokoh lain.
Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing,
keterasingannya itu memang disengaja oleh dirinya sebagai pertanggungjawaban
pribadi: ku mau tak seorang ’kan merayu/
tidak juga kau. Hal ini, karena si aku adalah manusia bebas yang
tak mau terikat kepada orang lain: Aku
ini bintang jalang / dari kumpulannya terbuang. Si aku menentukan nasibnya sendiri tak mau
terikat oleh kekuasaan lain: Aku mau
hiduo seribu tahun lagi.
Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan
nasibnya sendiri aku mau hiduo seribu
tahun lagi adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap
atau pandangan para penyair yang mendahuluinya.
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan
sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan tautologi, serta diperkuat oleh ulangan
buni vokal a dan u ulngan
bunyi lain serta persajakan akhir. Hiperbola yang tampak dapat dilihat berikut
ini
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
...
Aku
mau hidip seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai
ulangan bunyi i- i yang telah
menambah intensitas, sebagaimana berikut ini.
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
...
perduli
...
lagi
Dengan hiperbola
penonjolan pribadi tampak makin nyata.
Sajak Aku ini
menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini disebabkan oleh
ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik
perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsif
ekuivalensi dan proses pemilihan ke poros kombinasi, karena yang dipergunakan
penyimpangan arti (Riffaterre, 1978)
”Kalau sampai waktuku” dapat berarti ”kalau aku mati”;
”tak perlu sedu sedan itu” artinya tak ada gunanya kesedihan itu, ”tidak juga
kau” artinya, tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku. Semua ini menurut konteksnya. Dengan demikian,
ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan
oleh penggantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan,
antara lain metafora penuh seperti: Aku ini binatang jalang .
Peluru untuk mengiaskan
serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku tertembus peluru,
ia tetap akan meradang, menerjang, melawan dengan keras, berbuat nekat demi
kebenaran. Luka dan bisa untuk
mengiaskan penderitaan yang menimpa. Pedih
perih, mengiaskan kesakitan, kesedihan, ataupun penderitaan akibat tembusan
peluru. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkret, berupa cita-cita
yang dapat diindera, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan
sakitnya. Di samping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak.
Untuk menyatakan semangat yang menyala-nyala, untuk
merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan Aku mau hidup seribu tahun lagi. Jadi di
sini kelihatan bahwa si aku penuh vitalitas maut mereguk hidup selama-lamanya.
Penyimpangan arti dan penggantian arti menyebabkan si aku
dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan sarana kata-kata dan kalimatnya.
Hal ini menyebabkan sajak selalu ”baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran
baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur
sajak ini, yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
1 komentar:
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
More than 160k women and men are losing weight with a easy and SECRET "liquid hack" to lose 1-2lbs each and every night in their sleep.
It is very easy and works on everybody.
Here's how to do it yourself:
1) Get a drinking glass and fill it half the way
2) Then learn this weight losing hack
you'll become 1-2lbs lighter in the morning!
Posting Komentar