A. Pendahuluan
Sastra pada hakikatnya merupakan salah satu peristiwa budaya bangsa yang dilambangkan melalui bahasa. Tanpa bahasa, sastra tidak mungkin mewujudkan dirinya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Peran bahasa dalam karya sastra merupakan alat pembentuk iluminasi yang dapat membangkitkan pikiran dan merangsang intuisi seseorang dalam menyampaikan amanat.
Oleh karena itu, karya sastra merupakan pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaaan penyair. Pancaran kehidupan tersebut timbul akibat adanya interaksi langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, terhadap suatu keadaan yang dialami. Hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan yang ditata sedemikian rupa dengan menggunakan kata-kata padat yang pada umumnya menggunakan makna konotatif. Makna tersebut tidak saja membawa rasa keidahan, kenikmatan, dan kepuasan, tetapi juga rasa kejenuhan, kebosanan, dan kejengkelan, baik ditilik dari bahasa maupun dari segi isi bagi mereka yang mendalaminya.
Di balik keindahan, kepadatan, dan kekonotatifan serta singkatnya bahasa yang digunakan dalam karya sastra, terdapat nilai-nilai luhur. Nilai –nilai luhur yang terdapat di dalam cerita (novel) perlu digali, karena pada hakikatnya cerita itu mengandung ajaran moral bagi umat manusia.
Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang sifatnya amoral dulu. Hal ini sesuai apa yang dikenal dengan tahap katarsis pada pembaca karya sastra. Meskipun sebelum mengalami katarsis, pembaca atau penonton dipersilahkan untuk menikmati dan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sebetulnya tidak dibenarkan secara moral, yaitu adegan semacam pembunuhan atau banjir darah yang menyebabkan penonton atau pembaca senang tetapi juga muak. Jadi untuk menuju moral, seringkali penonton harus melalui proses menyaksikan adegan yang tidak sejalan dengan kepentingan moral (Darma, 1984).
Sementara itu, Kritik moral/filosofis percaya bahwa tujuan terbesar sastra adalah mengajarkan, moralitas dan menyelidiki kedalaman isu filosofis atau hal-hal yang bersifat filosofis. Sama halnya dengan Matthew Arnold menyatakan bahwa karya-karya itu mesti mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi. Sementara itu, Plato menekankan bahwa sastra mesti memperlihatkan moralis dan manfaat. Demikian pula Horace menyatakan sastra seharusnya menyenangkan dan bersifat pembelajaran (Darma, 2007:1).
Bermuara pada uraian tersebut, ajaran moral dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata adalah ajaran moral yang mengandung hal-hal yang patut dilakukan dan yang harus dihindari. Ajaran moral tersebut adalah: kejujuran, kehormatan, kewaspadaan, dan cinta kasih.
B. Kerangka Teori
1. Ajaran Moral
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini bahwa: “Ajaran moral adalah saran utama pembinaan manusia yang berpikiran dewasa, bertingkah laku yang baik dan berjiwa luhur. Dikatakan demikian karena hal ini bertemali dengan perbuatan dan tingkah laku yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti”.
Demikian halnya yang dikemukakan oleh Bradley (dalam Sugono, dkk. 2001) moral atau kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk.
Ajaran moral menerangkan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain (Amin, 1977: 15) ; (Amir, 1986: 13); (Hakim, 1993: 25).
Seperti yang dijelaskan Darma (1984) bahwa apa saja yang disampaikan dalam sastra identik dengan moral tentu saja bukannya tanpa alasan, karena, seperti halnya filsafat dan agama, sastra juga mempelajari masalah manusia. Bila filsafat mencoba menjelaskan manusia dengan dogma-dogma, sedangkan sastra menjelaskan manusia dengan pendekatan penghayatan. Dengan cara yang berbeda-beda filsafat, agama, dan sastra dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya.
Dalam pendekatan moral terhadap karya sastra perlu dipahami bagaimana hubungan antara karya sastra dengan pembacanya, karena pembacalah yang nantinya akan menemukan dan memanfaatkan moral yang ada di dalamnya. Dalam hal ini Darma (1984) menjelaskan bahwa karya sastra yang baik akan mengajak pembaca untuk melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Ada resiprokal dalam pembacaan karya sastra.
Demikian pula yang dikeukakan oleh Wiyatmi (2006) bahwa dalam kerangka pendekatan sastra sesuai orientasi sastranya, ajaran moral sebenarnya merupakan perkembangan dari pendekatan pragmatik, yang memandang karya sastra dalam hubungan dan fungsinya bagi pembaca.
2. Pengertian Akhlak
Pengertian akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Djatmika, 2005). Dalam kepustakaan akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk.
Budi pekerti, adalah kata majemuk perkataan budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari bahasa Sangsekerta dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sangsekerta budi artinya alat kesadaran (batin), dalam bahasa Indonesia pekerti artinya kelakuan. Menurut Alwi (1994) budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak seseorang dalam perbuatan sehari-hari. Budi pekerti mengandung pengertian positif. Namun, pelaksanaan dan penggunaannya mungkin negatif. Penerapannya tergantung dari manusianya. Oleh karena itu, apabila orang mengatakan budi perkerti si Amat baik kata-kata itu menunjukkan penilaian positif yang diberikan orang kepada perilaku Amat. Demikian pula sebaliknya.
Budi pekerti mengandung arti yang lebih dalam karena telah mengenai sifat dan watak yang dimiliki seseorang, sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi, telah menjadi kepribadian. Perangai adalah sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang, pembentukannya ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh berbagai faktor terutama faktor orang tua dalam keluarga.
Perkataan perangai itu sendiri mengandung makna ideal sesuatu yang dicita-citakan, yang dikehendaki. Namun, penerapannya yang mungkin menimbulkan penilaian positif atau negati, tergantung pada orang yang memiliki perangai itu. Yang dimaksud dengan perangai positif adalah segala tingkah laku, tabiat, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati, dan lain-lain sifat yang baik. Akhlak yang buruk adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat, dan lain-lain sifat yang buruk. Yang menetukan sifat dan tingkah laku yang baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau adat-istiadat (Ali, 2006)
Lain halnya dengan pendapat Nata (2006) bahwa secara Linguistik kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang telah memiliki akar kata, melainkan kata tersebut sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun. Baik kata akhlaq maupun khuluqun kedua-duanya dijumpai pemakaiannya dalam Alquran.
Dengan demikian, kata akhlaq atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai mu’tuah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Pengertian akhlak menurut istilah dapat dirujuk dari berbagai pendapat Nata, (2006) mengatakan bahwa, sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, al- Ghazali (tt) mengatakan akhlak adalah, sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Anis (1972) menyatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Selanjutnya, Hamid (t t: 436) secara singkat mengartikan akhlak adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.
Keseluruhan definisi akhlak di atas, tanpak sejalan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat dilihat ciri-cirinya antara lain:
a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika dikatakan bahwa si A sebagai orang yang dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan di mana pun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain.
b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan dalam keadaan tidak sadar. Oleh karena itu, perbuatan yang dilakuakan saat tidur, hilang ingatan, mabuk atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, dan sebagainya bukan perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya.
c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan atau keputusan yang bersangkutan.
d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan karena main-main atau karena bersandiwara.
e. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata kerena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
Dalam perkembangan selanjutnya, akhlak tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk ilmu.
Di dalam Mu’jam al- Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah, ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat ditafsirkan dengan baik atau buruk Selain itu, Habsyi (t t) berpendapat bahwa akhlak adalah ilmu tentang tata karma.
a. Akhlak Terpuji dalam Islam
1) Sikap Kreatif
Menurut Alwi (1994), kreatif adalah memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan, atau kemampuan menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang membawa sifat baru atau mengombinasikan ide maupun metode lain dengan cara-cara baru.
Dalam perspektif Islam, kreatif dapat diartikan sebagai kesadaran keimanan seseoerang untuk menggunakan keseluruhan daya dan kemampuan yang dimiliki sebagai wujud atas nikmat Allah guna menghasilkan sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi kehidupan sebagai wujud pengabdian yang tulus kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan benar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan beragama muslim" (QS3:102).
Agar seseorang lebih kreatif, ada beberapa cara dan teknik yang dapat dijadikan acuan untuk membina dan mengembangkan kreatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, di antaranya adalah sebagai berikut:
(1) Belajar untuk menjadi seorang orator yang terbaik. Seorang orator adalah orang yang selalu mencari, menyesuaikan, dan mengaplikasikan ide-idenya, baik yang baru maupun yang sudah lama. Ide-ide itu bisa dicari dengan cara membaca buku, laporan, jurnal ilmiah, dan karya ilmiah yang lain.
(2) Mengubah kebiasaan dari citra diri. Cara ini dapat dilakukan dengan mengembangkan ide dan gagasan melalui berbagai metode yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
(3) Menerima perubahan dan tantangan suatu masalah dengan tangan terbuka tanpa merasa terbebani. Seseorang yang memiliki pikiran positif, terbuka dan fleksibel, tidak akan menimbulkan beban psikologis. Dengan cara ini orang akan lebih tenang dan dapat berpikir lebih jerbih dan objektif. Pola berpikir yang demikian akan sangat membantu seseorang akan mengembangkan kreativitas.
(4) Menerapkan ide-ide baru dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani. Artinya dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani senantiasa mengajukan pertanyaan, misalnya apa alternatif yang dapat dilakukan terhadap pemecahan suatu masalah.
(5) Memiliki rasa ingin tahu dan melatih diri untuk menjadi pengamat yang baik. Salah satu cara untuk mengenali awal masalah adalah mencari informasi. Usaha ini dapat menghindari pertentangan cara berpikir yang muncul pada diri sendiri.
(6) Mengembangkan daya berpikir dan kemampuan berpikir efektif. Berusahalah selalu untuk menghadirkan pikiran dan daya imajinasi dalam menghadapi setiap masalah. Gunakan daya nalar, kritis, khayalan, dan berpikir mengalir. Perbaiki tingkat kemampuan berpikir dengan cara mempelajari sesuatu dan mempraktikannya dalam kehidupan nyata.
(7) Berniat yang benar dan bertawakal kepada Allah. Dalam setiap aktivitas berpikir, upayakan dengan niat yang benar, yaitu untuk mengungkapkan kebenaran hakiki yang diisyaratkan oleh Allah dalam firmannya. Semua aktivitas berpikir harus diakhiri dengan penyerahan diri kepada-Nya agar semua yang telah dipikirkan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan dan memiliki nilai ibadah yang mendapat rida Allah.
2) Sikap Dinamis
Sikap dinamis adalah kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan memelihara sikap positif, sekalipun ketika berada dalam kesulitan. Sikap dinamis mengasumsikan adanya harapan terhadap cara orang dalam menghadapi kehidupan. Dinamis merupakan pendekatan yang positif terhadap kehidupan sehari-hari untuk mencapai keberhasilan yang berguna dalam kehidupan. Allah memberikan isyarat betapa pentingnya manusia untuk melakukan berbagai ikhtiar secara optimal dan tetap memilki keyakinan akan ketentuan Allah. Dengan demikian, sikap dinamis manusia tidak bersifat bebas, tetapi dalam kekuasaan Allah. Allah berfirman yang artinya " Dan dia (Yakub) berkata, “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu yang berbeda, meskipun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikit pun dari takdir Allah. Keputusan itu hanyalah bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakallah orang-orang yang bertawakal” (QS Yusuf:67).
Ayat ini memberikan isyarat betapa pentingnya dalam menjalani kehidupan. Manusia perlu mencari berbagai trobosan untuk mencapai tujuan dengan tetap yakin akan ketentuan Allah. Hal ini merupakan wujud komitmen dari setiap muslim bahwa pada satu sisi harus mengembagkan cara-cara berikhtiar sebagai konsekuensi hidup dan harus menerima ketentuan Allah pada sisi lain.
3) Sikap Sabar
Sikap sabar yang dimiliki seseorang akan melahirkan dampak positif, memberikan hikmah dan manfaat yang besar bagi kehidupan seseorang. Apabila ada orang mukmin yang sedang ditimpa kesulitan, hendaklah ia segera mengingat Allah dan memikirkan bagaimana Islam memberikan tuntunan dan mengatur dalam menghadapi peristiwa tersebut.
Cobaan bagi orang yang beriman sangat bervariasi, tergantung kepada kadar iman seseorang. Makin tinggi kadar iman seseorang makin berat cobaan yang diberikan kepadanya. Jika sukses menghadapi cobaan itu, ia makin tinggi kedudukan dan derajatnya.
Sebagai orang yang beriman, hendaknya kita selalu bersabar karena sabar adalah kunci segala persoalan. Insan beriman harus memiliki sifat ini selama hidup di dunia sebab sifat sabar merupakan sebagian dari akhlak yang mulia dan karunia Allah yang agung . Sebagaimana dalam firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar (QS,2:153).
Kesabaran akan membawa diri manusia pada kebahagian yang hakiki. Hal itu akan dapat dicapai dengan mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan. Menurut fitrah aslinya, bahwa nafsu manusia kurang menyukai kebenaran dan lebih cendrung kepada kebatilan. Oleh karena itu, siapa saja yang pikirannya terpusat kepada pencarian kebahagiaan sejati niscaya akan membutuhkan kesabaran, yaitu dengan memaksa jiwanya agar mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Pembagian sabar menurut kualitas dan bentuknya.
(a) Sabar dalam melaksanakan ketaatan.
Sabar seperti ini dapat dibangkitkan dengan mengingat janji Allah bagi siapa yang mengerjakan ketaatan. Barang siapa yang selalu berpegang pada kesabaran, pasti dekat dengan Allah.
(b) Sabar menghadapi maksiat.
Sabar seperti ini akan terwujud dengan cara menghindari dan menjauhi tempat-tempat yang menjurus maksiat.
(c) Sabar menghadapi kesulitan
Sabar seperti ini terbagi menjadi dua, yaitu lesulitan yang datangnya dari Allah secara langsung, seperti penyakit, kemiskinan, kehilangan harta benda, dan kematian sanak kerabat atau teman yang dikasihi, serta kesulitan yang disebabkan oleh manusia lain, seperti gangguan pada kehormatan dan harta benda seseorang.
(d) Sabar menghadapi kecenderungan hawa nafsu.
Sabar seperti ini dapat dilakukan dengan cara mengekang hawa nafsu agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang diharamkan Allah.
Sabar adalah pengaruh dari keyakinan yang mendalam dan tujuan yang bulat dari seorang muslim yang mencari rida Allah semata. Untuk memperoleh derajat inilah seorang selalu berdoa, sebagaimana yang tersebut dalam Al-Quran "Dan Engkau tidak melakukan balas dendem kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. Mereka berdoa. “Ya Allah, Tuhan kami limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)”. (QS,7:126).
4) Sikap Tawakal
Tawakal adalah berserah diri kepada kada dan kadar Allah setelah berusaha semaksimal mungkin. Tawakal adalah puncak tertinggi keimanan. Sifat ini akan datang dengan sendirinya jika iman seseorang sudah matang. Seseorang belum disebut beriman apabila belum mencapai puncak tawakal. Tawakal menjadi dasar keimanan semua amal. Hubungan tawakal dengan keimanan seperti hubungan badan dengan kepala. Kepala tidak dapat berdiri tanpa adanya badan. Demikian juga, iman dan amal tidak dapat ditegakkan tanpa adanya tawakal.
Allah berfirman, Musa berkata, “Wahai kaumku! Jika kamu beriman kepada Allah maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang yang muslim (berserah diri) ) QS,10:84).
Menurut al-Gazali (1977), orang yang bertawakal terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
(a) Orang yang berusaha memperoleh sesuatu yang dapat membawa manfaat kepadanya.
(b) Orang yang berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya supaya menimbulkan hal-hal yang bermanfaat.
(c) Orang yang berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menimbulkan mudarat atau bencana.
(d) Orang yang berusaha menghilangkan mudarat yang menimpa dirinya.
Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa dalam penerapannya tawakal terdiri atas tiga tingkatan yaitu:
1. Tawakal adalah keadaan hati yang senantiasa tenang dan tenteram terhadap apa yang dijanjikan Allah.
2. Taslim adalah penyerahan urusan kepada Allah karena Dia mengetahui segala sesuatu mengenai diri dan keadaannya.
3. Tafwid adalah rida atau rela menerima segala ketentuan Allah bagaimanapun bentuk dan keadaannya.
b. Membiasakan Akhlak Terpuji dalam Kehidupan Sehari-har
1) Membina Sikap Bijaksana
Bijaksana adalah keadaan jiwa yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil serta antara yang salah dan yang benar dalam segala perbuatan dan ikhtiar manusia. Sikap bijaksana termasuk akhlak mahmudah dan bersumber dari ajaran agama yang tertulis di dalam kitab suci Al-Quran yang artinya "Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara (QS,38:20).
Orang yang memiliki sikap bijaksana selalu memertimbangkan baik buruknya seseuatu sebelum bertindak sehingga apa yang dilakukan selalu mengandung nilai kebajikan, bermanfaat bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Sikap bijaksana hanya timbul dari orang yang berilmu dan bertakwa kepada Allah. Di antara ilmu pengetahuan melahirkan sikap bijaksana adalah ilmu pengetahuan bidang hukum agama yang tertulis dalam Al-Quran dan hadis, hukum negara, hukum adat, dan budaya masyarakat.
Setiap orang yang akan melakukan suatu perbuatan dihadapkan dua pilihan perbuatan yaitu perbuatan yang berakibat baik dan perbuatan yang berakibat buruk. Bagi orang yang memiliki sifat bijaksana, akan selalu memilih dan menemukan perbuatan yang berakibat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Sifat bijaksana sangat penting bagi setiap orang, guru, murid, orang tua dan anak, bagi presiden dan rakyat, serta bagi pemimpin dan anggotanya.
2) Memelihara Sikap Amanah
Kata amanah seakar dengan kata iman. Amanah berarti dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Makin menipis keimanan seseorang makin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang erat.
Amanah merupakan salah satu sifat baik yang melekat pada diri seseorang mukmin, yang artinya dapat dipercaya. Sifat ini amanah dapat tumbuh dan berkembang pada diri seseorang jika yang bersangkutan selalu berkata, bersikap, dan bertindak, serta melakukan perbuatan yang benar. Oleh karena itu, ia selalu berperilaku benar dalam hidupnya. Orang yang seperti ini akan dipercaya oleh masyarakat. Sifat amanah erat kaitannya dengan kebenaran. Dua sifat ini merupakan sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.
Amanah adalah salah satu sifat yang harus dimilki oleh setiap pimpinan. Seorang anak harus melaksanakan amanah kedua orang tuanya, orang tua harus melaksanakan amanah Allah untuk memelihara anak-anaknya, sekolah harus melaksanakan amanah orang tua murid. Artinya, amanah itu harus dipatuhi oleh semua lapisan masyarakat.
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Dalam pengertian yang luas, amanah mencakup banyak hal, yaitu menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, dan menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Tugas-tugas yang dipikulkan kepada umat manusia oleh Alquran disebut sebagai amanah.
Kekhalifahan di bumi merupakan amanah Allah yang dipikulkan kepada manusia. Dalam melaksanakan amanah, seharusnya dilaksanakan sesuai dengan kehendak yang memberi amanah. Allah memerintahkan manusia untuk memelihara dan memakmurkan kehidupan di bumi. Mereka diperintahkan hidup damai untuk saling mengasihi dan tidak boleh saling bermusuhan. Akan tetapi, dari masa ke masa banyak amanah Allah yang tidak dilaksanakan oleh manusia. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pertentangan dan permusuhan yang dilakukan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Dari pertentangan dan permusuhan itu, akan meningkatkan perilaku yang jahat. Misalnya, saling membunuh dan menghancurkan, kesewenang-wenangan, perkosaan terhadap hak asasi, tindak kejahatan, hasut, dengki, fitnah, khianat, dendam kesumat, dan perbuatan buruk lainnya. Tindakan manusia seperti itu merupakan penghianatan yang sangat nyata terhadap amanah yang telah diberikan Allah kepada manusia. Padahal penghianatan merupakan perbuatan zalim yang sangat merugikan manusia.
Konsekwensi dan tanggung jawab manusia terhadap amanah dalam kehidupan sehari-hari.
(a) Memelihara titipan. Artinya, apabila seseorang muslim dititipi oleh orang lain, misalnya barang berharga karena yang bersangkutan akan pergi jauh, titipan itu harus dipelihara dengan baik pada saatnya dikembalikan kepada yang punya utuh seperti semula.
(b) Menjaga rahasia. Artinya, apabila seseorang dipercaya untuk menjaga rahasia, apakah rahasia pribadi, keluarga, organisasi, atau rahasia negara, dia wajib menjaganya supaya tidak ketahuan orang lain yang tidak berhak mengetahuinya.
(c) Tidak menyalahgunakan jabatan. Artinya, jabatan adalah amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya termasuk perbuatan tercela yang melanggar amanah.
(d) Menunaikan kewajiban dengan baik. Artinya, Allah memikulkan ke pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
(e) Memelihara semua nikmat yang diberikan Allah. Artinya, semua nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia adalah amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. Umur, kesehatan, harta benda, dan ilmu wajib dipelihara.
3) Mengembangkan Sikap Berorientasi Masa Depan
Islam memberi kita pelajaran yang agung dan sempurna. Ajaran-ajaran Islam itu ajaran yang berjangka panjang, yang dijangkau bukan hanya masa kini, tetapi juga masa yang akan datang, yaitu kehidupan di akhirat. Manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan yang akan dihadapi nanti.
3. Moral dan Etika Menurut Filosof Muslim
Filsafat moral yang dianut oleh al-Razi, ia berendapat bahwa seorang filosof harus moderat tidak terlalu menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu. Ada dua batas dalam hidup ini: batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketak-adilan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal. Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat hidup tanpa ketakterlayakan (Syarif, 1985).
Dalam al-Tibb al-Ruhani, ia membahas dalam dua puluh bab masalah pokok etika. Ia ingin menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya. Ia memuji dengan akal. Kemudian dalam medius res , ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa: nalar, kebengkengan, dan hasrat; dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, Karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan. Orang yang irihati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada tempat bagi keirihatian.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua; untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai dusta terletak pada niat.
Sifat kikir tak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Bila hal ini dilakukan sekedar ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk. Oleh karena itu, harus ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang, bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini harus diperangi.
Kekhawatiran bila berlebihan, maka tidak baik, sebab keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.
Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka, sakit jiwa, dan raga.
Persetubuhan bila berlebihan tidak baik bagi tubuh, dapat mempercepat ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit. Sebaliknya hal itu dilakukan sedikit mungkin, karena bila berlebihan menyebabkan lebih banyak akibat buruknya.
Sifat sembrono, dalam banyak hal juga mencelakakan. Mencari harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu memburu-buru kekayaan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.
Ambisi dapat menyebabkan berbagai keanehan dan bencana. Adalah sangat baik bila dapat diperoleh kedudukan lebih tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan; lebih baik meninggalkan atau menghindarinya.
Pada uraian terakhir al-Razi mencukupkan dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasakan sakit selamanya. Sebaliknya orang yang menggunakan nalar menghadapi rasa takut mati, karena bila ia mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia yang lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapapun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.
Al-Razi tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam Islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia. Ia adalah seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasan tanpa tending aling- aling. Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercayai agama mana pun.
Lain halnya dengan filosof Ibn Bajjah, membagi tindakan menjadi tindakan hewani dan manusiawi. Tindakan hewani muncul dikarenakan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah, bersifat hewani sekaligus manusiawi.
Ruh yang mengandung hasrat yang menginginkan suatu objek yang bersifat kekal, keinginan itu disebut kesenangan. Dan ketiadaannya disebut kejemuan dan kesakitan. Siapa pun yang bertindak dengan cara ini dianggap sebagai telah melakukan tindakan hewani. Dan mereka yang bertindak melalui pendapat atau pikirannya bertindak sebagai cara manusiawi
Pendapat secara esensial kadang benar. Hal itu terjadi bila ia menginginkan yang kekal. Kadang ia secara kebetulan benar dan bukan secara esensi. Pendapat orang yang pandai, misalnya, adalah benar tentang objek-objek yang telah mereka bangun, tetapi tidak benar dalan diri mereka sendiri.
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki spekulasi di samping kemauan. Dengan memperhatikan sifat kemauan dan spekulasi, ibn Bajjah membagi kebijakan menjadi dua jenis, kebajikan formal dan spekulatif.
Kebajikan formal merupakan pembawaan sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi, seperti kejujuran seekor anjing, kebajikan ini tidak bernilai bagi manusia. Kebajikan spekulatif didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi. Tindakan yang dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi keinginan alamiah disebut tindakan ke-Tuhanan dan bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia. Yang baik menurut ibn Bajjah, merupakan eksistensi dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain, yang jahat baginya benar-benar tidak jahat.
Lain halnya dengan Tusi, menganggap bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin.
Konsep kebahagiaan utama itu pada hakikatnya berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan “unsur-unsur angkasa” dan juga tidak menunjuk kepada kedudukan kosmik manusia. Kebaikan-kebaikan plato menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan (yang berasal dari akal, kemarahan, dan hasrat), dan keterbedaan mereka menjadi 7, 11, 12, dan 19 spesies yang diberikann oleh ibn Miskawi, tampak menonjol dalam etika Tusi. Bedanya hanyalah bahwa dia mengurangi 19 spesies menjadi 12. tapi mengikuti perbedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal teoritis, akal praktis, kemarahan, dan hasrat. Tusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis tanpa menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tapi seperti ibn Miskawaih yang menempatkan kebijakan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan di atas kebajikan.
Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Bagi Galen, kejahatan merupakan suatu penyakit jiwa. Tusi berpendapat bahwa penyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan untuk penyimpangan Tusi menanamkan perbuatan yang tidak wajar. Dengan demikian penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab yakni: (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.
Dengan menggunakan teori tiga sebab-akibat penyakit jiwa itu, Tusi menggolongkan penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan, kebodohan sederhana, dan kebodohan fatal, yang membentuk keberlebihan, keberkekurangan, dan ketakwajaran
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau untuk suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, Tusi menyarankan agar orang yang bingung mestinya disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian penegasan dan penyangkalan, yaitu bertentangan, bersifat eksklusif, tidak berwujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin dapat teryakinkan bahwa jika satu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jiwa ia salah, tidak mungkin benar.
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walau dia bodoh memang dia tidak ketahui bahwa dia bodoh. Menurut Tusi penyakit ini adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
lanjut, diuraikan bahwa kemarahan, kepengecutan, dan ketakutan sebagai penyakit kemarahan yang menonjol. Beitu pula, kelebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sikap sembrono merupakan akibat dari kekurangan, kesedihan, dan kecemburuan merupakan ketakwajaran kekuatan.
Tusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang normal dari kehidupan moral, sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Tusi mengemukakan bahwa kehidupan kepertapaan merupakan suatu tahap dari kehidupan mistik. Meski bukan sufi, dia memotivasi agar tasawuf dibahasa secara rasional. Dia menggolongkannya menjadi enam tahap, dan setiap tahap, kecuali yang terakhir memiliki enam pernyataan moral sendiri.
Tahap pertama, yaitu tahap persiapan untuk perjalanan mistik yang mensyaratkan keyakinan kepada Tuhan senantiasa dalam keyakinan itu, keteguhan kemauan, kejujuran, perenungan akan Tuhan, dan ketulusan hati.
Tahap kedua terdiri atas penolakan terhadap hubungan duniawi yang menghalangi jalan mistik. Ada enam pokok dalam tahap ini, yaitu menyesali dosa, menghindar dari berkehendak, tidak bernafsu terhadap harta, keras terhadap hasrat tak rasional, menghitung-hitung kebaikan dan kejahatan, keselarasan antara tindakan dan niat, dan kesalehan.
Tahap ketiga, perjalan mistik ini ditandai dengan penyendirian, perenungan, ketakutan, dan kesedihan, ketabahan, dan kebersyukuran kepada Tuhan.
Tahap keempat, mencakup pengalaman sang pejalan sebelum dia mencapai tujuannya, yaitu bakti kepada Tuhan, keamat-inginan untuk berbakti, pengetahuan akan Tuhan, keimanan yang tak tergoyahkan kepada Tuhan, dan ketenangan jiwa.
Tahap kelima, terdiri atas kepasrah-dirian kepada Tuhan, kepatuhan, ketundukan kepada kehendak Tuhan, yakin akan keesaan Tuhan, upaya untuk bermanunggal dengan Tuhan, dan peleburan diri dalam Tuhan.
Tahap keenam, proses peleburan diri ke dalam Tuhan mencapai puncak dan sang penjajah, akhirnya hanyut dalam ke-Esaan tuhan.
C. Fokus
Fokus dalam kajian ini adalah ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, yaitu (1) kejujuran, (2) kehormatan, (3) kewaspadaan, dan (4) cinta kasih.
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Kejujuran adalah sifat jujur; ketulusan hati; kelurusan hati tokoh-tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata.
2. Kehormatan adalah pernyataan hormat saling menghargai; perbuatan yang mendatangkan rasa khidma; menaruh, memberi penghargaan, taksim, sopan; terhormat, mulia. Di samping itu, ketidak-sopanan yang terjadi pada pada tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata.
3. Kewaspadaan dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, yaitu keadaan keawasan, ketidaklengahan tokoh-tokoh cerita dalam kedua novel tersebut.
4. Cinta kasih dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, ialah rasa kasih sayang yang kadang menimbulkan birahi dari rokoh, saling menyukai, dan saling menaruh kasih sayang tokoh dari kedua novel tersebut
E. Pembahasan
Bagian ini akan dijelaskan hasil analisis ajaran moral dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata. Kedua novel ini dikaji dan dibahas berdasarkan ajaran norma-norma moral atau etika
Berikut akan ditampilkan hasil analisis dari kedua novel tersebut yang didahului novel Hubbu karya Mashuri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
1. Analisis Novel Hubbu Karya Mashuri
a. Kejujuran yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kejujuran itu harus ditegakkan oleh setiap individu. Kejujuran harus dijadikan landasan pokok dan modal utama dalam kehidupan.
Kejujuran seperti yang terungkap dalam novel Hubbu adalah hal yang harus dijunjung tinggi, baik jujur terhadap sesama manusia (dalam arti umum), diri sendiri, orang tua, maupun anak. Dalam novel tersebut, kejujuran merupakan hal yang dijunjung tinggi oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Jarot sewaktu duduk di Sekolah Jawa sangat benci perempuan. Hal ini jujur diakuinya, karena ketidaksenangnya dengan anak perempuan sehingga kadang dijadikan kambing hitam yang menyebabkan hampir setiap hari ada saja laporan ke ibu rumah dari anak perempuan. Ada yang mengaku bengkak lengannya, ada yang mengaku rambutnya rontok, atau tasnya ada bangkai cecaknya, atau ada kembang kemboja bercampur tanah … (Mashuri, 2007: 29).
Kejujuran tokoh Jarot terlihat sewaktu ustas yang disapa Pak Ali bertanya kepada muridnya siapa yang menonton wayang semalam, Jarot mengacungkan telunjuk karena memang menyaksikan pertunjukan wayang. Ternyata bukan hanya Jarot yang menonton termasuk pula: Somad, Juned, Sadali, dan Sanusi (anak Pak Ali)… Jarot mengakui bahwa pertunjukan wayang yang pertama kali diikuti sampai pagi. Mengapa hal tersebut dilakukan karena terkesimak dengan lakon Bambang Sumantri. Tokoh yang baik, tapi sayang ia membunuh adiknya sendiri (Sukrasana). Padahal adiknya ingin mengabdi kepada abangnya, ingin membuat mudah menjalani segala rintangan atau ujian yang dibuat Prabu Arjuna Sasrabahu. Walau demikian, Jarot mengakui tetap simpatik pada Sumantri tak berhenti, walau ia dikutuk oleh Sukrasana, sebelum sosok ganjil ini mati oleh panah abangnya sendiri… (Mashuri, 2007: 33).
Sewaktu duduk di sekolah lanjutan, secara jujur diakui telah jatuh cinta pada salah satu ibu guru muda. Jatuh cinta yang tidak ikhlas membawanya pada petualangan yang tidak ikhlas pula. Jarot berkeinginan merebut hatinya saja, karena untuk merebutnya jelas tidak mungkin, guru muda itu sudah bersuami dan berputra satu, lagi pula Jarot masih ingusan… sebelumnya ia mengaku telah jatuh cinta pada kakak kelasnya.
Kejujuran pun tergambar ketika Jarot diperintahkan ke ndalem atau rumah kiai karena mungkir mengaji yang dipesan melalui Salim. Jarot pun langsung ke ndalem menemui kiai pengasuh pondok. Jarot mengakui bahwa ketidakhadiranya mengaji karena ingin memancing. Kiai langsung tertawa, menepuk pundak Jarot dan menyuruhnya kembali ke pondokan sambil berkata “Besok kalau memancing wajib dapat ikan!” (Mashuri, 2007: 112).
Sepeninggal putri enam bulan yang lalu dan terantuk labirin ingatannya “Sastra Gendra” ia merasa berjalan tersesat di belantara. Kadang ia seperti Begawan Wisrawa, seorang tokoh wayang Purwa dalam lakon Lokapala, seorang pertapa yang harus memungut buah-buah kebusukan, karena sudah memperhitungkan langkah dalam menapaki jalan kebenaran (Mashuri, 2007: 107).
Ungkapan di atas, menyampaikan bahwa Jarot begitu persis dengan Wisrawa. Dia merasa kematian Putri, juga hengkannya Istiqamah, itu adalah korbannya, sikap kerasnya. Atas nama kebaikan yang berakhir dengan perpisahan.
Savitri dengan jujur mengakui bahwa haidnya telat, walaupun tidak ada hubungannya dengan Jarot dia memberitahukan persoalan yang paling intim dari dirinya. Ia berkisah soal dirinya dan Teguh, sebagaimana kutipan di bawah ini.
“Kami memang sering tidur bareng… kuhitung lebih dari tujuh kali. Setiap kali begitu, ia selalu ingin mengeluarkannya di luar. Aku bilang, kenapa di luar, toh aku sudah divonis, aku bakalan tak punya momongan, karena aku pernah dioprasi kista di rahimku” (Mashuri, 2007: 126).
b. Kehormatan yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kehormatan adalah masalah prinsipil bagi setiap orang. Karena itu, ia perlu dijaga dengan penuh tanggung jawab. Masalah kehormatan dapat dilihat pada Jarot begitu teguh mempertahankan kehormatannya.
Ia terpaksa menebus rasa malu dengan memacu diri, baik di sekolah Arab maupun di sekolah Jawa. Keduanya menyisakan aib buatnya. Sebagaimana uraian berikut ini:
“… Bisa dikatakan inilah langkah awal dari pemberontakanku. Tak ada keluarga besarku ke sekolah Jawa lanjutan, apalagi negeri. Meski begitu malamnya, aku masih tetap berkutat hapalan-hapalan. Karena pelajaran nahwu-shorof belum begitu lancar, aku menebusnya di surau atau di langgar yang dibentuk semacam sekolah lanjutan dari Sekolah Arab Dasar: madrasa. Aku pun bergaul dengan santri yang mondok . Jadi posisiku masih sama dengan saat masih sekolah dasar: bersekolah rangkap (Mashuri, 2007: 35).
Di samping Jarot mempertahankan kehormatannya menebus rasa malu, ia pun melalaikan kehormatan keluarga akibat berguru kepada Wak Tomo yang menyebabkan keluarga terasa tercoreng aib. Ungkapan kejengkelan ayah Jarot dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
….“Meskipun kau sembunyi-sembunyi, aku tetap tahu kau berguru kepada Wak Tomo. Mari hadapi aku, aku juga pernah berguru pada seorang kiai di Pilang, ilmu malaikat…..” ”Aku sendiri tidak tahu bagaimana mulanya tiba-tiba ayah menendang ulu hatiku dengan tendangan punggung kaki. Mungkin aku tetap berdiri tegak, yang dianggap sebagai kuda-kuda dan siap menerima serangan, sehingga kaki yang kaku itu langsung menghajarku. Tentu saja aku limbung dan ambruk. Aku tetap tegak bukan karena menantang!....” (Mashuri, 2007: 42).
Demi kehormatan, keluarga besar Alas Abang bersidang,
Jarot menjadi terdakwa. Dalam sidang itu, Jarot didesak agar melucuti apa yang telah diberikan Wak Tomo karena belum waktunya belajar begituan. Serta apa yang dilakoni Wak Tomo menyimpang dari ajaran kebenaran… (Mashuri, 2007: 43).
Lain halnya dengan tokoh Putri, bukannya menjunjung tinggi kehormatan, melainkan mencampakkan kehormatannya. Ungkapan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Putri berkisah tentang Roi pacar terakhirnya yang katanya mampu membuat dia menjauhi kehidupan. Pada Jarot, Putri mengobral segala rahasianya, soal ia tak lagi perawan. Karena sudah melakukan hubungan seks dengan pacar pertamanya, lalu dengan beberapa pacarnya kemudian, soal keterlibatannya dengan narkotika, soal kehidupan malamnya yang selalu menjadi persoalan yang tak kunjung habis, sekaligus sebagai pelariannya yang paling tepat dari kondisi rumahnya” (Mashuri, 2007: 60).
“Ketika aku kelas tiga SMP sudah tiga kali aku tidur dengan lelaki berbeda ….”
“Ya. Pagi tadi, saat sedang nonton TV, tiba-tiba aku pengen. Iseng-iseng aku telepon Roy, ternyata dia ada di rumah dan mau datang. Ketika aku ajak gituan , nyosor aja dia….” (Mashuri, 2007: 80).
Kisah hubungan Putri dan Roy berakhir secara naas. Sebuah harian kriminal di Surabaya menulis headline yang sangat besar dan mencolok: “Sepasang Kekasih Sedang Mesum Kecebur Jurang Songgoroti”. Kedua pasangan itu memang dalam kondisi tidak utuh….(Mashuri, 2007: 90`).
Ungkapan-ungkapan tersebut, memperlihatkan sosok perempuan masa kini. Jiwanya modern, terbuka dan tak risih jika berhadapan dengan pria. Untuk mengungkapan perasaannya pun ia tak perlu sembunyi-sembunyi, tak ada kesan takut atau ragu.
Sebuah surat tertanggal 7 Juli 1997 menganjurkan Jarot kembali. Karena merasa dirinya belum pantas untuk kembali ia mempertahankan tekat demi kehormatannya memutuskan untuk tidak kembali. Luapan perasaan Jarot dapat dilihat pada uraian berikut.
“Haruskah aku pulang sedini ini, sedang mimpi dan harapan masih berpusar dan berkelindan di otak dan perasaan? Tapi aku merasa masih belum menemukan apa-apa, bahkan belum mencoba seperti Bima, anak kedua Pandawa, untuk menggapai puncak gunung dan membogkap dasar samudra. Aku belum seperti Imam Nawawi Al- Bantani yang menunjukkan karya-karya terbaiknya. Aku belum apa-apa… (Mashuri, 2007: 110).
c. Kewaspadaan yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kewasapadaan dalam mengarungi hidup tidaklah semudah membalik telapak tangan. Riak gelombang kehidupan datang dari setiap arah baik yang kecil maupun yang besar selalu menghadang dalam perjalanan hidup manusia. Hal ini pun terjadi pada Jarot.
“Kini Jarot jauh dari Alas Abang, sedang duduk di bangku kuliah: ketika ingatannya terantuk ungkpan “Sastra Gendra” dan teman-temannya masih melaju degan melafalkan: aiu, babibu, tatitu…, perasaannya seakan terombang-ambing tak menentu. Kuliah pun dirasakan sangat menjemukan, terdampar di negeri asing, tapi negeri itu dia kenal. Sebuah kontradiksi yang selalu hadir di hatinya. Dia pernah mendengar ungkapan Sastra Gendra, pernah berupaya merujuk dalam keseluruhan hidup ke arahnya, tapi tak kunjung tergapai… (Mashuri, 2007: 16).
Hubungan antara Jarot dan Istiqamah diwarnai dengan janji setia untuk mengusik kewasapadaan mereka untuk tetap utuh walau berpisah tempat. Keduanya berikrar janji akan saling menunggu, meski batin Jarot dipenuhi keraguan karena tak yakin dan ragu berhubungan dengan Priangan akan langgeng menuju mahligai. Jarot tak tahu kenapa dia meragukan hubungan yang sudah dibangun dengan susah payah dengan resiko harga diri dan dipermalukan bila ketahuan. Ungkapan perpisahan tampak pada kutipan berikut.
“Malam semakin pekat. Sebelum kami berpisah, kukecup keningnya, lalu kukatakan : “aku akan tetap mencintaimu”. Sebuah pernyataan dan tindakan yang baru pertama kali kulakukan padanya. Diam-diam hatiku berdoa: semoga bukan yang terakhir kali (Mashuri, 2007: 58-59).
Jarot mengaku memang belum mengerti jawa sepenuhnya. Sebenarnya ia pun tidak peduli, karena ia tidak punya sangkut-paut dengan hal itu. Namun apa yang diungkap Wak Tomo lebih dari sekedar garis yang harus ia runut ujung pangkalnya. Dalam dirinya seperti terpasang sebuah pisau yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, bila ia tidak hati-hati…”Sungguhkah aku orang jawa dan kenapa batinku selalu mempersoalkannya (Mashuri, 2007: 106).
Ungkapan tersebut menggambarkan Jarot seakan-akan tidak punya pegangan, tak ada rambu yang jelas ke mana ia harus bergegas, kesengsaraan terasa, menjerit sekuat tenaga, tetapi jeritannya hanya tangis anak kecil di tengah rimba raya, di tengah belantara.
e. Cinta Kasih yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Konsep cinta kasih sarat dalam novel tersebut, baik cinta kasih dengan sesama manusia, dan antara orang tua dengan anak. Hal demikian terlihat cinta kasih kedua orang tua , kakek (embah) kepada anak cucunya, Jarot.
Perlakuan kakek (Embah Adnan) kepada cucuya Jarot tidak terbatas. Dapat dilihat sewaktu Jarot membakar merang yang berhambur, langgar hampir terbakar dan dikepung atau disanggah nyala api dari bawah. Embahnya cepat bertindak melompat dari jendela dengan ketinggian empat meter langsung mengibaskan sorban ke arah api. Api pun padam. Bukannya dimarahi malah embahnya menyapa dengan perkataan “Anak syuhadak” (Mashuri, 2007: 17).
Embah Adnan, menaruh harapan besar pada cucunya yang paling ia cintai. Ketika embahnya wafat Jarot masih kecil sehingga tongkat estafet pemangku warisan jatuh pada Mas Amin walau hanya sementara, sebab calon utama tetaplah Jarot. Ungkapan yang membuktikan Jarot adalah cucu yang dicintai, disayangi oleh keluarga terutama Embah Adnan, dapat dilihat kutipan berikut.
“… Bisa kamu bayangkan, bagaimana perasaanku sebagai kanak-kanak saat melihatnya menjadi cucu yang paling dikasihi dari orang yang paling disegani oleh kami, Mbah Adnan (Mashuri, 2007: 194).
Kutipan tersebut adalah percakapan Aida dengan Jabir. Sewaktu Aida berkunjung ke Alas Abang mencari tahu keluarga ayahnya.
Cinta kasih seorang ibu kepada anaknya tidak pernah pupus di telan waktu. .. Jarot menangis karena harapannya terputus sewaktu api dipadamkan oleh embahnya. Ibunya berusaha mendiamkan yang terus menangis.
“.…waktu mengaji, shalat, dan kesekolah perhatian ibunya tidak pernah terlupakan. Sang ibu menyusul anaknya di manapun berada. Di tempat permainan, di sungai, atau di mana saja…. Sampai kepada jalur yang akan ditempuh sang anak ke sekolah ibu menuntunnya. Demikian pula hapalan putranya tetap diingatkan.
Terlihat kecintaan masyarakat Alas Abang kepada Embah Adnan, sewaktu meninggal tidak terhitung banyaknya penduduk yang datang melayat. Shalat jenazah saja mencapai 151 secara berjamaah. Sepanjang jalan desa dipenuhi orang seakan-akan menjelma lautan manusia. Banyak orang berebut membawa keranda jenzah.
Di dalam novel Hubbu diwarnai pula cinta kasih yang dipadukan dengan sahwat yang tidak dapat dielakka sebagai manusia normal dalam istilah agama Islam merupakan sunnatulalah laki-laki mencinai perempuan demikian pula sebaliknya. Ungkapan cinta kasih yang dialami dua anak manusia yang saling mencintai dapat dilihat pada ungkapan berikut.
“Saat usiaku 17, Istiqamah memberiku kado yang unik; sebuah Alquran kecil. Aku tersenyum saat menerimanya. Dia juga tersenyum, giginya yang renik, pipinya lesung pipit, juga wajahnya putih bersih membuatku tak dapat berkata apa-apa. Bahkan aku tergagap saat berucap terima kasih. Dia tak menyalamiku untuk mengucapkan selamat, tetapi hanya lewat lisan. Sebuah tindakan yang kupandang terlalu kaku. Ia mengatakan, salaman dengan laki-laki yang bukan muhrim itu tak boleh, haram”. “Kalau salaman saja memang tak boleh. Coba kalau dilanjutkan dengan ciuman pasti boleh,” gurauku
Demikianlah cinta, terlalu manis untuk dilupakan dalam hidup yang demikian singkat. Meski hanya sekedar menatap, saling berkesah dalam surat, toh mampu melebihi seluruh getar hidup yang berdegup di tubuh…(Mashuri, 2007: 194).
Jalinan cinta kasih Jarot dengan Istiqomah belum berakhir, Putri pun hadir dalam kehidupan Jarot. Sebelumnya hanya teman diskusi. Putri hadir dengan segala pernik hidupnya yang terbilang baru buat Jarot sekaligus sebagai tantangan. Kutipan cinta kasih Jarot bersama Putri dapat dilihat berikut ini.
“Kamu sungguh mencintaiku?” tanya Putri … aku terdiam. Kurasakan hawa dingin naik tak diundang, merasuk seluruh persendian. Membekukan saraf-sarafku, sehingga aku tak bisa langsung merespon pertanyaan Putri… “ Kamu sungguh mencintaiku?” tanyanya lagi. “Kukira aku sudah berkisah semua padamu, tentang kisah cinta dan perjanjianku. Aku tak mahir untuk berbohong”…. “Tapi kamu ini laki-laki aneh…”Tapi hanya tanganku yang sering kau peganng. Bahkan kau tak pernah menciumku, meski kita hanya berdua tak ada siapa-siapa….” (Mashuri, 2007: 64-65).
Lain halnya kisah cinta kasih antara Jarot dengan Agnes. Perkenalan mereka diawali keseringan Agnes mengantar makanan yang dimanfaatkan untuk mengadu. Walau dalam hal ini Jarot sendiri sebenarnya tidak setuju….karena seringnya bertemu, akhirnya terjalinlah cinta kasih keduanya yang selama ini Jarot berusaha untuk tidak demikian… Suatu malam … Agnes tidur di rumah kontrakan Jaror. Malam itu juga terjadi sesuatu yang diluar batas kesadaran yang merupakan musibah bagi Jarot. Cuplikan berikut ini memperjelas apa yang dialami keduanya.
“Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan semalam. Memang semalam, aku merasa seperti mimpi basah” … Setiap aku memandang Agnes, aku seakan-akan ditarik oleh perasaan yang tak berujung… mungkin ini namanya cinta, tapi aku juga tak berhenti menyangsikannya. Jika aku mencintai Agnes, kenapa cinta itu berujung untuk merengkuhnya (Mashuri, 2007: 165-167).
Demikian ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri, di mana ajaran moral ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang pada hakikatnya berupa tata cara berkehidupan dan menentukan sesuatu yang ideal.
2. Analisis Novel Putri Cina Karya Sindhunata
a. Kejujuran yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Sama halnya kejujuran yang terdapat dalam novel Hubbu merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan landasan pokok dalam menegakkan kehidupan. Kejujuran dalam novel Putri Cina pun demikian pula halnya.
Kejujuran seorang abdi yang bernama Dora (abdi Ajisaka) rela mati mempetahankan amanah yang diberikan kepada rajanya untuk tetap tidak memberikan kepada siapa pun keris pusaka titipan rajanya. Ia menolak memberikan keris itu kepada Sembada karena sesuai pesan Ajisaka sendiri (Sindhunata, 2007: 92).
Tejaningrat dalam lakon Geger Mataram ialah anak Raja Mataram, ia menampakkan ketidak-jujurannya terhadap kekasihnya (Roro Hoyi) demi tahta, demi kekuasaan yang dijajikan oleh ayahnya… “Tejaningrat lalu merayu Roro Hoyi dengan nyanyian yang penuh dengan kata-kata cinta. Roro Hoyi mendekatinya, dan memasrahkan segenap dirinya, jiwa dan raganya. Ia lalu menjatuhkan diri kepelukan Tejaningrat, dan menyatakan cintaya. Pada saat itulah Tejaningrat menusukkan kerisnya. Roro Hoyi menjerit, apakah salahnya sampai Tejaningrat tega menghabisi hidupnya
“Kangmas, tidakkah aku mencintaimu, dan hanya padamu kuberikan seluruh diriku?... lalu ia menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuan Tejaningrat… ia terkejut… Nimas, maafkanlah kekejamanku… sambil menarik kerisnya dari tubuh kekasihnya” (Sindhunata, 2007: 92).
Gurdo Paksi dengan jujur mengakui tak mampu melindungi keselamatan ipar-iparnya dan kaum istrinya. Padahal sebagai senapati kerajaan ia mesti melindungi semua orang. Jawa maupun Cina. Ternyata ia ta tak mampu menjalankan semuanya. Ungkapan kejujuran Gurdo Paksi atau Setyoko perihal ketidakmampuan membantu atau membela kaum istrinya dapat dilihat pada uraian berikut.
“Giok Tien, aku adalah prajurit, bahkan aku pernah menjadi senapati. Tapi aku telah gagal menjalankan tugasku sebagai senapati, lebih-lebih dalam melindungi kaummu. Maka apa gunanya aku memakai semua tanda kehormatan keprajuritan ini? Aku harus mengakui, seperti Tejaningrat tak berhasil menyelamatkan Roro Hoyi dari kekejaman Amangkurat sebagai senapati, aku juga tak berhasil menyelamatkanmu dari kekejaman yang pecah terhadap kaummu di negeri Pedang Kemulan ini. Maka apa gunanya aku menjadi prajurit bahkan pernah menjadi panglima tertinggi (Sindhunata, 2007: 296-298).
b. Kehormatan yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Dalam novel ini terlihat tokoh bidadari yang ingin dipersunting oleh Batara Guru. Bidadari itu bernama Dewi Luhwati. Untuk mempertahankan kehormatannya Dewi Luhwati bersedia dinikahi dengan syarat;
Ia mau diperistri dengan laki-laki yang tidak pernah membungkuk atau menyembah merasa dirinya adalah raja segala dewa. Syarat itu bagi Batara Guru adalah mudah… suatu hari ia mau merayu Luhwati… Batar Guru datang dan tak dapat menahan birahinya. Ia pun membungkuk padahal ia adalah raja para dewa yang seharusnya berdiri. Gagallah ia menepati syarat Luhwati (Sindhunata, 2007: 89).
Kutipan tersebut, mengamanahkan kepada pembaca, seorang bidadari yang tidak bersedia dipersunting oleh raja. Untuk mempertahankan kehormatannya ia mengajukan syarat walaupun syarat itu mudah namun pelaksanaannya sulit. Di samping itu, kutipan tersebut mengamanahkan bahwa syahwat dapat menurunkan martabat seseorang. Hal ini terlihat kegagalan Batara Guru ia membungkuk dihadapan Luhwati, padahal dia adalah raja para dewa yang seharusnya berdiri di atas segala titah lainya.
Senapati Gurdo Paksi rela mencampakkan kerisnya demi kehormatan sebagai perajurit yang bersumpah tidak akan mengindahkan perintah rajanya untuk membasmi orang-orang cina karena mereka tiada salah. Gurdo Paksi menyerahkan keris pusaka bukan berarti mengancam raja. Namun ia akan mengamankan rakyat dengan caranya sendiri. Untuk jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Hamba tahu Sinuwun. Tapi maafkanlah bila hamba menyerahkan kembali pusaka ini kepada Sinuwun. Pusaka ini terlalu banyak menelan darah. Jika pusaka ini masih ada di tangan hamba, hamba selalu terdorong untuk menyelesaikannya soal negeri ini dengan pertumpahan darah lagi. Seperti hamba katakana, kali ini hamba akan mengatasi persoalan di negeri ini bukan cara Paduka usulkan. Hamba akan menyelesaikannya dengan cara hamba sendiri. Dan itu bukan dengan cara menumpahkan darah rakyat yang tak bersalah. Itulah sebabnya hamba tak mau terkena pancaran Kyai Pesat Nyawa yang selalu haus darah. Karena itu sudikah Sinuwun kembali menerimanya,” kata Gudo Paksi” (Sindhunata, 2007: 140-141).
Giok Tien rela meninggalkan dunia panggung ketoprak demi menjaga kehornatan keluargnya. Ia sendiri memutuskan, sebaiknya ia mengundurkan diri dari panggung. Keputusan ini tentu menjadi kekecewaan bagi banyak penggemarnya. Semua teman-temannya banyak yang membujuknya agar tidak jadi mundur. Toh Giok Tien tetap teguh pada keputusannya. Seperti ungkapan berikut ini.
“Semua ada waktunya, ada waktu naik, ada waktunya mundur. Sekarang memang adalah waktunya bagiku untuk turun panggung. Apalagi aku selalu ingat akan pengalaman dan kata-katamu Yu. Tidakkah kamu sendiri bilang hati-hati bila sedang berada di puncak kehebatanmu… sebab disitulah berada titik kejatuhanmu. (Sindhunata, 2007: 215).
Meninggalkan panggung, demi menjaga nama baik suaminya. Panggung pentas memang wilayah yang penuh resiko. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, tentu juga akan mencemarkan nama suaminya, yang kini sedang diberi pelbagai kepercayaan oleh Negara.
Prabu Amurco Sabdo, mencampakkan kehormatannya di tengah kekuasaannya yang sedang tergugat dan terancam. Ia menggagahi istri Senapati dengan berbagai dalih sehingga Giok Tien percaya dan meragukan, merendahkan cinta suaminya. Sementara menonjolkan diri seakan hanya dialah yang bisa melindungi istri senapati. Ia merasa senang bila perempuan yang di depannya tak berharap banyak dengan suaminya.
“… Prabu Amurco Sabdo tidak lagi kuasa menutupi perasaannya. Ditatapnya Gik Tien dalam-dalam… Prabu teringat, kata orang, bibir tipis itu justru menyimpan daya keliaran bercinta yang luar biasa. Hidungnya memang tidak mancung, tapi mungil dan indah… Memandang wajahnya hati lelaki akan menggigil dan mendambakan kehangatan napasnya. (Mashuri, 2007: 246).
c. Kewaspadaan yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Putri Cina sangat khawatir akan nasib putranya (Raden Patah) dan dirambati perasaan bersalah;
Kesedihan Putri Cina bertambah , karena anaknya telah memerangi ayahnya sendiri. Sebab, tegaknya Kerajaan Demak Raden Patah telah menggulingkan Prabu Brawijaya dan Majapahit… Hati Putri Cina gundah dan khwatir akan datangnya malapetaka, karena betapa pun ia cintanya pada anaknya, ia seakan lupa bahwa ia pernah kecewa akan anaknya yang telah menyia-nyiakannya…. (Sindhunata, 2007: 35- 37).
Karena dirundung kesedihan dan rasa khawatir, akhirnya Putri Cina ke Banyuwangi mencari abdinya (Sabdo[alon – Nayanggenggong). Setelah Putri Cina bertemua dengan abdinya, ia pun menyampaikan kehkawatirannya seperti ungkapan di bawah ini.
“Aku hendak bertanya pada kamu berdua, bagaimana caranya aku bisa melepas kesedihan dan ketakutanku, karena anakku telah berperan melawan ayahnya? Padahal kamu tahu, menurut ajaran leluhurku, tak bolelah seorang anak melawan orang tuanya, karena kelak kemudian hari, ia akan terkena bencana. Dan jangan-jangan aku juga takkan luput dari bencana itu, karena aku adalah ibu yang melahirkannya (Sindhunata, 2007: 45).
Kewaspadaan perlu tetap dijaga. Seperti halnya seorang pemimpin jika tidak selalu waspada dalam melangkah, maka ia akan terombang-ambing dalam memimpin.
Pada awalnya Kerajaan Medang Kamulan Baru amat dicintai rakyatnya, karena kepribadian rajanya yang baik… namun akhirnya rakyat merasa tersiksa karena ulah raja beserta keluarga dan pembantu-pembantunya… diduga karena rajanya tidak berhati-hati dan waspada, bahwa kekuasaan itu adalah kebusukan yang setiap saat bisa menelikungnya untuk menjadi jahat. Seharusnya, makin besar kekuasaan makin harus hati-hati tidak diperalat.. ternyata Prabu Amurco Sabdo kurang waspada, ia membiarkan dirinya diseret dan diperalat oleh kekuasaannya. .. kekuasaan telah membuat ia menjadi raja yang serakah.. kekuasaan yang membuat ia kehilangan akal… ternyata ia mempercayai hal-hal yang gaib (Sindhunata, 2007: 98-99).
Putri Cina pun waspada karena banyak kaumnya yang mengikuti begitu saja kehendak Prabu. Mereka banyak diberi kesempatan dengan tujuan untuk membantu Prabu dan keluarganya memperkaya diri… mereka tidak sadar, bahwa mereka dijadikan sandaran untuk menambah nikmat prabu dan keluarganya… Putri Cina gelisah mengapa kaumnya tidak mau belajar dari sejarah masa lalu yakni kemakmuran pernah terjadi yang akhirnya membinasakan mereka.
Di rumah Senapati Gurdo Paksi, istri dan kedua kakaknya sedang dicekam ketakutan, sebab mereka adalah orang cina. Gelisahan mereka tampak pada percakapan berikut ini.
“Giok Tien, mengapa nasib ini harus menimpa kita? Tanya Giok Hong
“Cik, aku sendiri juga tidak tahu… tapi suamimukan senapati di Negara ini. Masa ia tidak bisa melindungi kita sambung kakaknya Giok Hwa. “Cik, apa dalam keadaan demikian kita masih bisa mengharapkan perkecualian? Rasanya kita menunggu waktu. Kangmas Gurdo adalah prajurit. Ia hanya menjalankan perintah . Mungkin bukan dengan tangannya sendiri , tapi dengan tangan bawahannya ia bisa saja meniadakan kita semua”, jawab Giok Tien (Sindhunata, 2007: 153).
d. Cinta Kasih yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Sebagaimana halnya konsep cinta kasih yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri. Dalam novel Putri Cina pun diwarnai cinta kasih.
Konsep cinta kasih yang terdapat dalam novel ini dapat dilihat pada Giok Tien dan kedua kakaknya masih remaja ayah mereka sudah meninggal. Tanda kecintaan ayah pada keluarganya ia meninggalkan sebuah toko pracacangan yang menyediakan kebutuhan dapur kepada istri dan ketiga anaknya.
Ibu mereka (Siok Nio) senang nonton ketoprak. Paling tidak seminggu sekali menyempatkan diri untuk menonton, ia selalu membawa anak-anaknya teruta putri bungsunya Giok Tien. Karena sering nonton akhirnya Giok Tien tertarik untuk ikut bermain. Mulanya ia ragu untuk menyampaikan maksud kepada mamanya yang di luar dugaannya mamanya pun menyetujui maksud anaknya. Ungkapan persetujuan mamanya untuk ikut main ketoprak dapat dilihat berikut ini.
“Mengapa tidak? Mama sendiri suka ketoprak… sungguh mama rela? Tanya Giok Tien setengah tak percaya. “Yah Mama berharap kamu bisa menjadi bintangnya ketoprak. Dan Mama sangat bangga dan bahagia, bila suatu saat nanti, Mama bisa melihat kamu main dalam lakon Sam Pek Eng Tay” (Sindhunata, 2007: 158).
Percintaan Setyoko dengan Giok Tien di awali sewaktu Giok Tien memerankan Roro Hoyi dalam lakon Geger Mataram. Ketika melihat Giok Tien sebagai Roro Hoyi ia tidak dapat menahan isi hatinya… Giok Tien pun demikian sewaktu bertemu langsung dengan Setyoko hatinya berdebar-debar seakan-akan yang dihadapannya adalah Pengerang Tejaningrat…
“Giok Tien aku Setyoko. Aku bukan Pangerang Tejaningrat. Tapi bolehkan aku mencintaimu, seperti Pangernag Tejaningrat mencintai Roro Hoyi yang kau perankan tadi?”... “Mengapa kau tiba-tiba mau mencintai aku?” “Tidak tiba-tiba… Perihalku sama dengan Pangerang Tajaningrat yang sudah lama memendam cinta Roro Hoyi. Karena takut pada Sultan Amangkurat ia tak berani mengatakan isi hatinya… Tapi setelah menyaksikan kau tampil malam ini, aku memberanikan diri mengutarakan isi hatiku ... sungguh sudah lama aku menaruh hati padamu, tapi baru malam inilah aku mengatakan isi hatiku yang sesungguhnya” (Sindhunata, 2007: 194).
“…sungguh aku mencintaimu, dan ingin mencintaimu terus seutuh-utuhnya dan aku akan melindungimu. Untuk itu aku berani mengorbankan apa saja, termasuk kedudukanku, jika aku memang mempunyai (Sindhunata, 2007: 196).
Giok Tien memberanikan diri menatap pandangan mata lelaki di hadapannya itu. Entah kenapa pandangan itu terasa memberinya rasa aman dan tulus… makin hari Giok Tien makin tahu Setyoko memang amat mencintainya. Ia sendiri tak dapat mengingkari, betapa Setyoko memang lelaki yang didambakan.
Ketulusan cinta kasih Eng Tay bersama Sam Pek tidak akan pernah putus. Kalau tidak ada pernikahan dalam kehidupan tapi pasti bisa menikah dalam kematian. Hal tersebut dibuktikan oleh Eng Tay sewaktu akan diarak-arak ke pesta perkawinan ia mengajukan syarat. … salah satu syarat dikabulkan
“…iringan-iringan itu sampai ke Gunung Selatan…lalu segera menanggalkan busana pengantinnya. Tampak ia sekarang mengenakan busana berkabung… maka Eng Tay pun mencabut cunduk yang ia kenakan… ditusuk-tusuknya cunduk itu ke gundukan tanah… tiba-tiba tanah kuburan itu terbuka… EngTay gembira dan teringat akan surat Sam Pek “Kita berdua memang tidak dapat menikah dalam kehidupan, tapi kita pasti bisa menikah dalam kematian”. “Eng Tay merasa kematian ternyata tak dapat memisahkan cinta. Lalu tanpa ragu ia pun segera terjun ke dalam sana. Tanah kuburan tertutup kembali seperti semula (Sindhunata, 2007: 210).
F. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri adalah sebagai berikut:
a. Kejujuran dapat dilihat Jarot mengakui ketidaksenangannya pada perempuan; jujur mengakui pernah menonton wayang yang notabena adalah haram; mencintai guru muda yang telah berkeluarga; jujur mengakui ketidakhadirannya mengaji karena memancing; seakan hidupnya seperti Begawan Wisrawa. Selain Jarot, Savitri juga jujur mengakui keadaaannya
b. Masalah kehormatan Jarot menebus rasa malu dengan memacu diri; Jarot melalaikan kehormatan akibat berguru ke Wak Tomo; demi menjaga kehormatan keluarga Alas Abang bersidang; Jarot mengakui bahwa baginya belum pantas ke Alas Abang. Lain halnya dengan Putri mencampakkan kehormatannya.
c. Kewaspadaan dialami Jarot seakan-akan terombang-ambing tak menentu ingatannya tertuju pada “Sastra Gendra”; hubungan Jarot dengan Istiqamah diwarnai dengan kekhawatiran; Jarot seakan-akan tidak punya pegangan.
d. Cinta kasih dalam novel Hubbu adalah : (1) cinta kasih seorang kakek (Embah) kepada cucunya; cinta kasih ibu kepada anaknya; cinta kasih masyarakat kepada pemimpinnya, (2) cinta kasih yang diwarnai syahwat (pasangan muda-mudi) antaranya: kisah cinta kasih Jarot dengan Istiqamah; kisah cinta kasih Jarot dengan Putri; kisah cinta kasih Jarot dengan Agnes.
e. Kejujuran yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata terlihat kejujuran seorang abdi (Ajisaka) rela mati memepertahankan amanah; gegernya Mataram karena ketidak jujuran rajanya; Gordo Paksi jujur mengakui tak mampu melindungi ipar-iparnya dan kaum istrinya.
f. Untuk mempetahankan kehormatan Dewi Luhwati membuat isyarat untuk menikah dengan Batara Guru; Gurdo Paksi rela mencampakkan keris demi mempertahankan kehormatannya; Giok Tien meninggalkan panggung demi menjaga kehormatan keluarganya.
g. Putri Cina khawatir dengan nasib putranya (Raden Patah); Putri Cina khawatir disebabkan putranya memerangi ayahnya; karena ketidakhati-hatian dalam memimpin akhirnya kerajaan Medan Kamulan hancur; Giok Tien dan kedua kakaknya khawatir akibat penjarahan kepada orang cina.
h. Tanda kecintaan ayah Giok Tien mewariskan tokoh kepada keluarganya; Sok Nio sangat mencintai anaknya; kisah cinta Setyoko dengan Giok Tien; ketulusan cinta kasih EngTay kepada Sam Pek tidak pernah pupus sampai mereka berdua meninggal dunia.
G. Tanggapan
"Hubbu" yang berarti 'Cinta' dalam bahasa Arab, ditulis oleh Mashuri pendatang baru dalam dunia novel tapi telah cukup lama berkecimpung dalam puisi. Gramedia menerbitkannya pada Agustus 2007, dalam 237 halaman.
Dengan sampul yang cukup artistik menggambarkan dinding sebuah bangunan kuno dan sesosok tangan wanita tampak membuka satu sisi pintu. Tampak seolah ada seorang wanita sedang mengintip dan ragu-ragu untuk keluar, atau malah dapat pula ditafsirkan sedang mengajak pembaca untuk masuk ke dalam.
Menceritakan perjalanan hidup seorang keturunan kiai yang bimbang dan terombang-ambing dalam pilihan antara mengemban amanat meneruskan kepemimpinan pesantren ataukah menapaki kehidupan yang ia pilih sendiri.
Novel ini unik dan kaya karena memadukan latar belakang pesantren, budaya jawa yang penuh mistik, serta kehidupan modern yang bebas.
Kisah utama novel ini dimulai pada akhir tahun 1995 di Surabaya. Jarot alias
Abdullah Sattar seorang mahasiswa Sastra Indonesia secara kebetulan
mendapatkan sebuah buku yang di dalamnya tertulis bait-bait puisi
berbahasa jawa yang berjudul "Sastra Gendra". Munculnya guritan itu
melayangkan pikiran Jarot ke perjalanan yang telah ia tapaki hingga saat
itu.
Cerita novel ini kemudian melompat ke tahun 2040, dengan Aida sebagai tokoh utamanya. Aida adalah anak Jarot.
Meskipun ini merupakan novel debutan dari penulisnya, tapi berbagai
eksperimen cara bertutur telah dipamerkan di sini. Pembaca yang terbiasa
dengan novel yang beralur linear mungkin akan kebingungan mengikutinya.
Sementara mereka yang suka bertualangan dalam plot cerita yang penuh
eksperimen, mungkin bisa menikmati sebagai sebuah pengalaman membaca yang menantang. Plot cerita maju mundur mungkin sudah tidak terlalu aneh, karena sudah sering dipakai sebagai cara lain dalam menyusun cerita. Namun bukan itu yang membuat novel ini agak membingungkan. Penulis dalam novel ini dengan sangat bebas berganti-ganti penutur dan cara bertutur. Kadang ia menjadikan Jarot sebagai penutur pertama, kemudian pada sub-bab berikutnya melompat dengan penutur orang ketiga, kemudian berganti tokoh Puteri yang menjadi 'aku'. Pembaca harus menebak-nebak sendiri setiap berganti bab, siapa sekarang yang menjadi 'aku'?. Dan puncak kebingungan akan terjadi pada bagian ketiga, ketika tiba-tiba saja penutur 'aku' adalah
tokoh yang baru sama sekali. Selain pergantian penutur, penulis juga bermain-main dengan cara berkisah. Pada satu saat, ia menggunakan buku harian untuk menceritakan kehidupan Jarot pada masa SMA. Pada bagian lain penulis menggunakan format wawanca resmi untuk sebuah tanya jawab. Dan karena hanya digunakan pada satu bagian saja maka tampak kalau pemakaian format bercerita itu hanya sebagai sebuah eksperimen untuk mewarnai karya ini.
Kekaburan pun tampak dengan adanya ungkapan-ungkapan yang menggunakan bahasa Jawa yang sebagaian pembaca tidak memahaminya. Sementara, relatif banyak ingin mengapresiasi karena novel ini adalah pemenang sayembara.
Penggunaan latar pesantren sangat apik, karena penulis pernah menjadi santri di beberapa pesantren, pantaslah jika bisa menggambarkan kehidupan pesantren baik itu lingkungan maupun macam-macam pelajarannya dengan cukup detail. Dan saat ini penulis banyak berkutat dalam dunia seni terutama dalam khasanah budaya Jawa, maka pantaslah juga jika cerita wayang dan segala macam pernik budaya jawa dapat disampaikan dengan fasih. Apakah segala pertentangan batin Jarot yang ia ciptakan sendiri akibat tarik- menarik antara Islam-Jawa. Kebebasan Modern juga pengalaman pribadi penulis?
Latarbelakang penulis yang lebih banyak berkecimpung dalam dunia puisi cukup terasa dalam penulisan novelnya. Meskipun tidak sampai menjadikan novel ini sebagai prosa liris, tapi pada beberapa bagian memang terasa puitis. Tidak terlalu banyak dialog, lebih banyak berkisah tentang pergulatan batin tokoh yang sedang menjadi 'aku' pada saat itu. Sehingga emosi novel ini terasa
seperti terpendam dalam pikiran masing-macam tokohnya. pertanyaan demi pertanyaan.
Banyak hal yang dibiarkan menggantung tanpa penjelasan hingga akhir novel
ini. Memang, perjalanan hidup Jarot akhirnya terungkap meskipun tidak cukup runtut, tapi tetap tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi setelah
Jarot pergi dari Surabaya. Dari sosok Aida, anaknya, tergambar bahwa Jarot
tidak mengajarkan banyak kepada Aida tentang Islam maupun tentang budaya Jawa, dua hal yang sangat didalami oleh Jarot pada masa mudanya. Aida menjadi anak muda modern yang sama sekali awam terhadap akar budaya ayahnya. Agak mengherankan mengingat Jarot tadinya digambarkan sangat idealis.
Pemilihan judul "Hubbu" juga menjadi pertanyaan. Mengapa harus menggunakan bahasa Arab? Dalam novel ini memang tokohnya sedikit banyak mengerti bahasa arab, tapi kalimat berbahasa arab nyaris tidak pernah muncul kecuali satu dua saja dalam novel ini. Sempat timbul pertanyaan lain tentang setting waktu. Terasa aneh mengapa Aida harus hidup pada tahun 2040? Itu terasa dipaksakan ketika ternyata penulis tidak berhasil atau memang tidak berusaha membangun setting masa depan yang jauh lebih maju 30 tahun dari sekarang, teknologi entahlah sudah
seperti apa majunya. Penulis tetap terpaku pada teknologi saat ini, telepon
genggam belum menjadi video call, internet masih menggunakan situs-situs saat ini dan belum ada perpustakaan online yang super lengkap.
Saat dicermati lagi, terjawablah bahwa ada satu momen real yang ingin tetap
dipertahankan oleh penulis. Momen nyata itu adalah pemuatan guritan "Sastra Gendra" karya Budi Palopo di majalah Jaya Baya pada tanggal 18 Oktober 1994. Tampaknya inilah batu pertama yang menjadi dasar penulisan novel ini untuk mundur ke masa silam maupun maju ke masa depan. Diskusi antara Jarot dan Budi Palopo tentang "Sastra Gendra" mestinya juga adalah sebuah wawancara nyata yang dilakukan oleh penulis. Pantaslah jika formatnya tetap dipertahankan dalam bentuk wawancara resmi agar seperti apa adanya, meskipun jadi terasa aneh.
Sebagai sebuah cerita, novel ini berkisah tentang banyak hal yang diramu
dalam sebuah perpaduan yang cukup unik. Hanya sayangnya tidak diselesaikan dengan tuntas. Novel ini ditutup agak mengejutkan tapi tanpa emosi dan kemudian menyisakan banyak pertanyaan.
Mencermati novel Putri Cina karya Sindhunata adalah sebuah novel menawan, dengan gambar sampul wajah seorang putri cina yang memelas namun tegas, dengan pandangan tajam menerawang di bawah bola mata ada titik-titik air entah kapan terhapusnya.
Novel ini membawa pesan identitas tunggal adalah ilusi.
Sama halnya dengan Hubbu, lembaran-lembarannya dihiasi puisi. Perbedaannya novel ini tidak diwarnaia bahasa Jawa atau Cina, padahal tokoh utamanya adalah orang Cina dan Jawa.
Walaupun ceritanya beragkat dari dongeng Jawa yang didominasi gambaran kebudayaan. Lakon ketoprak Sam Pek-Eng Tay hanyalah satu contoh dialog dalam kebudayaan.
Di samping itu, mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang
memisahkan.
Novel ini pun menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu
berlumur darah dan pengkhianatan.
Ada dua Putri Cina dalam novel ini sehingga pembaca agak sedikit kebinguan seandainya pembaca tidak mengamati berulang-ulang.
Yang pertama adalah Putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru.
Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.
Hampir setengah bagian terakhir mengeksplorasi kisah Giok Tien,
termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami,
yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Medang Kamulan Baru.
Melalui novel, pengarang (Sindhunata) ingin mengingatkan para penguasa negeri bahwa kekuasaan yang disalahgunakan akan berbalik menghancurkan pemilik kekuasaan itu. Novel ini adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Dengan cara bertuturnya yang khas, novel ini akan membawa para pembaca ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah.
Di samping itu, Sindhunata ingin mengupas realita kehidupan antara Jawa dan Cina. Salah satunya adalah cinta antara lelaki Jawa dan perempuan Cina yang tidak terpisahkan, meskipun keduanya harus tewas. Tewasnya Putri China dan Setyoko adalah buktinya. Pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan orang Jawa terhadap Cina, telah berubah menjadi sebuah tata kehidupan yang harmonis.
Sastra pada hakikatnya merupakan salah satu peristiwa budaya bangsa yang dilambangkan melalui bahasa. Tanpa bahasa, sastra tidak mungkin mewujudkan dirinya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Peran bahasa dalam karya sastra merupakan alat pembentuk iluminasi yang dapat membangkitkan pikiran dan merangsang intuisi seseorang dalam menyampaikan amanat.
Oleh karena itu, karya sastra merupakan pancaran kehidupan sosial dan gejolak kejiwaaan penyair. Pancaran kehidupan tersebut timbul akibat adanya interaksi langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, terhadap suatu keadaan yang dialami. Hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan yang ditata sedemikian rupa dengan menggunakan kata-kata padat yang pada umumnya menggunakan makna konotatif. Makna tersebut tidak saja membawa rasa keidahan, kenikmatan, dan kepuasan, tetapi juga rasa kejenuhan, kebosanan, dan kejengkelan, baik ditilik dari bahasa maupun dari segi isi bagi mereka yang mendalaminya.
Di balik keindahan, kepadatan, dan kekonotatifan serta singkatnya bahasa yang digunakan dalam karya sastra, terdapat nilai-nilai luhur. Nilai –nilai luhur yang terdapat di dalam cerita (novel) perlu digali, karena pada hakikatnya cerita itu mengandung ajaran moral bagi umat manusia.
Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang sifatnya amoral dulu. Hal ini sesuai apa yang dikenal dengan tahap katarsis pada pembaca karya sastra. Meskipun sebelum mengalami katarsis, pembaca atau penonton dipersilahkan untuk menikmati dan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sebetulnya tidak dibenarkan secara moral, yaitu adegan semacam pembunuhan atau banjir darah yang menyebabkan penonton atau pembaca senang tetapi juga muak. Jadi untuk menuju moral, seringkali penonton harus melalui proses menyaksikan adegan yang tidak sejalan dengan kepentingan moral (Darma, 1984).
Sementara itu, Kritik moral/filosofis percaya bahwa tujuan terbesar sastra adalah mengajarkan, moralitas dan menyelidiki kedalaman isu filosofis atau hal-hal yang bersifat filosofis. Sama halnya dengan Matthew Arnold menyatakan bahwa karya-karya itu mesti mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi. Sementara itu, Plato menekankan bahwa sastra mesti memperlihatkan moralis dan manfaat. Demikian pula Horace menyatakan sastra seharusnya menyenangkan dan bersifat pembelajaran (Darma, 2007:1).
Bermuara pada uraian tersebut, ajaran moral dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata adalah ajaran moral yang mengandung hal-hal yang patut dilakukan dan yang harus dihindari. Ajaran moral tersebut adalah: kejujuran, kehormatan, kewaspadaan, dan cinta kasih.
B. Kerangka Teori
1. Ajaran Moral
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini bahwa: “Ajaran moral adalah saran utama pembinaan manusia yang berpikiran dewasa, bertingkah laku yang baik dan berjiwa luhur. Dikatakan demikian karena hal ini bertemali dengan perbuatan dan tingkah laku yang pada hakikatnya merupakan pencerminan akhlak atau budi pekerti”.
Demikian halnya yang dikemukakan oleh Bradley (dalam Sugono, dkk. 2001) moral atau kaidah dan pengertian yang menentukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk.
Ajaran moral menerangkan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan oleh manusia terhadap manusia yang lain (Amin, 1977: 15) ; (Amir, 1986: 13); (Hakim, 1993: 25).
Seperti yang dijelaskan Darma (1984) bahwa apa saja yang disampaikan dalam sastra identik dengan moral tentu saja bukannya tanpa alasan, karena, seperti halnya filsafat dan agama, sastra juga mempelajari masalah manusia. Bila filsafat mencoba menjelaskan manusia dengan dogma-dogma, sedangkan sastra menjelaskan manusia dengan pendekatan penghayatan. Dengan cara yang berbeda-beda filsafat, agama, dan sastra dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanitat, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya.
Dalam pendekatan moral terhadap karya sastra perlu dipahami bagaimana hubungan antara karya sastra dengan pembacanya, karena pembacalah yang nantinya akan menemukan dan memanfaatkan moral yang ada di dalamnya. Dalam hal ini Darma (1984) menjelaskan bahwa karya sastra yang baik akan mengajak pembaca untuk melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Ada resiprokal dalam pembacaan karya sastra.
Demikian pula yang dikeukakan oleh Wiyatmi (2006) bahwa dalam kerangka pendekatan sastra sesuai orientasi sastranya, ajaran moral sebenarnya merupakan perkembangan dari pendekatan pragmatik, yang memandang karya sastra dalam hubungan dan fungsinya bagi pembaca.
2. Pengertian Akhlak
Pengertian akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Djatmika, 2005). Dalam kepustakaan akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk.
Budi pekerti, adalah kata majemuk perkataan budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari bahasa Sangsekerta dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sangsekerta budi artinya alat kesadaran (batin), dalam bahasa Indonesia pekerti artinya kelakuan. Menurut Alwi (1994) budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak seseorang dalam perbuatan sehari-hari. Budi pekerti mengandung pengertian positif. Namun, pelaksanaan dan penggunaannya mungkin negatif. Penerapannya tergantung dari manusianya. Oleh karena itu, apabila orang mengatakan budi perkerti si Amat baik kata-kata itu menunjukkan penilaian positif yang diberikan orang kepada perilaku Amat. Demikian pula sebaliknya.
Budi pekerti mengandung arti yang lebih dalam karena telah mengenai sifat dan watak yang dimiliki seseorang, sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi, telah menjadi kepribadian. Perangai adalah sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang, pembentukannya ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh berbagai faktor terutama faktor orang tua dalam keluarga.
Perkataan perangai itu sendiri mengandung makna ideal sesuatu yang dicita-citakan, yang dikehendaki. Namun, penerapannya yang mungkin menimbulkan penilaian positif atau negati, tergantung pada orang yang memiliki perangai itu. Yang dimaksud dengan perangai positif adalah segala tingkah laku, tabiat, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati, dan lain-lain sifat yang baik. Akhlak yang buruk adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat, dan lain-lain sifat yang buruk. Yang menetukan sifat dan tingkah laku yang baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau adat-istiadat (Ali, 2006)
Lain halnya dengan pendapat Nata (2006) bahwa secara Linguistik kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang telah memiliki akar kata, melainkan kata tersebut sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun. Baik kata akhlaq maupun khuluqun kedua-duanya dijumpai pemakaiannya dalam Alquran.
Dengan demikian, kata akhlaq atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai mu’tuah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Pengertian akhlak menurut istilah dapat dirujuk dari berbagai pendapat Nata, (2006) mengatakan bahwa, sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, al- Ghazali (tt) mengatakan akhlak adalah, sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Anis (1972) menyatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Selanjutnya, Hamid (t t: 436) secara singkat mengartikan akhlak adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.
Keseluruhan definisi akhlak di atas, tanpak sejalan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat dilihat ciri-cirinya antara lain:
a. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika dikatakan bahwa si A sebagai orang yang dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan di mana pun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain.
b. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan dalam keadaan tidak sadar. Oleh karena itu, perbuatan yang dilakuakan saat tidur, hilang ingatan, mabuk atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, dan sebagainya bukan perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya.
c. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan atau keputusan yang bersangkutan.
d. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan karena main-main atau karena bersandiwara.
e. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata kerena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
Dalam perkembangan selanjutnya, akhlak tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri, yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan, aliran dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan membentuk ilmu.
Di dalam Mu’jam al- Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah, ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang dapat ditafsirkan dengan baik atau buruk Selain itu, Habsyi (t t) berpendapat bahwa akhlak adalah ilmu tentang tata karma.
a. Akhlak Terpuji dalam Islam
1) Sikap Kreatif
Menurut Alwi (1994), kreatif adalah memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan, atau kemampuan menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang membawa sifat baru atau mengombinasikan ide maupun metode lain dengan cara-cara baru.
Dalam perspektif Islam, kreatif dapat diartikan sebagai kesadaran keimanan seseoerang untuk menggunakan keseluruhan daya dan kemampuan yang dimiliki sebagai wujud atas nikmat Allah guna menghasilkan sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi kehidupan sebagai wujud pengabdian yang tulus kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan benar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan beragama muslim" (QS3:102).
Agar seseorang lebih kreatif, ada beberapa cara dan teknik yang dapat dijadikan acuan untuk membina dan mengembangkan kreatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, di antaranya adalah sebagai berikut:
(1) Belajar untuk menjadi seorang orator yang terbaik. Seorang orator adalah orang yang selalu mencari, menyesuaikan, dan mengaplikasikan ide-idenya, baik yang baru maupun yang sudah lama. Ide-ide itu bisa dicari dengan cara membaca buku, laporan, jurnal ilmiah, dan karya ilmiah yang lain.
(2) Mengubah kebiasaan dari citra diri. Cara ini dapat dilakukan dengan mengembangkan ide dan gagasan melalui berbagai metode yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
(3) Menerima perubahan dan tantangan suatu masalah dengan tangan terbuka tanpa merasa terbebani. Seseorang yang memiliki pikiran positif, terbuka dan fleksibel, tidak akan menimbulkan beban psikologis. Dengan cara ini orang akan lebih tenang dan dapat berpikir lebih jerbih dan objektif. Pola berpikir yang demikian akan sangat membantu seseorang akan mengembangkan kreativitas.
(4) Menerapkan ide-ide baru dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani. Artinya dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani senantiasa mengajukan pertanyaan, misalnya apa alternatif yang dapat dilakukan terhadap pemecahan suatu masalah.
(5) Memiliki rasa ingin tahu dan melatih diri untuk menjadi pengamat yang baik. Salah satu cara untuk mengenali awal masalah adalah mencari informasi. Usaha ini dapat menghindari pertentangan cara berpikir yang muncul pada diri sendiri.
(6) Mengembangkan daya berpikir dan kemampuan berpikir efektif. Berusahalah selalu untuk menghadirkan pikiran dan daya imajinasi dalam menghadapi setiap masalah. Gunakan daya nalar, kritis, khayalan, dan berpikir mengalir. Perbaiki tingkat kemampuan berpikir dengan cara mempelajari sesuatu dan mempraktikannya dalam kehidupan nyata.
(7) Berniat yang benar dan bertawakal kepada Allah. Dalam setiap aktivitas berpikir, upayakan dengan niat yang benar, yaitu untuk mengungkapkan kebenaran hakiki yang diisyaratkan oleh Allah dalam firmannya. Semua aktivitas berpikir harus diakhiri dengan penyerahan diri kepada-Nya agar semua yang telah dipikirkan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan dan memiliki nilai ibadah yang mendapat rida Allah.
2) Sikap Dinamis
Sikap dinamis adalah kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan memelihara sikap positif, sekalipun ketika berada dalam kesulitan. Sikap dinamis mengasumsikan adanya harapan terhadap cara orang dalam menghadapi kehidupan. Dinamis merupakan pendekatan yang positif terhadap kehidupan sehari-hari untuk mencapai keberhasilan yang berguna dalam kehidupan. Allah memberikan isyarat betapa pentingnya manusia untuk melakukan berbagai ikhtiar secara optimal dan tetap memilki keyakinan akan ketentuan Allah. Dengan demikian, sikap dinamis manusia tidak bersifat bebas, tetapi dalam kekuasaan Allah. Allah berfirman yang artinya " Dan dia (Yakub) berkata, “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu yang berbeda, meskipun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikit pun dari takdir Allah. Keputusan itu hanyalah bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakallah orang-orang yang bertawakal” (QS Yusuf:67).
Ayat ini memberikan isyarat betapa pentingnya dalam menjalani kehidupan. Manusia perlu mencari berbagai trobosan untuk mencapai tujuan dengan tetap yakin akan ketentuan Allah. Hal ini merupakan wujud komitmen dari setiap muslim bahwa pada satu sisi harus mengembagkan cara-cara berikhtiar sebagai konsekuensi hidup dan harus menerima ketentuan Allah pada sisi lain.
3) Sikap Sabar
Sikap sabar yang dimiliki seseorang akan melahirkan dampak positif, memberikan hikmah dan manfaat yang besar bagi kehidupan seseorang. Apabila ada orang mukmin yang sedang ditimpa kesulitan, hendaklah ia segera mengingat Allah dan memikirkan bagaimana Islam memberikan tuntunan dan mengatur dalam menghadapi peristiwa tersebut.
Cobaan bagi orang yang beriman sangat bervariasi, tergantung kepada kadar iman seseorang. Makin tinggi kadar iman seseorang makin berat cobaan yang diberikan kepadanya. Jika sukses menghadapi cobaan itu, ia makin tinggi kedudukan dan derajatnya.
Sebagai orang yang beriman, hendaknya kita selalu bersabar karena sabar adalah kunci segala persoalan. Insan beriman harus memiliki sifat ini selama hidup di dunia sebab sifat sabar merupakan sebagian dari akhlak yang mulia dan karunia Allah yang agung . Sebagaimana dalam firman Allah "Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar (QS,2:153).
Kesabaran akan membawa diri manusia pada kebahagian yang hakiki. Hal itu akan dapat dicapai dengan mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan. Menurut fitrah aslinya, bahwa nafsu manusia kurang menyukai kebenaran dan lebih cendrung kepada kebatilan. Oleh karena itu, siapa saja yang pikirannya terpusat kepada pencarian kebahagiaan sejati niscaya akan membutuhkan kesabaran, yaitu dengan memaksa jiwanya agar mengikuti kebenaran dan menjauhi kebatilan.
Pembagian sabar menurut kualitas dan bentuknya.
(a) Sabar dalam melaksanakan ketaatan.
Sabar seperti ini dapat dibangkitkan dengan mengingat janji Allah bagi siapa yang mengerjakan ketaatan. Barang siapa yang selalu berpegang pada kesabaran, pasti dekat dengan Allah.
(b) Sabar menghadapi maksiat.
Sabar seperti ini akan terwujud dengan cara menghindari dan menjauhi tempat-tempat yang menjurus maksiat.
(c) Sabar menghadapi kesulitan
Sabar seperti ini terbagi menjadi dua, yaitu lesulitan yang datangnya dari Allah secara langsung, seperti penyakit, kemiskinan, kehilangan harta benda, dan kematian sanak kerabat atau teman yang dikasihi, serta kesulitan yang disebabkan oleh manusia lain, seperti gangguan pada kehormatan dan harta benda seseorang.
(d) Sabar menghadapi kecenderungan hawa nafsu.
Sabar seperti ini dapat dilakukan dengan cara mengekang hawa nafsu agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang diharamkan Allah.
Sabar adalah pengaruh dari keyakinan yang mendalam dan tujuan yang bulat dari seorang muslim yang mencari rida Allah semata. Untuk memperoleh derajat inilah seorang selalu berdoa, sebagaimana yang tersebut dalam Al-Quran "Dan Engkau tidak melakukan balas dendem kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami. Mereka berdoa. “Ya Allah, Tuhan kami limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)”. (QS,7:126).
4) Sikap Tawakal
Tawakal adalah berserah diri kepada kada dan kadar Allah setelah berusaha semaksimal mungkin. Tawakal adalah puncak tertinggi keimanan. Sifat ini akan datang dengan sendirinya jika iman seseorang sudah matang. Seseorang belum disebut beriman apabila belum mencapai puncak tawakal. Tawakal menjadi dasar keimanan semua amal. Hubungan tawakal dengan keimanan seperti hubungan badan dengan kepala. Kepala tidak dapat berdiri tanpa adanya badan. Demikian juga, iman dan amal tidak dapat ditegakkan tanpa adanya tawakal.
Allah berfirman, Musa berkata, “Wahai kaumku! Jika kamu beriman kepada Allah maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang yang muslim (berserah diri) ) QS,10:84).
Menurut al-Gazali (1977), orang yang bertawakal terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
(a) Orang yang berusaha memperoleh sesuatu yang dapat membawa manfaat kepadanya.
(b) Orang yang berusaha memelihara sesuatu yang dimilikinya supaya menimbulkan hal-hal yang bermanfaat.
(c) Orang yang berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan menimbulkan mudarat atau bencana.
(d) Orang yang berusaha menghilangkan mudarat yang menimpa dirinya.
Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa dalam penerapannya tawakal terdiri atas tiga tingkatan yaitu:
1. Tawakal adalah keadaan hati yang senantiasa tenang dan tenteram terhadap apa yang dijanjikan Allah.
2. Taslim adalah penyerahan urusan kepada Allah karena Dia mengetahui segala sesuatu mengenai diri dan keadaannya.
3. Tafwid adalah rida atau rela menerima segala ketentuan Allah bagaimanapun bentuk dan keadaannya.
b. Membiasakan Akhlak Terpuji dalam Kehidupan Sehari-har
1) Membina Sikap Bijaksana
Bijaksana adalah keadaan jiwa yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil serta antara yang salah dan yang benar dalam segala perbuatan dan ikhtiar manusia. Sikap bijaksana termasuk akhlak mahmudah dan bersumber dari ajaran agama yang tertulis di dalam kitab suci Al-Quran yang artinya "Dan kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara (QS,38:20).
Orang yang memiliki sikap bijaksana selalu memertimbangkan baik buruknya seseuatu sebelum bertindak sehingga apa yang dilakukan selalu mengandung nilai kebajikan, bermanfaat bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Sikap bijaksana hanya timbul dari orang yang berilmu dan bertakwa kepada Allah. Di antara ilmu pengetahuan melahirkan sikap bijaksana adalah ilmu pengetahuan bidang hukum agama yang tertulis dalam Al-Quran dan hadis, hukum negara, hukum adat, dan budaya masyarakat.
Setiap orang yang akan melakukan suatu perbuatan dihadapkan dua pilihan perbuatan yaitu perbuatan yang berakibat baik dan perbuatan yang berakibat buruk. Bagi orang yang memiliki sifat bijaksana, akan selalu memilih dan menemukan perbuatan yang berakibat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Sifat bijaksana sangat penting bagi setiap orang, guru, murid, orang tua dan anak, bagi presiden dan rakyat, serta bagi pemimpin dan anggotanya.
2) Memelihara Sikap Amanah
Kata amanah seakar dengan kata iman. Amanah berarti dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Makin menipis keimanan seseorang makin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang erat.
Amanah merupakan salah satu sifat baik yang melekat pada diri seseorang mukmin, yang artinya dapat dipercaya. Sifat ini amanah dapat tumbuh dan berkembang pada diri seseorang jika yang bersangkutan selalu berkata, bersikap, dan bertindak, serta melakukan perbuatan yang benar. Oleh karena itu, ia selalu berperilaku benar dalam hidupnya. Orang yang seperti ini akan dipercaya oleh masyarakat. Sifat amanah erat kaitannya dengan kebenaran. Dua sifat ini merupakan sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.
Amanah adalah salah satu sifat yang harus dimilki oleh setiap pimpinan. Seorang anak harus melaksanakan amanah kedua orang tuanya, orang tua harus melaksanakan amanah Allah untuk memelihara anak-anaknya, sekolah harus melaksanakan amanah orang tua murid. Artinya, amanah itu harus dipatuhi oleh semua lapisan masyarakat.
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Dalam pengertian yang luas, amanah mencakup banyak hal, yaitu menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, dan menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Tugas-tugas yang dipikulkan kepada umat manusia oleh Alquran disebut sebagai amanah.
Kekhalifahan di bumi merupakan amanah Allah yang dipikulkan kepada manusia. Dalam melaksanakan amanah, seharusnya dilaksanakan sesuai dengan kehendak yang memberi amanah. Allah memerintahkan manusia untuk memelihara dan memakmurkan kehidupan di bumi. Mereka diperintahkan hidup damai untuk saling mengasihi dan tidak boleh saling bermusuhan. Akan tetapi, dari masa ke masa banyak amanah Allah yang tidak dilaksanakan oleh manusia. Ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pertentangan dan permusuhan yang dilakukan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Dari pertentangan dan permusuhan itu, akan meningkatkan perilaku yang jahat. Misalnya, saling membunuh dan menghancurkan, kesewenang-wenangan, perkosaan terhadap hak asasi, tindak kejahatan, hasut, dengki, fitnah, khianat, dendam kesumat, dan perbuatan buruk lainnya. Tindakan manusia seperti itu merupakan penghianatan yang sangat nyata terhadap amanah yang telah diberikan Allah kepada manusia. Padahal penghianatan merupakan perbuatan zalim yang sangat merugikan manusia.
Konsekwensi dan tanggung jawab manusia terhadap amanah dalam kehidupan sehari-hari.
(a) Memelihara titipan. Artinya, apabila seseorang muslim dititipi oleh orang lain, misalnya barang berharga karena yang bersangkutan akan pergi jauh, titipan itu harus dipelihara dengan baik pada saatnya dikembalikan kepada yang punya utuh seperti semula.
(b) Menjaga rahasia. Artinya, apabila seseorang dipercaya untuk menjaga rahasia, apakah rahasia pribadi, keluarga, organisasi, atau rahasia negara, dia wajib menjaganya supaya tidak ketahuan orang lain yang tidak berhak mengetahuinya.
(c) Tidak menyalahgunakan jabatan. Artinya, jabatan adalah amanah yang wajib dijaga. Segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompoknya termasuk perbuatan tercela yang melanggar amanah.
(d) Menunaikan kewajiban dengan baik. Artinya, Allah memikulkan ke pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
(e) Memelihara semua nikmat yang diberikan Allah. Artinya, semua nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia adalah amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik. Umur, kesehatan, harta benda, dan ilmu wajib dipelihara.
3) Mengembangkan Sikap Berorientasi Masa Depan
Islam memberi kita pelajaran yang agung dan sempurna. Ajaran-ajaran Islam itu ajaran yang berjangka panjang, yang dijangkau bukan hanya masa kini, tetapi juga masa yang akan datang, yaitu kehidupan di akhirat. Manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan yang akan dihadapi nanti.
3. Moral dan Etika Menurut Filosof Muslim
Filsafat moral yang dianut oleh al-Razi, ia berendapat bahwa seorang filosof harus moderat tidak terlalu menyendiri, tidak terlalu memperturutkan hawa nafsu. Ada dua batas dalam hidup ini: batas tertinggi dan batas terendah. Batas tertinggi adalah batas yang tidak boleh dilampaui oleh para filosof, yaitu berpantang dari kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan melakukan ketak-adilan dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akal. Sedang batas terendah ialah memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan sakit dan memakai pakaian yang cukup untuk melindungi kulitnya, dan sebagainya. Di antara kedua batas itu, orang dapat hidup tanpa ketakterlayakan (Syarif, 1985).
Dalam al-Tibb al-Ruhani, ia membahas dalam dua puluh bab masalah pokok etika. Ia ingin menjelaskan apakah keburukan itu, dan bagaimana cara menghindarinya. Ia memuji dengan akal. Kemudian dalam medius res , ia bertanya tentang hawa nafsu. Ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang tiga aspek jiwa: nalar, kebengkengan, dan hasrat; dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Al-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, Karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan kekikiran dan ketamakan. Orang yang irihati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain memperoleh sesuatu kebaikan, meski tak keburukan pun menimpa dirinya. Bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul bukan hanya keirihatian tetapi juga permusuhan. Bila orang menyenangkan dirinya dengan yang dibutuhkannya, maka di dalam jiwanya tiada tempat bagi keirihatian.
Dusta adalah suatu kebiasaan buruk. Dusta dibagi menjadi dua; untuk kebaikan dan untuk kejahatan. Bila dusta dilakukan untuk kebaikan, maka hal itu terpuji; tetapi sebaliknya, apabila untuk kejahatan hal itu tercela. Oleh karena itu, nilai dusta terletak pada niat.
Sifat kikir tak dapat ditolak sepenuhnya. Nilainya terletak pada alasan melakukannya. Bila kekikiran tersebut disebabkan oleh rasa takut akan masa depan, maka ini tidaklah buruk. Bila hal ini dilakukan sekedar ingin memperoleh kesenangan, maka hal ini adalah buruk. Oleh karena itu, harus ada pembenaran terhadap kekikiran seseorang, bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, maka ini bukanlah kejahatan, tetapi jika sebaliknya, maka ini harus diperangi.
Kekhawatiran bila berlebihan, maka tidak baik, sebab keberlebihannya, tanpa alasan yang baik dapat menyebabkan terjadinya halusinasi, melankolik dan kelayuan dini.
Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka, sakit jiwa, dan raga.
Persetubuhan bila berlebihan tidak baik bagi tubuh, dapat mempercepat ketuaan, menjadikan lemah dan menimbulkan berbagai macam penyakit. Sebaliknya hal itu dilakukan sedikit mungkin, karena bila berlebihan menyebabkan lebih banyak akibat buruknya.
Sifat sembrono, dalam banyak hal juga mencelakakan. Mencari harta benda adalah baik bagi kehidupan hanya bila secukupnya. Tak perlu memburu-buru kekayaan yang melebihi kebutuhan kecuali sedikit simpanan untuk keperluan mendadak dan untuk keadaan buruk di masa mendatang.
Ambisi dapat menyebabkan berbagai keanehan dan bencana. Adalah sangat baik bila dapat diperoleh kedudukan lebih tinggi tanpa melalui berbagai keanehan dan hal-hal yang membahayakan; lebih baik meninggalkan atau menghindarinya.
Pada uraian terakhir al-Razi mencukupkan dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasakan sakit selamanya. Sebaliknya orang yang menggunakan nalar menghadapi rasa takut mati, karena bila ia mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi ke dunia yang lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapapun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.
Al-Razi tidak memiliki sistem filsafat yang teratur, tetapi melihat masa hidupnya, ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal di dalam Islam, dan mungkin di sepanjang sejarah pemikiran manusia. Ia adalah seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasan tanpa tending aling- aling. Ia mempercayai manusia, kemajuan, Tuhan Mahabijak, tetapi ia tidak mempercayai agama mana pun.
Lain halnya dengan filosof Ibn Bajjah, membagi tindakan menjadi tindakan hewani dan manusiawi. Tindakan hewani muncul dikarenakan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah, bersifat hewani sekaligus manusiawi.
Ruh yang mengandung hasrat yang menginginkan suatu objek yang bersifat kekal, keinginan itu disebut kesenangan. Dan ketiadaannya disebut kejemuan dan kesakitan. Siapa pun yang bertindak dengan cara ini dianggap sebagai telah melakukan tindakan hewani. Dan mereka yang bertindak melalui pendapat atau pikirannya bertindak sebagai cara manusiawi
Pendapat secara esensial kadang benar. Hal itu terjadi bila ia menginginkan yang kekal. Kadang ia secara kebetulan benar dan bukan secara esensi. Pendapat orang yang pandai, misalnya, adalah benar tentang objek-objek yang telah mereka bangun, tetapi tidak benar dalan diri mereka sendiri.
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki spekulasi di samping kemauan. Dengan memperhatikan sifat kemauan dan spekulasi, ibn Bajjah membagi kebijakan menjadi dua jenis, kebajikan formal dan spekulatif.
Kebajikan formal merupakan pembawaan sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi, seperti kejujuran seekor anjing, kebajikan ini tidak bernilai bagi manusia. Kebajikan spekulatif didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi. Tindakan yang dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi keinginan alamiah disebut tindakan ke-Tuhanan dan bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia. Yang baik menurut ibn Bajjah, merupakan eksistensi dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain, yang jahat baginya benar-benar tidak jahat.
Lain halnya dengan Tusi, menganggap bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin.
Konsep kebahagiaan utama itu pada hakikatnya berbeda dengan gagasan Aristoteles mengenai kebahagiaan yang hampa akan “unsur-unsur angkasa” dan juga tidak menunjuk kepada kedudukan kosmik manusia. Kebaikan-kebaikan plato menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan (yang berasal dari akal, kemarahan, dan hasrat), dan keterbedaan mereka menjadi 7, 11, 12, dan 19 spesies yang diberikann oleh ibn Miskawi, tampak menonjol dalam etika Tusi. Bedanya hanyalah bahwa dia mengurangi 19 spesies menjadi 12. tapi mengikuti perbedaan yang dibuat oleh Aristoteles pada jiwa akal teoritis, akal praktis, kemarahan, dan hasrat. Tusi mengambil kesimpulan yang adil dari kebudayaan akal praktis tanpa menyangkal pandangan Plato mengenai fungsi yang tepat dan selaras dari tiga kekuatan jiwa itu. Tidak seperti Aristoteles, tapi seperti ibn Miskawaih yang menempatkan kebijakan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan di atas kebajikan.
Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Bagi Galen, kejahatan merupakan suatu penyakit jiwa. Tusi berpendapat bahwa penyimpangan bukan hanya dari segi jumlah tapi juga dari segi mutu, dan untuk penyimpangan Tusi menanamkan perbuatan yang tidak wajar. Dengan demikian penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab yakni: (1) keberlebihan, (2) keberkurangan, dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.
Dengan menggunakan teori tiga sebab-akibat penyakit jiwa itu, Tusi menggolongkan penyakit fatal akal teoritis menjadi kebingungan, kebodohan sederhana, dan kebodohan fatal, yang membentuk keberlebihan, keberkekurangan, dan ketakwajaran
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau untuk suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, Tusi menyarankan agar orang yang bingung mestinya disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian penegasan dan penyangkalan, yaitu bertentangan, bersifat eksklusif, tidak berwujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin dapat teryakinkan bahwa jika satu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jiwa ia salah, tidak mungkin benar.
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walau dia bodoh memang dia tidak ketahui bahwa dia bodoh. Menurut Tusi penyakit ini adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
lanjut, diuraikan bahwa kemarahan, kepengecutan, dan ketakutan sebagai penyakit kemarahan yang menonjol. Beitu pula, kelebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sikap sembrono merupakan akibat dari kekurangan, kesedihan, dan kecemburuan merupakan ketakwajaran kekuatan.
Tusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang normal dari kehidupan moral, sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduknya yang menunjukkan sifat sosial kepada sesamanya. Tusi mengemukakan bahwa kehidupan kepertapaan merupakan suatu tahap dari kehidupan mistik. Meski bukan sufi, dia memotivasi agar tasawuf dibahasa secara rasional. Dia menggolongkannya menjadi enam tahap, dan setiap tahap, kecuali yang terakhir memiliki enam pernyataan moral sendiri.
Tahap pertama, yaitu tahap persiapan untuk perjalanan mistik yang mensyaratkan keyakinan kepada Tuhan senantiasa dalam keyakinan itu, keteguhan kemauan, kejujuran, perenungan akan Tuhan, dan ketulusan hati.
Tahap kedua terdiri atas penolakan terhadap hubungan duniawi yang menghalangi jalan mistik. Ada enam pokok dalam tahap ini, yaitu menyesali dosa, menghindar dari berkehendak, tidak bernafsu terhadap harta, keras terhadap hasrat tak rasional, menghitung-hitung kebaikan dan kejahatan, keselarasan antara tindakan dan niat, dan kesalehan.
Tahap ketiga, perjalan mistik ini ditandai dengan penyendirian, perenungan, ketakutan, dan kesedihan, ketabahan, dan kebersyukuran kepada Tuhan.
Tahap keempat, mencakup pengalaman sang pejalan sebelum dia mencapai tujuannya, yaitu bakti kepada Tuhan, keamat-inginan untuk berbakti, pengetahuan akan Tuhan, keimanan yang tak tergoyahkan kepada Tuhan, dan ketenangan jiwa.
Tahap kelima, terdiri atas kepasrah-dirian kepada Tuhan, kepatuhan, ketundukan kepada kehendak Tuhan, yakin akan keesaan Tuhan, upaya untuk bermanunggal dengan Tuhan, dan peleburan diri dalam Tuhan.
Tahap keenam, proses peleburan diri ke dalam Tuhan mencapai puncak dan sang penjajah, akhirnya hanyut dalam ke-Esaan tuhan.
C. Fokus
Fokus dalam kajian ini adalah ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, yaitu (1) kejujuran, (2) kehormatan, (3) kewaspadaan, dan (4) cinta kasih.
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Kejujuran adalah sifat jujur; ketulusan hati; kelurusan hati tokoh-tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata.
2. Kehormatan adalah pernyataan hormat saling menghargai; perbuatan yang mendatangkan rasa khidma; menaruh, memberi penghargaan, taksim, sopan; terhormat, mulia. Di samping itu, ketidak-sopanan yang terjadi pada pada tokoh dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata.
3. Kewaspadaan dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, yaitu keadaan keawasan, ketidaklengahan tokoh-tokoh cerita dalam kedua novel tersebut.
4. Cinta kasih dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata, ialah rasa kasih sayang yang kadang menimbulkan birahi dari rokoh, saling menyukai, dan saling menaruh kasih sayang tokoh dari kedua novel tersebut
E. Pembahasan
Bagian ini akan dijelaskan hasil analisis ajaran moral dalam novel Hubbu karya Mashuri dan novel Putri Cina karya Sindhunata. Kedua novel ini dikaji dan dibahas berdasarkan ajaran norma-norma moral atau etika
Berikut akan ditampilkan hasil analisis dari kedua novel tersebut yang didahului novel Hubbu karya Mashuri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
1. Analisis Novel Hubbu Karya Mashuri
a. Kejujuran yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kejujuran itu harus ditegakkan oleh setiap individu. Kejujuran harus dijadikan landasan pokok dan modal utama dalam kehidupan.
Kejujuran seperti yang terungkap dalam novel Hubbu adalah hal yang harus dijunjung tinggi, baik jujur terhadap sesama manusia (dalam arti umum), diri sendiri, orang tua, maupun anak. Dalam novel tersebut, kejujuran merupakan hal yang dijunjung tinggi oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Jarot sewaktu duduk di Sekolah Jawa sangat benci perempuan. Hal ini jujur diakuinya, karena ketidaksenangnya dengan anak perempuan sehingga kadang dijadikan kambing hitam yang menyebabkan hampir setiap hari ada saja laporan ke ibu rumah dari anak perempuan. Ada yang mengaku bengkak lengannya, ada yang mengaku rambutnya rontok, atau tasnya ada bangkai cecaknya, atau ada kembang kemboja bercampur tanah … (Mashuri, 2007: 29).
Kejujuran tokoh Jarot terlihat sewaktu ustas yang disapa Pak Ali bertanya kepada muridnya siapa yang menonton wayang semalam, Jarot mengacungkan telunjuk karena memang menyaksikan pertunjukan wayang. Ternyata bukan hanya Jarot yang menonton termasuk pula: Somad, Juned, Sadali, dan Sanusi (anak Pak Ali)… Jarot mengakui bahwa pertunjukan wayang yang pertama kali diikuti sampai pagi. Mengapa hal tersebut dilakukan karena terkesimak dengan lakon Bambang Sumantri. Tokoh yang baik, tapi sayang ia membunuh adiknya sendiri (Sukrasana). Padahal adiknya ingin mengabdi kepada abangnya, ingin membuat mudah menjalani segala rintangan atau ujian yang dibuat Prabu Arjuna Sasrabahu. Walau demikian, Jarot mengakui tetap simpatik pada Sumantri tak berhenti, walau ia dikutuk oleh Sukrasana, sebelum sosok ganjil ini mati oleh panah abangnya sendiri… (Mashuri, 2007: 33).
Sewaktu duduk di sekolah lanjutan, secara jujur diakui telah jatuh cinta pada salah satu ibu guru muda. Jatuh cinta yang tidak ikhlas membawanya pada petualangan yang tidak ikhlas pula. Jarot berkeinginan merebut hatinya saja, karena untuk merebutnya jelas tidak mungkin, guru muda itu sudah bersuami dan berputra satu, lagi pula Jarot masih ingusan… sebelumnya ia mengaku telah jatuh cinta pada kakak kelasnya.
Kejujuran pun tergambar ketika Jarot diperintahkan ke ndalem atau rumah kiai karena mungkir mengaji yang dipesan melalui Salim. Jarot pun langsung ke ndalem menemui kiai pengasuh pondok. Jarot mengakui bahwa ketidakhadiranya mengaji karena ingin memancing. Kiai langsung tertawa, menepuk pundak Jarot dan menyuruhnya kembali ke pondokan sambil berkata “Besok kalau memancing wajib dapat ikan!” (Mashuri, 2007: 112).
Sepeninggal putri enam bulan yang lalu dan terantuk labirin ingatannya “Sastra Gendra” ia merasa berjalan tersesat di belantara. Kadang ia seperti Begawan Wisrawa, seorang tokoh wayang Purwa dalam lakon Lokapala, seorang pertapa yang harus memungut buah-buah kebusukan, karena sudah memperhitungkan langkah dalam menapaki jalan kebenaran (Mashuri, 2007: 107).
Ungkapan di atas, menyampaikan bahwa Jarot begitu persis dengan Wisrawa. Dia merasa kematian Putri, juga hengkannya Istiqamah, itu adalah korbannya, sikap kerasnya. Atas nama kebaikan yang berakhir dengan perpisahan.
Savitri dengan jujur mengakui bahwa haidnya telat, walaupun tidak ada hubungannya dengan Jarot dia memberitahukan persoalan yang paling intim dari dirinya. Ia berkisah soal dirinya dan Teguh, sebagaimana kutipan di bawah ini.
“Kami memang sering tidur bareng… kuhitung lebih dari tujuh kali. Setiap kali begitu, ia selalu ingin mengeluarkannya di luar. Aku bilang, kenapa di luar, toh aku sudah divonis, aku bakalan tak punya momongan, karena aku pernah dioprasi kista di rahimku” (Mashuri, 2007: 126).
b. Kehormatan yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kehormatan adalah masalah prinsipil bagi setiap orang. Karena itu, ia perlu dijaga dengan penuh tanggung jawab. Masalah kehormatan dapat dilihat pada Jarot begitu teguh mempertahankan kehormatannya.
Ia terpaksa menebus rasa malu dengan memacu diri, baik di sekolah Arab maupun di sekolah Jawa. Keduanya menyisakan aib buatnya. Sebagaimana uraian berikut ini:
“… Bisa dikatakan inilah langkah awal dari pemberontakanku. Tak ada keluarga besarku ke sekolah Jawa lanjutan, apalagi negeri. Meski begitu malamnya, aku masih tetap berkutat hapalan-hapalan. Karena pelajaran nahwu-shorof belum begitu lancar, aku menebusnya di surau atau di langgar yang dibentuk semacam sekolah lanjutan dari Sekolah Arab Dasar: madrasa. Aku pun bergaul dengan santri yang mondok . Jadi posisiku masih sama dengan saat masih sekolah dasar: bersekolah rangkap (Mashuri, 2007: 35).
Di samping Jarot mempertahankan kehormatannya menebus rasa malu, ia pun melalaikan kehormatan keluarga akibat berguru kepada Wak Tomo yang menyebabkan keluarga terasa tercoreng aib. Ungkapan kejengkelan ayah Jarot dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
….“Meskipun kau sembunyi-sembunyi, aku tetap tahu kau berguru kepada Wak Tomo. Mari hadapi aku, aku juga pernah berguru pada seorang kiai di Pilang, ilmu malaikat…..” ”Aku sendiri tidak tahu bagaimana mulanya tiba-tiba ayah menendang ulu hatiku dengan tendangan punggung kaki. Mungkin aku tetap berdiri tegak, yang dianggap sebagai kuda-kuda dan siap menerima serangan, sehingga kaki yang kaku itu langsung menghajarku. Tentu saja aku limbung dan ambruk. Aku tetap tegak bukan karena menantang!....” (Mashuri, 2007: 42).
Demi kehormatan, keluarga besar Alas Abang bersidang,
Jarot menjadi terdakwa. Dalam sidang itu, Jarot didesak agar melucuti apa yang telah diberikan Wak Tomo karena belum waktunya belajar begituan. Serta apa yang dilakoni Wak Tomo menyimpang dari ajaran kebenaran… (Mashuri, 2007: 43).
Lain halnya dengan tokoh Putri, bukannya menjunjung tinggi kehormatan, melainkan mencampakkan kehormatannya. Ungkapan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Putri berkisah tentang Roi pacar terakhirnya yang katanya mampu membuat dia menjauhi kehidupan. Pada Jarot, Putri mengobral segala rahasianya, soal ia tak lagi perawan. Karena sudah melakukan hubungan seks dengan pacar pertamanya, lalu dengan beberapa pacarnya kemudian, soal keterlibatannya dengan narkotika, soal kehidupan malamnya yang selalu menjadi persoalan yang tak kunjung habis, sekaligus sebagai pelariannya yang paling tepat dari kondisi rumahnya” (Mashuri, 2007: 60).
“Ketika aku kelas tiga SMP sudah tiga kali aku tidur dengan lelaki berbeda ….”
“Ya. Pagi tadi, saat sedang nonton TV, tiba-tiba aku pengen. Iseng-iseng aku telepon Roy, ternyata dia ada di rumah dan mau datang. Ketika aku ajak gituan , nyosor aja dia….” (Mashuri, 2007: 80).
Kisah hubungan Putri dan Roy berakhir secara naas. Sebuah harian kriminal di Surabaya menulis headline yang sangat besar dan mencolok: “Sepasang Kekasih Sedang Mesum Kecebur Jurang Songgoroti”. Kedua pasangan itu memang dalam kondisi tidak utuh….(Mashuri, 2007: 90`).
Ungkapan-ungkapan tersebut, memperlihatkan sosok perempuan masa kini. Jiwanya modern, terbuka dan tak risih jika berhadapan dengan pria. Untuk mengungkapan perasaannya pun ia tak perlu sembunyi-sembunyi, tak ada kesan takut atau ragu.
Sebuah surat tertanggal 7 Juli 1997 menganjurkan Jarot kembali. Karena merasa dirinya belum pantas untuk kembali ia mempertahankan tekat demi kehormatannya memutuskan untuk tidak kembali. Luapan perasaan Jarot dapat dilihat pada uraian berikut.
“Haruskah aku pulang sedini ini, sedang mimpi dan harapan masih berpusar dan berkelindan di otak dan perasaan? Tapi aku merasa masih belum menemukan apa-apa, bahkan belum mencoba seperti Bima, anak kedua Pandawa, untuk menggapai puncak gunung dan membogkap dasar samudra. Aku belum seperti Imam Nawawi Al- Bantani yang menunjukkan karya-karya terbaiknya. Aku belum apa-apa… (Mashuri, 2007: 110).
c. Kewaspadaan yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Kewasapadaan dalam mengarungi hidup tidaklah semudah membalik telapak tangan. Riak gelombang kehidupan datang dari setiap arah baik yang kecil maupun yang besar selalu menghadang dalam perjalanan hidup manusia. Hal ini pun terjadi pada Jarot.
“Kini Jarot jauh dari Alas Abang, sedang duduk di bangku kuliah: ketika ingatannya terantuk ungkpan “Sastra Gendra” dan teman-temannya masih melaju degan melafalkan: aiu, babibu, tatitu…, perasaannya seakan terombang-ambing tak menentu. Kuliah pun dirasakan sangat menjemukan, terdampar di negeri asing, tapi negeri itu dia kenal. Sebuah kontradiksi yang selalu hadir di hatinya. Dia pernah mendengar ungkapan Sastra Gendra, pernah berupaya merujuk dalam keseluruhan hidup ke arahnya, tapi tak kunjung tergapai… (Mashuri, 2007: 16).
Hubungan antara Jarot dan Istiqamah diwarnai dengan janji setia untuk mengusik kewasapadaan mereka untuk tetap utuh walau berpisah tempat. Keduanya berikrar janji akan saling menunggu, meski batin Jarot dipenuhi keraguan karena tak yakin dan ragu berhubungan dengan Priangan akan langgeng menuju mahligai. Jarot tak tahu kenapa dia meragukan hubungan yang sudah dibangun dengan susah payah dengan resiko harga diri dan dipermalukan bila ketahuan. Ungkapan perpisahan tampak pada kutipan berikut.
“Malam semakin pekat. Sebelum kami berpisah, kukecup keningnya, lalu kukatakan : “aku akan tetap mencintaimu”. Sebuah pernyataan dan tindakan yang baru pertama kali kulakukan padanya. Diam-diam hatiku berdoa: semoga bukan yang terakhir kali (Mashuri, 2007: 58-59).
Jarot mengaku memang belum mengerti jawa sepenuhnya. Sebenarnya ia pun tidak peduli, karena ia tidak punya sangkut-paut dengan hal itu. Namun apa yang diungkap Wak Tomo lebih dari sekedar garis yang harus ia runut ujung pangkalnya. Dalam dirinya seperti terpasang sebuah pisau yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, bila ia tidak hati-hati…”Sungguhkah aku orang jawa dan kenapa batinku selalu mempersoalkannya (Mashuri, 2007: 106).
Ungkapan tersebut menggambarkan Jarot seakan-akan tidak punya pegangan, tak ada rambu yang jelas ke mana ia harus bergegas, kesengsaraan terasa, menjerit sekuat tenaga, tetapi jeritannya hanya tangis anak kecil di tengah rimba raya, di tengah belantara.
e. Cinta Kasih yang Terdapat dalam Novel Hubbu Karya Mashuri
Konsep cinta kasih sarat dalam novel tersebut, baik cinta kasih dengan sesama manusia, dan antara orang tua dengan anak. Hal demikian terlihat cinta kasih kedua orang tua , kakek (embah) kepada anak cucunya, Jarot.
Perlakuan kakek (Embah Adnan) kepada cucuya Jarot tidak terbatas. Dapat dilihat sewaktu Jarot membakar merang yang berhambur, langgar hampir terbakar dan dikepung atau disanggah nyala api dari bawah. Embahnya cepat bertindak melompat dari jendela dengan ketinggian empat meter langsung mengibaskan sorban ke arah api. Api pun padam. Bukannya dimarahi malah embahnya menyapa dengan perkataan “Anak syuhadak” (Mashuri, 2007: 17).
Embah Adnan, menaruh harapan besar pada cucunya yang paling ia cintai. Ketika embahnya wafat Jarot masih kecil sehingga tongkat estafet pemangku warisan jatuh pada Mas Amin walau hanya sementara, sebab calon utama tetaplah Jarot. Ungkapan yang membuktikan Jarot adalah cucu yang dicintai, disayangi oleh keluarga terutama Embah Adnan, dapat dilihat kutipan berikut.
“… Bisa kamu bayangkan, bagaimana perasaanku sebagai kanak-kanak saat melihatnya menjadi cucu yang paling dikasihi dari orang yang paling disegani oleh kami, Mbah Adnan (Mashuri, 2007: 194).
Kutipan tersebut adalah percakapan Aida dengan Jabir. Sewaktu Aida berkunjung ke Alas Abang mencari tahu keluarga ayahnya.
Cinta kasih seorang ibu kepada anaknya tidak pernah pupus di telan waktu. .. Jarot menangis karena harapannya terputus sewaktu api dipadamkan oleh embahnya. Ibunya berusaha mendiamkan yang terus menangis.
“.…waktu mengaji, shalat, dan kesekolah perhatian ibunya tidak pernah terlupakan. Sang ibu menyusul anaknya di manapun berada. Di tempat permainan, di sungai, atau di mana saja…. Sampai kepada jalur yang akan ditempuh sang anak ke sekolah ibu menuntunnya. Demikian pula hapalan putranya tetap diingatkan.
Terlihat kecintaan masyarakat Alas Abang kepada Embah Adnan, sewaktu meninggal tidak terhitung banyaknya penduduk yang datang melayat. Shalat jenazah saja mencapai 151 secara berjamaah. Sepanjang jalan desa dipenuhi orang seakan-akan menjelma lautan manusia. Banyak orang berebut membawa keranda jenzah.
Di dalam novel Hubbu diwarnai pula cinta kasih yang dipadukan dengan sahwat yang tidak dapat dielakka sebagai manusia normal dalam istilah agama Islam merupakan sunnatulalah laki-laki mencinai perempuan demikian pula sebaliknya. Ungkapan cinta kasih yang dialami dua anak manusia yang saling mencintai dapat dilihat pada ungkapan berikut.
“Saat usiaku 17, Istiqamah memberiku kado yang unik; sebuah Alquran kecil. Aku tersenyum saat menerimanya. Dia juga tersenyum, giginya yang renik, pipinya lesung pipit, juga wajahnya putih bersih membuatku tak dapat berkata apa-apa. Bahkan aku tergagap saat berucap terima kasih. Dia tak menyalamiku untuk mengucapkan selamat, tetapi hanya lewat lisan. Sebuah tindakan yang kupandang terlalu kaku. Ia mengatakan, salaman dengan laki-laki yang bukan muhrim itu tak boleh, haram”. “Kalau salaman saja memang tak boleh. Coba kalau dilanjutkan dengan ciuman pasti boleh,” gurauku
Demikianlah cinta, terlalu manis untuk dilupakan dalam hidup yang demikian singkat. Meski hanya sekedar menatap, saling berkesah dalam surat, toh mampu melebihi seluruh getar hidup yang berdegup di tubuh…(Mashuri, 2007: 194).
Jalinan cinta kasih Jarot dengan Istiqomah belum berakhir, Putri pun hadir dalam kehidupan Jarot. Sebelumnya hanya teman diskusi. Putri hadir dengan segala pernik hidupnya yang terbilang baru buat Jarot sekaligus sebagai tantangan. Kutipan cinta kasih Jarot bersama Putri dapat dilihat berikut ini.
“Kamu sungguh mencintaiku?” tanya Putri … aku terdiam. Kurasakan hawa dingin naik tak diundang, merasuk seluruh persendian. Membekukan saraf-sarafku, sehingga aku tak bisa langsung merespon pertanyaan Putri… “ Kamu sungguh mencintaiku?” tanyanya lagi. “Kukira aku sudah berkisah semua padamu, tentang kisah cinta dan perjanjianku. Aku tak mahir untuk berbohong”…. “Tapi kamu ini laki-laki aneh…”Tapi hanya tanganku yang sering kau peganng. Bahkan kau tak pernah menciumku, meski kita hanya berdua tak ada siapa-siapa….” (Mashuri, 2007: 64-65).
Lain halnya kisah cinta kasih antara Jarot dengan Agnes. Perkenalan mereka diawali keseringan Agnes mengantar makanan yang dimanfaatkan untuk mengadu. Walau dalam hal ini Jarot sendiri sebenarnya tidak setuju….karena seringnya bertemu, akhirnya terjalinlah cinta kasih keduanya yang selama ini Jarot berusaha untuk tidak demikian… Suatu malam … Agnes tidur di rumah kontrakan Jaror. Malam itu juga terjadi sesuatu yang diluar batas kesadaran yang merupakan musibah bagi Jarot. Cuplikan berikut ini memperjelas apa yang dialami keduanya.
“Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan semalam. Memang semalam, aku merasa seperti mimpi basah” … Setiap aku memandang Agnes, aku seakan-akan ditarik oleh perasaan yang tak berujung… mungkin ini namanya cinta, tapi aku juga tak berhenti menyangsikannya. Jika aku mencintai Agnes, kenapa cinta itu berujung untuk merengkuhnya (Mashuri, 2007: 165-167).
Demikian ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri, di mana ajaran moral ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang pada hakikatnya berupa tata cara berkehidupan dan menentukan sesuatu yang ideal.
2. Analisis Novel Putri Cina Karya Sindhunata
a. Kejujuran yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Sama halnya kejujuran yang terdapat dalam novel Hubbu merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan landasan pokok dalam menegakkan kehidupan. Kejujuran dalam novel Putri Cina pun demikian pula halnya.
Kejujuran seorang abdi yang bernama Dora (abdi Ajisaka) rela mati mempetahankan amanah yang diberikan kepada rajanya untuk tetap tidak memberikan kepada siapa pun keris pusaka titipan rajanya. Ia menolak memberikan keris itu kepada Sembada karena sesuai pesan Ajisaka sendiri (Sindhunata, 2007: 92).
Tejaningrat dalam lakon Geger Mataram ialah anak Raja Mataram, ia menampakkan ketidak-jujurannya terhadap kekasihnya (Roro Hoyi) demi tahta, demi kekuasaan yang dijajikan oleh ayahnya… “Tejaningrat lalu merayu Roro Hoyi dengan nyanyian yang penuh dengan kata-kata cinta. Roro Hoyi mendekatinya, dan memasrahkan segenap dirinya, jiwa dan raganya. Ia lalu menjatuhkan diri kepelukan Tejaningrat, dan menyatakan cintaya. Pada saat itulah Tejaningrat menusukkan kerisnya. Roro Hoyi menjerit, apakah salahnya sampai Tejaningrat tega menghabisi hidupnya
“Kangmas, tidakkah aku mencintaimu, dan hanya padamu kuberikan seluruh diriku?... lalu ia menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuan Tejaningrat… ia terkejut… Nimas, maafkanlah kekejamanku… sambil menarik kerisnya dari tubuh kekasihnya” (Sindhunata, 2007: 92).
Gurdo Paksi dengan jujur mengakui tak mampu melindungi keselamatan ipar-iparnya dan kaum istrinya. Padahal sebagai senapati kerajaan ia mesti melindungi semua orang. Jawa maupun Cina. Ternyata ia ta tak mampu menjalankan semuanya. Ungkapan kejujuran Gurdo Paksi atau Setyoko perihal ketidakmampuan membantu atau membela kaum istrinya dapat dilihat pada uraian berikut.
“Giok Tien, aku adalah prajurit, bahkan aku pernah menjadi senapati. Tapi aku telah gagal menjalankan tugasku sebagai senapati, lebih-lebih dalam melindungi kaummu. Maka apa gunanya aku memakai semua tanda kehormatan keprajuritan ini? Aku harus mengakui, seperti Tejaningrat tak berhasil menyelamatkan Roro Hoyi dari kekejaman Amangkurat sebagai senapati, aku juga tak berhasil menyelamatkanmu dari kekejaman yang pecah terhadap kaummu di negeri Pedang Kemulan ini. Maka apa gunanya aku menjadi prajurit bahkan pernah menjadi panglima tertinggi (Sindhunata, 2007: 296-298).
b. Kehormatan yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Dalam novel ini terlihat tokoh bidadari yang ingin dipersunting oleh Batara Guru. Bidadari itu bernama Dewi Luhwati. Untuk mempertahankan kehormatannya Dewi Luhwati bersedia dinikahi dengan syarat;
Ia mau diperistri dengan laki-laki yang tidak pernah membungkuk atau menyembah merasa dirinya adalah raja segala dewa. Syarat itu bagi Batara Guru adalah mudah… suatu hari ia mau merayu Luhwati… Batar Guru datang dan tak dapat menahan birahinya. Ia pun membungkuk padahal ia adalah raja para dewa yang seharusnya berdiri. Gagallah ia menepati syarat Luhwati (Sindhunata, 2007: 89).
Kutipan tersebut, mengamanahkan kepada pembaca, seorang bidadari yang tidak bersedia dipersunting oleh raja. Untuk mempertahankan kehormatannya ia mengajukan syarat walaupun syarat itu mudah namun pelaksanaannya sulit. Di samping itu, kutipan tersebut mengamanahkan bahwa syahwat dapat menurunkan martabat seseorang. Hal ini terlihat kegagalan Batara Guru ia membungkuk dihadapan Luhwati, padahal dia adalah raja para dewa yang seharusnya berdiri di atas segala titah lainya.
Senapati Gurdo Paksi rela mencampakkan kerisnya demi kehormatan sebagai perajurit yang bersumpah tidak akan mengindahkan perintah rajanya untuk membasmi orang-orang cina karena mereka tiada salah. Gurdo Paksi menyerahkan keris pusaka bukan berarti mengancam raja. Namun ia akan mengamankan rakyat dengan caranya sendiri. Untuk jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Hamba tahu Sinuwun. Tapi maafkanlah bila hamba menyerahkan kembali pusaka ini kepada Sinuwun. Pusaka ini terlalu banyak menelan darah. Jika pusaka ini masih ada di tangan hamba, hamba selalu terdorong untuk menyelesaikannya soal negeri ini dengan pertumpahan darah lagi. Seperti hamba katakana, kali ini hamba akan mengatasi persoalan di negeri ini bukan cara Paduka usulkan. Hamba akan menyelesaikannya dengan cara hamba sendiri. Dan itu bukan dengan cara menumpahkan darah rakyat yang tak bersalah. Itulah sebabnya hamba tak mau terkena pancaran Kyai Pesat Nyawa yang selalu haus darah. Karena itu sudikah Sinuwun kembali menerimanya,” kata Gudo Paksi” (Sindhunata, 2007: 140-141).
Giok Tien rela meninggalkan dunia panggung ketoprak demi menjaga kehornatan keluargnya. Ia sendiri memutuskan, sebaiknya ia mengundurkan diri dari panggung. Keputusan ini tentu menjadi kekecewaan bagi banyak penggemarnya. Semua teman-temannya banyak yang membujuknya agar tidak jadi mundur. Toh Giok Tien tetap teguh pada keputusannya. Seperti ungkapan berikut ini.
“Semua ada waktunya, ada waktu naik, ada waktunya mundur. Sekarang memang adalah waktunya bagiku untuk turun panggung. Apalagi aku selalu ingat akan pengalaman dan kata-katamu Yu. Tidakkah kamu sendiri bilang hati-hati bila sedang berada di puncak kehebatanmu… sebab disitulah berada titik kejatuhanmu. (Sindhunata, 2007: 215).
Meninggalkan panggung, demi menjaga nama baik suaminya. Panggung pentas memang wilayah yang penuh resiko. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, tentu juga akan mencemarkan nama suaminya, yang kini sedang diberi pelbagai kepercayaan oleh Negara.
Prabu Amurco Sabdo, mencampakkan kehormatannya di tengah kekuasaannya yang sedang tergugat dan terancam. Ia menggagahi istri Senapati dengan berbagai dalih sehingga Giok Tien percaya dan meragukan, merendahkan cinta suaminya. Sementara menonjolkan diri seakan hanya dialah yang bisa melindungi istri senapati. Ia merasa senang bila perempuan yang di depannya tak berharap banyak dengan suaminya.
“… Prabu Amurco Sabdo tidak lagi kuasa menutupi perasaannya. Ditatapnya Gik Tien dalam-dalam… Prabu teringat, kata orang, bibir tipis itu justru menyimpan daya keliaran bercinta yang luar biasa. Hidungnya memang tidak mancung, tapi mungil dan indah… Memandang wajahnya hati lelaki akan menggigil dan mendambakan kehangatan napasnya. (Mashuri, 2007: 246).
c. Kewaspadaan yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Putri Cina sangat khawatir akan nasib putranya (Raden Patah) dan dirambati perasaan bersalah;
Kesedihan Putri Cina bertambah , karena anaknya telah memerangi ayahnya sendiri. Sebab, tegaknya Kerajaan Demak Raden Patah telah menggulingkan Prabu Brawijaya dan Majapahit… Hati Putri Cina gundah dan khwatir akan datangnya malapetaka, karena betapa pun ia cintanya pada anaknya, ia seakan lupa bahwa ia pernah kecewa akan anaknya yang telah menyia-nyiakannya…. (Sindhunata, 2007: 35- 37).
Karena dirundung kesedihan dan rasa khawatir, akhirnya Putri Cina ke Banyuwangi mencari abdinya (Sabdo[alon – Nayanggenggong). Setelah Putri Cina bertemua dengan abdinya, ia pun menyampaikan kehkawatirannya seperti ungkapan di bawah ini.
“Aku hendak bertanya pada kamu berdua, bagaimana caranya aku bisa melepas kesedihan dan ketakutanku, karena anakku telah berperan melawan ayahnya? Padahal kamu tahu, menurut ajaran leluhurku, tak bolelah seorang anak melawan orang tuanya, karena kelak kemudian hari, ia akan terkena bencana. Dan jangan-jangan aku juga takkan luput dari bencana itu, karena aku adalah ibu yang melahirkannya (Sindhunata, 2007: 45).
Kewaspadaan perlu tetap dijaga. Seperti halnya seorang pemimpin jika tidak selalu waspada dalam melangkah, maka ia akan terombang-ambing dalam memimpin.
Pada awalnya Kerajaan Medang Kamulan Baru amat dicintai rakyatnya, karena kepribadian rajanya yang baik… namun akhirnya rakyat merasa tersiksa karena ulah raja beserta keluarga dan pembantu-pembantunya… diduga karena rajanya tidak berhati-hati dan waspada, bahwa kekuasaan itu adalah kebusukan yang setiap saat bisa menelikungnya untuk menjadi jahat. Seharusnya, makin besar kekuasaan makin harus hati-hati tidak diperalat.. ternyata Prabu Amurco Sabdo kurang waspada, ia membiarkan dirinya diseret dan diperalat oleh kekuasaannya. .. kekuasaan telah membuat ia menjadi raja yang serakah.. kekuasaan yang membuat ia kehilangan akal… ternyata ia mempercayai hal-hal yang gaib (Sindhunata, 2007: 98-99).
Putri Cina pun waspada karena banyak kaumnya yang mengikuti begitu saja kehendak Prabu. Mereka banyak diberi kesempatan dengan tujuan untuk membantu Prabu dan keluarganya memperkaya diri… mereka tidak sadar, bahwa mereka dijadikan sandaran untuk menambah nikmat prabu dan keluarganya… Putri Cina gelisah mengapa kaumnya tidak mau belajar dari sejarah masa lalu yakni kemakmuran pernah terjadi yang akhirnya membinasakan mereka.
Di rumah Senapati Gurdo Paksi, istri dan kedua kakaknya sedang dicekam ketakutan, sebab mereka adalah orang cina. Gelisahan mereka tampak pada percakapan berikut ini.
“Giok Tien, mengapa nasib ini harus menimpa kita? Tanya Giok Hong
“Cik, aku sendiri juga tidak tahu… tapi suamimukan senapati di Negara ini. Masa ia tidak bisa melindungi kita sambung kakaknya Giok Hwa. “Cik, apa dalam keadaan demikian kita masih bisa mengharapkan perkecualian? Rasanya kita menunggu waktu. Kangmas Gurdo adalah prajurit. Ia hanya menjalankan perintah . Mungkin bukan dengan tangannya sendiri , tapi dengan tangan bawahannya ia bisa saja meniadakan kita semua”, jawab Giok Tien (Sindhunata, 2007: 153).
d. Cinta Kasih yang Terdapat dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata
Sebagaimana halnya konsep cinta kasih yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri. Dalam novel Putri Cina pun diwarnai cinta kasih.
Konsep cinta kasih yang terdapat dalam novel ini dapat dilihat pada Giok Tien dan kedua kakaknya masih remaja ayah mereka sudah meninggal. Tanda kecintaan ayah pada keluarganya ia meninggalkan sebuah toko pracacangan yang menyediakan kebutuhan dapur kepada istri dan ketiga anaknya.
Ibu mereka (Siok Nio) senang nonton ketoprak. Paling tidak seminggu sekali menyempatkan diri untuk menonton, ia selalu membawa anak-anaknya teruta putri bungsunya Giok Tien. Karena sering nonton akhirnya Giok Tien tertarik untuk ikut bermain. Mulanya ia ragu untuk menyampaikan maksud kepada mamanya yang di luar dugaannya mamanya pun menyetujui maksud anaknya. Ungkapan persetujuan mamanya untuk ikut main ketoprak dapat dilihat berikut ini.
“Mengapa tidak? Mama sendiri suka ketoprak… sungguh mama rela? Tanya Giok Tien setengah tak percaya. “Yah Mama berharap kamu bisa menjadi bintangnya ketoprak. Dan Mama sangat bangga dan bahagia, bila suatu saat nanti, Mama bisa melihat kamu main dalam lakon Sam Pek Eng Tay” (Sindhunata, 2007: 158).
Percintaan Setyoko dengan Giok Tien di awali sewaktu Giok Tien memerankan Roro Hoyi dalam lakon Geger Mataram. Ketika melihat Giok Tien sebagai Roro Hoyi ia tidak dapat menahan isi hatinya… Giok Tien pun demikian sewaktu bertemu langsung dengan Setyoko hatinya berdebar-debar seakan-akan yang dihadapannya adalah Pengerang Tejaningrat…
“Giok Tien aku Setyoko. Aku bukan Pangerang Tejaningrat. Tapi bolehkan aku mencintaimu, seperti Pangernag Tejaningrat mencintai Roro Hoyi yang kau perankan tadi?”... “Mengapa kau tiba-tiba mau mencintai aku?” “Tidak tiba-tiba… Perihalku sama dengan Pangerang Tajaningrat yang sudah lama memendam cinta Roro Hoyi. Karena takut pada Sultan Amangkurat ia tak berani mengatakan isi hatinya… Tapi setelah menyaksikan kau tampil malam ini, aku memberanikan diri mengutarakan isi hatiku ... sungguh sudah lama aku menaruh hati padamu, tapi baru malam inilah aku mengatakan isi hatiku yang sesungguhnya” (Sindhunata, 2007: 194).
“…sungguh aku mencintaimu, dan ingin mencintaimu terus seutuh-utuhnya dan aku akan melindungimu. Untuk itu aku berani mengorbankan apa saja, termasuk kedudukanku, jika aku memang mempunyai (Sindhunata, 2007: 196).
Giok Tien memberanikan diri menatap pandangan mata lelaki di hadapannya itu. Entah kenapa pandangan itu terasa memberinya rasa aman dan tulus… makin hari Giok Tien makin tahu Setyoko memang amat mencintainya. Ia sendiri tak dapat mengingkari, betapa Setyoko memang lelaki yang didambakan.
Ketulusan cinta kasih Eng Tay bersama Sam Pek tidak akan pernah putus. Kalau tidak ada pernikahan dalam kehidupan tapi pasti bisa menikah dalam kematian. Hal tersebut dibuktikan oleh Eng Tay sewaktu akan diarak-arak ke pesta perkawinan ia mengajukan syarat. … salah satu syarat dikabulkan
“…iringan-iringan itu sampai ke Gunung Selatan…lalu segera menanggalkan busana pengantinnya. Tampak ia sekarang mengenakan busana berkabung… maka Eng Tay pun mencabut cunduk yang ia kenakan… ditusuk-tusuknya cunduk itu ke gundukan tanah… tiba-tiba tanah kuburan itu terbuka… EngTay gembira dan teringat akan surat Sam Pek “Kita berdua memang tidak dapat menikah dalam kehidupan, tapi kita pasti bisa menikah dalam kematian”. “Eng Tay merasa kematian ternyata tak dapat memisahkan cinta. Lalu tanpa ragu ia pun segera terjun ke dalam sana. Tanah kuburan tertutup kembali seperti semula (Sindhunata, 2007: 210).
F. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ajaran moral yang terdapat dalam novel Hubbu karya Mashuri adalah sebagai berikut:
a. Kejujuran dapat dilihat Jarot mengakui ketidaksenangannya pada perempuan; jujur mengakui pernah menonton wayang yang notabena adalah haram; mencintai guru muda yang telah berkeluarga; jujur mengakui ketidakhadirannya mengaji karena memancing; seakan hidupnya seperti Begawan Wisrawa. Selain Jarot, Savitri juga jujur mengakui keadaaannya
b. Masalah kehormatan Jarot menebus rasa malu dengan memacu diri; Jarot melalaikan kehormatan akibat berguru ke Wak Tomo; demi menjaga kehormatan keluarga Alas Abang bersidang; Jarot mengakui bahwa baginya belum pantas ke Alas Abang. Lain halnya dengan Putri mencampakkan kehormatannya.
c. Kewaspadaan dialami Jarot seakan-akan terombang-ambing tak menentu ingatannya tertuju pada “Sastra Gendra”; hubungan Jarot dengan Istiqamah diwarnai dengan kekhawatiran; Jarot seakan-akan tidak punya pegangan.
d. Cinta kasih dalam novel Hubbu adalah : (1) cinta kasih seorang kakek (Embah) kepada cucunya; cinta kasih ibu kepada anaknya; cinta kasih masyarakat kepada pemimpinnya, (2) cinta kasih yang diwarnai syahwat (pasangan muda-mudi) antaranya: kisah cinta kasih Jarot dengan Istiqamah; kisah cinta kasih Jarot dengan Putri; kisah cinta kasih Jarot dengan Agnes.
e. Kejujuran yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata terlihat kejujuran seorang abdi (Ajisaka) rela mati memepertahankan amanah; gegernya Mataram karena ketidak jujuran rajanya; Gordo Paksi jujur mengakui tak mampu melindungi ipar-iparnya dan kaum istrinya.
f. Untuk mempetahankan kehormatan Dewi Luhwati membuat isyarat untuk menikah dengan Batara Guru; Gurdo Paksi rela mencampakkan keris demi mempertahankan kehormatannya; Giok Tien meninggalkan panggung demi menjaga kehormatan keluarganya.
g. Putri Cina khawatir dengan nasib putranya (Raden Patah); Putri Cina khawatir disebabkan putranya memerangi ayahnya; karena ketidakhati-hatian dalam memimpin akhirnya kerajaan Medan Kamulan hancur; Giok Tien dan kedua kakaknya khawatir akibat penjarahan kepada orang cina.
h. Tanda kecintaan ayah Giok Tien mewariskan tokoh kepada keluarganya; Sok Nio sangat mencintai anaknya; kisah cinta Setyoko dengan Giok Tien; ketulusan cinta kasih EngTay kepada Sam Pek tidak pernah pupus sampai mereka berdua meninggal dunia.
G. Tanggapan
"Hubbu" yang berarti 'Cinta' dalam bahasa Arab, ditulis oleh Mashuri pendatang baru dalam dunia novel tapi telah cukup lama berkecimpung dalam puisi. Gramedia menerbitkannya pada Agustus 2007, dalam 237 halaman.
Dengan sampul yang cukup artistik menggambarkan dinding sebuah bangunan kuno dan sesosok tangan wanita tampak membuka satu sisi pintu. Tampak seolah ada seorang wanita sedang mengintip dan ragu-ragu untuk keluar, atau malah dapat pula ditafsirkan sedang mengajak pembaca untuk masuk ke dalam.
Menceritakan perjalanan hidup seorang keturunan kiai yang bimbang dan terombang-ambing dalam pilihan antara mengemban amanat meneruskan kepemimpinan pesantren ataukah menapaki kehidupan yang ia pilih sendiri.
Novel ini unik dan kaya karena memadukan latar belakang pesantren, budaya jawa yang penuh mistik, serta kehidupan modern yang bebas.
Kisah utama novel ini dimulai pada akhir tahun 1995 di Surabaya. Jarot alias
Abdullah Sattar seorang mahasiswa Sastra Indonesia secara kebetulan
mendapatkan sebuah buku yang di dalamnya tertulis bait-bait puisi
berbahasa jawa yang berjudul "Sastra Gendra". Munculnya guritan itu
melayangkan pikiran Jarot ke perjalanan yang telah ia tapaki hingga saat
itu.
Cerita novel ini kemudian melompat ke tahun 2040, dengan Aida sebagai tokoh utamanya. Aida adalah anak Jarot.
Meskipun ini merupakan novel debutan dari penulisnya, tapi berbagai
eksperimen cara bertutur telah dipamerkan di sini. Pembaca yang terbiasa
dengan novel yang beralur linear mungkin akan kebingungan mengikutinya.
Sementara mereka yang suka bertualangan dalam plot cerita yang penuh
eksperimen, mungkin bisa menikmati sebagai sebuah pengalaman membaca yang menantang. Plot cerita maju mundur mungkin sudah tidak terlalu aneh, karena sudah sering dipakai sebagai cara lain dalam menyusun cerita. Namun bukan itu yang membuat novel ini agak membingungkan. Penulis dalam novel ini dengan sangat bebas berganti-ganti penutur dan cara bertutur. Kadang ia menjadikan Jarot sebagai penutur pertama, kemudian pada sub-bab berikutnya melompat dengan penutur orang ketiga, kemudian berganti tokoh Puteri yang menjadi 'aku'. Pembaca harus menebak-nebak sendiri setiap berganti bab, siapa sekarang yang menjadi 'aku'?. Dan puncak kebingungan akan terjadi pada bagian ketiga, ketika tiba-tiba saja penutur 'aku' adalah
tokoh yang baru sama sekali. Selain pergantian penutur, penulis juga bermain-main dengan cara berkisah. Pada satu saat, ia menggunakan buku harian untuk menceritakan kehidupan Jarot pada masa SMA. Pada bagian lain penulis menggunakan format wawanca resmi untuk sebuah tanya jawab. Dan karena hanya digunakan pada satu bagian saja maka tampak kalau pemakaian format bercerita itu hanya sebagai sebuah eksperimen untuk mewarnai karya ini.
Kekaburan pun tampak dengan adanya ungkapan-ungkapan yang menggunakan bahasa Jawa yang sebagaian pembaca tidak memahaminya. Sementara, relatif banyak ingin mengapresiasi karena novel ini adalah pemenang sayembara.
Penggunaan latar pesantren sangat apik, karena penulis pernah menjadi santri di beberapa pesantren, pantaslah jika bisa menggambarkan kehidupan pesantren baik itu lingkungan maupun macam-macam pelajarannya dengan cukup detail. Dan saat ini penulis banyak berkutat dalam dunia seni terutama dalam khasanah budaya Jawa, maka pantaslah juga jika cerita wayang dan segala macam pernik budaya jawa dapat disampaikan dengan fasih. Apakah segala pertentangan batin Jarot yang ia ciptakan sendiri akibat tarik- menarik antara Islam-Jawa. Kebebasan Modern juga pengalaman pribadi penulis?
Latarbelakang penulis yang lebih banyak berkecimpung dalam dunia puisi cukup terasa dalam penulisan novelnya. Meskipun tidak sampai menjadikan novel ini sebagai prosa liris, tapi pada beberapa bagian memang terasa puitis. Tidak terlalu banyak dialog, lebih banyak berkisah tentang pergulatan batin tokoh yang sedang menjadi 'aku' pada saat itu. Sehingga emosi novel ini terasa
seperti terpendam dalam pikiran masing-macam tokohnya. pertanyaan demi pertanyaan.
Banyak hal yang dibiarkan menggantung tanpa penjelasan hingga akhir novel
ini. Memang, perjalanan hidup Jarot akhirnya terungkap meskipun tidak cukup runtut, tapi tetap tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi setelah
Jarot pergi dari Surabaya. Dari sosok Aida, anaknya, tergambar bahwa Jarot
tidak mengajarkan banyak kepada Aida tentang Islam maupun tentang budaya Jawa, dua hal yang sangat didalami oleh Jarot pada masa mudanya. Aida menjadi anak muda modern yang sama sekali awam terhadap akar budaya ayahnya. Agak mengherankan mengingat Jarot tadinya digambarkan sangat idealis.
Pemilihan judul "Hubbu" juga menjadi pertanyaan. Mengapa harus menggunakan bahasa Arab? Dalam novel ini memang tokohnya sedikit banyak mengerti bahasa arab, tapi kalimat berbahasa arab nyaris tidak pernah muncul kecuali satu dua saja dalam novel ini. Sempat timbul pertanyaan lain tentang setting waktu. Terasa aneh mengapa Aida harus hidup pada tahun 2040? Itu terasa dipaksakan ketika ternyata penulis tidak berhasil atau memang tidak berusaha membangun setting masa depan yang jauh lebih maju 30 tahun dari sekarang, teknologi entahlah sudah
seperti apa majunya. Penulis tetap terpaku pada teknologi saat ini, telepon
genggam belum menjadi video call, internet masih menggunakan situs-situs saat ini dan belum ada perpustakaan online yang super lengkap.
Saat dicermati lagi, terjawablah bahwa ada satu momen real yang ingin tetap
dipertahankan oleh penulis. Momen nyata itu adalah pemuatan guritan "Sastra Gendra" karya Budi Palopo di majalah Jaya Baya pada tanggal 18 Oktober 1994. Tampaknya inilah batu pertama yang menjadi dasar penulisan novel ini untuk mundur ke masa silam maupun maju ke masa depan. Diskusi antara Jarot dan Budi Palopo tentang "Sastra Gendra" mestinya juga adalah sebuah wawancara nyata yang dilakukan oleh penulis. Pantaslah jika formatnya tetap dipertahankan dalam bentuk wawancara resmi agar seperti apa adanya, meskipun jadi terasa aneh.
Sebagai sebuah cerita, novel ini berkisah tentang banyak hal yang diramu
dalam sebuah perpaduan yang cukup unik. Hanya sayangnya tidak diselesaikan dengan tuntas. Novel ini ditutup agak mengejutkan tapi tanpa emosi dan kemudian menyisakan banyak pertanyaan.
Mencermati novel Putri Cina karya Sindhunata adalah sebuah novel menawan, dengan gambar sampul wajah seorang putri cina yang memelas namun tegas, dengan pandangan tajam menerawang di bawah bola mata ada titik-titik air entah kapan terhapusnya.
Novel ini membawa pesan identitas tunggal adalah ilusi.
Sama halnya dengan Hubbu, lembaran-lembarannya dihiasi puisi. Perbedaannya novel ini tidak diwarnaia bahasa Jawa atau Cina, padahal tokoh utamanya adalah orang Cina dan Jawa.
Walaupun ceritanya beragkat dari dongeng Jawa yang didominasi gambaran kebudayaan. Lakon ketoprak Sam Pek-Eng Tay hanyalah satu contoh dialog dalam kebudayaan.
Di samping itu, mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran Eng Tay yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang
memisahkan.
Novel ini pun menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu
berlumur darah dan pengkhianatan.
Ada dua Putri Cina dalam novel ini sehingga pembaca agak sedikit kebinguan seandainya pembaca tidak mengamati berulang-ulang.
Yang pertama adalah Putri Cina yang diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, antara agama lama menuju agama baru.
Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo.
Hampir setengah bagian terakhir mengeksplorasi kisah Giok Tien,
termasuk kisah cintanya dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami,
yang kelak menjadi Senapati Gurdo Paksi di Kerajaan Medang Kamulan Baru.
Melalui novel, pengarang (Sindhunata) ingin mengingatkan para penguasa negeri bahwa kekuasaan yang disalahgunakan akan berbalik menghancurkan pemilik kekuasaan itu. Novel ini adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Dengan cara bertuturnya yang khas, novel ini akan membawa para pembaca ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung. Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah.
Di samping itu, Sindhunata ingin mengupas realita kehidupan antara Jawa dan Cina. Salah satunya adalah cinta antara lelaki Jawa dan perempuan Cina yang tidak terpisahkan, meskipun keduanya harus tewas. Tewasnya Putri China dan Setyoko adalah buktinya. Pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan orang Jawa terhadap Cina, telah berubah menjadi sebuah tata kehidupan yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar