A. Pendahuluan
Memiliki sesuatu yang berharga adalah impian setiap manusia. Berbahagia adalah tujuan mengarungi hidup, dan keindahan adalah jawab dari keduanya. Sesuatu yang berharga yang dimiliki oleh seseorang akan mendatangkan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan itu akan lebih terasa berarti ketika mampu dijaga dan diabadikan. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengekspresikan rasanya dengan melakukan berbagai apresiasi. Apresiasi inilah yang mengantarkannya kepada sebuah keindahan perasaan yang tertuang dalam sebuah tulisan. Sastra akhirnya lahir dan menjawab semua tentang keindahan dan rasa itu.
Dalam ilmu jurnalistik dikenal rumus, maka dalam mempelajari logika juga menggunakan rumus. Rumus pertama menuju cara filsafat atau berpikir, tentunya akan selalu bertanya pada persoalan efistimologi, seperti yang dipertanyatakan Plato ”Apa itu cinta?”. Sebagian orang mencoba mengambil pendekatan tentang cinta sebuah pengorbanan dengan mengumpulkan fakta bahwa sebenarnya yang dinamakan cinta identik dengan pengorbanan. Plato pun menemukan pendekatan cinta dengan sebuah bentuk pengabdian. Mengabdi dengan orang yang dicintai tanpa mengenal pamrih.
Cinta adalah sesuatu yang tidak berdefinisi karena ketika didefinisikan menyebabkan makna akan cinta itu makin menyempit. Sedangkan cinta itu luas, tidak hanya berputar pada pengorbanan, pengabdian, tapi masih banyak lagi seperti mengharapkan pengabdian dan lain-lainnya.
Sama halnya dengan hakikat cinta, seperti apakah hakikat cinta itu? Apakah cinta kepada pacar?, ibu, ayah, saudara, atau kepada siapa cinta yang sebenarnya? Akhirnya, Plato kemudian mengambil ukuran bahwa cinta sejati itu ada pada pacar. Tapi tidak mungkin jika sang pacar mati kita juga ikut mati. Akhirnya cinta pada pacar gugur dengan sendirinya. Seandainya ukuran cinta sejati itu ada pada orang tua tidak ada anak yang membunuh orang tuanya. Atau mampukah si anak berkorban ikut pula mati dengan orang tua sebagai bukti cinta sejati? Apakah ukurannya pada saudara? Itu pun jauh dari kemungkinan.
Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai? Jawabnya hanya Allah yang pantas kita cintai dan berikanlah kasih sayang atau cinta kepada orang yang kita cintai sebagai cinta karena kasih sayang yang telah Allah tanamkan ke dalam hati. Bukan cinta di samping cinta kepada Allah.
Dalam konteks perjalanan sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari persoalan cinta ini. Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkembang, Harimau-Harimau. Sengsara Membawa Nikmat, Pengakuan Pariyem, Tarian Bumi dan lainnya. Di era Indonesia Bersatu, bermunculan novel relegi yang dibalut dengan cinta. Ayat-Ayat Cinta, Zikir-Zikir Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, Syahadat Cinta, Musafir Cinta, Makrifat Cinta, Kisah Cinta Yusuf dan Sulaikha. .. Dimensi cinta dikemas oleh sastrawan dalam beragam bingkai seperti sosial-psikologi, antropologi, agama, adat mitologis, dan seterusnya. Sementara, cinta itu di masyarakat juga beragam wajah. Ada yang mengatakan cinta itu buta, cinta itu pengorbanan, cinta itu kejam, cinta itu indah, cinta itu berpikir. Dan sekian banyak lagi konsep cinta dikenal di masyarakat.
Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ditulis oleh pengarangnya semasa ia masih berusia 31 tahun, di mana darah mudanya cepat mengalir dalam diri dan khayal serta sentimennya masih demikian bergelora dalam jiwanya. Isinya melukiskan kisah cinta yang tak kesampaian yang berakhir dengan kematian. Suatu cerita roman fiksi yang digubah demikian menarik, dijalin dengan bahasa sastra yang indah. Alurnya ditata dengan peraturan adat pusaka yang kokoh dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum, berkerabat, dan berninik mamak. Suatu cinta murni yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa yang patut dijadikan tamsil, karena kerap terjadi dalam masyarakat.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka sengaja dipilih untuk dijadikan sebagai objek kajian, karena novel tersebut relatif banyak yang meminati. Selain itu, memuat kisah perjalanan spritual dan pengembaraan pengarangnya sehingga terungkap filsafat hidupnya.
Kemudian perlu dipahami, bahwa karya sastra termasuk novel merupakan gejala komunikasi yang mengandaikan terdapatnya interaksi antara pengarang, karya sastra, dan pembacanya. Bahasa pun, menekankan pada kajian menyangkut cara yang ditempuh pengarang dalam mengkreasikan karya sastra sebagai ”alat” dalam mengajuk aspek batiniah pembacanya.
Diharapkan, kehadiran tulisan ini dapat mengungkap eksistensi Stlistika sebagai kajian ilmu, sehingga keberadaan karya sastra bukanlah sebagai tulisan tanpa makna, melainkan sebuah bidang ilmu yang lahir, ada dan bermakna.
B. Metafora
Metafora berasal dari bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978). Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal yang lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970).
Menurut Wahab (1991) metafora adalah ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari predikasi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun oleh makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan itu. Menurut Semimo (1997) mengartikan metafora sebagai suatu fenomena simbolik dari apa yang dipikirkan dan dikatakan mengenai sesuatu dan lainnya dalam keadaan bagun atau sadar. Selain itu, metafora menurut Darma (2004) adalah gejala bahasa yang membandingkan objek yang satu dengan objek yang lain tanpa menggunakan kata-kata pembanding.
Metafora terdiri dari dua term atau ada dua bagian, yaitu principal term (pokok) dan secondary term. Term pokok menyebutkan hal yang dibandingkan, term kedua yang bersifat skunder adalah hal untuk membandingkan. Misalnya bumi adalah perempuan jalang . ’Bumi’ adalah term pokok, sedang ’perempuan jalang’ term kedua.
Seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebut yang pertama. Metafora semacam ini disebut metafora implisit. Misalnya : hidup ini mengikat dan mengurung. Hidup diumpamakan sebagai tali yang mengikat dan juga sebagai kurungan yang mengurung. Di situ yang disebutkan bukan pembandingnya, tetapi sifat pembandingnya.
Di samping itu, ada metafora yang disebut metafora mati, iaitu metafora yang sudah klise hingga orang yang sudah lupa bahwa metafora, misalnya kaki gunung, lengan kursi, dan sebagainya.
Selain itu, jenis metafora yang lain iaitu:
1. Metafora sintaksis, terdiri atas metafora nominatif, predikatif, dan kalimat
Metafora nominatif adalah metafora yang lambang kiasnya terdapat pada nomina kalimat. Nomina ini sesuai dengan fungsinya bisa bersifat nominatif subjektif dan nominatif objektif. Metafora predikatif adalah metafora yang kata-kata lambang kiasnya hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan objek dan komponen yang lain dalam kalimat masih dinyatakan dalam makna langsung. Metafora kalimat adalah metafora yang seluruh lambang kias yang dipakai dalam metafora jenis ini tidak terbatas pada nomina atau predikat saja, namun seluruh komponen dalam kalimat tersebut metaforis.
2. Metafora semantik, terdiri dari dua makna, iaitu makna kias (signifier) dan makna yang dimaksud (signified)
Menurut Wahab (1991) makna yang dimaksudkan dapat diungkapkan lewat serangkaian prediksi yang dapat diterapka bersama antara lambang kias dan makna langsungnya.
3. Metafora budaya dapat diklasifikasikan dengan metafora universal dan metafora lokal
Metafora universal berarti lambang kias dan makna yang digunakan oleh penulis berlaku untuk budaya-budaya lain. Sedangkan metafora lokal merupakan metafora yang lambang kiasnya berlaku hanya untuk budaya-budaya tertentu saja. Misalnya budaya Jawa, Bali, Melayu, Makassar, dan sebagainya.
C. Kajian
Hamka, menggunakan bahasa dalam pucuk-pucuk surat ditata apik dengan gaya metaforis yang mempesona sehingga mempertajam peristiwa romantik, sentimentil, bahagia, senang, gunda, dan duka.
Surat cinta sebagai pembuka adalah surat yang bernada melangkolis, gunda melukiskan pengharapannya diterima bergaul di Minangkabau negeri yang selalu ada dalam khayalnya. Sebab di negeri Mangkasar dia di pandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mangkasar. Oleh sebab itu, di sana dia merasa kesepian.
.... emas tidak dapat juga dicampurkan dengan loyang, sutra tersisih dari benang.. (Hamka, 94: 41) mempertajam bahwa Zainuddin mengerti adat Minangkabau. Dari tutur kata orang-orang dapat diketahui bahwa derajatnya kurang. Bakonya sendiri tidak mengakui karena ayahnya tidak mempunyai saudara yang karib dan yang berkuasa di negeri adalah uang sementara Zainuddin tidak memiliki yang semacam itu.
... bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan (Hamka, 94: 41) Kata bintang dipersonifikasi-asosiasikan sebagai makhluk hidup yang memiliki panca-indra dapat menunjukkan jalan yang tidak berliku-liku. Bintang yang dimaksud adalah Hayati. Sejak perkenalannya dengan Hayati, kecemasannya hilang berganti keberuntungan dan bahagia, seakan-akan hatinya terbang ke langit biru (Hamka, 94: 49) Hati tidak memiliki sayap, namun hatinya terbang ke langit biru dikarenakan Hayati menerima kehadirannya.
.... karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan emas (Hamka, 94: 49) metafora rasa rendah hati seorang pemuda miskin, kurang gagah yang mengharapkan istri cantik nan kaya
Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku (Hamka, 94: 50). Pancaran sinar mata Hayati dibaratkan bintang Timur sehingga Zainuddin merasa kaku tidak bisa menyusun lisanya. Sebelum bertemu banyak yang diingat, setelah bertemu semuanya hilang karena kegembiraannya.
... surat-surat itu mematrikan cinta kita... (Hamka, 94: 51) kata mematri mengasosiasikan perkenalan yang dilandasi kasih sayang untuk menuju mahligai rumah tangga. Atau menyatukan antara keduanya dalam ikatan nikah.... akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan (Hamka, 94: 51). Kutipan ini menggambarkan pengharapan balasan suratnya.
Di lembar yang lain, tepatnya ketika Zainuddin sudah menetap di Padang Panjang surat Hayati tiba yang mengisahkan kegundahannya selama berpisah, telah jauh dan menurut Hayati sukarlah untuk bertemu karena berpagar aur berkeliling (Hamka, 94: 70). Ungkapan yang mengasosiasikan bahwa langkahnya selalu dicurigai oleh keluarga, walaupun di Padang Panjang ada rumah sahabatnya tentu pula dia tidak dapat datang dengan bebas, sebab Hayati telah berhenti dari sekolah. Kalau tidak ada alasan yang tepat tidak boleh keluar rumah. Baginya dunia ini gelap (Hamka, 94: 70) adalah ungkapan ketidak bebasannya.
Secara hiperbolistik, kekuatan cinta Hayati tercurah dengan gunda menyatakan ketakutannya akan perpisahan, takut akan menangis di hadapan kekasihnya sewaktu meninggalkan Batipuh sebab sudah cukup banyak penghinaan dari mamaknya, alangkah pahitnya perpisahan (Hamka, 94: 71). Hamka menggunakan gaya personifikasi dan asosiasi untuk melukiskan citra pengecap. Kata pahit hanya dapat dirasakan pada lidah (alat pengecap) yang tidak semua lidah menyukai rasa itu. Pahitnya perpiisahan mengasosiasikan perpisahan itu menyakitkan, juga tidak ada yang menyukai sebagaimana rasa pahit tersebut.
Laki-laki bilamana telah menentukan cintanya untuk seorang perempuan, maka perempuan itu haknya seorang, tak boleh ada laki-laki lain ikut berkongsi dengan dia. Tetapi cinta seorang perempuan kepada laki-laki sebaliknya dari itu. Maka nyatalah bahwa cinta perempuan kepada laki-laki lebih banyak berdasarkan ketakburan. Pengakuan orang lain atas kemuliaan kecantikannya atau tunangannya bagi perempuan adalah sebagai suatu kemenangan di dalam perjuangan.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Hayati termenung, mukanya berkerut, kepalanya sakit melihat orang yang dicintai tidak segagah orang lain, tidak sepandai orang lain memakai pakaian, seakan-akan orang yang tesisih. Selama ini bagi Hayati tidak ada laki-laki di dunia selain Zainuddin. Sebelum pertemuan di Pacuan Kuda, Hayati sangat belas kasihan melihat nasibnya, dari belas kasihan mendakilah dia kepada cinta, maka ketika di Pacuan Kuda belas kasihan itu timbul kembali. Sambil menarik nafas panjang dan dalam... Hayati berkata... ”Kasihan nasibmu Zainuddin”. Bilamana cinta telah menurun kepada belas kasihan, bertanda lama-kelamaan dia akan berangsur turun. Tidak mengherankan kalau Zainuddin mengatakan dalam suratnya ... maafkan saya Hayati jika saya berbicara terus terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar sarrah terhadap kepadamu. Cinta yang sejati Adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam (Hamka, 94: 87).
Secara metaforik kutipan tersebut menggambarkan kekokohan cinta Zainuddin kepada orang yang dicintai tidak berlaku munafik terhadap dirinya ( pepat di luar pancung di dalam).
”Pengharapan yang Putus”.Gelaran Pacuan Kuda merupakan awal kesedihan Zainuddin alamat berpisah dengan orang yang dicintainya. Mengalir keringat dingin sehabis surat dibaca yang beralamat Dt... Batipuh. Lantaran surat itulah ponis nasib yang akan ditempuhnya.
Hayati, seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tidak betah akan mengecewakan hati ninik- mamak dan kaum kerabat. Dia hanya akan menerima tulisan takdir. Tidak ada jalan lain yang akan dipilihnya daripada menyerah kepada takdir, terpaksa mungkir akan janjinya, sebagaimana kebanyakan anak perempuan , sebab memutuskan janji bukan dia, hidupnya tersangkut dengan keluarga...
Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya dengan sabar dan tawakkal. Memang sudah suratan sejak kecil dibesarkan dengan sengsara. Hal itu dia terima asal saja Hayati tetap cinta kepada dirinya
Dipertengahan perjalanan kisah cintanya dengan Hayati, ’dipengharapan yang putus’, Zainuddin kembali membuat surat yang menyatakan ibanya, deritanya, pengharapannya sehingga Hayati dapat menerima dan menolak keputusan keluarga.
Zainuddin dalam suratnya memperjelas dengan ibaannya, bahwa benarkah hubungan telah tamat... alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya masa berganti. Apakah dalam masa sebulan istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati, bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan derita kita... (Hamka, 1994: 129).
Ungkapan tersebut adalah metaforis yang diasosiasikan bahwa hubungan antara dua insan yang saling mencintai tidak dapat dilanjutkan mengingat kokohnya adat yang harus dipatuhi.
Betapa kerasnya pukulan nasib di atas diriku, bertimpa dan bergelar, sejak masih mengentak ubun-ubunku, kutempuh itu dengan dada yang tak berdebar sedikit juga, sebab ada pintu gerbang pengharapan terbuka. Sekarang pintu itu telah tertutup, tidak ada harapan lagi untuk dibukakan orang. Benarkah Hayati, bahwa saya akan berdiri di muka gerbang itu dengan putus asa, hujan kehujanan? Panas kepanasan? Sedang orang yang lintas seorang pun tak ada? (Hamka, 1994: 129)
Ungkapan di atas, metafora mengisahkan hidup Zainuddin bahwa sejak kecil telah dirundung oleh kemalangan, umur empat tahun ditinggal mati oleh ibu tercinta, kudrat Ilahi tidak mengizinkan ayahnya menunggu sampai besar. Ayahnya meninggal petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, meminta taubat dari segenap dosa dia meninggal. Ketika itu Zainuddin sudah mengenal sedih, sudah pandai menangis.
Semenjak kepergian ayahnya, maka bermohonlah hendak meninggalkan kota Mangkasar untuk menyempurnakan cita-cita ayah ibunya. Dia pergi ke Padang kabarnya konon di sana ada sekolah agama. Zainuddin telah sampai ke tanah asalnya, tempat ayahnya dilahirkan. Mula-mula sangatlah gembira. Bulan ke bulan kegembiraan itu hilang, sebab yang diimpikan lain yang terjadi. Dia tidak beroleh hati sebagai hati mak Base, tidak mendapatkan kecintaan ayah bunda. Jiwanya sendiri mulai merasa, bahwa meskipun dia anak Minangkabau asli dia masih dipandang orang pendatang. Untuk menghindari hal ini, bilamana orang ke sawah ditolongnya, bila orang ke ladang dia pun ikut.
Hari berganti, berkenalanlah dia dengan Hayati yang diawali dengan meminjamkannya payung ketika hujan. Sejak perkenalan itu, dia tidak merasa sunyi lagi. Minangkabau telah lain dari pemandangannya, telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Sebab ada pintu gerbang pengharpan terbuka. Namun, takdir Allah yang maha menentu, percintaan tidak kesampaian dikarenakan ada pihak lain yang telah mematahkan, keluarga pun sepakat. Sekarang pintu itu telah tertutup kembali, tidak ada harapan lagi untuk dibukakan orang (Hamka, 1994: 129)
Pucuk lembaran kedua dari ”Pengharapan yang putus” mengibakan keadaanya seakan-akan padam pelita angan-angan itu, seakan-akan minyaknya telah habis, sehingga meskipun bagaimana juga orang bermaksud menyalakan kembali, sudah percuma. (Hamka, 1994: 129) Ungkapan metafora dari harapan Zainuddi yang kandas, semuanya sudah berlalu tidak dapat dilanjutkan. Tidak tentu mana yang akan ditempuh, haluan mana yang akan diturut. Sebagaimana lanjutan coretannya ; adalah nasibku sekarang laksana bangkai burung kecil yang tercampak di tepi jalan sesudah ditembak anak-anak dengan bedil angin, atau seakan-akan batu kecil yang terbuang di halaman tidak diperdulikan orang (Hamka, 1994: 131) .
Lembaran ketiga dari pucuk ”Pengharapan yang putus”. Zainuddin mencurahkan malang nasibnya, sudah turut bunga hayatku sebelum dia mekar (Hamka, 1994: 134). Adalah metafora dari kedukaannya, hidup seorang diri ayahnya telah mati, ibu dan ibu angkatnya juga demikian. Seakan-akan seluruh isi alam membencinya. ... tiba-tiba kau, yang hanya satu tempatku bergantung telah hilang pula dari padaku. Kemana saya mesti pergi lagi, tunjukkanlah walaupun ke pintu kubur kau tunjukkan, saya pun akan pergi (Hamka, 1994: 135). Ungkapan ini dimetaforikkan tempatnya mengadu, mengiba, bahagia, dan senang tidak ada lagi sehingga hidupnya tidak berarti, menginginkan di mana tempat yang akan dituju seandainya di sana ada bahagia di pintu kubur pun akan dia tuju.
Di lembaran ketiga pun Zainuddin mengharap dikasihani, diterima ratap-dukanya sebagaimana terungkap... kalau pernah kau dengar nyanyian orang kurungan menunggu ponis buangan, atau rintihan dan pekik orang sakit di dalam rumah sakit, atau tertawa yang tinggi dan rambut yang telah panjang dan pakaian yang compang-camping dari orang gila, sehingga lantaran itu kau jatuh belas kasihan, kau tangisi nasib mereka yang malang dan untung mereka yang buruk, maka ketahuilah Hayati bahwa nasibku lebih lagi malangnya dari itu. Sayalah yang lebih pantas menerima kasihan kau, menerima ratap kau dan tangis kau...
Tak ada lagi yang kutuliskan kepadamu, pelita hatiku dari sedikit-kesedikit berangsur padam, agaknya inilah surat penghabisan kepadamu. (Hamka, 1994: 136). Ungkapan metafora kedukaan yang dialami Zainuuddin yang mengibaratkan dirinya jauh lebih sengsara dibanding orang yang menunggu ponis buangan, orang gila yang compang-camping yang minta dikasihani, ditangisi. Namun apa yang hendak dikata semuanya telah selesai. Pelita hatiku dari sedikit kesedikit telah padam.
Lembaran surat pertama, kedua, dan ketiga yang menginginkan dipertimbangkan, ternyata sia-sia yang diperjelas jawaban Hayati...bahwa ketika membaca surat-surat dia pun menangis, tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat Zainuddin, timbullah keinsyafannya , bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang putus asa, tangis orang yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai... tangis dan kesedihan itu mesti reda, ibarat hujan, selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua. (Hamka, 1994: 137). Oleh penyair dimetaforikkan kesedihan pasti berlalu, hanya menunggu waktu cepat atau lambat pasti akan terlupakan.
Sebagai seorang laki-laki yang tahu kehormatan dirinya ditulisnyalah surat yang penghabisan, untuk menutup riwayat-riwayat yang telah lama itu...persahabatan yang sahabat tawarkan itu saya terima pula dengan dada terbuka, sebagaimana dahulu saya terima cinta yang sahabat berikan, adapun perasaan kecewa atau kecil hati terhadap sahabat dan tunangan sahabat, tidaklah ada pada saya. Cuma saya doakan, moga-moga pergaulan dan penghidupan sahabat beruntung sampai akhirnya. (Hamka, 1994: 138).
Begitu tabahnya sosok seorang Zainuddin menerima ponis dari orang yang dia cintai, sehingga Hamka memetaforiskan segala tawaran Hayati diterima dengan dada terbuka. Itu adalah surat yang sebenarnya, yang timbul dari perasaan kemanusiaan yang harus ada pada tiap laki-laki. Laki-laki menyimpuh menadahkan tangan harapan di hadapan seorang perempuan yang dicintainya, kalau harapan itu masih dirasa ada. Tetapi turunlah mutunya sebagai laki-laki, kalau orang jelas enggang, dia masih mendekat juga.
Lembaran –lembaran surat cinta keduanya ditutup dengan ungkapan ”Surat Hayati yang Penghabisan” Pergantungan jiwaku, Zainuddin! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin, apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkaupun telah memupus namaku dari hatimu.. (Hamka, 1994: 205). Ungkapan tersebut, pengucapan Hamka demikian intensif dalam melukiskan imaji haru tentang sebuah harapan yang tak kesampaian. Pergantungan jiwaku Zainuddin, adalah metafora harapan Hayati hanya semata-mata kepada Zainuddin tidak ada orang lain selain dia. Sungguh besar harapannya hendak hidup di dekatnya, akan berkhidmat kepadanya dengan segala daya upayanya, sehingga mimpi yang selama ini putus dapat terwujud.
Di paragraf berikutnya, penggunaan metafora itu begitu kuat, sehingga bagaimana pembaca menelusuri makna filosofis dan pesan tersembunyi yang disampaikan... tapi cita-citaku itu tinggal selamanya cita-cita, sebab engkau sendiri yang menutupkan pintu di hadapanku; saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu, yang selalu menghamba-hamba perasaan cinta yang suci. Lantaran membalaskan dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung... (Hamka, 1994: 205).
Bagaimana hati seorang perempuan cintanya dimetaforikkan sebagai madu. Imaji rasa (kecap) dipadukan imaji gerak menggambarkan ketulusan cinta Hayati. Namun, di sisi lain Zainuddin masih menyimpan dendam-membara, sehingga tercurahlah isi hati Hayati... piala kecintaan terletak di hadapat kita, penuh dengan madu hayat nikmat Ilahi, air madu itu telah tersedia di dalamnya untuk kita minum berdua, biar isinya menjadi kering, dan setelah kering kita telah beroleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita mati dengan bahagia sebagaimana hidup telah bahagia ... Tiba-tiba dengan tak merasa kasian, engkau sepak piala itu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya pecah. Lantaran itu, baik saya atau engkau sendiri, meskipun akan tetap hidup, akan hidup bagai bayang-bayang layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan penuh was-was dan penyesalan. (Hamka, 1994: 207).
Isi surat Hayati adalah metafora dari kekejaman Zainuddin yang tidak mau memberi maaf, padahal telah banyak azab dan sengsara yang menimpa Hayati atas mungkir dari janjinya. Dengan kasak mata jelas bagaimana Hayati dan suaminya menjadi pengemis, menumpang di rumahnya untuk memperlihatkan bagaimana sengsaranya lantaran tak jadi bersuamikan Zainuddin. Hilang .... hilang semuanya. Hilang suami yang sangkanya dapat memberi bahagia. Hilang kesenangan dan mimpi yang diharap-harapkan. Setelah derita harus didengar pula dari mulut Zainuddin kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang sudah nyata salahnya, yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertaubat kepada-Nya, walaupun bagaimana besar dosa, akan diampuni-Nya.
Di akhir surat Hayati terlalu banyak mengungkap kematian ... Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah Zainuddin, saya sendiri pun heran, seakan-akan kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan doa kepada Tuhan, moga-moga jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan lagi oleh rasam basi manusia... (Hamka, 1994: 208).
Begitu intensifnya penyair merangkai kata di akhir surat penghabisan ini yang tidak lain adalah metafora untuk mengantar kepergian Hayati menyatakan berpisah selama-lamanya dengan orang yang dicintai di dunia.dan menyatakan selamat tinggal kepada Zainuddin orang yang dicintai di dunia ini! Seketika Hayati meninggalkan rumahnya hanya nama Zainuddin yang jadi sebutannya. Harapan terakhirnya Zainuddinlah yang akan terpatri dalam doanya bila dia menghadap Tuhan di akhirat.
.....”selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut kalimat syahadat, iaitu: Aku cinta akan engkau, dan kalau kumati , adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau”.....
D. Simpulan
Demikianlah, maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pucuk-pucuk surat yang ditata Hamka dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck relatif banyak masyarakat yang menyenangi. Isinya berbau melangkolis, sintimentil, duka, dan lara dalam bahasa metaforik.
Surat cinta di awali dengan pertemuan meminjamkan payung kepada Hayati yang tidak menginginkan perpisahan. Di sini kelihatan pula kekokohan cinta dua anak manusia yang saling mengasihi.
Puncak Pacuan Kuda adalah awal kesedihan, di sini terlihat pucuk-pucuk yang dibalut dengan duka yang mendalam yang memetaforiskan keadaaan Zainuddin untuk dikasihani, sehingga dipertimbangkan diterima dalam keluarga yang beradab itu. Namun, takdir Allah jua yang berlaku. Kedua anak manusia yang saling mencintai harus berpisah.
Pucuk terakhir ditutup ’surat Hayati yang penghabisan’ dengan jelas Zainuddin mengaku salah. Hati dendamnya didahulukan dari ketenteraman cintanya. Di sisi lain, Hayati pun begitu berat langkahnya hendak meninggalkan rumah Zainuddin. Sampai ketika akan berangkat dia berpesan bahwasanya hanya nama Zainuddinlah yang menjadi sebutannya.
Memiliki sesuatu yang berharga adalah impian setiap manusia. Berbahagia adalah tujuan mengarungi hidup, dan keindahan adalah jawab dari keduanya. Sesuatu yang berharga yang dimiliki oleh seseorang akan mendatangkan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan itu akan lebih terasa berarti ketika mampu dijaga dan diabadikan. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengekspresikan rasanya dengan melakukan berbagai apresiasi. Apresiasi inilah yang mengantarkannya kepada sebuah keindahan perasaan yang tertuang dalam sebuah tulisan. Sastra akhirnya lahir dan menjawab semua tentang keindahan dan rasa itu.
Dalam ilmu jurnalistik dikenal rumus, maka dalam mempelajari logika juga menggunakan rumus. Rumus pertama menuju cara filsafat atau berpikir, tentunya akan selalu bertanya pada persoalan efistimologi, seperti yang dipertanyatakan Plato ”Apa itu cinta?”. Sebagian orang mencoba mengambil pendekatan tentang cinta sebuah pengorbanan dengan mengumpulkan fakta bahwa sebenarnya yang dinamakan cinta identik dengan pengorbanan. Plato pun menemukan pendekatan cinta dengan sebuah bentuk pengabdian. Mengabdi dengan orang yang dicintai tanpa mengenal pamrih.
Cinta adalah sesuatu yang tidak berdefinisi karena ketika didefinisikan menyebabkan makna akan cinta itu makin menyempit. Sedangkan cinta itu luas, tidak hanya berputar pada pengorbanan, pengabdian, tapi masih banyak lagi seperti mengharapkan pengabdian dan lain-lainnya.
Sama halnya dengan hakikat cinta, seperti apakah hakikat cinta itu? Apakah cinta kepada pacar?, ibu, ayah, saudara, atau kepada siapa cinta yang sebenarnya? Akhirnya, Plato kemudian mengambil ukuran bahwa cinta sejati itu ada pada pacar. Tapi tidak mungkin jika sang pacar mati kita juga ikut mati. Akhirnya cinta pada pacar gugur dengan sendirinya. Seandainya ukuran cinta sejati itu ada pada orang tua tidak ada anak yang membunuh orang tuanya. Atau mampukah si anak berkorban ikut pula mati dengan orang tua sebagai bukti cinta sejati? Apakah ukurannya pada saudara? Itu pun jauh dari kemungkinan.
Untuk siapakah sebenarnya cinta sejati itu atau siapakah yang lebih pantas untuk dicintai? Jawabnya hanya Allah yang pantas kita cintai dan berikanlah kasih sayang atau cinta kepada orang yang kita cintai sebagai cinta karena kasih sayang yang telah Allah tanamkan ke dalam hati. Bukan cinta di samping cinta kepada Allah.
Dalam konteks perjalanan sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari persoalan cinta ini. Siti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkembang, Harimau-Harimau. Sengsara Membawa Nikmat, Pengakuan Pariyem, Tarian Bumi dan lainnya. Di era Indonesia Bersatu, bermunculan novel relegi yang dibalut dengan cinta. Ayat-Ayat Cinta, Zikir-Zikir Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, Syahadat Cinta, Musafir Cinta, Makrifat Cinta, Kisah Cinta Yusuf dan Sulaikha. .. Dimensi cinta dikemas oleh sastrawan dalam beragam bingkai seperti sosial-psikologi, antropologi, agama, adat mitologis, dan seterusnya. Sementara, cinta itu di masyarakat juga beragam wajah. Ada yang mengatakan cinta itu buta, cinta itu pengorbanan, cinta itu kejam, cinta itu indah, cinta itu berpikir. Dan sekian banyak lagi konsep cinta dikenal di masyarakat.
Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ditulis oleh pengarangnya semasa ia masih berusia 31 tahun, di mana darah mudanya cepat mengalir dalam diri dan khayal serta sentimennya masih demikian bergelora dalam jiwanya. Isinya melukiskan kisah cinta yang tak kesampaian yang berakhir dengan kematian. Suatu cerita roman fiksi yang digubah demikian menarik, dijalin dengan bahasa sastra yang indah. Alurnya ditata dengan peraturan adat pusaka yang kokoh dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, berkaum, berkerabat, dan berninik mamak. Suatu cinta murni yang dilandasi keikhlasan dan kesucian jiwa yang patut dijadikan tamsil, karena kerap terjadi dalam masyarakat.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka sengaja dipilih untuk dijadikan sebagai objek kajian, karena novel tersebut relatif banyak yang meminati. Selain itu, memuat kisah perjalanan spritual dan pengembaraan pengarangnya sehingga terungkap filsafat hidupnya.
Kemudian perlu dipahami, bahwa karya sastra termasuk novel merupakan gejala komunikasi yang mengandaikan terdapatnya interaksi antara pengarang, karya sastra, dan pembacanya. Bahasa pun, menekankan pada kajian menyangkut cara yang ditempuh pengarang dalam mengkreasikan karya sastra sebagai ”alat” dalam mengajuk aspek batiniah pembacanya.
Diharapkan, kehadiran tulisan ini dapat mengungkap eksistensi Stlistika sebagai kajian ilmu, sehingga keberadaan karya sastra bukanlah sebagai tulisan tanpa makna, melainkan sebuah bidang ilmu yang lahir, ada dan bermakna.
B. Metafora
Metafora berasal dari bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978). Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal yang lain yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd, 1970).
Menurut Wahab (1991) metafora adalah ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari predikasi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun oleh makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan itu. Menurut Semimo (1997) mengartikan metafora sebagai suatu fenomena simbolik dari apa yang dipikirkan dan dikatakan mengenai sesuatu dan lainnya dalam keadaan bagun atau sadar. Selain itu, metafora menurut Darma (2004) adalah gejala bahasa yang membandingkan objek yang satu dengan objek yang lain tanpa menggunakan kata-kata pembanding.
Metafora terdiri dari dua term atau ada dua bagian, yaitu principal term (pokok) dan secondary term. Term pokok menyebutkan hal yang dibandingkan, term kedua yang bersifat skunder adalah hal untuk membandingkan. Misalnya bumi adalah perempuan jalang . ’Bumi’ adalah term pokok, sedang ’perempuan jalang’ term kedua.
Seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebut yang pertama. Metafora semacam ini disebut metafora implisit. Misalnya : hidup ini mengikat dan mengurung. Hidup diumpamakan sebagai tali yang mengikat dan juga sebagai kurungan yang mengurung. Di situ yang disebutkan bukan pembandingnya, tetapi sifat pembandingnya.
Di samping itu, ada metafora yang disebut metafora mati, iaitu metafora yang sudah klise hingga orang yang sudah lupa bahwa metafora, misalnya kaki gunung, lengan kursi, dan sebagainya.
Selain itu, jenis metafora yang lain iaitu:
1. Metafora sintaksis, terdiri atas metafora nominatif, predikatif, dan kalimat
Metafora nominatif adalah metafora yang lambang kiasnya terdapat pada nomina kalimat. Nomina ini sesuai dengan fungsinya bisa bersifat nominatif subjektif dan nominatif objektif. Metafora predikatif adalah metafora yang kata-kata lambang kiasnya hanya terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan objek dan komponen yang lain dalam kalimat masih dinyatakan dalam makna langsung. Metafora kalimat adalah metafora yang seluruh lambang kias yang dipakai dalam metafora jenis ini tidak terbatas pada nomina atau predikat saja, namun seluruh komponen dalam kalimat tersebut metaforis.
2. Metafora semantik, terdiri dari dua makna, iaitu makna kias (signifier) dan makna yang dimaksud (signified)
Menurut Wahab (1991) makna yang dimaksudkan dapat diungkapkan lewat serangkaian prediksi yang dapat diterapka bersama antara lambang kias dan makna langsungnya.
3. Metafora budaya dapat diklasifikasikan dengan metafora universal dan metafora lokal
Metafora universal berarti lambang kias dan makna yang digunakan oleh penulis berlaku untuk budaya-budaya lain. Sedangkan metafora lokal merupakan metafora yang lambang kiasnya berlaku hanya untuk budaya-budaya tertentu saja. Misalnya budaya Jawa, Bali, Melayu, Makassar, dan sebagainya.
C. Kajian
Hamka, menggunakan bahasa dalam pucuk-pucuk surat ditata apik dengan gaya metaforis yang mempesona sehingga mempertajam peristiwa romantik, sentimentil, bahagia, senang, gunda, dan duka.
Surat cinta sebagai pembuka adalah surat yang bernada melangkolis, gunda melukiskan pengharapannya diterima bergaul di Minangkabau negeri yang selalu ada dalam khayalnya. Sebab di negeri Mangkasar dia di pandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mangkasar. Oleh sebab itu, di sana dia merasa kesepian.
.... emas tidak dapat juga dicampurkan dengan loyang, sutra tersisih dari benang.. (Hamka, 94: 41) mempertajam bahwa Zainuddin mengerti adat Minangkabau. Dari tutur kata orang-orang dapat diketahui bahwa derajatnya kurang. Bakonya sendiri tidak mengakui karena ayahnya tidak mempunyai saudara yang karib dan yang berkuasa di negeri adalah uang sementara Zainuddin tidak memiliki yang semacam itu.
... bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan (Hamka, 94: 41) Kata bintang dipersonifikasi-asosiasikan sebagai makhluk hidup yang memiliki panca-indra dapat menunjukkan jalan yang tidak berliku-liku. Bintang yang dimaksud adalah Hayati. Sejak perkenalannya dengan Hayati, kecemasannya hilang berganti keberuntungan dan bahagia, seakan-akan hatinya terbang ke langit biru (Hamka, 94: 49) Hati tidak memiliki sayap, namun hatinya terbang ke langit biru dikarenakan Hayati menerima kehadirannya.
.... karena amat buruk memperdekatkan loyang dengan emas (Hamka, 94: 49) metafora rasa rendah hati seorang pemuda miskin, kurang gagah yang mengharapkan istri cantik nan kaya
Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yang sebagai bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku (Hamka, 94: 50). Pancaran sinar mata Hayati dibaratkan bintang Timur sehingga Zainuddin merasa kaku tidak bisa menyusun lisanya. Sebelum bertemu banyak yang diingat, setelah bertemu semuanya hilang karena kegembiraannya.
... surat-surat itu mematrikan cinta kita... (Hamka, 94: 51) kata mematri mengasosiasikan perkenalan yang dilandasi kasih sayang untuk menuju mahligai rumah tangga. Atau menyatukan antara keduanya dalam ikatan nikah.... akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan (Hamka, 94: 51). Kutipan ini menggambarkan pengharapan balasan suratnya.
Di lembar yang lain, tepatnya ketika Zainuddin sudah menetap di Padang Panjang surat Hayati tiba yang mengisahkan kegundahannya selama berpisah, telah jauh dan menurut Hayati sukarlah untuk bertemu karena berpagar aur berkeliling (Hamka, 94: 70). Ungkapan yang mengasosiasikan bahwa langkahnya selalu dicurigai oleh keluarga, walaupun di Padang Panjang ada rumah sahabatnya tentu pula dia tidak dapat datang dengan bebas, sebab Hayati telah berhenti dari sekolah. Kalau tidak ada alasan yang tepat tidak boleh keluar rumah. Baginya dunia ini gelap (Hamka, 94: 70) adalah ungkapan ketidak bebasannya.
Secara hiperbolistik, kekuatan cinta Hayati tercurah dengan gunda menyatakan ketakutannya akan perpisahan, takut akan menangis di hadapan kekasihnya sewaktu meninggalkan Batipuh sebab sudah cukup banyak penghinaan dari mamaknya, alangkah pahitnya perpisahan (Hamka, 94: 71). Hamka menggunakan gaya personifikasi dan asosiasi untuk melukiskan citra pengecap. Kata pahit hanya dapat dirasakan pada lidah (alat pengecap) yang tidak semua lidah menyukai rasa itu. Pahitnya perpiisahan mengasosiasikan perpisahan itu menyakitkan, juga tidak ada yang menyukai sebagaimana rasa pahit tersebut.
Laki-laki bilamana telah menentukan cintanya untuk seorang perempuan, maka perempuan itu haknya seorang, tak boleh ada laki-laki lain ikut berkongsi dengan dia. Tetapi cinta seorang perempuan kepada laki-laki sebaliknya dari itu. Maka nyatalah bahwa cinta perempuan kepada laki-laki lebih banyak berdasarkan ketakburan. Pengakuan orang lain atas kemuliaan kecantikannya atau tunangannya bagi perempuan adalah sebagai suatu kemenangan di dalam perjuangan.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Hayati termenung, mukanya berkerut, kepalanya sakit melihat orang yang dicintai tidak segagah orang lain, tidak sepandai orang lain memakai pakaian, seakan-akan orang yang tesisih. Selama ini bagi Hayati tidak ada laki-laki di dunia selain Zainuddin. Sebelum pertemuan di Pacuan Kuda, Hayati sangat belas kasihan melihat nasibnya, dari belas kasihan mendakilah dia kepada cinta, maka ketika di Pacuan Kuda belas kasihan itu timbul kembali. Sambil menarik nafas panjang dan dalam... Hayati berkata... ”Kasihan nasibmu Zainuddin”. Bilamana cinta telah menurun kepada belas kasihan, bertanda lama-kelamaan dia akan berangsur turun. Tidak mengherankan kalau Zainuddin mengatakan dalam suratnya ... maafkan saya Hayati jika saya berbicara terus terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar sarrah terhadap kepadamu. Cinta yang sejati Adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam (Hamka, 94: 87).
Secara metaforik kutipan tersebut menggambarkan kekokohan cinta Zainuddin kepada orang yang dicintai tidak berlaku munafik terhadap dirinya ( pepat di luar pancung di dalam).
”Pengharapan yang Putus”.Gelaran Pacuan Kuda merupakan awal kesedihan Zainuddin alamat berpisah dengan orang yang dicintainya. Mengalir keringat dingin sehabis surat dibaca yang beralamat Dt... Batipuh. Lantaran surat itulah ponis nasib yang akan ditempuhnya.
Hayati, seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tidak betah akan mengecewakan hati ninik- mamak dan kaum kerabat. Dia hanya akan menerima tulisan takdir. Tidak ada jalan lain yang akan dipilihnya daripada menyerah kepada takdir, terpaksa mungkir akan janjinya, sebagaimana kebanyakan anak perempuan , sebab memutuskan janji bukan dia, hidupnya tersangkut dengan keluarga...
Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya dengan sabar dan tawakkal. Memang sudah suratan sejak kecil dibesarkan dengan sengsara. Hal itu dia terima asal saja Hayati tetap cinta kepada dirinya
Dipertengahan perjalanan kisah cintanya dengan Hayati, ’dipengharapan yang putus’, Zainuddin kembali membuat surat yang menyatakan ibanya, deritanya, pengharapannya sehingga Hayati dapat menerima dan menolak keputusan keluarga.
Zainuddin dalam suratnya memperjelas dengan ibaannya, bahwa benarkah hubungan telah tamat... alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya masa berganti. Apakah dalam masa sebulan istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh angin puting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekalipun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati, bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan derita kita... (Hamka, 1994: 129).
Ungkapan tersebut adalah metaforis yang diasosiasikan bahwa hubungan antara dua insan yang saling mencintai tidak dapat dilanjutkan mengingat kokohnya adat yang harus dipatuhi.
Betapa kerasnya pukulan nasib di atas diriku, bertimpa dan bergelar, sejak masih mengentak ubun-ubunku, kutempuh itu dengan dada yang tak berdebar sedikit juga, sebab ada pintu gerbang pengharapan terbuka. Sekarang pintu itu telah tertutup, tidak ada harapan lagi untuk dibukakan orang. Benarkah Hayati, bahwa saya akan berdiri di muka gerbang itu dengan putus asa, hujan kehujanan? Panas kepanasan? Sedang orang yang lintas seorang pun tak ada? (Hamka, 1994: 129)
Ungkapan di atas, metafora mengisahkan hidup Zainuddin bahwa sejak kecil telah dirundung oleh kemalangan, umur empat tahun ditinggal mati oleh ibu tercinta, kudrat Ilahi tidak mengizinkan ayahnya menunggu sampai besar. Ayahnya meninggal petang Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, meminta taubat dari segenap dosa dia meninggal. Ketika itu Zainuddin sudah mengenal sedih, sudah pandai menangis.
Semenjak kepergian ayahnya, maka bermohonlah hendak meninggalkan kota Mangkasar untuk menyempurnakan cita-cita ayah ibunya. Dia pergi ke Padang kabarnya konon di sana ada sekolah agama. Zainuddin telah sampai ke tanah asalnya, tempat ayahnya dilahirkan. Mula-mula sangatlah gembira. Bulan ke bulan kegembiraan itu hilang, sebab yang diimpikan lain yang terjadi. Dia tidak beroleh hati sebagai hati mak Base, tidak mendapatkan kecintaan ayah bunda. Jiwanya sendiri mulai merasa, bahwa meskipun dia anak Minangkabau asli dia masih dipandang orang pendatang. Untuk menghindari hal ini, bilamana orang ke sawah ditolongnya, bila orang ke ladang dia pun ikut.
Hari berganti, berkenalanlah dia dengan Hayati yang diawali dengan meminjamkannya payung ketika hujan. Sejak perkenalan itu, dia tidak merasa sunyi lagi. Minangkabau telah lain dari pemandangannya, telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Sebab ada pintu gerbang pengharpan terbuka. Namun, takdir Allah yang maha menentu, percintaan tidak kesampaian dikarenakan ada pihak lain yang telah mematahkan, keluarga pun sepakat. Sekarang pintu itu telah tertutup kembali, tidak ada harapan lagi untuk dibukakan orang (Hamka, 1994: 129)
Pucuk lembaran kedua dari ”Pengharapan yang putus” mengibakan keadaanya seakan-akan padam pelita angan-angan itu, seakan-akan minyaknya telah habis, sehingga meskipun bagaimana juga orang bermaksud menyalakan kembali, sudah percuma. (Hamka, 1994: 129) Ungkapan metafora dari harapan Zainuddi yang kandas, semuanya sudah berlalu tidak dapat dilanjutkan. Tidak tentu mana yang akan ditempuh, haluan mana yang akan diturut. Sebagaimana lanjutan coretannya ; adalah nasibku sekarang laksana bangkai burung kecil yang tercampak di tepi jalan sesudah ditembak anak-anak dengan bedil angin, atau seakan-akan batu kecil yang terbuang di halaman tidak diperdulikan orang (Hamka, 1994: 131) .
Lembaran ketiga dari pucuk ”Pengharapan yang putus”. Zainuddin mencurahkan malang nasibnya, sudah turut bunga hayatku sebelum dia mekar (Hamka, 1994: 134). Adalah metafora dari kedukaannya, hidup seorang diri ayahnya telah mati, ibu dan ibu angkatnya juga demikian. Seakan-akan seluruh isi alam membencinya. ... tiba-tiba kau, yang hanya satu tempatku bergantung telah hilang pula dari padaku. Kemana saya mesti pergi lagi, tunjukkanlah walaupun ke pintu kubur kau tunjukkan, saya pun akan pergi (Hamka, 1994: 135). Ungkapan ini dimetaforikkan tempatnya mengadu, mengiba, bahagia, dan senang tidak ada lagi sehingga hidupnya tidak berarti, menginginkan di mana tempat yang akan dituju seandainya di sana ada bahagia di pintu kubur pun akan dia tuju.
Di lembaran ketiga pun Zainuddin mengharap dikasihani, diterima ratap-dukanya sebagaimana terungkap... kalau pernah kau dengar nyanyian orang kurungan menunggu ponis buangan, atau rintihan dan pekik orang sakit di dalam rumah sakit, atau tertawa yang tinggi dan rambut yang telah panjang dan pakaian yang compang-camping dari orang gila, sehingga lantaran itu kau jatuh belas kasihan, kau tangisi nasib mereka yang malang dan untung mereka yang buruk, maka ketahuilah Hayati bahwa nasibku lebih lagi malangnya dari itu. Sayalah yang lebih pantas menerima kasihan kau, menerima ratap kau dan tangis kau...
Tak ada lagi yang kutuliskan kepadamu, pelita hatiku dari sedikit-kesedikit berangsur padam, agaknya inilah surat penghabisan kepadamu. (Hamka, 1994: 136). Ungkapan metafora kedukaan yang dialami Zainuuddin yang mengibaratkan dirinya jauh lebih sengsara dibanding orang yang menunggu ponis buangan, orang gila yang compang-camping yang minta dikasihani, ditangisi. Namun apa yang hendak dikata semuanya telah selesai. Pelita hatiku dari sedikit kesedikit telah padam.
Lembaran surat pertama, kedua, dan ketiga yang menginginkan dipertimbangkan, ternyata sia-sia yang diperjelas jawaban Hayati...bahwa ketika membaca surat-surat dia pun menangis, tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat Zainuddin, timbullah keinsyafannya , bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang putus asa, tangis orang yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai... tangis dan kesedihan itu mesti reda, ibarat hujan, selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua. (Hamka, 1994: 137). Oleh penyair dimetaforikkan kesedihan pasti berlalu, hanya menunggu waktu cepat atau lambat pasti akan terlupakan.
Sebagai seorang laki-laki yang tahu kehormatan dirinya ditulisnyalah surat yang penghabisan, untuk menutup riwayat-riwayat yang telah lama itu...persahabatan yang sahabat tawarkan itu saya terima pula dengan dada terbuka, sebagaimana dahulu saya terima cinta yang sahabat berikan, adapun perasaan kecewa atau kecil hati terhadap sahabat dan tunangan sahabat, tidaklah ada pada saya. Cuma saya doakan, moga-moga pergaulan dan penghidupan sahabat beruntung sampai akhirnya. (Hamka, 1994: 138).
Begitu tabahnya sosok seorang Zainuddin menerima ponis dari orang yang dia cintai, sehingga Hamka memetaforiskan segala tawaran Hayati diterima dengan dada terbuka. Itu adalah surat yang sebenarnya, yang timbul dari perasaan kemanusiaan yang harus ada pada tiap laki-laki. Laki-laki menyimpuh menadahkan tangan harapan di hadapan seorang perempuan yang dicintainya, kalau harapan itu masih dirasa ada. Tetapi turunlah mutunya sebagai laki-laki, kalau orang jelas enggang, dia masih mendekat juga.
Lembaran –lembaran surat cinta keduanya ditutup dengan ungkapan ”Surat Hayati yang Penghabisan” Pergantungan jiwaku, Zainuddin! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin, apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkaupun telah memupus namaku dari hatimu.. (Hamka, 1994: 205). Ungkapan tersebut, pengucapan Hamka demikian intensif dalam melukiskan imaji haru tentang sebuah harapan yang tak kesampaian. Pergantungan jiwaku Zainuddin, adalah metafora harapan Hayati hanya semata-mata kepada Zainuddin tidak ada orang lain selain dia. Sungguh besar harapannya hendak hidup di dekatnya, akan berkhidmat kepadanya dengan segala daya upayanya, sehingga mimpi yang selama ini putus dapat terwujud.
Di paragraf berikutnya, penggunaan metafora itu begitu kuat, sehingga bagaimana pembaca menelusuri makna filosofis dan pesan tersembunyi yang disampaikan... tapi cita-citaku itu tinggal selamanya cita-cita, sebab engkau sendiri yang menutupkan pintu di hadapanku; saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yang telah sekian lama bersarang di dalam hatimu, yang selalu menghamba-hamba perasaan cinta yang suci. Lantaran membalaskan dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali pengharapanku, padahal tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung... (Hamka, 1994: 205).
Bagaimana hati seorang perempuan cintanya dimetaforikkan sebagai madu. Imaji rasa (kecap) dipadukan imaji gerak menggambarkan ketulusan cinta Hayati. Namun, di sisi lain Zainuddin masih menyimpan dendam-membara, sehingga tercurahlah isi hati Hayati... piala kecintaan terletak di hadapat kita, penuh dengan madu hayat nikmat Ilahi, air madu itu telah tersedia di dalamnya untuk kita minum berdua, biar isinya menjadi kering, dan setelah kering kita telah beroleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita mati dengan bahagia sebagaimana hidup telah bahagia ... Tiba-tiba dengan tak merasa kasian, engkau sepak piala itu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya pecah. Lantaran itu, baik saya atau engkau sendiri, meskipun akan tetap hidup, akan hidup bagai bayang-bayang layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan penuh was-was dan penyesalan. (Hamka, 1994: 207).
Isi surat Hayati adalah metafora dari kekejaman Zainuddin yang tidak mau memberi maaf, padahal telah banyak azab dan sengsara yang menimpa Hayati atas mungkir dari janjinya. Dengan kasak mata jelas bagaimana Hayati dan suaminya menjadi pengemis, menumpang di rumahnya untuk memperlihatkan bagaimana sengsaranya lantaran tak jadi bersuamikan Zainuddin. Hilang .... hilang semuanya. Hilang suami yang sangkanya dapat memberi bahagia. Hilang kesenangan dan mimpi yang diharap-harapkan. Setelah derita harus didengar pula dari mulut Zainuddin kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang sudah nyata salahnya, yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertaubat kepada-Nya, walaupun bagaimana besar dosa, akan diampuni-Nya.
Di akhir surat Hayati terlalu banyak mengungkap kematian ... Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah Zainuddin, saya sendiri pun heran, seakan-akan kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan doa kepada Tuhan, moga-moga jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan lagi oleh rasam basi manusia... (Hamka, 1994: 208).
Begitu intensifnya penyair merangkai kata di akhir surat penghabisan ini yang tidak lain adalah metafora untuk mengantar kepergian Hayati menyatakan berpisah selama-lamanya dengan orang yang dicintai di dunia.dan menyatakan selamat tinggal kepada Zainuddin orang yang dicintai di dunia ini! Seketika Hayati meninggalkan rumahnya hanya nama Zainuddin yang jadi sebutannya. Harapan terakhirnya Zainuddinlah yang akan terpatri dalam doanya bila dia menghadap Tuhan di akhirat.
.....”selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut kalimat syahadat, iaitu: Aku cinta akan engkau, dan kalau kumati , adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau”.....
D. Simpulan
Demikianlah, maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pucuk-pucuk surat yang ditata Hamka dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck relatif banyak masyarakat yang menyenangi. Isinya berbau melangkolis, sintimentil, duka, dan lara dalam bahasa metaforik.
Surat cinta di awali dengan pertemuan meminjamkan payung kepada Hayati yang tidak menginginkan perpisahan. Di sini kelihatan pula kekokohan cinta dua anak manusia yang saling mengasihi.
Puncak Pacuan Kuda adalah awal kesedihan, di sini terlihat pucuk-pucuk yang dibalut dengan duka yang mendalam yang memetaforiskan keadaaan Zainuddin untuk dikasihani, sehingga dipertimbangkan diterima dalam keluarga yang beradab itu. Namun, takdir Allah jua yang berlaku. Kedua anak manusia yang saling mencintai harus berpisah.
Pucuk terakhir ditutup ’surat Hayati yang penghabisan’ dengan jelas Zainuddin mengaku salah. Hati dendamnya didahulukan dari ketenteraman cintanya. Di sisi lain, Hayati pun begitu berat langkahnya hendak meninggalkan rumah Zainuddin. Sampai ketika akan berangkat dia berpesan bahwasanya hanya nama Zainuddinlah yang menjadi sebutannya.
1 komentar:
Bener banget, thanks ya
Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah
Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.
Posting Komentar