A. Pendahuluan
Karya sastra seperti puisi merupakan pancaran sosila dan gejolak kejiwaan yang timbul dalam batin penyair. Pancaran kehidupan tersebut timbul akibat adanya interaksi langsung maupun tidak langsung, secara sadar maupun tidak sadar, dalam suatu keadaan yang dialaminya yang diwujudkan dalam bentuk tulisan ditata sedemikian rupa dengan menggunakan kata-kata yang singkat dan padat .
Umumnya puisi mengandung makna konotatif, serta membawa rasa keindahan baik ditinjau dari segi bahasa bagi orang yang menikmatinya maupun ditinjau dari segi isi orang yang mendalaminya.
Puisi, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama dengan sastra lainnya iaitu untuk memberikan nilai keindahan dan nilai moral bagi kehidupan manusia. Puisi lahir melalui renungan berdasarkan pengamatan terhadap realita kehidupan. Di samping itu, puisi mengandung ketidakpastian. Oleh karena itu, pembaca berada dalam tanggapan antara ketidakpastian dan kepastian, antara mengerti dan tidak mengerti. Di sinilah terletak seni suatu puisi, karena nilai suatu puisi terletak pada maknanya, maka setiap kali dibaca mengandung pemikiran atau inspirasi baru.
Puisi, akan memberikan nuansa baru yang khas pada pembaca apabila pembaca yang bersangkutan dapat memahami apa yang dibacanya. Untuk memahami puisi secara utuh perlu diketahui dan dimengerti bahwa puisi itu adalah karya bernilai estetis yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek lain, terlebih dahulu puisi dikaji sebagai sebuah struktur yang bermakna atau bernilai estetis.
Puisi sebagai sistem tanda mempunyai satuan-satuan tanda yang antara lain berupa kosakata, bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, juga memiliki konvensi visual atau tipografi yang meliputi bait, baris sajak, enyambemen, rima, dan homologue. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra. Konvensi itu merupakan perjanjian masyarakat, baik masyarakat bahasa maupun masyarakat sastra. Perjanjian tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun. Bahkan sudah menjadi hakikat sastra sendiri.
Oleh karena itu, puisi sebagai sistem tanda tepatlah apabila dikaji berdasarkan tandanya atau semiotiknya, karena salah satu ciri penting dalam puisi adalah penggunaan bahasa yang khas dan padat. Salah satu bentuk kepadatan itu adalah kata yang konotatif dan simbolis.
B. Fokus
Fokus dalam kajian ini analisis semiotik dalam puisi Sodum dan Gomorrha karya Sastrowardoyo. Dalam kajian ini akan dipergunakan teori semiotik yang dianut oleh Charles Sander Peirce. Menurutnya tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol
C. Kajian Teori
1. Pengertian Semiotik
Istilah “Semiotik” berasal dari bahasa Yunani, iaitu “semion” yang berarti tanda, (sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan). Semiotik itu sendiri bukanlah suatu aliran baru dalam pengkajian bahasa atau kesusastraan, melainkan suatu pengembangan yang lebih lanjut dari aliran yang pernah ada. Ada pula yang mengemukakan “sematologi” atau “semiologi”. John Locke (dalam Teeuw, 1988:12), menggunakan istilah “semiotik” untuk menggambarkan ajaran tentang tanda.
Semiotik atau ilmu tentang tanda, menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah pengguna bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan yang meneliti ciri-ciri yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, 1974:980). Di sisi lain Aart van Zoest (1996: 5) mengungkapkan bahwa emiotik studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lainnya, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mengirimkannya.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama, yang seorang ahli linguistik iaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierce menyebutnya semiotik. Kemudian nama itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Menurut Umberto, semiotik di Perancis dikenal dengan istilah semiologi adalah ilmu tentang tanda. Secara luas setiap aktivitas manusia yang bukan fenomena alam adalah tanda. Jadi, teori tentang tanda disebut semiotik (dalam Junus, 1985:73). Gagasan yang sama dikemukakan oleh Atmazaki bahwa istilah semiotik atau semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan sistem tanda secara sistematik (1990:77).
Foulkes (1975:3) mengemukakan bahwa pengkajian tentang sistem tanda berpangkal dari teori bahasa. Dengan demikian, ilmu bahasa pun dapat disamakan dengan ilmu semiotik. Jadi, semiotik adalah kajian tentang sistem tanda bahasa. Bahasa merupakan sistem tanda-tanda yang bersifat konvensional.
Menurut de Saussure (dalam Teeuw, 1988:46-47) bahasa sebagai sistem tanda. Tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifian (penanda) dan signifie (petanda). Signifian adalah adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Deskripsi demikian, signifian tidak indentik dengan bunyi dan signifie bukanlah denotatum, melainkan hal atau tanda dalam kenyataan yang diacu oleh benda itu. Secara kongkrit tanda burung tidak sama dengan bunyi fisik dan tidak pula dengan binatang dalam kenyataan. Tanda adalah albitrer, konvensional, dan sistematik. Jadi pengertian semiotik merupakan ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda.
Semiotik banyak mempersoalkan pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsif, yaitu penanda atau yang ditandai (yang merupakan arti tanda) dan petanda atau yang ditandai (yang mempunyai arti tanda). Berdasarkan hubungan antara penanda atau petanda ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang berhubungan antara penanda dan petanda dan petandanya dilihat dari segi persamaan bentuknya (kemiripan). Misalnya: potret, denah, dan grafik. Indeks digunakan untuk tanda yang menunjukkan bahwa hubungan yang alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat kausal (hubungan kedekatan eksistensi). Misalnya ada asap menandai ada api. Seruan he juga merupakan sebuah indeks sebab menyebabkan orang yang mendengar menoleh ke arah suara tersebut. Istilah simbol adalah tanda yang bersifat arbitrer. Hubungannya berdasarkan konvensi masyarakat, artinya simbol itu ditentukan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Dengan kata lain, simbol merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional.
2. Semiotik dalam Kajian Sastra
Segala unsur yang ada dalam suatu kajian sastra dilihat sebagai bagian dari suatu sistem. Dengan demikian, setiap unsur suatu karya sastra masuk dalam suatu sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem. Sesuatu yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin dalam karya sastra karena tidak dapat melepaskan diri dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.
Menganalisis atau mengkritik karya sastra adalah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya tersebut. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puis) haruslah puisi dianalisis (Hill, 1966:6).
Medium karya sastra bukanlah bahasa yang bebas seperti bunyi pada musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat.
Karya sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karya sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya daripada bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua atau sebagai sistem tanda sekunder. Dalam sastra, konvensi bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa) ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru iaitu arti sastra itu.
Atmazaki (1990:79) menjelaskan bahwa dalam penciptaan sastra, sastrawan pertama kali telah diikat oleh bahasa. Bahasa yang telah mempunyai arti itulah yang diolahnya menjadi sastra sehingga kadang-kadang arti bahasa di dalam karya sastra tidak sama artinya di luar karya sastra itu. Arti bahasa sehari-hati adalah terjemahan dari arti, sementara arti dalam karya sastra itu adalah terjemahan dari makna.
Makna karya sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra. Misalnya, tipografi, sajak, baris sajak, ulangan, dan lain-lain.
Meskipun sastra itu dalam sistem semiotik tingkatannya lebih tinggi daripada bahasa. Sastra tidak lepas sama sekali dari sistem bahasa atau konvensi bahasa. Hal ini disebabkan oleh penjelasan yang telah dikemukakan, iaitu bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang mempunyai arti berdasarkan konvensi tertentu.
Karya sastra adalah karya yang imajinatif yang bermedium bahasa, maka tanda-tanda yang utama dalam karya itu adalah tanda kebahasaan meskipun ada konvensi ketandaan sastra yang lain yang merupakan konvensi tambahan. Konvensi itu antara lain perulangan, persajakan, tipografi, pembagian baris sajak, pembaitan, makna kiasan karena konteks dalam struktur yang semuanya itu menimbulkan makna dalam karya sastra. Tentu saja tanda-tanda tersebut erat hubungannya dengan tanda kebahasaan. Misalnya ulangan tidak terpisahkan dengan kata-kata yang diulang-ulang yang semuanya menimbulkan ulangan bunyi dan menimbulkan efek intensitas atau efek liris atau efek lain.
Bagian-bagian (unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan bagian yang merupakan tanda yang bermakna di dalamnya harus dijelaskan.
Sajak atau pusi adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara bagian-bagiannya saling erat berhubungan. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika terintegrasi ke dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu. (Hawkes, 1978:18). Jadi, untuk memahami puisi haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan (Culler, 1977:170).
Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti.
Puisi adalah sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan sistem semiotik tingkat pertama yang berupa bahasa tertentu (Preminger, 1974:981), sistem tanda tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberi arti dan efek yang lain dari yang dimiliki prosa biasa. Tugas semiotik puisi adalah membuat eksplisit asumsi-asumsi implisit yang menguasai produksi arti dalam puisi.
Tahap pertama memahami puisi secara semotik adalah dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya secara referensial, menurut kemampuan bahasanya yang mendasarkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala di luar: fungsi memetiknya. Tahap ini oleh Riffaterre (1978) disebut tahap pembacaan heuristic. Setelah itu, pembacaan dan pemaknaan harus ditingkatkan pada tahap semiotik yaitu dengan membongkar kode-kode sastra secara struktural, atas dasar maknanya; penyimpangan dari kode bahasa, dari makna biasa, yang oleh Riffaterre disebut ungrammaticalities dengan latar belakang keseluruhan karya yang disimpanginya (intertekstualitasnya dengan karya-karya sebelumnya). Tahap kedua inilah yang disebut sebagai tahap pemaknaan secara semiotik.
Dengan demikian, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, dan sebaliknya. Bagian-bagian (unsur-unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan bagian-bagiannya merupakan tanda-tanda yang bermakna dalamnya harus dijelaskan.
3. Teori Semiotik yang Dijadikan Alat untuk Mengkaji
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aart van Zoest (1996: 5) bahwa pemahaman semiotik adalah salah satu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan cara berfungsinya hubungan dengan tanda-tanda lainnya, pengiriman, dan penerimaannya oleh mereka yang mengirimkannya.
Dalam kajian ini akan dipergunakan teori semiotik yang dianut oleh Charles Sander Peirce. Menurutnya tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
D. Pembahasan
Sebelum pengkajian puisi Sodom dan Gomorrha karya Sastrowardoyo, terlebih dahulu diperhatikan tampilan puisi berikut ini.
Sodom dan Gomorah
Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
Kita mengikuti sebuah all night ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyapu mata
tak terdengar pintu diketuk
Kau?
Yippee!!
Rock-rock-rock
Jam menunjuk tiga (Sastrowardoyo, 1990:33).
Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi memberi petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi adalah memahami judulnya (Esten, 1995: 212-213).
Ikon Sodom dan Gomorrha misalnya, dikaitkan dengan citra sebagaimana diungkapkan Wellek dan Waren yang merupakan reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak terlalu bersifat visual. Begitu membaca judul puisi Sodom dan Gomorrha, maka dua ikon itu akan memberikan gambaran makna berikut.
Secara umum menggambarkan bahwa kata Sodom berarti pencabulan dengan sesama jenis kelamin atau dengan binatang, atau dapat pula berarti sanggama antar-manusia secara oral atau anal, biasanya dilakukan antar-pria; semburit. Kata gomorrha berarti virus yang biasa menyerang anak ayam dengan gejala mengantuk, bulu mengerut, menceret keputih-putihan atau penyakit yang disebabkan virus gumboro (gumurah).
Dari judul puisi mengingatkan kepada sebagian orang yang memahami di jaman Nabi Luth a.s, ada negara yang mendapat kutukan dari Allah swt., karena rakyatnya melakukan hubungan seksual dengan sesamanya (pria dengan pria, wanita dengan wanita) penduduknya sangat buruk budi pekertinya, tidak percaya kepada Tuhan, hanya disibuki kehidupan yang bersifat duniawi saja, hura-hura, dan pesta-pesta. Akibat perbuatan itu, Allah menurunkan azabnya yang tergambar dalam firman-Nya dalam surat Al-A’raf (surat 7: 80-84) sebagai berikut
Terjemahnya : Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?" (Q.S, 7:80)
Terjemahnya : Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (S.Q.7: 81).
Terjemahnya : Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." (Q.S, 7: 82).
Terjemahnya : Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan) (Q.S, 7: 83).
Terjemahnya : Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu (Q.S, 7: 84).
Dalam ayat tersebut Allah mengungkap sesuatu yang sangat buruk bahwa Nabi Luth a.s., hendak meluruskan aqidah mereka iaitu kebiasaan buruk mereka dalam bidang seks. Homoseksual merupakan pelanggaran fitrah. Allah Yang Maha Esa telah menciptakan manusia bahkan makhluk lanilla yang memiliki kecenderungan kepada lawan jenisnya, dalam rangka memelihara kelanjutan jenisnya. Yakni bahwa kenikmatan yang diperoleh dari hubungan tersebut bersumber dari lubuk hati masing-masing pasangan bukan hanya kenikmatan jasmanai, tetapi kenikmatan rohani, dan gabungan kenikmatan dari dua sisi itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang melakukan homoseksual hanya mengharapkan kenikmatan jasmani yang menjijikkan sambil melepaskan tanggung jawabnya. Belum lagi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani dan rohani yang diakibatkannya. Homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga ia dinamai fahishah (QS. An-Naml (27) : 54-55).
Hubungan seks yang merupakan fitrah manusia hanya dibenarkan terhadap lawan jenis (dalam ajaran Islam setelah menikah). Pria mencintai dan birahi terhadap wanita demikian pula sebaliknya. Jika terjadi hubungan antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), maka itu bertentangan dengan fitrah manusia. Setiap pelanggaran terhadap fitrah mengakibatkan yang diistilahkan dengan uquubatul Fiathrah (sanksi fitrah). Dalam konteks pelanggaran terhadap fitrah seksual, sanksinya antara lain apa yang dikenal dewasa ini dengan penyakit AIDS. Penyebabnya ádalah hubungan yang tidak normal. Inilah dalam al-Qur’an disebut dengan fahisyah. Perhatikan pula dalam QS. Al-Qamar (54) : 33-39, bagaimana perilaku kaum Luth a.s., terhadap tamu Nabi Luth a,s., (malaikat yang menyerupai laki-laki tampan), mereka berusaha untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada tamu Nabi Luth a.s.
Pelampauan batas, yang menjadi penutup ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kelakuan kaum Nabi Luth a.s., melampaui batas fitrah kemanusiaan, sekaligus menyia-nyiakan potensi mereka yang seharusnya ditempatkan pada tempatnya yang wajar, guna kelanjutan jenis manusia.
Karena kedurhakaan kaum Nabi Luth a.s., berlangsung bahkan meningkat secara terus menerus, maka Allah Swt., menjatuhkan sanksi-Nya. Namun, sebelum menyebut jenis sanksi terlebih dahulu dijelaskan tentang orang yang selamat dan yang tidak selamat atas sebuah sanksi. Perhatikan pula (QS.al-a’raf (7) : 83; QS. An-Naml (27) : 57; QS. Al-Hijr (15) : 59-76). Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya yakni pengikutnya, kecuali isterinya (lihat juga QS. Ash-Shaffat ( 37) : 133). Yakni isteri yang durhaka itu termasuk sebagai orang yang tertinggal, yakni dibinasakan sama dengan kebinasaan lelaki (homoseksual) QS. Hud (11) : 77-78.
Sebuah pendapat dari Thahir Ibnu ’Asyuur bahwa ia menduga isteri Nabi Luth a.s. berasal dari penduduk negeri Sadum (Sodom) tempat kaum Luth a.s., dibinasakan, lihat (QS. Al-Hijr, 15 : 65).
Setelah menjelaskan keselamatan Nabi Luth a.s., dan pengikutnya dan mengisyaratkan jatuhnya siksa bagi yang membangkang. Maka selanjutnya dijelaskan tentang jenis sanksi bagi mereka (QS. Al-A’raf (7) ; 84). Dan Kami hujani (kata Allah), yakni Kami turunkan dari langit sehingga mengenai bagian atas mereka, hujan batu yang akhirnya membinasakan mereka, maka lihatlah bagaimana kesudahan para pendurhaka (kaum Luth a.s. yang homoseksual), lihat juga QS. Al-Hijr (15) : 66; QS. An-Naml (27) : 58. dan siksaan tersebut tidak dapat mereka elakkan, hujan tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa dan ajaib sebagai mana dalam QS. Huud (11) : 82-83.1 sebagai berikut:
Terjemahnya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S, 11: 82).
Terjemahnya :Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim[733].
[733]. Yakni orang-orang zalim itu karena kezalimannya, mereka pasti mendapat siksa yang demikian. Ada pula sebagian mufassir mengartikan bahwa negeri kaum Luth yang dibinasakan itu tidak jauh dari negeri Mekah.
Membaca larik-larik puisi, pembaca digiring pada citraan bahwa ikon Sodom dan Gomorrha bukan sekedar judul, akan tetapi sebuah simbolisasi dari penandaan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s., yang tidak megindahkan perintah-Nya akibat kemurkaan, negeri Sodum di balik dan dihujani batu siapa yang dikehendaki-Nya termasuk istri Luth juga binasa.
Diksi yang merupakan metaforis-simbolis dengan penggambaran (imaji) beragam pengalaman psikisnya ter-presentase di dalamnya. Tuhan diantropomorkan diwujudkan sebagai benda yang tertimbun salah satu cara untuk merangsang imaji pembaca. Tuhan tertimbun / di balik surat pajak, secara simbolis menggambarkan bahwa tidak ada penguasa, rakyat semakin merajalela melakukan apa saja yang diinginkan halal-haram sama saja. Politik dipermainkan, penguasa berpesta pora menikmati kelezatan dunia yang mereka ciptakan. Sementara, sebagian rakyat tertindas karena ulah pejabat yang tidak bertanggung jawab, malah pembagian air pun dikeluhkan. Dan keluh tangga kurang air merupakan metafora memperjelas penderitaan rakyat akibat tuhannya tertimbun.
Diksi air merupakan lambang kehidupan. Bagaimana sengsaranya seseorang jikalau air sebagai kebutuhan hidup tidak ada, manusia membutuhkan air minum minimal tiga liter tiap hari belum termasuk kebutuhan lain seperti mandi dan sebagainya. Apatahlagi yang mengeluh kurang air orang sekampung.
Suasana kekacau-balau itu memuncak pada bait kedua digambarkan dengan bunyi k, p, t, s. tutup. Kertas berserak/ terompet berteriak/ muka pucat mengantuk/ tak terdengar pintu diketuk. Keadaan yang kacau itu tidak mengenakkan/ menyesakkan dada. Terompet berteriak, menyebabkan citra pendengaran terganggu (gendang-gendang telinga). Karena keributan dan kebisingan seperti itu, mereka tidak mendengarkan peringatan dan tidak mendengar peringatan Tuhan. Mereka terus berdansa semalam suntuk dengan musik yang kacau. Terikan-teriakan kegembiraannya pun tidak seperti halnya teriakan kegembiraan pada umumnya (yippee).
Muka pucat mengantuk / asap asbak menyapu mata / tak terdengar pintu diketuk, merupakan perpaduan antara citra perasa dan citra dengar, menggambarkan kondisi ketidak-tentraman, tidak ada aktivitas yang menyenangkan disebabkan karena kurang tidur (tidak ada semangat hidup), asap asbak menyapu mata adalah citra gerak (visual) dapat bermakna masa depan yang suram. Semua indra tidak berfungsi termasuk citra pendengaran (tak terdengar pintu diketuk). Ditambah dengan yippee !! Rock-rock-rock, merupakan kombinasi bunyi vokal i kombinasi konsonan p rangkap vokal e rangkap pengulangan konsonan r, c dan dipadukan dengan vokal o menimbulkan orkestrasi yang tidak memuakkan (kakafoni).
Jam menunjuk tiga, memaknakan kepulangan mereka dari berhura-hura menjelang pagi. Pada umumnya orang-orang yang mabuk-mabuk karena hura-hura (minum-minuman yang memabukkan) tidak adalagi (bisa) aktivitas, baginya tidur yang utama. Tidur adalah tanda ketidak-suksesan.
Dengan demikian, puisi Sodom dan Gomorrha penggambaran suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan. Oleh penyair, kota-kota sebagian di Indonesia diasosiasikan dengan kota Sodom dan Gomorrha yang penduduknya sudah tidak bermoral dan tidak lagi ingat kepada Tuhan. Karena melupakan Tuhan, maka azabnya sangat pedih. Tidak dapat disangkal di mana-mana terjadi kekecauan, pemimpin bangsa tidak lagi berarti, demokrasi terinjak-injak. Gempa , badai (angin rebut, longsor), dan sebagainya adalah cerminan kemurkaan Tuhan. Namun sebagian umat tidak menanggapinya. Bahkan kemaksiatan makin meraja lela di mana-mana. Para atris panggung hiburan, secara vulgar mempertontonkan auratnya bukanlah hal yang tabu, bahkan baginya adalah kesenangan (hobi) yang tersalurkan. Pada hal diketahui bahwa aurat seorang perempuan hanya muka dan telapak tangan yang bisa tidak tertutupi., sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 sebagai berikut.
Terjemahannya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Firman Allah menganjurkan bahwa mewajibkan kepada kaum perempuan menutup auratnya sementara yang terjadi sekarang malah sebaliknya, sebagian perempuan tidak punya malu merasa ketinggalan zamanlah baginya apabila berbusana tidak tampak sebagian anggota tubuhnya. Kalau hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka murka Allah akan datang yang lebih parah lagi dari yang pernah terjadi ….Anauzubillah minzalik.
E. Penutup
Gambaran simbolik ungkapan penyair secara semiotik diekspresikan lewat puisinya Sodom dan Gomorrha, mengungkapkan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s., yang penduduknya homoseksual. Sodom adalah negeri yang terletak di laut Tengah yang telah dihancurkan oleh Allah swt., karena penduduknya sangat buruk budi pekertinya, tidak percaya kepada Tuhan, berbuat maksiat hanya disibuki urusan dunia saja.
Oleh penyair keadaan yang tergambar dalam larik-larik puisi diasosiasikan dengan sebagian kota-kota yang ada di Indonesia. Tempat maksiat bukan lagi tabu, pelacuran merajalela, narkoba menjamur. Pada tingkat atas (pimpinan) sebagian korupsi adalah santapan yang empuk, dipengadilankan merupakan arena sandiwara yang dilakonkan menurut keinginan sutradara. Maka tidak mengherankan, murka Allah pun sedikit-demi sedikit tampak. Namun bagi pelaku tidak pernah tahu dan memang tidak mau tahu. Aceh dengan sunaminya, Porong dengan lumpur panasnya banjir di setiap daerah, gempa di Jokja, Sulawesi, angin rebut bergantian dari satu daerah ke daerah yang lain hingga merata seantero dunia.
Dengan demikian, suasana yang tergambar dalam larik-larik puisi adalah suasana yang kacau-balau. Di samping itu, bunyi-bunyi parau, tidak merdu pun menghiasi larik-larik. Dari bunyi konsonan yang tidak bersuara (k, p, t, s ) dari awal sampai akhir memperdalam dan memperjelas arti, tanggapan, dan perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar