Jumat, Oktober 10, 2014

Kajian Simiotik Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail

 Kajian Simiotik Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail

Semiotik yang dimaksud dalam penelitian ini antara lain: (1) komponen tanda (lambang/ simbol, makna), (2) tingkatan tanda (denotasi/konotasi), (3) relasi antar tanda (metafora).
Untuk lebih jelasnya diperhatikan kajian  berikut ini dan sebeumnya ditampilkan sajak berikut.

1.      Komponen Tanda (Lambang atau Simbol, Makna)
“Dengan puisi aku”
Dengan puisi aku bernyayi
Sampai senja umurku nan
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang                                 
 Dengan puisi aku menangis
 Jarum waktu bila kejam mengiris 
Dengan puisi aku mengutuk
 Nafas zaman yang busuk                                              
 Dengan puisi aku beetrdoa
 Perkenanlah kiranya

Komponen  tanda yang terdapat dalam sajak di atas, dapat dilihat uraian berikut.
a.      Lambang atau simbol
Lambang atau simbol yang dimaksud adalah: bernyanyi ,bercinta, mengenang, menangis, mengiris, mengutuk, berdoa, jarum,
         Dipahami  bahwa, kata bernyanyi adalah lambang/simbol. Dengan puisi aku bernyanyi berarti bersama atau dengan cara mengungkapkan ungkapan personal melalui medium bahasa (puisi) aku, saya, menyenandungkan bait-bait nada dan musik. Kata aku bait puisi tersbut, secara mimesis membayangkan adanya sseorang, entah laki-laki atau perempuan, entah muda atau tua, entah di mana, entah kapan terjadi, kata aku jelas menunjukkan adanya manusia. Dengan puisi Aku Bercinta merupakan bersama atau dengan cara mengungkapkan  personal melalui medium bahasa (puisi) aku, saya, ego telah dijelaskan di muka, bercinta berasal dari kata dasar cinta yang berarti suka sekali, sayang benar, ingin sekali. Mengenang yang berarti membangkitkan kembali ingatan, mengingat-ingat, ataukah membayangkan lagi.
Menangis merupakan lambang  yang dapatlah ditandai sebagai mencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan sebagainya) sebagai ungkapan perasaan sedih. Menangis biasanya dialami oleh orang yang mendapat musibah dan ada pula orang yang menangis karena mendapat keberuntungan yang tidak terduga sebelumnya. Mengiris merupakan suatu tindakan kekejaman yang melahirkan luka kemanusiaan yang parah. Dengan  puisi aku mengutuk, berarti mengatakan, menyatakan, menyumpahi, melaknatkan sesuatu yang buruk. Pengarang  menutupnya sebagai lanjutan dari Dengan puisi aku  berdoa,  berarti mengucapkan (memanjatkan) permohonan/harapan kepada Tuhan. Dalam tradisi agama-agama, doa dilakukan baik itu sebelum maupun sesudah melakukan dapat dilihat. pada kata Jarum yang bararti jarum berarti kawat halus yang ujungnya tajam dan pangkalnya berlubang tempat memasukkan benang.
b.       Makna
   Makna bait pertama, Dengan puisi Aku bernyanyi berarti lahirnya semangat pengarang menyuguhkan hiburan melalui puisi. Mencipta melodi, syair, dan nada yang tentu saja memberikan pengaruh estetik kepada setiap orang yang mendengarnya. Sehingga dengan bernyayi, pengarang tidak hanya sekadar menghibur untuk orang lain, melainkan untuk menyatu dengan penciptanya sekaligus segala manifestasi makhluk-Nya yang paling dekat dengan diri sang aku dalam kehidupannya, yakni manusia. Sampai senja umurku nanti mengimplikasikan hubungan antara senja dan umur dalam membangun demarkasi pemaknaan. Senja menyiratkan pewaktuan yang berhubungan dengan masa, di mana seseorang hidup. Hubungan yang melekat antara senja dan umur sebagai metafora perjalanan hidup yang ditempuh berada pada waktu yang dekat dengan kematian. Sampai dan nanti larik  menunjukkan adanya pertemuan pada masa dan waktu tertentu setelah bertemu pada masa yang sudah terjalani.
            Selanjutnya bait kedua,  dengan puisi aku bercinta berarti adanya keinginan untuk merangkai kehidupan dengan kesungguhan, kerelaan, serta ketulusan untuk saling menyayangi, berbagi dan menjatuhkan diri ke dalam oase pertemuan yang amat suci. Bercinta terpahami seperti bertemunya dua atau lebih subjek yang berada pada titik kasih sayang yang sama. Berada di ambang ketulusan membangun hubungan yang tidak semata-mata bersifat fisik, melainkan melampaui metafisik kehidupan. Berbatas cakrawala mengindikasikan adanya ujung dari setiap upaya yang dilakukan dalam batas-batas kehidupan. Hubungan bercinta dan berbatas cakrawala mengimplikasikan bahwa kekuatan apa pun yang ada dalam batas-batas kehidupan selalu saja dibatasi oleh kehidupan yang akan datang, termasuk di dalamnya kesediaan untuk saling menyayangi, mencintai, dan berbagi terbatasi oleh hakikat cinta yang lebih luas dan tidak terjangkau oleh nalar kehidupan.
            Demikian pada bait ketiga, Aku mengenang mengimplikasikan terjadinya proses menoleh kembali catatan kehidupan yang telah berlalu dan mungkin masih dihadapi. Kegiatan meneropong jejak titik kehidupan untuk menangkap esensi yang sesungguhnya. Dalam bahasa agama, mengenang sama dengan muhasabah, merefleksi setiap laku, tindakan, dan perangai yang pernah dan akan dilakukan. Nabi Muhammad dalam catatan hidupnya, mendaur kembali hakikat dirinya di Gua Hira, dan saat itulah kenabian dan kerasulan pun diterimanya. Keabadian yang akan datang termaknai bahwa setelah kefanaan kehidupan yang berakhir akan muncul kehidupan yang abadi, langgeng, dan tidak mengenal lelah untuk tetap eksis. Suatu kesadaran yang muncul, bahwa akan ada kehidupan yang tidak mengenal kehancuran dan kebinasaan. Kehidupan semacam itu hanyalah milik Sang Abadi itu sendiri, yakni Tuhan.
            Sementra bait keempat,  kalimat berulang dengan puisi aku menangis dapatlah dikatakan sebagai ungkapan kesedihan, haru dan sedih dengan medium puisi sebagai alat pengungkapannya. Jika dihubungkan dengan jarum waktu bila kejam mengiris, maka dapatlah di urai bahwa dalam hubungan jarum dan mengiris, adalah dua hal yang tidak berbanding berdasarkan fungsinya. Jarum berfungsi untuk menusuk sementara irisan biasanya tersifati dari belati. Kedua kata ini merupakan metafora untuk mengungkap sebuah kenyataan bahwa perjalanan waktu telah menyisakan realitas yang menyedihkan, karena darinya lahir luka yang teramat perih dan pedih. Jarum dan kejam saja dapatlah dibingkai menjadi semacam tusukan yang menebar luka oleh suatu perilaku yang meniadakan sisi-sisi manusia dan melakukan dehumanisasi yang menusuk. Keterhubungan kedua penggalang kalimat pada bait ini mengimplikasikan terjadinya tindakan kekejaman yang melahirkan luka kemanusiaan yang parah, dan dengan ungkapan personal seorang pengaranglah, realitas tersebut diungkap dan dipersentasikan.
            Aku mengutuk (bait kelima) melambangkan tata cara menghujat suatu perbuatan. Pernyataan yang menyeret sebuah perilaku ke dalam terminologi yang sesat, kufur, dan biadab. Seseorang yang mengutuk orang lain dalam pranata kehidupan kita, tercipta dari sesuatu yang tidak bisa lagi diberi perma’afan dan baginya hanyalah keadaan yang paling buruk dari yang seharusnya dilakukan. Nafas zaman yang busuk memungkinkan pembacaan bahwa potret suatu masa yang bergerak menjadi bangkai yang mengundang aroma yang tidak sedap. Ternodai oleh perilaku, cara pandang, dan tradisi-tradisi yang mengandung kebobrokan dan asusila. Hubungan nafas dan busuk, jika dipertautkan mendapat pemaknaan bahwa sesuatu itu membawa bau yang tidak baik bagi penciuman manusia. Aku mengutuk dan nafas zaman yang busuk merepresentasikan respon keras berupa pengecaman seseorang terhadap realitas kehidupan yang bergerak pada ambang kebobrokan, sadisme, bahkan fatalisme moral dan terjadi disfungsi nilai dari wajah zaman sebagai perjalanan peradaban manusia. Puisi dengan sendirinya hendak mengungkap fakta-fakta itu dengan lantang dan tetap bersikap jujur meskipun kelihatan naif.
            Bait keenam, Dengan puisi aku berdoa mengimplikasikan permohonan dan harapan dari sesorang. Perjalanan kembali dari ketidaksanggupan dan ketidakberdayaan seorang hamba kepada Penciptanya. Jika dipertautkan dengan perkenankanlah kiranya menunjukkan adanya keselarasan dari doa. Pengarang ingin menegaskan bahasa ketidak mampuan, ketidaksanggupan, dan ketidakberdayaan melalui bahasa.

2.      Tingkatan Antartanda (Konotasi dan Denotasi)
Tingkatan tanda adalah cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya kemungkinan untuk dihasilkan makna sebuah teks. Oleh karena itu, hubungan antara sebuah penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi, maka sebuah penanda dan pada dasarnya membuka berbagai peluang atau makna.
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yang memungkinkan untuk menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu tingkat denotasi dan konotasi.  “Denotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, lamgsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto wajah Barnadi berarti wajah Barnadi yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
             “Konotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka dalam berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif
 Kata bernyanyi merupakan denotasi yang berarti bersama atau dengan cara mengungkapkan ungkapan personal melalui medium bahasa (puisi) aku, saya, ego menyenandungkan bait-bait nada dan musik. Kata bercinta  merupakan denotasi yang berarti memendam perasaan cinta dalam dirinya kata mengenang merupakan denotasi  yang berarti membangkitkan kembali ingatan, mengingat-ingat, ataukah membayangkan lagi. Kata  menangis merupakan denotasi yang bermencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan sebagainya) sebagai ungkapan perasaan sedih. Kata  mengiris merupakan denotasi yang sebagai memotong atau mengerat tanpa belas kasihan atau lalim dan sadistik. Kata mengutuk merupakan denotasi yang berarti mengatakan, menyatakan, menyumpahi, melaknatkan sesuatu yang buruk.  Kata berdoa merupakan denotasi yang berarti mengucapkan (memanjatkan) permohonan/harapan kepada Tuhan.
Tingkatan tanda konotasi terdapat pada kata: kata cakrawala merupakan konotasi yang artinya lengkungan langit dan kata senja juga merupakan konotasi yang artinya matahari.

3.      Relasi  Antartanda
Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga beruapaya mengungkap interaksi di antara tanda-tanda. Meskipun  bentuk interaksi di antara tanda-tanda ini sangat terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora (metaphor) “Metafora” adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan metafora ‘kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang banyak digunakan di dalam berbagai puisi sebagai karya sastra.
   Metafora dalam puisi dengan puisi aku yaitu Keabadian Yang Akan Datang  bermakna kehidupan yang akan terjadi di masa yang akan dilewati. Jarum waktu bila kejam mengiris merupakan metafora yang memberikan penyifatan terhadap sesuatu. Kata jarum berarti kawat halus yang ujungnya tajam dan pangkalnya berlubang tempat memasukkan benang, dan kata waktu merupakan seluruh rangkaian saat ketika proses, saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu atau dapat juga berarti kesempatan, tempo, peluang. Jarum  waktu merupakan metafora yang mengandaikan adanya keadaan atau kesempatan yang menusuk sangat tajam.














Kajian Semiotik dalam Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail

 Kajian Semiotik dalam Puisi Tirani dan Benteng Karya Taufik Ismail

Sebagai salah satu genre sastra, puisi pun masih diminati oleh masyarakat, baik oleh para pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi atau sajak sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan, dan pemikirannya yang abstrak dan sukar diterjemahkan. Puisi merupakan kristalisasi pengalaman, maka hanya inti masalah yang dikemukakan; untuk mencapai hal itu perlu pemadatan. Untuk pemadatan ini, puisi hanya menyatakan sesuatu hal secara implisit, sugestif, dan mempergunakan ambiguitas. Semuanya itu yang menyebabkan sukarnya pemahaman puisi atau sajak (Pradopo, dkk, 2002).
Oleh karena itu, diperlukan adanya seperangkat teori yang dapat diterapkan dalam membaca, membongkar, serta memahami sebuah puisi, agar tercipta koherensi pemahaman terhadap karya sastra. Di Indonesia sudah ada beberapa kajian puisi dan kritik puisi, di antaranya adalah Apresiasi Puisi (1974, cet II) oleh S. Effendi, Teori dan Apresiasi Sastra (1987) oleh Herman J. Waluyo, dan Pengkajian Puisi (1987, cet I; 1990, cet.II) oleh Rachmat Djoko Pradopo (2002). Ketiga buku tersebut merupakan buku pengkajian puisi yang membincang puisi (sajak) dalam garis besarnya, berguna bagi pemahaman puisi pada tahap awalnya. Model itu pula hanya berkutat pada kajian strukturalisme murni yang masih menjelajah pada aspek intrinsik dan ekstrinsik puisi.
Pada pengkajian lain, model-model yang digunakan masih terbatas pada bagian permukaan suatu puisi (sajak). Kritik puisi, selain ketiga tersebut, yang perlu dikemukakan di sini adalah buku kumpulan kritik sajak berasal dari media massa karya M. S Hutagalung Sajak-Sajak dalam Analisis (1989), dan Linus Suryadi A. G. Di balik Sejumlah Nama (1989). Keduanya bersifat kritik yang impresionistik, yang membahas sajak pada sifatnya memang esaistis; hanya membicarakan dan menganalisis unsur sajak yang dianggap penting saja dan tidak sampai merenik.
Dari uraian di atas, tampak perlu adanya sebuah model kajian sajak yang uraiannya lebih mendalam, sistematis, tetapi praktis yang dapat dipergunakan untuk memahami puisi secara lebih mudah dan dalam. Model pengkajian yang dimaksud adalah model pengkajian semiotik. Pengkajian dalam bingkai strukturalisme semiotik di harapkan dapat memahami puisi (sajak) untuk menangkap makna dari konvensi bahasa yang terdapat di dalamnya.
Model pengkajian puisi dengan menggunakan metode analisis semiotika sudah diterapkan di Indonesia. Meskipun hanya menggunakan model semiotika Rifaterre. Model ini digunakan oleh Rachmat djoko Pradopo (1994) terhadap puisi Dewa Telah Mati karya Subagio Sastrowardoyo, dan Faruk (1995) yang menganalisis puisi Aku karya Chairil Anwar (Pradopo, dkk. 2002). Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan menerapkan model kajian semiotik untuk membongkar analisis struktur dalam puisi. Metode strukturalisme semiotik diharapkan dapat mengkaji puisi (sajak) secara sedalam-dalamnya, dapat menganalisis kompleksitas struktur puisi, dan diharapkan dapat memberikan makna puisi (sajak) semaksimal mungkin.
            Untuk mengkaji puisi analisis semiotik, terlebih dahulu harus dipahami teori yang digunakan dalam menganalisis. Untuk itu ditampilkan teori berikut ini.
1.      Pendekatan Semiotik

      Semiotik berasal dari kata Yunani kuno”semeton” yang berarti tanda atau”sign” dalam bahasa Inggris. Ferdinand de Saussure yang digelar sebagai bapak Lungustik Moderen, dalam bukunya Ours de Linguistiqe General (1916), juga mengajukan konsep signe (Inggris: sign Indonesia: tanda) untuk mengajukan gabungan signifie (Inggris: signified) atau “yang mengartikan” adalah tidak lain dari makna atau konsep dari signifiet atau yang mengartikan yang wujudnya berupa bunyi-bunyi bahasa. Signifiet dan signifiant sebagi signe linguistique merupakan satu kesatuan yang merujuk kepada suatu referent, yaitu suatu, berupa benda atau hal, yang berada di luar bahasa (Munandar, dkk dalam Chaer, 2004).
   Kata semiotika dalam bahasa Indonesia diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics, yang berasal dari bahasa Yunani: semion, yang berarti tanda (Chaer, dalam Munandar, 2004). Nama lain semiotika adalah semiologi. Bagi para penutur bahasa Inggris dan di lingkungan kebudayaan Amerika nama semiotika sudah menjadi istilah  umum. Istilah semiotika ini menjadi populer berkat buah pemikiran seorang filsuf dan ahli logika Charles Sanders Pierce. Ia mengembangkan semiotika dalam hubungannya dengan filsafat pragmatisme. Di lingkungan kebudayaan Perancis dan para penutur bangsa Eropa yang lain, nama semiologi lebih dikenal dan dipahaminya. Hal ini berkat jasa baik “Bapak Seniotika Modern” (Munandar, dkk dalam Zoest, 2004), ferdinand de Saussure, yang berhasil meletakkan dasar-dasar semiologi kebahasaan dan psikologi sosial bagi perkembangan ilmu semiotika.
      Dalam pertumbuhan selanjutnya, Semiotika dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, antara lain Charles Morris, Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland Barthes, Umberto Eco, Julia Kristeva, Aj Grimas, dan Michael Rifaterre (Noth, 1990). Kemudian teori semiotika yang akan diacu dalam analisi puisi ini adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotics Of Poetry (1978). Ia menganggap puisi adalah sebagai salah satu wujud aktifitas bahasa, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa seharihari. Laras bahasa puisi tersebut disebabkan oleh penggubahan (displacing makna, penciptaan (creating) makna baru, dan perusakan (distorsing) makna kebahasaan sehari-hari. Bahasa sehari-hari itu bersifat mimetik sehingga membangun arti (meaning) yang beraneka ragam dan menampakkan adanya keterpecahan atau ketakgramatikalan (ungrammatikalitas). Sebaliknya, bahasa puisi itu bersifat semiotik sehingga membangun makna (significance) tunggal dan memusat.
     Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai suatu sistem tanda, tetapi ia pun menegaskan bahwa tanda bahasa bukanlah satu-satunya tanda. Atas dasar itulah muncul pemikiranya, bahwa ilmu bahasa, yang dianggap sebagai studi mengenal jenis tanda tertentu, mestinya mendapat tempat di dalam ilmu tanda. Menciptakan ilmu tanda seperti itu bukanlah urusannya, tetapi ia telah memikirkan sebuah nama untuknya, yakni ‘semiologi’. Kata semiologi disampin kata semiotika, sampai sekarang masih di pakai. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakaiannya, mereka yang bergabung dengan peirce menggunakan kata ‘semiotika’ dan mereka yang bergabung dengan sussere menggunakan kata ‘semiologo’. Tetapi yamg terakhir, kalau di bandingkan yang pertama, semakin jarang dipakai.
      Teori Pierce mengatakan bahwa sesutu itu dapat di sebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagi represantamen haruslah mengacu (atau mewakili )sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya istilah referent). jadi, jika sebuah tanda acuannya, hal itu fungsi utama tanda itu. Misalnya, anggukan kepala mewakili persetujuan, gelengan mewakili ketidaksetujuan.
      Berdasarkan teori tanda yang ditemukan oleh Saussure dan Pierce, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu semiotika berarti ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Zoest (dalam Munandar, 2004); Ilmu semiotika dapat diartikan sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesutu yang berhubungan dengan tanmda, sepeti sistem tanda dan prosesyang berlaku bagi penggunaan tanda. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hoed (dalam Munandar, 2004) bahwa” semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda”.
     Semiotika dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu ilmu (teori) tentang lambang dan tanda (dalam bahasa, lalu lintas, kode, morse dan sebagainya) (Lukman, 1995). Dikemukakan oleh Junus (1981) bahwa semiotik merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda dan maknanya, dan komvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
      Pendekatan semiotik bertolak dari asumsi bahwa karya sastra memiliki suatu sistem sendiri yang memiliki dunianya sendiri, sebagai suatu realitas yang hadir atau dihadirkan dihadapan pembaca didalamnya terkandung potensi komunikatif yang ditandai adanya lambang-lambang kebahasan yang khas yang memiliki nilai artistik yang dramatik itu di akibatkan suatu dorongan kreatif yang subjektif pengarang pemaknaannya juga mengacu kepada suatu yang lain, selain teks, yang mengacu kepada berbagai dimensi makna yang sering kali bersifat kompleks.
     Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa. Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol. Ia merupakan simbol yang rangkain bunyi yamg dihasilkan atau alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada suatu yang ditangkap panca indera. Hal ini dijelaskan oleh Pradopo (1994) sebagai berikut:
          Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti, medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada alat musik ataupan warna pada lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan dalam lukisan bersifat netral belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan suatu lambang yang sudah mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat. Lambang atau tanda-tanda bahasa itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvansi (perjanjian) masyarakat, sistem ketandaan itu disebut semiotik.
       Dari pendapat para ahli pesan teoris semiotika, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika merupakan cabang ilmu yang beberurusan dengan pengkajian tanda dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda yang berlaku bagi kegunaan tanda.


2.      Elemen-elemen Dasar Semiotika

Penggunaan metode semiotika dalam memahami dan membongkar puisi harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika. Elemen dasar dalam semiotika adalah komponen tanda yang meliputi, lambang (symbol)dan makna.tingkatan tanda (denotasi/konotasi), serta relasi tanda (metafora/metonimi). Semitotik sebagai pijakan dalam pengakjian karya sastra tentu mempunyai komponen di dalamnya. Komponen dasar semiotik mencakup. Ketiga komponen inilah yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam mengkaji karya sastra.
Tanda dalam semiotik merupakan bagian yang menandai sesuatu atau keadaan  untuk menerangkan obyek kepada subyek. Tanda, dalam hal ini selalu menunjukkan kepada sesuatu yang bersifat nyata misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, peristiwa dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai contoh terjadinya peristiwa gunung meletus mungkin diawali dengan tanda-tanda yang menunjukkan akan terjadinya peristiwa tersebut misalnya keluarnya asap tebal diiringi lahar. Bentuk seperti tanda alamiah tersebut merupakan suatu bagian dari hubungan secara alamiah pula. Peristiwa gunung meletus diwali dengan tanda-tanda yang menandakan akan terjadinya peristiwa itu.
Tanda-tanda alamiah berbeda dengan tanda-tanda yang dibuat oleh manusia. Tanda-tanda yang dibuat oleh manusia  hanya akan merujuk pada sesuatu hal yang terbatas maknanya. Tulisan manusia misalnya, merupakan tanda yang maknanya terbatas pada hal-hal yang tertuang di dalamnya. Hal ini dapat pula ditunjukkan oleh binatang dengan bunyi (suara) sebagai penanda dari binatang tersebut. Tanda-tanda seperti itu selalu tetap dan tidak pernah berubah. Dengan demikian tanda bersifat statis, umum, lugas dan obyektif.


a.      Komponen Tanda
           Penggunaan semiotika sebagai ‘metode pembacaan’ di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai wacana sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat diangap fenomena bahasa, ia dapat pula dipandang sebagai “tanda”. Hal ini dimungkinkan karena luasnya penjelasan “tanda” itu sendiri. Saussere, misalnya, menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang –seperti halnya selembar kertas-yaitu bidang penanda (signifier) nntuk menjelaskan ‘bentuk’ atau ’ekspresi’; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’.
         Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini (tanda/penanda/petanda), Saussure  menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) dikalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa. Meskipun, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda dan “obyek sebagai tanda” dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan arus pertukaran tanda (sign exchange) atau obyek dewasa ini tidak lagi berpusar di dalam satu komunitas tertutup, tetapi meliobatkan persinggungan diantara berbagai komunitas, kebudayaan, dan ideologi. Jean Baudrillard, di dalam berbagai karyanya mencoba melihat secara kritis kompleksitas penggunaan obyek dan sistem obyek (the system of objects). Dalam konteks tandanya (sign value) di dalam masyarakat kapitalis dewasa ini, yang merupakan suatu bidang penelitian sendiri yang sangat kompleks (Pradopo, dkk. 2002).
       Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol/lambang dan makna.


1)      Lambang/Simbol

Lambang adalah sesuatu yang mengantarkan pemahaman si subyek kepada obyek. Suatu lambang biasanya selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang secara kultural, situasional, dan kondisional mengacu pada pengertian tertentu. Lambang kebanggaan negara berupa bendera. Warna pada bendera tersebut mempunyai makna sesuai dengan kultur, situasi, dan kondisi. 
      Lambang bagi Peirce merupakan bagian dari tanda. Setiap lambang adalah tanda dan tidak setiap tanda itu sebagai lambang. Adakalanya tanda dapat menjadi lambang secara keseluruhan yaitu dalam bahasa. Sebagai sistem tanda yang arbitrer, setiap tanda dalam bahasa  merupakan lambang. Puisi sebagai karya dengan medium bahasa di dalamnya terdapat lambang  yang berupa bunyi, baik vokal maupun konsonan yang menyiratkan makna tertentu.
2)      Makna
Pengertian pemaknaan puisi yaitu pemberian makna atau penggantian makna pada sebuah puisi.
b.      Tingkatan Tanda
Cara pengkombinasian tanda serta aturan yang melandasinya kemungkinan untuk dihasilkan makna sebuah teks. Oleh karena itu, hubungan antara sebuah penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi, maka sebuah penanda dan pada dasarnya membuka berbagai peluang atau makna.
    Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan, yang memungkinkan untk menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
 “Denotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, lamgsung dan pasti. Makna denotasi, dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto wajah Barnadi berarti wajah Barnadi yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
  “Konotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka dalam berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif.
     Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
c.       Relasi Antartanda
    Selain kombinasi tanda, analisis semiotika juga beruapaya mengungkap interaksi di antara tanda-tanda.meskipun bentuk interaksi di antara tanda-tanda ini sangat terbuka luas, tetapi ada dua bentuk interaksi utama yang dikenal, yaitu metafora (metaphor) dan metonimi (metonymy).
    “Metafora” adalah sebuah model interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda dari sebuah sistem yang lainnya. Misalnya penggunaan metafora ‘kepala batu’ untuk menjelaskan seseorang yang tidak mau diubah pikirannya. Metafora merupakan sebuah kecenderungan yang banyak digunakan di dalam berbagai puisi sebagai karya sastra.
   “Metonimi” adalah interaksi tanda, yang di dalamnya sebuah tanda diasosiasikan dengan tanda lain, yang di dalamnya terdapat hubungan bagian (part) dengan keseluruhan (whole). Misalnya, tanda botol (bagian) untuk mewakili ‘pemabuk’ (total). Atau, tanda mahkota untuk mewakili konsep tentang ‘kerajaan’. Relasi metafora dan metonimi ini banyak digunakan di dalam puisi sebagai dua majas (figure of speech). Untuk menjelaskan makna-makna secara tidak langsung.

3. Unsur-unsur Puisi dalam Kajian Semiotik
Puisi sebagai karya sastra sarat dengan makna. Untuk dapat mengungkap makna pada sebuah puisi dapat dikaji dengan menggunakan teori semiotik. Beberapa unsur puisi  yang menjadi bahan kajian semiotik dalam penelitian ini adalah diksi, makna kata, citraan, dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur pembangun sebuah puisi yang dapat mengantarkan usaha mamaknai puisi menjadi lebih mudah
a. Diksi
Diksi berasal dari bahasa Latin dicere  atau  dictum. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah diction. Diksi dapat berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan (Scott). Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh efek tertentu. Dengan demikian diksi dapat diartikan berupa kecermatan pemilihan dan penggunaan kata-kata yang  bertujuan untuk memperoleh efek ucapan atau tulisan yang disampaikan.
          Penyair sebagai pengungkap kegelisahan batinnya tentu menginginkan kata-kata yang tepat dalam pengungkapannya. Ketepatan kata yang dipilih memungkinkan akan adanya penjelmaan pengalaman jiwa penyair secara utuh. Oleh karena itu, diksi merupakan sarana bagi penyair untuk dapat mengungkapakan pengalaman jiwa yang diekspresikan dalam bentuk kata-kata yang tepat. Ketepatan pemilihan kata memungkinkan penyair dapat menimbulkan imaji estetik. Dengan demikian, diksi merupakan salah satunya sarana untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal itu, ia memilih kata-kata yang setepat-tepatnya  yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan  intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbern dalam pradopo). Kecermatan penyair dalam memilih kata-kata salah satu pertimbangannya adalah mencermati perbedaan makna kata sekecil-kecilnya. Perbedaan makna kata akan menimbulkan kesan tersendiri pada puisi yang dihasilkan.
Dalam penciptaan puisi, penyair sangat cermat dalam hal pemilihan kata-kata yang akan dipergunakannya. Pemilihan kata-kata secara tepat dapat dipertimbangkan melalui makna yang terkandung. Di samping makna, komposisi bunyi dan kedudukan kata dalam bait-bait puisi juga sangat diperhatikan. Kata-kata yang dipilih tersebut bersifat absolut dan tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain walaupun dengan padanan katanya sekalipun. Penggantian kata-kata atau urutan kata akan merusak konstruksi puisi sehingga puisi tersebut akan kehilangan daya gaibnya (Herman J. Waluyo). Dengan demikian, begitu penting kecermatan dalam memilih kata-kata untuk menyampaikan pesan dalam sebuah puisi. Kecermatan dalam pemilihan kata-kata ini akan dapat dilakukan jika seorang penulis puisi memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai.
Perbendaharaan kata-kata yang dimiliki seorang penyair akan memudahkan penuangan ide-ide dalam karya-karyanya. Dengan kata-kata yang cukup terpilih juga akan memperlihatkan kemampuan penyair dalam mengekspresikan ide-ide tersebut. Di samping itu, dengan kata-kata yang secara selektif terpilih akan memperlihatkan karakterisitik karya-karya yang dihasilkan. Dengan demikian, kekuatan diksi seorang penyair jelas harus ditunjang dengan perbendaharaan kata yang cukup.
Perbendaharaan kata bagi seorang penyair merupakan satu keharusan yang mesti dimiliki. Untuk mendapatkan kata-kata yang sesuai dengan problematika yang akan disampaikan penyair biasanya tidak saja memilih kata-kata yang secara konvensional banyak digunakan, tetapi bisa saja ia memillih kata-kata yang sudah tidak dipergunakan lagi di masyarakat. Penggalian kata-kata tidak terbatas ke dalam perbendaharaan kata dari masa si pengarang itu, tetapi sering juga mencari jauh ke dalam perbendaharaan kata di masa lalu. Oleh karena itu, dalam sastra terhimpun perbendaharaan kata luas. (Rusyana).
Dalam tataran kata, sastra mempunyai satu kebesasan dalam pemilihannya. Bisa saja penyair menggunakan kata-kata yang sudah lama tidak dipergunakan lagi di masyarakat. Kebebasan ini bisa saja memunculkan kembali penggunaan kata-kata yang sudah tidak dipergunakan atau membangkitkan  makna yang terkandung di dalam kata tersebut. Dengan demikian, diksi dalam sebuah puisi bukan saja mengantarkan makna yang akan disampaikan dapat pula mengantarkan kata-kata lama untuk dipergunakan kembali.

b. Makna Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang terdapat dalam teks mempunyai makna tersendiri. Secara umum makna kata terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotasi adalah yang merujuk kepada makna sebenarnya (makna kamus). Sedangkan makna konotasi adalah arti tambahan yang ditimbulkan asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya ( Attenbern dalam Pradopo).
(Makna denotatif adalah makna yang terdapat dalam kamus, sebaliknya makna konotatif asosiasi-asosiasi yang melahirkan struktur makna kata berdasarkan konteks dalam pemikiran dan kata-kata lainnya dengan yang biasanya).
Perbedaan denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa pada sebuah kata. Setiap kata penuh mempunyai makna denotatif tetapi tidak mesti mempunyai makna konotatif.  Makna denotatif diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi yang dirasakan oleh panca indera dan perasaan serta pengalaman lainnya. sedangkan makna konotasi mengandung makna tambahan (Chaer, 1994: 2).
Kata bermakna denotasi bersifat umum, tradisional, dan presendensial. Denotasi biasanya merupakan hasil penggunaan yang cukup lama dan termuat dalam kamus. Perubahan kata bermakna denotasi sangat lambat. Konotasi  merupakan respon emosional yang sering kali bersipat perseorangan, timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan pemakainya (Tarigan). Secara tidak langsung makna denotasi adalah makna kata berdasarkan kamus sedangkan konotasi berupa makna tambahan akibat adanya respon emosional. Respon emosional inilah yang akan menumbuhkembangkan makna konotasi pada diri pemakainya.
Makna kata yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi yang telah disepakati bersama disebut makna denotatif atau makna dasar. Makna kata yang telah mengalami perubahan terhadap makna dasarnya disebut makna konotatif atau makna tambahan. Dengan demikian makna konotatif muncul manakala terjadi penambahan makna terhadap denotatif akibat kesan-kesan yang dimunculkan.
Makna konotatif muncul akibat adanya asosiasi-asosiasi. Asosiasi akan muncul jika terdapat makna kata yang tidak hanya memiliki satu makna. Makna  konotatif sebuah kata dipengaruhi  dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya ( Sumardjo dan  Saini K.M). Lingkungan tekstual adalah keseluruhan kata-kata dalam sebuah teks akan menentukan makna konotatif sebuah kata. Sedangkan lingkungan budaya adalah lingkungan yang secara tidak langsung menafsirkan makna-makna kata (makna kata berdasarkan konvensi masyarakat). Pada masyarakat tertentu pengucapan kata-kata mengandung makna yang berlainan jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Hal itu terjadi karena pada suatu masyarakat mungkin kata-kata tersebut berlainan penafsirannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebuah kata mungkin hanya bermakna denotatif atau bermakna denotatif dan konotatif sekaligus. Makna denotatif adalah makna yang bersifat hanya menunjuk pada suatu hal yang berupa hasil observasi yang dirasakan pancaindera dan bersifat umum. Sedangkan makna konotatif adalah makna tambahan yang ditimbulkan dengan adanya asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Hal itu merupakan responsi emosional yang bersifat arbitrer dan terkadang bersifat irasional.

c. Citraan
Citraan (imagery) merupakan sesuatu yang dirasakan atau dialami secara imajinatif. Dengan ketepatan pilihan kata dalam sebuah karya sastra (puisi) membantu daya bayang untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Pembaca atau pendengar sastra seolah-olah dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh apa yang dibaca atau ditulis penyair. Citraan dalam sebuah puisi mengingatkan kembali sesuatu yang pernah dirasakan oleh pancaindera. Sebuah puisi sebagai karya sastra mempunyai daya bayang yang kuat apabila puisi itu mampu menimbulkan suatu gambaran atau menggugah perasaan, rasa, bunyi, atau aroma.
Citraan ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Atenbernd dalam Pradopo). Munculnya gambar-gambar dalam pikiran merupakan efek dari hasil penangkapan pancaindera. Penangkapan pancaindera yang melekat pada pikiran akan mampu terekam jika pengalaman-pengalaman inderaan pernah dialaminya.
Citraan merupakan gambaran angan. Gambaran-gambaran angan itu bermacam-macam sesuai dengan indera yang menghasilkannya. Citraan dapat berupa penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, penciuman. Citraan yang dihasilkan berdasarkan indera penglihatan disebut citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), dan sebagainya. Dengan demikian, citraan yang muncul bergantung pada indera yang menangkapnya. Macam pencitraan itu meliputi kelima jenis indera manusia yakni citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori) (Harimurti, 1982:76).
Dalam karya sastra, citraan berfungsi  untuk memberikan gambaran yang jelas. Dengan adanya citraan, puisi akan terlihat lebih hidup dan menimbulkan suasana khusus, serta akan menarik perhatian. Pencitraan merupakan suatu gaya yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Pencitraan dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan yang abstrak  dengan kata-kata yang mudah membangkitkan tanggapan imajinasi. Dengan adanya daya tanggapan imajinasi pembaca dengan mudah akan dapat membayangkan, merasakan, dan menangkap pesan yang terdapat dalam karya sastra. Dengan demikian, adanya pencitraan akan memudahkan pembaca untuk memahami sebuah karya.
Bermacam-macam citraan yang mungkin muncul dalam sastra. Penggunaan dari citraan tersebut mungkin intensitasnya akan berbeda-beda sesuai dengan penulis karya tersebut. citraan dapat dibedakan atas beberapa bagian. Bagian tersebut merujuk pada aspek citraan apa yang tertuang dalam sebuah karya, bagian citraan tersebut, yaitu: (1) citraan penglihatan (visual imagery); ( 2) citraan pendengaran (auditory  imagery); (3)citraan penciuman (olfactory imagery); (4)  citraan perabaan (tactile imagery); (5)  citraan perasaan dan pencecapan (gustatory imagery); (6) citraan pemikiran (intelectual imagery); dan (7) citraan gerak (kinaesthetic imagery).
Dengan adanya berbagai citraan, pembaca karya sastra dapat tergugah untuk menangkap gambaran yang terdapat dalam karya sastra. Pembaca dapat melihat, mendengar, merasakan, mencium hal-hal yang tergambarkan dalam karya sastra. Dengan demikian, sebuah citraan atau imagery merupakan segala sesuatu yang dapat terlihat, terdengar, tercium, tersentuh, atau terasakan. Dengan demikian sebuah citraan adalah sesuatu yang dapat dirasakan yang lahir dari pengalaman.

d. Bahasa Kiasan
Puisi sebagai bentuk karya sastra banyak menggunakan bahasa kiasan  dalam penyampaian gagasan yang terkandung di dalamnya. Bahasa kiasan (figurative language) meruapakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura. Adanya  bahasa kias dapat mengefektikan penyampaian maksud.  Dengan bahasa kias, imaji tambahan akan semakin mudah ditemukan sehingga yang abstrak menjadi konkret dan puisi lebih mudah dipahami dan nikmat untuk ditelaah. Bahasa kias juga dapat menyampaikan sesuatu yang luas menjadi simpel dan taktis sehingga orang mudah memahami maksudnya.
1.      Metode Analisis Teks Puisi
   
      Tanda selalu berada dalam hubungan trio yaitu dengan ground, acuannya dan interpretan. Hubungan dengan acuannya ada tiga macam, yaitu hubungan kemiripan yang menimbulkan tanda yang disebut ikon, hubungan kedekatan eksistensi (kontinguitas) menimbulkan tanda yang disebut indeks, dan yang terakhir adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional yang disebut simbol/lambang
     Metode semiotik pada dasarnya Metode semiotik pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme atau struktul tanda, dan makna tanda secara individual. Yaitu kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut sebagai “teks” (text).
    ‘Teks’ dalam pengertian yang paling sederhana adalah ‘kombinasi tanda-tanda’. Tipe-tipe teks yang paling jelas adalah kalimat yang ditulis dari sebuah novel, atau fesyen yang dikenalkan oleh seseorang. Masing-masing teks ini mempunyai aksi paradigmatik dan sintagmatiknya yang khusus. Kata-kata pada puisi atau unsur-unsur pakaian pada fesyen dapat dianggap sebagai kumpulan tnda-tanda, yang secara bersama-sama membentuk verbal teks dan fesyen teks. Dalam pengertian yang sama, banda-benda desain apa pun (man, fesyen, produk, interior, arsitektur) dapat dianggap sebuah teks oleh karena itu merupakan kombinasi elemen tanda-tanda, dengan kode dan aturan tertentu sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
     Pada analisis tanda secara individual dapat digunakan berbagai modelanalisis tanda, misalnya analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda. Diantara tipologi tanda yang terkenal adalah yaitu indeks, ikon dan simbol. “Indeks” adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda di dalamnya bersifat kausal, misalnya: hubungan antara asap dan api. “Ikon” adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda bersifat kesurupan. Misalnya, foto Soekarno yang merupakan ‘tiruan’ dua dimensi dari soekarno. Sementara, ‘simbol’ adalah yang hubungan penanda dan petandanya bersifat arbiter.
    Analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut “analisis teks”.Semiotik teks, dalam hal ini tidak berhenti hanya menganalisis tanda (jenis,struktur, makna)secara individu, akan tetapi melingkupi pemilihan tanda-tanda yang di kombinasikan ke dalasm kelompok atau pola-pola yang lebih besar(teks), yang di melatar belakangi kombinasi tanda-tanda tersebut. Thwaites mengajukan model dan prinsip analisis teks berikut.
a.       Prinsip  dasar analisis teks adalah polysemy, yaitu keaneka-ragaman makna sebuah penanda.
  1. Konotasi  sebuah tanda selalu berkaitan dengan kode nilai, makna sosial serta berbagi perasaan, sikap, atau emosi yang ada.
  2. Setiap  teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda, lewat kode sosial tertentu, menghasilkan konotasi-konotasi tertentu. Metafora dan metanimi menjadian bagian dari pengkombinasian tanda ini.
  3. Konotasi yang di tekankan oleh pembaca yang berbeda bergantung pada posisi sosial mereka masing-masing, yaitu kelas, gender, ras, umur dan faktor lain yang mempengaruhi cara bagaimana berfikir tentang dan menafsirkan teks.
  4. Konotasi  yang di terima luas secara sosial akan berkembang menjadi denotasi, yaitu makna tanda atau teks yang di anggap benar oleh pembaca.
  5. Denotasi  mereperensikan mitos budaya (cultural myth), seperangkap kepercayaan dan sikap yang di anggap sebagai benar oleh pembaca teks.
          Akan tetapi, model yang dikemukakan oleh Twhaites di atas hanya salah satu model saja dari berbagai kemungkinan model analisis teks. Berbeda dengan Thwaites, misalnya, Fiske mengajukan model yang berbeda, yang melihat bahwa analisis denotasi mendahului analisis konotasi, bukan sebaliknya.
   Selain itu, metode analisis teks itu sendiri pada prinsipnya dikombinasikan pada metode analisis lainnya di dalam sebuah kombinasi metodologi. Judith Willianmsons, misalnya di dalam Decoding Advertisements, mengembangkan sebuah metode analisis iklan, yang di dalamnya di kombinasikan pendekatan semiotika dan pendekatan psikoanalis. Dick Hebdige, dalam bukunya Subculture: The meaning of style. Mengombinasikan metode semiotikan dan metode antropologi, dalam rangka memahami penomena pertandaan di kalangan kelompok subkultur, seperti punk, Hippers, Skinhead, dan sebagainya.
    Meskipun demikian, model-model analisis teks tersebut sering di anggap tidak memenuhi persyaratan penelitian ilmiah di sebabkan lemahnya tingkat obyektivitas, tidak adanya prosedur verifikasi, serta kurangnya pengbuktian empiris di dalamnya. Metode analisis teks di anggap bersifat terlalu subyektif, arbiter, dan ideologis.
2.      Metode Strukturalisme Semiotik

     Sesuai dengan teori strukturalisme semiotik, kajian sastra, khususnya puisi, memerlukan metode analisis itu dengan pemaknaan antara lain: (a) Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhannya. (b)Tiap unsur puisi (sajak) itu dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi. (3) Setelah sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dilakukan pemaknaan, sejak dikembalikan makna toralitasnya dalam kerangka semiotik.
 Untuk pemaknaan itu diperlukan pembacaan secara semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau pembacaan retroaktif (Riffaterre dalam Pradopo, dkk, 2002).
a.      Pembacaan Heuristik
       Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau takgramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Untuk memperjelas arti dalam pembacaan ini, perlu diberi sisipan atau sinonim kata-katanya ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti.
b.      Pembacaan Hermeneutik
      Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang bersusun  dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks.
     Urutan-urutan metode di atas dapat dibalik (ditukar-tukar) sesuai dengan keperluan analisis struktural itu dapat dimulai darimana saja sesuai dengan keperluannya. Dalam makalah ini, pembacaan secara semiotik dilakukan terlebih dahulu sebelum analisis lebih lanjut. Sebenarnya dalam membaca sajak itu, pembaca sudah melakukan analisis. Akan tetapi, untuk memudahkan pemahaman.