Rabu, Mei 06, 2009

SERTIFIKASI GURU: PELUANG DAN TANTANGAN

A. Pendahuluan
Profesi guru telah hadir cukup lama, meskipun hakikat, fungsi, latar tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami perubahan. Bahkan ada yang secara lugas mengatakan bahwa sosok guru telah berubah dari tokoh yang digugu, dipercaya, dan dijadikan panutan, diteladani, agaknya menurun, kurang pantas dan kurus, di tengah-tengah pelbagai bidang pekerjaan dalam masyarakat yang semakin terspesialisasikan.
Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan pelaku dalam mengelola pendidikan nasional. Di mana di dalamnya guru menempati posisi utama dan penting. Memang harus diakui dan tak dapat disangkal, selama ini peran guru diperlakukan kurang taat asas dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang teramat penting, namun tanpa disertai kesediaan untuk menghargai mereka sebagaimana mestinya.
Dalam perkembangan sistem pendidikan nasional dengan lahirnya UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional yang disahkan tanggal 8 Juli 2003, merupakan jurus penting yang telah diambil oleh pemerintah dalam mengupayakan penghargaan yang layak kepada guru. Karena di negara kita, negara merupakan “pemekerja” yang besar atau setidak-tidaknya yang penting, maka pengakuan eksplisit terhadap layanan keguruan oleh pemerintah akan berdampak sangat menentukan. Akan tetapi, apabila kita memang bertekad mewujudkan profesionalisasi jabatan guru melalui kebijakan fungsionalisasi itu, maka di samping menaruh harapan besar terhadap tawaran itu, pada saat yang sama kita juga harus bertanggung jawab menghadapi tantangan tersebut.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam artikel ini akan ditampilkan berturut-turut: Dasar Hukum Pelaksanaan Sertifikasi Guru, Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan, Penyelenggaraan Sertifikasi Guru yang Dilandaskan pada Tujuan

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Sertifikasi Guru

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik minimum S1/D4, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri Pendidikan Nasional menetapkan 1) Peraturan Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan melalui Penilaian Portofolio, 2) Peraturan Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan.
Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik minimal S1/D-IV dibuktikan dengan ijazah dan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Misalnya, guru SD dipersyaratkan lulusan S1/D-IV jurusan/program studi PGSD/ Psikologi/ Pendidikan Lainnya, sedangkan guru Matematika SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK dipersyaratkan lulusan S1/D-IV jurusan/program studi Matematika atau Pendidikan Matematika. Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Sebagai bukti bahwa persyaratan tersebut telah dipenuhi, guru harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah lulus uji kompetensi. Uji kompetensi guru dalam jabatan dilakukan melalui dua cara yaitu (1) penilaian portofolio dan (2) melalui jalur pendidikan.
Sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan guru berupa tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (swasta).
Di beberapa negara, sertifikasi guru telah diberlakukan, misalnya di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Sementara itu, di Denmark baru mulai dirintis dengan sungguh-sungguh sejak 2003. Di samping itu, ada beberapa negara yang tidak melakukan sertifikasi guru, tetapi melakukan kendali mutu dengan mengontrol secara ketat terhadap proses pendidikan dan kelulusan di lembaga penghasil guru, misalnya di Korea Selatan dan Singapura. Namun semua itu mengarah pada tujuan yang sama, yaitu berupaya agar dihasilkan guru yang bermutu.
Mengingat proses sertifikasi banyak melibatkan instansi maka diperlukan kejelasan dasar hukum. Dasar hukum pelaksanaan sertifikasi guru adalah sebagai berikut.
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2005 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik.
5. Fatwa/Pendapat Hukum Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor I.UM.01.02-
253.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi
Guru dalam Jabatan.
7. Peraturan Mendiknas Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan
melalui Jalur Pendidikan.
8. Keputusan Mendiknas Nomor 056/O/2007 tentang Pembentukan Konsorsium
Sertifikasi Guru (KSG).
9. Keputusan Mendiknas No. 057/O/2007 tentang Penetapan Perguruan Tinggi
Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam Jabatan.


C. Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu (1) penilaian portofolio guru dan (2) jalur pendidikan. Kedua cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Melalui Penilaian Portofolio Guru
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 menyatakan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Uji kompetensi tersebut dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Berikut ini diuraikan persyaratan peserta dan prosedur penilaian portofolio.

a. Persyaratan Peserta

Persyaratan peserta sertifikasi melalui penilaian portofolio sebagai berikut.
1) Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi. atau diploma.
2) Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
3) Untuk guru PNS memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun. Guru bukan PNS harus 5 tahun secara berturut-turut pada sekolah atau
4) Yayasan yang sama. Guru bukan PNS adalah gmengajar pada satuan Pemerintah Daerah. guru tetap yayasan pendidikan yang (GTY)

b. Alur Sertifikasi

Portofolio dinilai oleh LPTK penyelenggara sertifikasi guru yang dikoordinasikan Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG). Unsur KSG terdiri atas LPTK, Ditjen DIKTI, dan Ditjen PMPTK.

Jalur Portofolio
Penjelasan alur sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian portofolio sebagaimana gambar di atas sebagai berikut.
1) Guru dalam jabatan peserta sertifikasi, menyusun dokumen portofolio dengan mengacu Pedoman Penyusunan Portofolio.
2) Dokumen portofolio yang telah disusun kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Rayon LPTK Penyelenggara sertifikasi untuk dinilai.
3) Rayon LPTK Penyelenggara Sertifikasi terdiri atas LPTK Induk dan LPTK Mitra.
4) Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi dapat mencapai angka minimal kelulusan, maka dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat pendidik.
5) Apabila skor hasil penilaian portofolio telah mencapai batas kelulusan, namun secara administrasi masih ada kekurangan maka peserta harus melengkapi kekurangan tersebut (melengkapi administrasi atau MA). Misalnya ijazah belum dilegalisasi, pernyataan peserta pada portofolio sudah ditandatangani tanpa dibubuhi materai, dan sebagainya.
6) Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi belum mencapai angka minimal kelulusan, maka Rayon LPTK menetapkan alternatif sebagai berikut.
7) Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi pendidik untuk melengkapi kekurangan portofolio (melengkapi substansi atau MS) bagi peserta yang memperoleh skor 841 s/d 849. Apabila dalam kurun waktu satu bulan peserta tidak mampu melengkapi akan diikutsertakan dalam Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).
8) Mengikuti PLPG yang mencakup empat kompetensi guru dan diakhiri dengan uji kompetensi. Peserta yang lulus uji kompetensi memperoleh Sertifikat Pendidik. Peserta diberi kesempatan ujian ulang dua kali (untuk materi yang belum lulus). Peserta yang tidak lulus pada ujian ulang kedua dikembalikan ke dinas pendidikan kabupaten/kota.


c. Melalui Jalur Pendidikan

Persyaratan Peserta
Persyaratan peserta sertifikasi melalui jalur pendidikan sebagai berikut.
1. Memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang terakreditasi.
2. Mengajar di sekolah umum di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional.
3. Guru PNS yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau guru yang diperbantukan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
4. Guru bukan PNS, yaitu guru tetap yayasan (GTY) atau guru yang mengajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
5. Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
6. Guru SD yang meliputi guru kelas dan guru Pendidikan Jasmani. Guru kelas diutamakan yang memiliki latar belakang pendidikan S1 PGSD atau S1 kependidikan lainnya, sedangkan guru Pendidikan Jasmani diutamakan yang memiliki latar belakang S1 keolahragaan.
7. Guru SMP (bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Kesenian, Pendidikan Jasmani, dan guru bimbingan konseling) diutamakan yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
8. Memiliki masa kerja sebagai guru minimal 5 tahun dengan usia maksimal 40 tahun pada saat mendaftar.
9. Memiliki prestasi akademik/non akademik dan karya pengembangan profesi di tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun organisasi/lembaga.
10. Bersedia mengikuti pendidikan selama 2 semester dan meninggalkan tugas mengajar.
11. Disetujui oleh dinas pendidikan kabupaten/kota dengan pertimbangan proses pembelajaran di sekolah tidak terganggu.

C. Penyelenggaraan Sertifikasi Guru yang Dilandaskan Tujuan

Penyelenggaraan sertifikasi guru dilandasi tujuan: Peningkatan Kesejahteraan Guru dan Memperbaiki kualitas pendidikan. Kedua tujuan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Saling terkait karena dengan meningkatnya kesejahteraan guru, maka diharapkan guru mampu memperbaiki kualitas pendidikan.
Hal mendasar yang harus disadari bersama, bahwa guru adalah tonggak perjuangan bangsa. Guru adalah letak keberlangsungan masa depan bangsa. Sebab, di tangan gurulah tercipta generasi penerus yang akan melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa.
Satu hal yang kurang disadari oleh masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya adalah bahwa guru adalah sebuah profesi. Profesi yang diduduki oleh beberapa karakter. Yang tidak semua karakter itu adalah sama. Guru yang dijadikan cerminan masa depan bangsa adalah guru yang benar-benar seluruh hidup dan polahnya adalah guru. Tidak hanya ketika berada di dalam kelas, dikatakan seorang guru.
Pemerintah hadir dengan menyajikan sertifikasi sebagai ajang untuk mensejahterakan guru. Dengan catatan bahwa guru harus mempunyai prestasi yang baik. Konsep ini tidak salah, sebab pemerintah sesungguhnya berharap banyak kepada guru untuk menjadi tauladan. Sebelum terjun ke anak didik, kemampuan guru harus benar-benar sesuai dengan yang diharapkan. Guru harus memiliki kualitas yang baik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa guru itu tidak semua berkualitas, oleh karena itu, pemerintah membuka ajang sertifikasi untuk menunjukkan seperti apa kemampuan guru dalam berbuat.
Kenyataan ini harus diterima oleh guru yang kualitas mengajarnya belum baik, dengan menerima secara positif tawaran pemerintah untuk lebih meningkatkan kemampuan mengajarnya, tetapi banyak guru yang salah mengartikan keberadaan sertifikasi, sertifikasi oleh beberapa guru dianggap sebagai ancaman. Sebab mereka yang tidak lagi mampu berprestasi akan tersingkir dengan sendirinya dalam kancah pendidikan. Hingga kemudian ancaman ini melahirkan sebuah tindakan yang tidak benar dengan melakukan manipulasi data agar kemudian bisa lulus dalam sertifikasi. diantaranya adalah (1) banyaknya guru yang memalsukan sertifikat hanya untuk mengumpulkan point yang ditentukan, (2) Banyak guru yang berani membayar hanyak untuk mendaftar seminar, hanya untuk mendapatkan sertifikat di mana dia sendiri tidak mengikuti seminar itu, dan ironisnya lagi banyak pihak yang mengambil keuntungan dengan menjadikannya ajang bisnis.
Secara jujur harus diakui, implementasi program sertifikasi para “Oemar Bakrie” ini sangat rentan terhadap ulah manipulasi, kecurangan, nepotisme, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya. Rekruitmen guru yang berhak mengikuti uji sertifikasi hanya mereka yang memiliki hubungan kedekatan dengan “lingkaran” birokrat pendidikan di tingkat lokal. Apalagi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah senioritas alias masa kerja. Para guru “yunior” yang sarat prestasi pun bisa jadi akan tersingkir.
Jika praktik-praktik tak terpuji semacam itu dibiarkan terus terjadi dalam dinamika dunia pendidikan kita, maka peningkatan mutu pendidikan yang menjadi rencana strategis (Renstra) Depdiknas dan gencar digembar-gemborkan secara masif di berbagai media itu hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Apalagi kalau guru-guru muda potensial –yang seharusnya layak untuk menerima penghargaan dan kesejahteraan memadai dan bisa “diambil hati”-nya untuk ikut memperbaiki carut-marutnya dunia pendidikan– sengaja “disingkirkan”, jangan harapkan pamor pendidikan di tanah air kita tercinta ini mampu bersinar terang di tengah-tengah masyarakat global dan mondial. Belum lagi dampak “kecemburuan sosial” antarguru di tingkat sekolah. Mereka yang telah mengantongi sertifikat pendidik bisa jadi akan tertimpa beban sosial yang lebih berat. Semangat pengabdian dan loyalitas guru yang belum memiliki sertifikat akan mengendur dan –ini dampak yang lebih buruk– menyerahkan semua tugas kependidikan di sekolah kepada guru yang telah duduk di atas “singgasana” sertifikat pendidik dengan segenap fasilitas kesejahteraannya. Bukankah ini sebuah implikasi sosial yang perlu dipikirkan secara serius oleh para pengambil kebijakan pendidikan kita?
Sertifikasi guru di negeri kita, agaknya akan menjadi sebuah “Indonesia” yang tertinggal ketika program “prestisius” itu hanya akan menciptakan kegelisahan dan kerumitan baru. Apalagi jika tidak diimbangi dengan kalkulasi anggaran yang cermat dan memadai. Atau, jangan-jangan lambatnya uji sertifikasi guru dan “penyingkiran” guru-guru “yunior” itu lantaran tidak tersedianya anggaran untuk mengangkat harkat, martabat, dan citra guru? Kalau itu “asbabunnuzul”-nya, betapa sosok guru selama ini memang hanya diposisikan untuk menjadi “kelinci percobaan” seperti dalam praktik pelaksanaan kurikulum yang sering kali berubah-ubah itu?
Kalau memang para pengambil kebijakan pendidikan memiliki “kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan guru, idealnya program sertifikasi guru dilaksanakan secara terbuka. Berikan kesempatan kepada semua guru, baik negeri maupun swasta, untuk mengikutinya. Biarkan mereka berkompetisi secara fair dan terbuka melalui proses ujian. Kalau memang mereka gagal meraih sertifikat pendidik, mereka pasti bisa menerima dengan sikap lapang dada. Jika untuk mengikuti ujian saja mesti dibikin rumit karena harus mengumpulkan dokumen portofolio yang bejibun jumlahnya itu, jangan salahkan guru kalau mereka jadi “alergi” terhadap program sertifikasi guru. Yang lebih mencemaskan, kalau sampai guru kehilangan komitmen dan kepedulian untuk ikut “mendongkrak” mutu pendidikan kita. Kalau kekhawatiran ini benar, maka “musibah” besar yang akan melanda dunia pendidikan kita hanya menunggu waktu.



Penyelenggaran Sertifikasi
Jika penyelenggaraannya sesuai dengan aturan pada undang-undang di atas, berarti penyelenggaraannya berjalan dengan baik. Tawaran yang perlu diberikan kepada pemerintah adalah sebaiknya para tim penilai terjun langsung di lapangan untuk meninjau keberlangsungan proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Paling tidak data yang mereka kirim perlu disurvei kembali, apakah betul asli atau palsu. Apakah di lapangan mereka betul-betul mahir dan ahli sebagai guru atau tidak.
Dan sejauh pengamatan pemulis, penyelenggaraan sertifikasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Masih terlalu banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukn baik oleh pihak guru sebagai subjek maupun pihak terkait yang membantu dalam proses penilaian tersebut. Pada umumnya moral guru kita masih banyak yang tidak menunjukkan atribut keguruannya. Mental sebagian guru rusak karena iming-iming tunjangan yang banyak. Nilai kejujuran, keluguan dan keapa-adaan telah hilang bersama dengan harapan-harapan kesejahteraan yang mereka impikan.

Gagasan dalam Memperbaiki Kualitas Guru khususnya Guru Bahasa Indonesia


1. Seharusnya guru diberikan pelatihan khusus sesuai keahlian mereka masing-masing, dan sesuai dengan tingkatan pengajaran mereka masing-masing di lapangan. Agar kiranya mereka lulus dalam sertifikasi dan tidak lagi salah dalam pengaplikasiannya
2. Guru sebaiknya diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya tanpa batas waktu yang ditentukan agar guru tidak lagi menghalalkan berbagai macam cara hanya untuk cepat-cepat disertifikasi.
3. Terkhusus kepada guru Bahasa Indonesia, sedini mungkin mengajarkan anak didik untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
4. Guru yang sudah lulus dalam sertifikasi sebaiknya terus dipantau dalam hal pengembangan kualitasnya, agar pengetahuannya berkesinambungan dan tidak hanya berhenti sampai pada saat disertifikasi saja.

Beberapa humor yang perlu dipahami ketahui…
1. Guru yang sudah menyatakan dirinya lulus sertifikasi, sudah tidak mau lagi berbuat di lapangan karena mereka akan tetap mendapatkan tunjangan gaji
2. Banyak guru yang mau sertifikasi hanya karena iming-iming tunjangan yang besar, padahal mereka tidak memahami apa yang mereka seharusnya lakukan
3. Ada mitos yang menyatakan bahwa “Pemerintah telah memberikan kesejahteraan bagi guru dalam hal ini untuk pengembangan kualitas pendidikan, tetapi ternyata dilapangan kualitas pendidikan kita menjadi anjlok”.

APLIKASI TEORI LINGUISTIK TERHADAP PANDANGAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

A. Pendahuluan
Minat manusia terhadap bahasa bukanlah sesuatu yang baru. Dari catatan sejarah ada bukti bahwa sejak zaman purba manusia sudah tertarik untuk menyelidiki seluk-beluk bahasa. Penyelidikan tentang bahasa oleh sekelompok manusia sebagai bangsa itu ada yang dicatat secara rapi, ada pula yang tidak dicatat, diceritakan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bangsa yang membuat dokumentasi yang teratur dan rapi sehingga masih bisa dilacak sampai zaman sekarang ialah bangsa Yunani. Hampir semua cabang ilmu sebagai hasil kehidupan intelektual manusia; filsafat, moral, politik, estetika, etika, astronomi, matematika, geometri, dan linguistik, didokumentasikan secara teratur dan rapi oleh bangsa Yunani.
Berkaitan dengan itu, linguistik akan memberi pemahaman mengenai hakikat dan seluk-beluk bahasa sebagai satu-satunya alat komunikasi terbaik yang hanya dimiliki manusia, serta bagaimana bahasa itu menjalankan peranannya dalam kehidupan manusia bermasyarakat.
Secara popular sering dinyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, sebagaimana yang dinyatakan Martinet (1987: 19) telaah ilmu mengenai bahasa manusia.
Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam istilah Perancis disebut langage. Misalnya, kata dalam bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua morfem, iaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna ‘disebabkan jadi’ perpanjang berarti ’disebabkan sesuatu menjadi panjang’.
Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis. Yang dimaksud dengan sistemis adalah bahwa bahasa itu bukan suatu sistem tunggal, melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis.
Sebagai ilmu, linguistik juga mempunyai sejarah yang panjang. Selaian itu, pelbagai pendapat dan pandangan yang berbeda telah pula menyemarakkan studi linguistik. Dalam bahasa Indonesia kata linguistik bukan hanya berarti ilmu tentang bahasa, tetapi juga berarti bahasa itu sendiri, atau mengenai bahasa. Misalnya, dalam ungkapan keadaan linguistik di Indonesia berarti ”keadaan bahasa di Indonesia”, dan frase tataran linguistik berarti ”tataran bahasa”
Berpatron pada uraian tersebut, dalam artikel ini akan diuraikan berturut-turut: Aliran/teori Linguistik; Teori Bbelajar Bahasa; dan Tanggapan Teori Linguisti terhadap pandangan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.

B. Aliran Linguistik
Telah dipahami bahwa studi linguistik telah mengalami tiga tahap perkembangan, iaitu tahap pertama yang disebut tahap spekulasi, tahap kedua adalah tahap observasi dan klasifikasi, dan tahap ketiga yang disebut tahap perumusan teori.
Pada tahap spekulasi, pernyataan-pernyataan tentang bahasa tidak didasarkan pada data empiris, melainkan pada dongeng atau cerita rekaan belaka. Pada tahap klasifikasi dan observasi para ahli bahasa mengadakan pengamatan dan penggolongan terhadap bahasa-bahasa yang diselidiki, tetapi belum sampai pada merumuskan teori. Karena itu, pekerjaan mereka belum dapat dikatakan bersifat ilmiah. Penyelidikan bersifat ilmiah baru dilakukan pada tahap ketiga, di mana bahasa yang diteliti bukan hanya diamati dan diklasifikasi, tetapi juga telah dibuatkan teori-teorinya.
Dalam sejarah perkembangan, linguistik dipenuhi dengan berbagai aliran, paham, pendekatan, dan teknik penyelidikan yang dari luar tampaknya sangat ruwet, saling berlawanan, dan membingungkan. Namun, sebenarnya semuanya itu akan menambah wawasan terhadap bidang dan kajian linguistik. Berikut ini akan diuraikan aliran linguistik

1. Strukturalis
Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasakan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh Bapak Linguistik Modern, iaitu Ferdinand de Saussure. Pandangan ini menguraikan konsep telaah sinkronik dan diakronis, perbedaab languedan parele, perbedaan signifiant dan signifie, dan hubungan sintagmatik dan pradikmatik yang banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik di kemudian hari.
a. Telaah Sinkronis dan Diakronis
Telaah sinkronik dan diakronis. Ferdinand de Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik, artinya mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu tertentu saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun limapuluhan. Sedangkan telaah diakronis artinya, telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa telaah bahasa secara diakronis adalah jauh lebih sukar daripada telaah sinkronis.
Sebelum terbit buku Course de Linguistique Generale Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915 (dua tahun setelah de Saussure meninggal), telaah bahasa selalu dilakukan orang secara diakronis. Ahli-ahli pada waktu itu belum sadar bahwa bahasa dapat diteliti secara sinkronis. Inilah salah satu pandangan de Saussure yang sangat penting sehingga sekarang dapat diberikan pemerian terhadap suatu bahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa itu.
b. La Langue dan La Parole
La langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la paroe adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam hal ini yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue yang tentu saja dilakukan parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti.
c. Signifiant dan Signifie
Ferdinand de Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, iaitu komponen signifiant dan komponen signifei. Yang dimaksud dengan signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. Selanjutnya, ada yang menyamakan signe itu sama dengan kata; signifie sama dengan ‘makna’; dan signifiant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu.

Hubungan antara signifiant dengan signifie sangat erat, karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana contoh berikut ini.


Sebagai tanda linguistik, signifiant dan signifie itu biasanya mengacu pada sebuah acuan atau refren yang berada di alam nyata, sebagai sesuatu yang ditandai oleh signifie linguistique

d. Hubungan Sintagmatik dan Paradikmatik
Yang dimaksud dengan hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Hubungan sintagmatik ini terdapat baik dalam tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan makna kata itu. Umpamanya pada kata kita terdapat hubungan, fonem-fonem dengan urutan /k, i, t, a/. Apabila urutannya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali.
Hubungan sintagmatik pada tataran morfologi, tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata, yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah, tetapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali. Umpamanya segitiga tidak sama dengan tigasegi , kata barangkai tidak sama dengan kalibarang. Hubungan sintagmatik pada tataran sintaksis tanpak pada urutan kata-kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tak bermakna sama sekali. Sebagai contoh dapat dilihat berikut ini.
Hari ini barangkali dia sakit
Barangkali dia sakit hari ini
Dia sakit hari ini barangkali
Dia sakit barangkali hari ini
Yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik dapat dilihat dengan cara substitusi, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun tataran sintaksis. Hubungan paradigmatik pada tataran fonologi tampak pada contoh antara bunyi /r/, /k/, /b/, /m/, dan /d/ yang terdapat pada kata rata, kata, bata, mata, dan data.
Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi tampak pada prefiks me-di-, pe-, dan te- yang terdapat pada kata-kata merawat, dirawat, perawat , dan terawat.
Sedangkan hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis pada antara kata-kata yang menduduki fungsi sebjek, predikat, dan objek. Sebagai contoh dapat dilihat berikut ini.

Secara lengkap hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik dapat dilihat pada gambar berikut.


2. Tagmemik
Aliran Tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, Summer Institute of Linguistics, yang mewarisi pandangan Bloomfield, sehingga aliran ini juga bersifat struktural, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem. Yang dimaksud dengan tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot itu. Misalnya, dalam kalimat Pena itu berada di atas meja; bentuk pena itu mengisi fungsi subjek, dan tagmem subjeknya dinyatakan dengan pena itu. Menurut Pake, satuan dasar sintaksis tidak dapat dinyatakan dengan funhsi-fiungsi saja, seperti subjek + predikat + objek; dan tidak dapat dinyatakan dengan deretan bentuk-bentuk saja, seperti frase benda + frase kerja + frase benda, melainkan harus diungkapkan bersamaan dengan rentetan rumus seperti: S : FN + P : FV + O : FN. Rumus ini dibaca: fungsi subjek diisi oleh frase nomina; diikuti oleh fungsi predikat yang diisi oleh frase verbal, dan diikuti pula oleh fungsi objek yang diisi oleh frase nominal
Dalam perkembangan selanjutnya, malah kedua unsr tagmem itu, iaitu fungsi dan bentuk (kategori pengisi fungsi) perlu ditambah pula dengan unsur peran (pengisi makna), dan kohesi (keterikatan antara satuan-satuan lingual) yang membentuk jalinan yang erat. Dengan demikian, satuan dasar sintaksis itu, iaitu tagmem, merupakan suatu sistem sel-emtat-kisi yang dapat digambarkan sebagai bagan berikut ini.

Dengan demikian, kalimat ”Saya menulis surat dengan pinsil” dianalisis secara tagmemk, akan menjadi berikut ini:

Keterangan
S : fungsi subjek KKt : kata kerja transitif tuj : tujuan
P : fungsi predikat KB : kata benda al : alat
O : fungsi objek FD : frase depan

K : fungsi keterangan pel : pelaku
KG : kata ganti ak aktif

Dalam uraian tersebut, kohesi tidak diisi karena kohesi hanya relevan dengan bahasa-bahasa berkasus yang mempunyai ciri-ciri khas yang menandai hubungan timbal-balik antartagmem dalam suatu konstruksi.

3. Transformasi
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky yang berjudul Syntactic Structure tahun 1957, yang kemudian dikembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku yang kedua berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. Nama yang dikembangkan untuk model tata bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah Transformational Generative Grammar; tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif.
Menurut Chomsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Oleh karena itu, tugas tata bahasa haruslah dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky, adalah merupakan teori dari bahasa itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, iaitu:
Pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat. Kedua, tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Sejalan dengan konsep langue dan parole dari de Saussure, maka Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan berbahsa (performance ). Kemampuan adalah penegetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya; sedangkan perbuatan berbahasa adalah pemakian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam tata bahasa gneratif, yang menjadi objek adalah kemampuan , meskipun perbuatan berbahasa juga penting, dan yang perlu dan menarik bagi seorang peneliti bahasa adalah sistem kaidah yang dipakai si pembicara untuk membuat kalimat yang diucapkannya. Oleh karena itu, tata bahasa harus mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, barangkali belum pernah didengarnya atau dilihatnya.
Pada dasarnya, setiap pembicara pengucapkan suatu kalimat, telah membuat kalimat baru, yang berbeda dari sekian banyak kalimat yang diucapkan atau dituliskan. Kemampuan seperti ini, yakni mampu membuat kalimat-kalimat baru, disebut aspek kreatif bahasa. Dengan kata lain, menurut aliran ini, sebuah tata bahasa hendaknya terdiri dari sekelompok kaidah yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
Pada tahun 1965 muncul buku Chomsky dengan judul Aspect of the Theory of Syntax. Buku ini menyempurnakan teorinya mengenai sintaksis dengan mengadakan beberapa perubahan yang prinsipil. Tahun 1972 diperkembangkan lagi dan diberi nama Extended Standard Theory, yang kemudian pada tahun 1975 direvisi lagi, dan diberi nama Revised Extended Standard Theory. Terakhir teori tentang tata bahasa transformasi ini direvisi lagi menjadi apa yang disebut goverment and binding theory. Penjelasan teori yang dikemukakan dalam buku tahun 1965 dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Tata bahasa dari setiap bahasa, seperti tampak pada bagan tersebut terdiri dari tiga komponen, iaitu (1) komponen sintaksis, (2) komponen semantik, (3) komponen fonologis. Hubungan antara ketiganya adalah input pada komponen semantik adalah output dari subkomponen sintaksis yang disebut subkomponenen dasar. Sedangkan input pada komponen fonologis merupakan output dari subkomponen sintaksis yang disebut subkomponen transformasi. Komponen sintaksis merupakan ”sentral” dari tata bahasa karena (a) komponen inilah yang menentukan arti kalimat, dan (b) komponen ini pulalah yang menggambarkan aspek kreativitas bahasa.
Untaian awal atau input awal mengalami kaidah pencabangan untuk kemudian mengalami kaidah-kaidah subkategorisasi. Kaidah-kaidah subkategori ini menghasilkan pola-pola kalimat dasar dan deskripsi struktur untuk setiap kalimat yang disebut penanda frase dasar. Inilah yang menjadi unsur-unsur struktur batin.
Kaidah transformasi mengubah struktur batin yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah kategori menjadi struktur lahir. Karena struktur batin ini telah memiliki semua unsur yang diperlukan untuk interpretasi semantik dan fonologis, maka kalimat yang berbeda artinya, biasanya tercermin di dalam perbedaan morfem, urutan morfem, dan jumlah morfem yang digunakan. Ada kalimat yang jumlah morfemnya sama, bunyi dan urutannya sama, tetapi mempunyai arti yang berbeda. Kalimat-kalimat yang meragukan seperti ini, tentu memiliki struktur dalam yang berbeda.
Komponen semantik memberikan interpretasi semantik pada deretan unsur yang dihasilkan oleh subkomponen dasar. Arti kalimat yang dihasilkan ditentukan oleh komponen ini. Arti sebuah morfem dapat digambarkan dengan memberikan unsur makna atau ciri semantik yang membentuk arti morfem itu. Umpamanya, kalau kata ayah dan kata ibu dibandingkan dengan kata pinsil dan kata kursi , maka dapat dilihat kata ayah dan ibu mempunyai ciri semantik /+makhluk/ sedangkan kata pinsil dan kursi tidak memiliki ciri semantik, atau lazim disebut memiliki ciri semantik /-makhluk/. Oleh karena itu, dapat diterima kalimat Ayah suka makan durian dan kalimat Ibu suka makan durian.
Kalimat Pinsil suka makan durian dan kalimat Kursi suka makan durian tidak berterima, karena kata kerja makan hanya bisa dilakukan oleh jata benda yang mempunyai ciri semantik /+makhluk/, dan tidak dapat dilakukan oleh yang berciri semantik /-makhluk/.
Komponen fonologi, memberikan interpretasi fonologi pada deretan unsur yang dihasilkan oleh kaidah transformasi. Dengan memakai kaidah fonologi deretan unsur tadi dapat diucapkan. Tata bahasa transformasi, berusaha mendeskripsikan ciri-ciri kesemestaan bahasa

C. Pandangan dalam Bahasa
Perkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi oleh perkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhi para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak manusia belajar bahasa.
Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalam Yulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan intraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapat dilihat berikut ini.

1. Pandangan Behaviorisme
Menurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologi behaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalam Yulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-kata tertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurut konsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernah didengarnya.
Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku.
Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatu kata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara ini lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.

2. Pandangan Nativisme
Pandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan dan penguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yang menentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah.
Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsip linguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrol bentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakan seperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itu pada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah.
Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan.
McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.
Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2) keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual; (3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD) yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5) proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar.
Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajar menguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yang dibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentang gramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yang dipelajarinya.

3. Pandangan Interaksionisme

Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.
Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24) menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperanan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu, Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000: 304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruh dalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129).
Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai sistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.

D. Tanggapan Teori Linguisti terhadap pandangan dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia

Berdasarkan uraian tentang teori linguistik dan pandangan dalam pembelajaran bahasa, maka tanggapan yang muncul bahwa aliran struktural, tagmemik, dan generatif/transformatif, yang dilaksanakan dengan mengajarkan dasar-dasar tata bahasa melalui kegiatan-kegiatan dalam situasi yang bermakna. Artinya, kepada para siswa lebih dahulu diajarkan kaidah-kaidah tata bahasa melalui teknik latihan-latihan atau tubian-tubian secara intensif. Kaidah-kaidah tata bahasa itu meliputi kaidah pembentukan kata, penyusunan kalimat, kaidah bunyi, dan kosa kata. Setelah melalui latihan-latihan dalam waktu yang cukup lama barulah siswa berlatih menggunakan bahasa dalam berkomunikasi.
Ketiga aliran itu, menitikberatkan pengajaran bahasa pada pengetahuan tentang kaidah bahasa, menyajikan materi berupa butir-butir tata bahasa yang disusun mulai dari struktur yang sederhana ke struktur yang kompleks. Para pembelajar mula-mula diperkenalkan bunyi-bunyi, bentuk-bentuk kata, struktur kalimat, kemudian baru makna-makna unsur-unsur tersebut. Tidak pernah diberi kesempatan kepada pembelajar untuk berlatih menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi yang nyata
Suatu kekeliruan, apabila hal tersebut dianggap ideal digunakan dalam pembelajaran bahasa terkhusus belajar bahasa Indonesia pada pendidikan formal. Karena, penguasaan kaidah-kaidah tata bahasa hanya merupakan salah satu unsur dalam kemampuan berkomunikasi. Di samping unsur tata bahasa, dalam kemampuan berkomunikasi masih terdapat unsur lain, iaitu kemampuan sosiolinguistik yang mengacu pada pemahaman terhadap konteks sosial tempat terjadinya peristiwa komunikasi. Kemampuan kewacanaan mengacu pada interpretasi terhadap unsur-unsur pesan secara individual, hubungan antara pesan-pesan itu dalam suatu wacana, (koherensi) serta keseluruhan makna wacana.
Kemampuan strategi komunikasi mengacu pada kemampuan untuk mengelola komunikasi, dalam hal memulai komunikasi, mempertahankan kelangsungan komunikasi, mengakhiri komunikasi, memperbaiki hubungan, dan sebagainya sehingga komunikasi berjalan lancar. Demikian pentingnya kemampuan berkomunikasi itu, maka kemampuan berkomunikasi inilah seharusnya yang menjadi tujuan pengajaran bahasa. Jadi bukan hanya kemampuan penguasaan kaidah-kaidah tata bahasa saja. Oleh karena itu, teori struktural, tagmemik, dan generatif transformatif tidak benar diterapkan pada sekolah-sekolah formal mulai dari tingkat dasar sampai menengah, karena pada dasarnya pebelajar adalah anak manusia yang akan belajar bahasa. Kapan pebelajar akan mengerti dan memahami bahasa, manakala dalam pelajaran bahasa Indonesia guru hanya menyuguhkan fonem-fonem, pembentukan kata, kalimat atau semacamnya.
Sama halnya dengan anak yang baru akan belajar berbahasa, tidak pernah orang tua mereka mengajarkan subjek, predikat, objek, dan keterangan pada saat putranya mengatakan ”Aku mau mimi susu yang dingin”. Seandainya hal ini terjadi, apakah anak tidak kebingungan dan apakah tidak menimbulkan ketidak-percayaan diri pada anak karena merasa setiap dia mengucapkan bahasa takut salah. Setiap akan mengucapkan kalimat apakah anak akan terlebih dahulu menata kalimat yang akan diucapkan yang dimulai dari subjek, predikat, objek, dan keterangan? Kalau hal ini terjadi kacaulah perbahasaan. Kemungkinan yang muncul apakah anak pendiam atau cerewet. Diam karena merenungkan kalimat-kalimat yang akan diucapkan, dan cerwet karena anak tiada saat tanpa menghafal tata bahasa yang akan diucapkan nantinya.
Teori struktural, tagmemik, dan generatif transformatif hanya tepat diterapkan pada orang yang akan berkecimpung sebagai peneliti bahasa, ahli bahasa dalam hal ini antaranya mahasiswa jurusan bahasa sebagai calon peneliti bahasa penerapannya pun tahap demi tahap.
Sebagai tawaran yang dapat dimaknai adalah penerapan teori bahasa sebagai landasan pendekatan komunikasi. Teori ini menyimpang dari kebiasaan sebelumnya yang menekankan struktur bahasa. Dalam teori ini bahasa dilihat lebih dari sekedar sistem kaidah gramatikal iaitu sebagai sebuah sistem komunikasi. Teori ini memandang bahwa: bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna; fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi; struktur bahasa mencerminkan kegunaan fungsional dan komunikatifnya; dan unit utama bahasa tidak hanya berupa ciri-ciri gramatikal dan strukturnya, tetapi juga kategori makna fungsional dan komunikatif sebagaimana contoh dalam wacana.
Selain teori bahasa sebagai landasan pendekatan komunikatif, adalah teori belajar, di mana kegiatan belajar dikembangkan dengan memajankan pembelajar ke dalam komunikasi nyata. Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dan dituntut pula untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya.
Berkaitan dengan pandangan dalam pembelajaran bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, dan interaksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana mereka dipandang.
Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melalui pengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui peniruan , sama halnya orang yang belajar mengendarai sepeda.
Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa.
Sama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.
Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamati penjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karena adanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesia pebelajar.
Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaran bahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidak menyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiri ketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalam pembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia.
Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.

E. Penutup
1. Pengajaran Bahasa) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar.
2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar.
4. Peranan pengajaran bahasa ialah memberikan kemudahan agar siswa dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra
5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal.
6. Peranan pengajaran bahasa, berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.
7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.
8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran bahasa berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar bahasa.

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA DAN BAHASA KEDUA SUATU PANDANGAN DALAM BAHASA

1. Pengantar

Bahasa selalu ada bersama dengan manusia. Ungkapan itu, bukan sekedar ungkapan tanpa dasar. Dasar yang sering disebutkan ialah bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi antar-manusia. Bahkan dapat pula dikatakan tanpa ada manusia lain pun seseorang dapat berbahasa. Manusia dapat berpikir dalam lamunannya dan dalam mimpinya sehingga dasar yang paling utama sebenarnya adalah bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Setiap anak manusia yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu, pada masa pubertas atau kira-kira 12- 14 tahun hingga menginjak dewasa atau kira-kira umur 18- 20 tahun, anak itu akan tetap masih belajar bahasanya yang dinamakan bahasa pertama atau disingkat B1.
Pascapubertas, keterampilan berbahasa seorang anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam kosakata, ia belajar B1 terus-menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 dianggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap pengetahuan dan penggunaannya. Pemerolehan B1 terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa apa pun mulai belajar bahasa untuk pertama kali. Selain pemerolehan bahasa pertama (B1) pemerolehan bahasa kedua pun yang disingkat B2 terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia berapa saja untuk tujuan bermacam-macam dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan. Oleh sebab itu, pemerolehan B2 dapat terjadi secara terpimpin, alamiah. Dalam konteks ini, dirujuk pada dua konsep yang dibedakan oleh para ahli psikolinguistik, khususnya Krashen & Terrell (1983) yang mengatakan bahwa, pada umumnya yang kelihatan ialah mengenai pemerolehan B1 yang disebut sebagai acquisition dan pelajaran B2 yang dinamakan learning.
Berangkat dari uraian di atas, dalam artikel ini akan diuraikan berturut-turut: pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua; serta pandangan dalam bahasa.

2. Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan itu dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan B1 sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif’ yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1).
Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupan untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia .
Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Melalui bahasa, khusus B1 seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak.
Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (iaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu, sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk.
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting iaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek, dan asosiasi objek dengan orang.
Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang iaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama iaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban, serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan non-insani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian iaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, iaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat dimensi iaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang tersela, iaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkat-perangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas.
Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, iaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik.


Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama
Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi, ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini.
Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, iaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation.
Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat “bercerita atau mengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, iaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi” umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.
Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.
Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, iaitu pemerolehan:
1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua,
4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit,
5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, iaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan, guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja.
Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, iaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi.
Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidah- kaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut.
Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa.
Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan.
Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, iaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil).
Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua
Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponen-komponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa. Strategi ini berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terus-menerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak.
Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka iaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifat-sifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak.
Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objek-objek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan.
Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anak-anak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula.
Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun.
Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, iaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai berganti-ganti untuk maksud dan pengertian yang sama.
Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi iaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik.
Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa iaitu pemerolehan bahasa pertama bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, iaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan iaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan.
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa iaitu prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa.
Istilah prospensiti mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu.
Komponen kecenderungan ada empat iaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif.
Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahu-membahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhan-kebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan.
Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua.
3. Pandangan dalam Bahasa
Perkembangan teori pemerolehan bahasa pada abad ini telah dipenaruhi oleh perkembangan psikologi Omega (dalam Yulianto, 2007: 10-11). Dalam psikologi terdapat dua aliran yang prinsip dasarnya bertentangan, yakni behaviorisme dan kognitivisme. Kedua aliran tersebut ikut mempengaruhi para ahli pembelajaran bahasa dalam memandang bagaimana seorang anak manusia belajar bahasa.
Tentang bagaimana manusia memperoleh atau belajar bahasa, Ellis (dalam Yulianto, 2007:10-11) mengungkapkan adanya tiga kelompok pandangan, iaitu (1) pandangan behaviorisme, (2) pandangan nativisme, dan (3) pandangan intraksionisme. Lebih jelasnya uraian ketiga pandangan tersebut dapat dilihat berikut ini.

a. Pandangan Behaviorisme
Menurut pandangan ini kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh aliran psikologi behaviorisme yang merupakan rangkaian rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajaran harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan Brown (dalam Yulianto, 2007:11). Pebelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkngan dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangan. Untuk itu, agar anak dapat mengucapkan kata-kata tertentu, kepadanya harus diberikan rangsangan berupa kata-kata. Menurut konsep ini anak tidak dapat mengucapkan kata-kata yang belum pernah didengarnya.
Baraja (1990:31) mengemukakan bahwa perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, iaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Dengan kata lain, apabila ada restu reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah. Inilah yang dikatakan belajar, sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku.
Menurut Skinner, anak-anak mengakusisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini, faktor yang terpenting adalah frekuensi berulangnya suatu kata atau urutan kata. Ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Dengan cara ini lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.

b. Pandangan Nativisme
Pandangan ini menekankan peranan aktif pembelajar. Peranan peniruan dan penguatan menjadi tidak berarti. Chomsky menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang bahasa ibunya diturunkan dari universal grammar yang menentukan bentuk-bentuk dasar bahasa alamiah.
Universal Grammar telah ada pada setiap orang sebagai seperangkat prinsip linguistik bawaan yang terdiri atas keadaan awal yang berfungsi mengontrol bentuk kalimat suatu ujaran. Dengan demikian, universal grammar merupakan seperangkat prosedur penemuan untuk menghubungkan prinsip-prinsip umum itu pada data yang diberikan oleh pajanan bahasa alamiah.
Kaum mentalis berpendapat bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa. Potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. (Brown, 1980: 21) beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang mereka sebut LAD (Language Acquisition Device). Kelengkapan bahasa ini berisi sejumlah hipotesis bawaan.
McNeill (Brown, 1980: 22) menyatakan bahwa LAD terdiri dari: (a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain, (b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian, (c) pengetahuan tetang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkinn, dan (d) kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, dengan demikian dapat melahirkan sistem yang dirasakan mungkin di luar data linguistik yang ditemukan.
Senada dengan itu, Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai: (1) bahasa merupkan kemampuan khusus manusia; (2) keberadaannya tidak terikat oleh otak atau akal budi manusia, karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual; (3) faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD) yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak; (4) LAD berhenti perkembangannya karena usia dan; (5) proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pebelajar dengan univeral grammar.
Pandangan kaum mentalis tentang pemerolehan B2, karena seorang pebelajar menguasai pengetahuan bahasa ibunya dengan jalan menguji hipotesis yang dibuatnya. Tugasnya adalah menghubungkan pengetahuan bawaan tentang gramatika dasar dengan struktur lahir kalimat-kalimat bahasa yang dipelajarinya.

c. Pandangan Interaksionisme

Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pebelajar dengan lingkungan bahasa (Ellis, 1986: 126). Interaksi antara keduanya adalah manifestasi dari interaksi verbal yang aktual antara pebelajar dengan orang lain.
Pendekatan interaksionisme oleh van Els (dalam Yulianto, 2007: 24) menyebut sebagai pendekatan prosedural, di mana dalam pendekatan ini interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Faktor interna, merupakan kemampuan mental anak sangat berpengaruh. Namun, faktor lingkungan juga berperanan menentukan macam pemerolehannya, terutama leksikon. Di samping itu, Yulianto (2001: 563) juga setuju kepada pandangan Dardjowidjojo (2000: 304) yang mengungkapkan bahwa faktor kodrati dan lingkungan berpengaruh dalam pemerolehan bahasa anak. Secara eksplisit pandangan ini sesuai dengan pandangan interaksionisme (Ellis, 1986:129).
Menurut pandangan interaksionisme, interaksi antara faktor internal dengan faktor eksternal bersifat sentral. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif anak dalam menemukan struktur bahasa di sekitarnya. Baik pemahaman maupun produksi bahasa pada anak-anak dipandang sebagai sistem prosedur penemuan yang secara terus-menerus berkembang dan berubah.

4. Tanggapan
Dari ketiga pandangan dalam bahasa iatu bihaviorisme, nativisme, dan interaksionisme dapat dikatakan ketiganya benar sesuai sudut mana mereka dipandang.
Tidak dapat disangkal dan dapat dibenarkan dari pandangan kaum empiris bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh melalui pengalaman atau proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akusisi bahasanya. Dalam arti bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya orang yang belajar mengendarai sepeda.
Lebih lanjut, pandangan bihavioristik mengemukakan bahwa tidak ada struktur linguistik yang dibawa anak sejak lahir. Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa, tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa. Sistem respon diperoleh manusia melalui sistem membiasakan atau pengulangan-pengulangan. Dengan demikian, anak harus diajarkan bahasa
Sama halnya dengan pandangan nativisme atau mentalis, dapat dibenarkan dari sudut pandangnya bahwa anak lahir ke dunia telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Proses akusisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.
Pandangan interaksionisme ini pun dianggap benar apabila diamati penjelasan dari penganutnya bahwa terjadinya penguasaan bahasa karena adanya hubungan atau adanya interaksi antara masukan yang dipajankan kepada pebelajar dan kemampuan internal yang dimilikinya. Hal ini terbukti dari pengamatan Yulianto (1994) bahwa faktor lingkungan bahasa juga terbukti sangat berpengaruh. Oleh karena itu, baik faktor internal maupun eksternal saling berinteraksi mempengaruhi pemerolehan bahasa indonesia pebelajar.
Dari ketika pembuktian pandangan dalam bahasa akan berhasil pembelajaran bahasa apabila dipadukan ketiganya. Karena masing-masing dianggap tidak menyimpang manakala guru dapat memaknai. Walaupun tidak dapat dipungkiri ketiganya memiliki kekurangan, yang dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan selama masih dapat digunakan dan bermanfaat dalam pembelajaran khusunya belajar bahasa Indonesia.
Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar.

5. Penutup
Empirisme Dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati.
2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang.
3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya.
4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa.
5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R.
6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif.
7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian.
8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R.
9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa).
Rasionalisme dalam Teori Belajar B2
1. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif.
2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsip-prinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia.
3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal.
4. Menurut Chomsky prinsip universal “ditemukan” oleh anak membentuk “tata bahasa inti” yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa “periferal” yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal.
5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut “model monitor” yang mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan struktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan.
6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai.
7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal.
Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua
1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar.
2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok.
3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar.
4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi sub-subketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2).
5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal.
6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa.
7. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya.
8. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2.