Kamis, April 16, 2009

PROBLEMATIKA SARANA DAN PRASARANA PEMBELAJARAN BAHASA

A. Konsep Sarana dan Prasarana Pendidikan
Perlengkapan sekolah merupakan salah satu bagian kajian dalam administrasi sekolah (school administration), atau administrasi pendidikan (educational administration) dan sekaligus menjadi bidang garapan kepala sekolah selaku administrator sekolah yang diharapkan dapat memberikan layanan secara profesional dalam bidang perlengkapan atau fasilitas kerja bagi personel sekolah. Dengan pengelolaan yang efektif dan efisien diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja personel sekolah.

Perlengkapan sekolah, atau juga sering disebut dengan fasilitas sekolah, dapat dikelompokkan menjadi: (1) sarana pendidikan; dan (2) prasarana pendidikan. Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, perabot yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah. Dalam hal ini sekolah sangat membutuhkan sarana dan prasarana demi untuk kelangsungan proses belajar belajar.

B.Macam-macam Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam hubungannya dengan sarana pendidikan, Nawawi (1987) mengklasifikasikan sarana menjadi beberapa macam sarana pendidikan, yaitu ditinjau dari sudut: (1) habis tidaknya dipakai; (2) bergerak tidaknya pada saat digunakan; dan (3) hubungannya dengan proses belajar mengajar.
1)Ditinjau dari Habis Tidaknya Dipakai
Apabila dilihat dari habis tidaknya dipakai, ada dua macam sarana pendidikan, yaitu sarana pendidikan yang habis dipakai dan sarana pendidikan tahan lama.

(a)Sarana pendidikan yang habis dipakai
Sarana pendidikan yang habis dipakai adalah segala bahan atau alat yang apabila digunakan bisa habis dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena apa yang sudah dibeli tidak bisa kita gunakan lagi . Sebagai contohnya adalah kapur tulis yang biasa digunakan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran, beberapa bahan kimia yang sering kali digunakan oleh seorang guru dan siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Selain itu, ada beberapa sarana pendidikan yang berubah bentuk misalnya, kayu, besi, dan kertas karton yang sering kali digunakan oleh guru dalam mengajar materi pelajaran keterampilan. Sementara, sebagai contoh sarana pendidikan yang berubah bentuk adalah pita mesin tulis, bola lampu, dan kertas.

(b)Sarana pendidikan yang tahan lama
Sarana pendidikan yang tahan lama adalah keseluruhan bahan atau alat yang dapat digunakan secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama. Beberapa contohnya adalah bangku sekolah, mesin tulis, atlas, globe, dan beberapa peralatan olahraga. Dalam hal ini sarana pendidikan tahan lama adalah inventaris yang secara terus menerus masih membutuhkan biaya untuk perawatan.

2)Ditinjau dari Pendidikan Bergerak Tidaknya
(a)Sarana pendidikan yang bergerak
Sarana pendidikan yang bergerak adalah sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindah sesuai dengan kebutuhan pemakaiannya. Lemari arsip sekolah misalnya, merupakan salah satu sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan ke mana mana bila diinginkan. Sarana pendidikan ini bisa digunakan pada berbagai tingkatan kelas.

(b)Sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak
Sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak adalah semua sarana pendidikan yang tidak bisa atau relatif sangat sulit untuk dipindahkan. Misalnya saja suatu sekolah dasar yang telah memiliki saluran dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Semua peralatan yang berkaitan dengan itu, seperti pipanya relatif tidak mudah untuk dipindahkan ke tempat tempat tertentu. Perpindahan ini harus melalui persetujuan dari berbagai pihak sehingga sulit sekali untuk dilaksanakan.


3)Ditinjau dari hubungannya dengan Proses Belajar Mengajar
Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, ada dua jenis sarana pendidikan. Pertama, sarana pendidikan yang secara langsung digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagai contohnya adalah kapur tulis, atlas, dan sarana pendidikan lainnya yang digunakan guru dalam mengajar. Kedua, sarana pendidikan yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar, seperti lemari arsip di kantor sekolah merupakan sarana pendidikan yang tidak secara langsung digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar.

Sedangkan prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktik keterampilan, dan ruang laboratorium. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar. Beberapa contoh tentang prasarana sekolah jenis terakhir tersebut di antaranya adalah ruang kantor, kantin sekolah, tanah dan jalan menuju sekolah, kamar kecil, ruang usaha kesehatan sekolah, ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tempat parkir kendaraan
C. Prinsip-prinsip Pengadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Secara umum, tujuan pengadaan sarana dan prasarana sekolah adalah memberikan layanan secara profesional di bidang pendidikan dalam rangka terselenggaranya proses pendidikan secara efektif dan efisien. Agar tujuan tersebut tercapai, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Prinsip prinsip yang dimaksud adalah (1) prinsip pencapaian tujuan; (2) prinsip efisiensi; (3) prinsip administratif., (4) prinsip kejelasan tanggung jawab; dan (5) prinsip kekohesifan. Apabila kelima prinsip tersebut diterapkan, manajemen perlengkapan pendidikan bisa menyokong tercapainya tujuan pendidikan.
1)Prinsip Pencapaian Tujuan
Pada dasarnya pengadaan sarana dan prasarana sekolah dilakukan dengan maksud agar semua fasilitas sekolah dalam keadaan kondisi siap pakai. Oleh sebab itu, sarana dan prasarana sekolah dapat dikatakan efektif bilamana fasilitas sekolah itu selalu siap pakai setiap saat, pada setiap ada seorang personel sekolah akan menggunakannya.

2)Prinsip Efisiensi
Dengan prinsip efisiensi berarti semua kegiatan pengadaan sarana dan prasarana sekolah dilakukan dengan perencanaan yang hati hati, sehingga bisa memperoleh fasilitas yang berkualitas baik dengan harga yang relatif murah. Dalam rangka itu maka perlengkapan sekolah hendaknya dilengkapi dengan petunjuk teknis penggunaan dan pemeliharaannya. Petunjuk teknis tersebut dikomunikasikan kepada semua personel sekolah yang diperkirakan akan menggunakannya. Selanjutnya, bilamana dipandang perlu, dilakukan pembinaan terhadap semua personel.

3)Prinsip Administratif
Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan perundang undangan yang berkenaan dengan sarana dan prasarana pendidikan. Sebagai contohnya adalah peraturan tentang inventarisasi dan penghapusan perlengkapan milik negara. Dengan prinsip administratif berarti semua perilaku pengelolaan perlengkapan pendidikan di sekolah itu hendaknya selalu memperhatikan undang undang, peraturan, instruksi, dan pedoman yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Sebagai upaya penerapannya, tiap penanggung jawab pengelolaan perlengkapan pendidikan hendaknya memahami semua peraturan perundang undangan tersebut dan menginformasikan pada semua personel sekolah yang diperkirakan akan berpartisipasi dalam pengelolaan perlengkapan pendidikan.

4)Prinsip Kejelasan Tanggung Jawab
Di Indonesia tidak sedikit adanya lembaga pendidikan yang sangat besar dan maju. Oleh karena besar, sarana dan prasarananya sangat banyak sehingga manaje¬mennya melibatkan banyak orang. Bilamana hal itu terjadi maka perlu adanya pengorganisasian kerja pengelolaan perlengkapan pendidikan. Dalam pengorgasasiannya, semua tugas dan tanggung jawab semua orang yang terlibat itu perlu deskripsikan dengan jelas.

5)Prinsip Kekohesifan
Dengan prinsip kekohesifan berarti pengelolaan sarana dana prasarana pendidikan di sekolah hendaknya terealisasikan dalam bentuk proses kerja sekolah yang sangat kompak. Oleh karena itu, walaupun semua orang yang terlibat dalam pengelolaan sarana dan prasarana itu telah memiliki tugas dan tanggungjawab masing masing, namun antara yang satu dengan yang lainnya harus selalu bekerja sama dengan baik.

D.Proses Pengelolaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengelolaan sarana dan prasarana sekolah sesungguhnya merupakan proses kerja sama pendayagunaan semua perlengkapan sekolah secara efektif dan efisien. Satu hal yang perlu dipertegas dalam definisi tersebut adalah bahwa pengelolaan sarana dan prasarana sekolah merupakan suatu proses pendayagunaan yang sasarannya adalah perlengkapan pendidikan, seperti perlengkapan kantor sekolah, perlengkapan perpustakaan, media pengajaran, dan perlengkapan lainnya. Dengan kata lain, pengelolaan sarana dan prasarana sekolah itu terwujud sebagai suatu proses yang terdiri atas langkah langkah tertentu secara sistematis.

Berkaitan dengan hal tersebut, Stoops dan Johnson (1967), mengungkapkan langkah langkah pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan itu meliputi analisis kebutuhan, analisis anggaran, seleksi, penetapan kebutuhan, pembelian, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemakaian, inventarisasi, dan pemeliharaan. Kegiatan kegiatan seperti analisis dan penyusunan kebutuhan, pembelian, penerimaan perlengkapan sekolah yang pada dasarnya dilakukan oleh pengelola sarana dan prasarana pendidikan sebagai perencanaan pengadaan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, semua kegiatan tersebut dapat dikategorikan dengan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan.

Selanjutnya, secara periodik semua sarana dan prasarana sekolah tersebut diinventarisasi. Apabila dalam penginventarisasiannya ternyata ada sejumlah sarana dan prasarana yang sudah tidak layak pakai maka perlu dilakukan penghapusan. Pada gilirannya nanti, semua hasil inventarisasi dan penghapusan tersebut dijadikan dasar analisis kebutuhan untuk pengadaan sarana dan prasarana sekolah pada masa berikutnya.

1) Perencanaan Sarana Prasarana Sekolah
Ditinjau dari arti katanya, perencanaan adalah suatu proses memikirkan dan menetapkan kegiatan kegiatan atau program program yang akan dilakukan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, perencanaan sarana prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu proses memikirkan dan menetapkan program pengadaan fasilitas sekolah, baik yang berbentuk sarana maupun prasarana pendidikan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila pengadaan perlengkapan itu betul betul sesuai dengan kebutuhannya, berarti perencanaan pengadaan perlengkapan di sekolah itu betul betul efektif.
2) Prosedur Perencanaan Pengadaan Sarana Prasarana

Perencanaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, diawali dengan menganalisis jenis pengalaman pendidikan yang diberikan di sekolah itu. Jones (1969) mendeskripsikan langkah langkah perencanaan pengadaan sarana prasarana pendidikan di sekolah sebagai berikut.
(a) Menganalisis kebutuhan pendidikan suatu masyarakat dan menetapkan program untuk masa yang akan datang sebagai dasar untuk mengevaluasi keberadaan fasilitas dan membuat model perencanaan perlengkapan yang akan datang.
(b) Melakukan survei ke seluruh unit sekolah untuk menyusun master plan untuk jangka waktu tertentu.
(c) Memilih kebutuhan utama berdasarkan hasil survei.
(d) Mengembangkan educational specification untuk setiap proyek yang terpisah¬-pisah dalam usulan master plan.
(e) Merancang setiap proyek yang terpisah pisah sesuai dengan spesifikasi pendidikan yang diusulkan.
(f) Mengembangkan atau menguatkan tawaran atau kontrak dan melaksanakan sesuai dengan gambaran kerja yang diusulkan.
(g) Melengkapi perlengkapan gedung dan meletakkannya sehingga siap untuk digunakan.

Emery Stoops dan Russel E. Johnson (1969) mengemukakan bahwa prosedur perencanaan pengadaan perlengkapan pendidikan di sekolah, sebagai berikut.
(a) Pembentukan panitia pengadaan barang atau perlengkapan.
(b) Penetapan kebutuhan perlengkapan.
(c) Penetapan spesifikasi.
(d) Penetapan harga satuan perlengkapan.
(e) Pengujian segala kemungkinan.
(f) Rekomendasi.
(g) Penilaian kembali.

Menurut Stoop dan Johnson, langkah pertama perencanaan pengadaan perlengkapan sekolah adalah pembentukan panitia pengadaan. Kedua, panitia tersebut menganalisis kebutuhan perlengkapan dengan jalan menghitung atau mengidentifikasi kekurangan rutin, barang yang rusak, kekurangan unit kerja, dan kebijaksanaan kepala sekolah.
Sementara menurut Boeni Soekarno (1987) langkah langkah perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah, yaitu sebagai berikut.
(a) Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan setiap unit kerja sekolah dan atau menginventarisasi kekurangan perlengkapan sekolah.
(b) Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk periode tertentu, misalnya, untuk satu tri wulan atau satu tahun ajaran.
(c) Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang telah tersedia sebelumnya. Dalam rangka itu, perencana atau panitia pengadaan mencari informasi tentang perlengkapan yang telah dimiliki oleh sekolah. Salah satu cara adalah dengan jalan membaca buku inventaris atau buku induk barang. Berdasarkan panduan tersebut lalu disusun rencana kebutuhan perlengkapan, yaitu mendaftar semua perlengkapan yang dibutuhkan yang belum tersedia di sekolah.
(d) Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang telah tersedia. Apabila dana yang tersedia tidak mencukupi untuk pengadaan semua kebutuhan itu maka perlu dilakukan seleksi terhadap semua kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan, dengan melihat urgensi setiap perlengkapan tersebut. Semua perlengkapan yang urgen segera didaftar.
(e) Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan dengan dana atau anggaran yang ada. Apabila ternyata masih melebihi dari anggaran yang tersedia, perlu dilakukan seleksi lagi dengan cara membuat skala prioritas.
(f) Penetapan rencana pengadaan akhir.

Berdasarkan keseluruhan uraian tentang prosedur perencanaan pengadaan sarana prasarana di sekolah sebagaimana dikemukakan di atas, dapat ditegaskan bahwa proses perencanaan pengadaan sarana prasarana di sekolah tidak mudah. Perencanaan pengadaan sarana prasarana merupakan upaya memikirkan perlengkapan yang diperlukan di masa yang akan datang dan bagaimana pengadaannya secara sistematis, rinci, dan teliti berdasarkan informasi yang realistis tentang kondisi sekolah dasar.
Agar prinsip prinsip tersebut betul betul terpenuhi, semua pihak yang dilibatkan atau ditunjuk sebagai panitia perencanaan pengadaan perlengkapan di sekolah perlu mengetahui dan mempertimbangkan program pendidikan, perlengkapan yang sudah dimiliki, dana yang tersedia, dan harga pasar. Dalam hubungannya dengan program pendidikan yang perlu diperhatikan adalah organisasi kurikulum sekolah, metode pengajaran, dan media pengajaran yang diperlukan. Dalam kaitannya dengan dana yang tersedia, ada beberapa sumber dana yang biasanya dimiliki sekolah, seperti dana proyek, dana yayasan, atau sumbangan rutin orang tua murid. Sedangkan dalam hubungannya dengan perlengkapan yang sudah dimiliki ada tiga hal yang perlu diketahui, yaitu jenis, jumlah sarana prasarana, dan kualitasnya masing masing.

3) Pengadaan Sarana Prasarana Sekolah
Pengadaan sarana prasarana pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merealisasikan rencana pengadaan perlengkapan yang telah disusun sebelumnya. Berkaitan dengan pengadaan sarana prasarana sekolah, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pengelola sekolah untuk mendapatkan sarana prasarana yang dibutuhkan sekolah, antara lain dengan cara membeli, mendapatkan hadiah atau sumbangan, tukar menukar, dan meminjam.

4) Pendistribusian Sarana Prasarana Sekolah
Pendistribusian atau penyaluran perlengkapan merupakan kegiatan pemindahan barang dan tanggung jawab dari seorang penanggung jawab penyimpanan kepada unit unit atau orang orang yang membutuhkan barang itu. Dalam prosesnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu ketepatan barang yang disampaikan, baik jumlah maupun jenisnya; ketepatan sasaran penyampaiannya, dan ketepatan kondisi barang yang disalurkan. Dalam rangka itu, paling tidak tiga langkah yang sebaiknya ditempuh oleh bagian penanggung jawab penyimpanan atau penyaluran, yaitu (1) penyusunan alokasi barang; (2) pengiriman barang; dan (3) penyerahan barang.

Dalam kaitan dengan perihal di atas, perlu adanya penyusunan alokasi pendistribusian. Dengan terlebih dahulu melakukan penyusunan alokasi pendistribusian barang barang yang telah diterima oleh sekolah yang dapat disalurkan sesuai dengan kebutuhan barang pada bagian bagian sekolah, dengan melihat kondisi, kualitas, dan kuantitas barang yang ada. Semakin jelas alokasinya, semakin jelas pula pelimpahan tanggungjawab pada penerima. Dengan demikian, pendistribusi¬annya lebih mudah dilaksanakan dan dikontrol setiap saat. Tujuan akhir penyusunan alokasi tersebut pada akhirnya adalah untuk menghindari pemborosan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Untuk pendistribusian barang , dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya ada dua sistem pendistribusian barang yang dapat ditempuh oleh pengelola perlengkapan sekolah, yaitu sistem langsung dan sistem tidak langsung.

Dengan menggunakan sistem pendistribusian langsung, berarti barang barang yang sudah diterima dan diinventarisasikan langsung disalurkan pada bagian bagian yang membutuhkan tanpa melalui proses penyimpanan terlebih dahulu. Sedangkan dengan menggunakan sistem pendistribusian yang tidak langsung berarti barang barang yang sudah diterima dan sudah diinventarisasikan tidak secara langsung disalurkan, melainkan harus disimpan terlebih dahulu di gudang penyimpanan dengan teratur. Hal ini biasanya digunakan apabila barang barang yang lalu ternyata masih tersisa.
Sistem apa pun yang digunakan oleh pengelola perlengkapan pendidikan di sekolah tidak perlu dipersoalkan, asalkan memenuhi asas asas dalam pendistribusian yang efektif Ada beberapa asas pendistribusian ini yang perlu diperhatikan, yaitu (1) asas ketepatan; (2) asas kecepatan; (3) asas keamanan; (4) asas ekonomis. Namun seandainya digunakan sistem pendistribusian tidak langsung maka barang barang yang perlu disimpan di gudang perlu mendapatkan pengawasan yang efektif.
5) Penggunaan dan Pemeliharaan Sarana Prasarana Sekolah

Dalam kaitan dengan pemakaian perlengkapan pendidikan itu, ada dua prinsip yang harus selalu diperhatikan, yaitu prinsip efektivitas dan prinsip efisiensi. Dengan prinsip efektivitas berarti semua pemakaian perlengkapan pendidikan di sekolah harus ditujukan semata-¬mata dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dengan prinsip efisiensi berarti pemakaian semua perlengkapan pendidikan di sekolah secara hemat dan dengan hati hati sehingga semua perlengkapan yang ada tidak mudah habis, rusak, atau hilang.
Dalam rangka memenuhi kedua prinsip tersebut di atas maka paling tidak ada tiga kegiatan pokok yang perlu dilakukan oleh personel sekolah yang akan memakai perlengkapan pendidikan di sekolah, yaitu (1) memahami petunjuk penggunaan perlengkapan pendidikan; (2) menata perlengkapan pendidikan; dan (3) memelihara baik secara kontinu maupun berkala semua perlengkapan pendidikan.

Ada beberapa macam pemeliharaan sarana prasarana pendidikan di sekolah. Ditinjau dari sifatnya, ada empat macam pemeliharaan perlengkapan pendidikan. Keempat pemeliharaan tersebut cocok dilakukan pada perlengkapan pendidikan berupa mesin. Pertama, pemeliharaan yang bersifat pengecekan. Pengecekan ini dilakukan oleh seseorang yang mengetahui tentang baik buruknya keadaan mesin. Kedua, pemeliharaan yang bersifat pencegahan. Pemeliharaan dengan cara demikian itu dilakukan agar kondisi mesin selalu dalam keadaan baik. Misalnya, sekolah memiliki sepeda motor dinas hendaknya setiap hari dilakukan pemeriksaan terhadap minyak rem dan bensinnya. Ketiga, pemeliharaan yang bersifat perbaikan ringan, seperti perbaikan remnya. Keempat, perbaikan berat.
Sedangkan apabila ditinjau dari waktu perbaikannya, ada dua macam peme¬liharaan sarana prasarana sekolah, yaitu pemeliharaan sehari hari dan pemeliharaan berkala. Pemeliharaan sehari hari, misalnya, berupa menyapu, mengepel lantai, dan membersihkan pintu. Sedangkan pemeliharaan berkala, misalnya, berupa pengontrolan genting dan pengapuran dinding.

6) Inventarisasi dan Penghapusan Sarana Prasarana Sekolah
Salah satu aktivitas dalam pengelolaan perlengkapan pendidikan di sekolah adalah mencatat semua perlengkapan yang dimiliki oleh sekolah. Lazimnya, kegiatan pencatatan semua perlengkapan itu disebut dengan istilah inventarisasi perlengkapan pendidikan. Kegiatan tersebut merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Secara definitif, inventarisasi adalah pencatatan dan penyusunan daftar barang milik negara secara sistematis, tertib, dan teratur berdasarkan ketentuan ketentuan atau pedoman pedoman yang berlaku. Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor Kep. 225/MK[V/4/ 1971 barang milik negara adalah berupa semua barang yang berasal atau dibeli dengan dana yang bersumber, baik secara keseluruhan atau sebagiannya, dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN) ataupun dana lainnya yang barang barangnya di bawah penguasaan pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun daerah otonom, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.

Definisi di atas menegaskan bahwa inventarisasi itu adalah pencatatan semua barang milik negara. Namun sebenarnya yang perlu diinventarisasi tidak hanya itu. Semua barang atau perlengkapan di sekolah, baik barang barang habis pakai maupun tahan lama, baik barang barang milik negara maupun milik sekolah, baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang murah maupun mahal, harus diinventari¬sasi secara tertib menurut tata cara yang berlaku.

Semua sarana prasarana pendidikan di sekolah atau barang inventaris sekolah harus dilaporkan. Sekolah sekolah swasta wajib melaporkannya kepada yayasannya. Laporan tersebut seringkali disebut dengan istilah laporan mutasi barang. Pelaporan tersebut dilakukan sekali dalam setiap tri wulan. Misalnya, pada setiap, bulan Juli, Oktober, Januari, dan April tahun berikutnya. Biasanya di sekolah itu ada barang rutin dan barang proyek. Bilamana demikian halnya, maka pelaporannya pun seharusnya dibedakan. Dengan demikian, ada laporan barang rutin, ada laporan barang proyek

Secara definitif, penghapusan perlengkapan adalah kegiatan meniadakan barang barang milik lembaga (bisa juga sebagai milik negara) dari daftar inventaris dengan cara berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku. Sebagai salah satu aktivitas dalam pengelolaan perlengkapan pendidikan di sekolah, penghapusan perlengkapan bertujuan untuk:
(a) mencegah atau membatasi kerugian yang lebih besar sebagai akibat pengeluaran dana untuk pemeliharaan atau perbaikan perlengkapan yang rusak;
(b) mencegah terjadinya pemborosan biaya pengamanan perlengkapan yang tidak berguna lagi;
(c) membebaskan lembaga dari tanggung jawab pemeliharaan dan pengamanan;
(d) meringankan beban inventarisasi.

Kepala sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan penghapusan terhadap perlengkapan pendidikan di sekolahnya. Namun, perlengkapan yang akan dihapus harus memenuhi syarat syarat penghapusan. Demikian pula prosedurnya harus mengikuti peraturan perundang undangan yang berlaku. Mengenai syarat syarat dan prosedur penghapusan perlengkapan pendidikan di sekolah seperti berikut ini.

(a) Syarat Syarat Penghapusan
Barang barang perlengkapan pendidikan di sekolah yang memenuhi syarat penghapusan adalah barang barang:
(1) dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dimanfaatkan lagi,
(2) tidak sesuai dengan kebutuhan,
(3) kuno, yang penggunaannya tidak sesuai lagi,
(4) terkena larangan,
(5) mengalami penyusutan di luar kekuasaan pengurus barang,
(6) yang biaya pemeliharaannya tidak seimbang dengan kegunaannya,
(7) berlebihan, yang tidak digunakan lagi,
(8) dicuri,
(9) diselewengkan, dan
(10) terbakar atau musnah akibat adanya bencana alam.

(b)Prosedur Penghapusan
Sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia, langkah langkah penghapusan perlengkapan pendidikan di sekolah, adalah sebagai berikut.

(1)Kepala sekolah (bisa dengan menunjuk seseorang) mengelompokkan perlengkapan yang akan dihapus dan meletakkannya di tempat yang aman namun tetap di dalam lokasi sekolah.

(2)Menginventarisasi perlengkapan yang akan dihapus tersebut dengan cara mencatat jenis, jumlah, dan tahun pembuatan perlengkapan tersebut.

(3)Kepala sekolah mengajukan usulan penghapusan barang dan pembentukan panitia penghapusan, yang dilampiri dengan data barang yang rusak (yang akan dihapusnya) ke Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kota/Kabupaten.

(4)Setelah SK penghapusan dari Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kota/Kabupaten terbit, selanjutnya panitia penghapusan segera bertugas, yaitu memeriksa kembali barang yang rusak berat, biasanya dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan.

(5)Begitu selesai melakukan pemeriksaan, panitia mengusulkan penghapusan barang barang yang terdaftar di dalam Berita Acara Pemeriksaan. Dalam rangka itu, biasanya perlu adanya pengantar dari kepala sekolahnya. Usulan itu lalu diteruskan ke pemda kabupaten/kota melalui kepala bagian perlengkapan

(6)Akhirnya begitu surat keputusan penghapusan dari pemda kabupaten/kota datang, bisa segera dilakukan penghapusan terhadap barang barang tersebut. Ada dua kemungkinan penghapusan perlengkapan sekolah, yaitu dimusnahkan dan dilelang. Apabila melalui lelang, yang berhak melelang adalah kantor lelang setempat. Sedangkan basil lelangnya menjadi milik negara.

A.Permasalahan Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar
Data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional memberi informasi bahwa secara kuantitatif fasilitas layanan pendidikan sudah cukup baik dengan rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk SD/MI, 37 untuk SMP/MTs dan 39 untuk SMA/SMK/MA. Pada saat yang sama rasio murid per guru adalah 20 untuk SD/MI, 14 untuk SMP/MTs dan 13 untuk SMA/SMK/MA. Namun jika dilihat kualitasnya dapat disimpulkan bahwa fasilitas layanan pendidikan masih jauh dari memadai.

Pada tahun 2004 sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Gedung SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980an sudah banyak yang rusak berat yang diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Rehabilitasi/revitalisasi bangunan SD/MI yang rusak melalui dana dekonsentrasi maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) ternyata belum dapat mengimbangi peningkatan jumlah bangunan yang rusak. Agar tidak semakin banyak lagi sekolah-sekolah yang rubuh perlu dilakukan tindakan affirmatif dalam menangani kerusakan sekolah. Alokasi anggaran untuk rehabilitasi sekolah harus ditingkatkan yang diikuti dengan monitoring dan evaluasi yang ketat sehingga dana yang dialokasikan benar-benar dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Pada saat yang sama sebagian besar sekolah belum memiliki prasarana penunjang mutu pendidikan seperti perpustakaan dan laboratorium. Dari seluruh sekolah yang terjaring dalam survei yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003 sebanyak 159.132 SD/MI, hanya 30,78 persen sekolah yang memiliki perpustakaan. Disamping itu kondisi prasarana penunjang yang adapun cukup banyak yang telah rusak. Ruang laboratorium pada jenjang SMP/MTs yang mengalami kerusakan ringan dan berat berkisar antara 8,4 persen untuk lab komputer dan 22,3 untuk lab IPS.

Kepemilikan komputer dan akses internet sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan masih sangat terbatas. Sampai dengan tahun 2004 baru sebagian kecil sekolah/madrasah yang memiliki akses internet. Untuk jenjang SMP/MTs baru 29,6 persen institusi yang memiliki komputer dan hanya 3,3 persen yang memiliki akses internet.

Terbatasnya ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah. Keterbatasan buku tersebut secara langsung berdampak pada sulitnya anak menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajari. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain semakin memberatkan orangtua juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa.


KESIMPULAN
Perlengkapan sekolah merupakan salah satu bagian kajian dalam administrasi sekolah (school administration), atau administrasi pendidikan (educational administration) dan sekaligus menjadi bidang garapan kepala sekolah selaku administrator sekolah yang diharapkan dapat memberikan layanan secara profesional dalam bidang perlengkapan atau fasilitas kerja bagi personel sekolah.

Perlengkapan sekolah, atau juga sering disebut dengan fasilitas sekolah, dapat dikelompokkan menjadi: (1) sarana pendidikan; dan (2) prasarana pendidikan. Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, perabot yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana pendidikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.

Sarana dan prasarana pendidikan dapat diklasifikasikan dari sudut: (1) habis tidaknya dipakai; (2) bergerak tidaknya pada saat digunakan; dan (3) hubungannya dengan proses belajar mengajar.
Ditinjau dari habis tidaknya dipakai: (1) sarana pendidikan yang habis dipakai, dan

(2) sarana pendidikan yang tahan lama.
Ditinjau dari pendidikan bergerak tidaknya: (1) sarana pendidikan yang bergerak, (2) sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak.

Ditinjau dari hubungannya dengan proses belajar mengajar, ada dua jenis sarana pendidikan. Pertama, sarana pendidikan yang secara langsung digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagai contohnya adalah kapur tulis, atlas, dan sarana pendidikan lainnya yang digunakan guru dalam mengajar. Kedua, sarana pendidikan yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses belajar mengajar, seperti lemari arsip di kantor sekolah merupakan sarana pendidikan yang tidak secara langsung digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar.

Prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktik keterampilan, dan ruang laboratorium. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar.

Prinsip-prinsip pengadaan sarana dan prasarana pendidikan: (1) prinsip pencapaian tujuan; (2) prinsip efisiensi; (3) prinsip administratif., (4) prinsip kejelasan tanggung jawab; dan (5) prinsip kekohesifan. Apabila kelima prinsip tersebut diterapkan, manajemen perlengkapan pendidikan bisa menyokong tercapainya tujuan pendidikan.

Proses pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan, meliputi: (1) perencanaan sarana prasarana sekolah, (2) prosedur perencanaan pengadaan sarana prasarana, (3) pengadaan sarana prasarana sekolah, (4) pendistribusian sarana prasarana sekolah, (5) penggunaan dan pemeliharaan sarana prasarana sekolah, (6) inventarisasi dan penghapusan sarana prasarana sekolah

Rabu, April 15, 2009

SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI PENDEKATAN MENGANALISIS KARYA SASTRA

A. Pendahuluan
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra

B. Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Lain halnya dengan Grebsten (dalam Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.
1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Lanjut Damono (1989: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984- 220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-individu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
Menurut Ratna (2003: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1981: 178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, menuruskan bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian Eagleton (1983), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.


C. Penutup
Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang memprtimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).
Pengkajian sastra dapat memahami dan menelaah karya sastra dari sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Melalui sosiologi pengarang misalnya akan dikaji novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan hubungan dengan latar sosial pengarang yang berasal dari Blora sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan “Mas” ia coret dari namanya, hingga Pram kecil bertahun-tahun kemudian masih melihat coretan di awal papan nama di rumah orang tuanya.
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial adalah pengkajian novel Bumi Manusia dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan masalah latar cerita hukum Belanda dan hubungan antara pribumi dan orang Belanda yang memiliki hubungan bersekat antara tuan kelas atas dan kaum rendahan. Sejarah mencatat kaum pribumi berada pada bawah. bahkan dibawah Cina secara hubungan hirarki dalam sejarah kekuasaan Belanda. Novel ini membuat pembaca mengerti hubungan Nyai yang bukanlah seorang Meufrow atau nyonya. Hukum belanda yang tak berpihak kaum pribumi. Sampai posisi kaum terdidik yang tetap tak sama dengan kamu terdidik dari keturunan Belanda. Cerita ini menggambarkan keadaan struktur sosial, ekonomi dan budaya pada jamannya. setiap manusia menempati posisinnya masing-masing. Sebagai bukti struktur sosial berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, penerapan sosiologi pembaca Bumi Manusia sebagai karya sastra yang tergolong banyak dibaca dan ditanggapi masyarakat. Walaupun motivasi para pembaca dalam membaca novel tersebut mungkin bermacam-macam, misalnya ada yang menganggapnya sebagai huburan belaka. Ada yang tertarik karena ceritanya tentang kehidupan seorang nyai yang kuat, prinsif, dan objektif. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.
Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.